KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-02


Sebulan kemudian, datanglah seorang utusan yang membawa pesan dari Tan-piauwsu agar isterinya dan puteranya menyusul kekota Tuo-lun untuk diajak nonton keramaian tradisionil yang diadakan oleh suku bangsa campuran Mancu dan Mongol yang tinggal di sana. Biar pun perjalanan itu jauh dan memakan waktu lama, namun Nyonya Tan dan puteranya dengan girang memenuhi pesan itu.

Tang-piauwsu merasa khawatir dan dia sendiri yang rnelakukan pengawalan, memimpin dua belas orang anggota piauw-kiok. Berangkatlah rombongan ini keluar dari Tembok Besar menuju ke utara. Saat mereka tiba di dekat kota Tuo-lun, di kaki bukit yang sunyi, tiba-tiba muncul gerombolan perampok bertopeng yang jumlahnya lebih dari dua puluh orang. Gerombolan perampok ini menyerang dan tentu saja Tang-piauwsu memimpin anak buahnya melakukan perlawanan.

Pertempuran hebat terjadi, akan tetapi gerombolan perampok itu lihai dan dua kali lebih besar jumlahnya, maka pihak pengawal terdesak dan mulai ada yang roboh. Melihat keadaan berbahaya ini, Tang-piauwsu lalu melarikan kereta yang membawa Nyonya Tan dan Sin Hong, melarikan diri dari tempat itu. Namun, setelah merobohkan semua pengawal, gerombolan perampok bertopeng itu melakukan pengejaran.

Tang-piauwsu melarikan kereta tanpa tujuan dan akhirnya mereka tiba di padang pasir. Melihat ada penduduk daerah itu yang membawa garam dengan menunggang seekor onta, Tang-piauwsu lalu membeli onta itu dan menyuruh Nyonya Tan beserta Sin Hong untuk melanjutkan larinya dengan menunggang onta, sedangkan dia sendiri menanti di situ dengan pedang di tangan untuk menahan gerombolan perampok yang tadi sudah mengancam hendak menawan Nyonya Tan yang masih kelihatan muda dan cantik.

Karena ketakutan, Nyonya Tan dan Sin Hong lalu menunggang onta, membawa bekal seadanya saja dan onta itu pun memasuki gurun pasir! Mereka tidak lagi melihat apa yang telah terjadi selanjutnya dengan Tang-piauwsu.

“Karena takut ditawan gerombolan perampok yang kasar itu, yang menurut perkiraan Tang-piauwsu agaknya hendak menangkap ibu beserta saya untuk membalas dendam kepada ayah, ibu lalu melarikan onta itu tanpa tujuan, terus memasuki gurun pasir yang luas. Akhirnya kami tidak tahu jalan lagi, di mana-mana hanya pasir belaka dan kami membiarkan saja onta itu mengambil jalan sendiri. Entah berapa hari kami melakukan perjalanan seperti itu, kehabisan bekal, bahkan kantung air yang banyak itu pun sudah hampir habis. Kami menderita sekali dan akhirnya kami diserang badai. Kami berlindung di balik batu karang, akan tetapi batu karang itu lalu runtuh dan menimpa kami, dan selanjutnya... Sam-wi telah mengetahui…”

Begitu Sin Hong mengakhiri ceritanya, Tiong Khi Hwesio langsung berseru. “Omitohud... permusuhan yang tidak ada hentinya antara yang untung dan yang rugi! Para perampok merasa dirugikan oleh para piauwsu, sehingga banyak bentrokan terjadi antara mereka yang hendak merampok dan mereka yang hendak melindungi barang kiriman!”

“Ada yang mencurigakan di dalam urusan ini,” kata Kao Kok Cu, “Bagaimana seorang piauwsu yang berpengalaman begitu sembrono untuk memanggil isteri dan puteranya menyuruh ke tempat yang demikian jauh, melalui perjalanan yang berbahaya.”

“Memang mencurigakan sekali. Dan Tang-piauwsu itu malah membiarkan ibu dan anak itu melintasi gurun pasir dengan binatang onta tanpa pengawalan, benar-benar gegabah sekali,” kata pula Wan Ceng.

“Biarlah pinceng (saya) yang akan pergi ke Tuo-lun untuk mencari Tan-piauwsu dan memberi kabar kepadanya tentang isteri dan puteranya. Sin Hong, engkau tinggal dulu saja di sini sampai pinceng dapat menemukan ayahmu dan dapat mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi.”

Tan Sin Hong mengangguk, “Baik, Locianpwe, saya di sini akan menanti berita dari hasil penyelidikan Locianpwe.”

Dia merasa suka sekali di tempat yang indah itu, dan dia merasa berhutang budi. Ingin dia membalas budi itu, walau pun hanya dengan membersihkan tempat itu, istana tua itu yang nampaknya tidak begitu terawat dengan baik. Apa lagi ketika dia lantas mendapat kenyataan bahwa di istana tua itu tidak terdapat seorang pun pelayan.

Sambil menanti kembalinya Tiong Khi Hwesio, Sin Hong mendengar lebih banyak dari nenek Wan Ceng tentang istana tua itu dan kini dia tahu bahwa penghuni Istana Gurun Pasir itu adalah kakek dan nenek she Kao ini, sedangkan Tiong Khi Hwesio yang kini pergi mencari ayahnya adalah seorang sahabat baik dan tamu kehormatan dari mereka.

Tiga hari kemudian, muncullah Tiong Khi Hwesio. Setelah minum air sejuk jernih yang dihidangkan oleh Sin Hong, kakek ini menarik napas panjang.

“Omitohud..., Tan Sin Hong. Pinceng kali ini terpaksa membawa berita yang amat tidak menyenangkan untukmu.” Dan dia pun mengelus kepala anak itu yang sudah berlutut di depannya.

Anak itu memang berhati tabah. Biar mukanya agak pucat dan matanya membayangkan kekhawatiran, namun suaranya masih tenang ketika dia berkata kepada hwesio tua itu. “Locianpwe, apakah yang telah terjadi dengan ayah saya?”

Nenek Wan Ceng juga tidak sabar. “Tek Hoat, apa yang telah terjadi di sana?”

Kakek yang masih terlihat lelah karena habis melakukan perjalanan jauh itu mengusap peluh dari leher dan mukanya menggunakan sehelai sapu tangan lebar, lalu menghela napas dan memandang kepada Sin Hong dengan sinar mata kasihan.

“Pinceng tiba di kota Tuo-lun dan melakukan penyelidikan. Akan tetapi ternyata bahwa Tan-piauwsu tidak pernah sampai di kota itu...“

“Ayah...!” Sin Hong berseru dengan suara tertahan, matanya menatap wajah Tiong Khi Hwesio, penuh pertanyaan dan kekhawatiran.

“Di kota itu pinceng bertemu dengan beberapa orang sahabat baik Tan-piauwsu karena memang sudah beberapa kali Tan-piauwsu mengawal barang ke kota itu. Dan bersama mereka pinceng lalu menyelidiki sepanjang jalan menuju ke kota itu dari selatan yang biasa diambil oleh rombongan piauw-kiok dan di sebuah hutan pinceng menemukan mereka.” Suara kakek ini menurun dan Sin Hong kembali menatap dengan muka pucat.

“Locianpwe menemukan ayah...?“ tanyanya, kini suaranya agak gemetar, jelas bahwa dia telah menduga buruk. Dan kakek itu mengangguk.

“Pinceng menemukan Tan-piauwsu dan sepuluh orang anak buahnya, semuanya telah tewas terbunuh.”

“Ayah...! Ibu...!” Teriakan Sin Hong ini lirih saja, seperti keluhan dan dalam keadaan berlutut dia menutupi muka dengan kedua tangannya.

Tiga orang tua itu hanya memandang dan membiarkan saja. Sampai beberapa lamanya Sin Hong menutupi mukanya, tidak mengeluarkan suara tangisan, akan tetapi air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya. Kemudian dia mengusap air matanya dengan kedua tangan, lalu dengan suara agak parau dia bertanya kepada Tiong Khi Hwesio.

“Locianpwe, siapa yang membunuh ayah?”

Tiong Khi Hwesio menggeleng kepala. “Tidak ada yang tahu dan tiada tanda-tandanya. Mereka semua tewas dan agaknya dirampok karena tidak ada barang berharga lagi di sana, kecuali pakaian yang menempel di tubuh mereka.”

“Ahh, siapa lagi kalau bukan para perampok bertopeng itu? Dan yang mengirim utusan mengundang nyonya Tan serta Sin Hong tentu juga anggota perampok bertopeng itu yang sengaja menghadang dan menjebak,” kata kakek Kao Kok Cu. “Agaknya mereka adalah gerombolan perampok yang mendendam kepada Tan-piauwsu sehingga selain merampok, juga ingin membasmi keluarganya.”

“Aku lebih condong untuk mencurigai Tang-piauwsu itu!” Tiba-tiba Wan Ceng berkata. “Mengawal barang yang sangat berharga tentunya amat dirahasiakan dan kukira yang mengetahui hanyalah Tan-piauwsu dan pembantunya itu. Aku tidak akan heran kalau kelak diketahui bahwa yang mengatur semua perampokan dan pembunuhan itu adalah Tang-piauwsu. Oleh karena itu dia pulalah yang menyuruh nyonya Tan dan Sin Hong melarikan diri ke gurun pasir, yang artinya sama dengan mengirim mereka ke lembah maut.”

“Omitohud, kita tidak boleh sembarangan sangka. Urusan ini adalah urusan Sin Hong dan biarlah dia saja yang kelak melakukan penyelidikan. Engkau tenangkan hatimu Sin Hong. Teman-teman ayahmu sudah mengurus penguburan jenazah ayahmu dan anak buahnya, dan kalau suami isteri tua penghuni Istana Gurun Pasir ini tidak berkeberatan, pinceng mengusulkan agar Sin Hong tinggal di sini mempelajari ilmu dari kita bertiga.”

Suami isteri itu agak terkejut dan memandang wajah hwesio itu penuh perhatian. “Apa alasanmu berkata demikian, Tek Hoat?” kata nenek Wan Ceng.

“Banyak peristiwa aneh-aneh yang terjadi di dunia, dan biasanya kita anggap sebagai hal yang kebetulan saja. Akan tetapi, bukankah di balik peristiwa itu sudah ada yang mengaturnya? Bukankah sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa maka bisa terjadi hal-hal yang kelihatan kebetulan itu? Contohnya Tan Sin Hong ini. Keluarganya tertimpa mala petaka, ibunya tewas, ayahnya tewas pula dan ia pun nyaris tewas. Coba lihatlah segala macam kebetulan yang sudah terjadi! Pertama-tama, kebetulan sekali pinceng mengunjungi kalian dan kemudian kebetulan sekali kita bertiga bermain-main dengan badai gurun pasir! Kalau tidak kebetulan pinceng berkunjung tentu kita tidak bermain-main dengan badai dan kalau tidak kebetulan kita bermain-main dengan badai tentu kita tidak akan melihat Sin Hong! Dan kalau begitu, apa jadinya? Tentu dia telah tewas pula! Bukankah semua kebetulan itu seperti telah diatur oleh Thian (Tuhan)? Nah, kita jangan menolak kehendak Thian dan harus menerima sebagai perintah-Nya. Mari kita menerima anak ini sebagai murid kita yang terakhir, untuk menampung peninggalan terakhir dari kita. Bagaimana pendapat kalian?”

Suami isteri itu saling pandang. Mereka telah mewariskan semua ilmu mereka kepada putera tunggal mereka yang bernama Kao Cin Liong dan kini tinggal dikota Pao-teng dekat kota raja. Juga mereka mengajarkan beberapa macam ilmu kepada Can Bi Lan yang kini menjadi nyonya Sim Houw. Apakah kini mereka harus mengambil seorang murid lagi ketika usia mereka sudah amat tua?

Tetapi, ada benarnya juga pendapat Tiong Khi Hwesio tadi tentang peristiwa kebetulan yang merupakan tanda kekuasaan dan kehendak Thian. Mereka mengangguk setuju dan Wan Ceng berkata sambil tersenyum.

“Tek Hoat, kalau begitu engkau juga harus tinggal di sini untuk mewariskan ilmu-ilmumu kepadanya.”

“Ha-ha-ha, tentu saja! Pinceng memang suka sekali menghabiskan sisa usia pinceng di sini, tentu saja kalau kalian tidak berkeberatan.”

“Kenapa keberatan? Kami suka sekali!” kata kakek Kao Kok Cu. “Akan tetapi kita tidak boleh melupakan hal yang terpenting, yaitu apakah Tan Sin Hong suka tinggal di sini sebagai murid kita?”

Sin Hong sejak tadi mendengarkan saja percakapan itu. Dia sedang tenggelam dalam lamunan penuh duka. Ayah ibunya tewas secara mendadak dan dia tidak memiliki apa-apa lagi. Terutama sekali, dia terkesan sekali oleh percakapan tiga orang tua itu tentang kematian ayahnya.

Ayahnya dibunuh orang! Agaknya sudah direncanakan. Tang-piauwsu patut dicurigai, walau pun belum ada buktinya. Dan dialah yang kelak harus menyelidiki dan membuka rahasia itu. Untuk itu dia perlu memiliki kepandaian yang tinggi. Ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya masih tidak ada artinya. Ayahnya sendiri pun tewas melawan penjahat, apa lagi dia!

Kini, mendengar percakapan tiga orang tua sakti itu yang ingin mengambilnya sebagai murid, dan mendengar kakek Kao Kok Cu menyinggung apakah dia suka menjadi murid mereka atau tidak, tanpa ditanya lagi dia lalu menjatuhkan diri bertiarap di atas lantai, menyentuh lantai dengan dahinya berulang kali.

“Sam-wi Locianpwe, teecu (murid) Tan Sin Hong bersumpah untuk menjadi murid yang baik kalau Sam-wi sudi mengambil teecu sebagai murid.” Berulang-ulang dia berkata demikian.

Dengan suaranya yang lantang dan tegas kakek Kao Kok Cu berkata, “Tan Sin Hong, benarkah engkau bersedia untuk mematuhi semua perintah kami kalau engkau menjadi murid kami?”

“Teecu bersumpah untuk mentaati dan mematuhi semua petunjuk dan perintah Sam-wi Locianpwe!” kata Sin Hong dengan setulus hatinya.

“Dan engkau tak akan mengeluh menghadapi latihan yang amat berat?” sambung Tiong Khi Hwesio.

“Biar sampai mati sekali pun dalam mentaati perintah, teecu tidak akan mengeluh.”

Tiga orang tua itu diam-diam menjadi girang dan mulai hari itu, Tan Sin Hong tinggal di sana. Dia bekerja keras sebagai pelayan, membersihkan istana dan bekerja di kebun, melayani semua kebutuhan tiga orang tua itu, akan tetapi sebagai imbalannya, dia pun mulai digembleng oleh mereka bertiga! Menjadi murid seorang saja di antara tiga orang sakti ini sudah merupakan suatu keberuntungan besar, apa lagi sekaligus menjadi murid mereka bertiga!

Sin Hong tidak menyia-nyiakan kesempatan yang amat baik ini dan dia pun belajar dan berlatih dengan amat tekunnya, siang malam tak pernah berhenti kecuali kalau sedang bekerja. Bahkan dalam melaksanakan pekerjaannya sekali pun, ia melatih diri sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Kalau malam, setelah lelah berlatih, dia mencurahkan pikirannya untuk mengingat semua pelajaran yang diterimanya dari tiga orang gurunya.

Tiga orang tua renta itu maklum bahwa bagi seorang murid seperti Sin Hong, tidaklah mungkin dapat mempelajari semua ilmu mereka bertiga, akan memakan waktu terlalu lama. Mereka sudah tua sekali, selain itu sudah merasa malas untuk banyak bergerak melatih ilmu silat, juga maklum bahwa akan sayang kalau sampai mereka mati sebelum ilmu mereka dapat diterima dengan baik oleh murid terakhir itu.

Oleh karena itulah mereka masing-masing sengaja memilih ilmu-ilmu simpanan mereka saja untuk diajarkan kepada Sin Hong, setelah menggembleng pemuda itu untuk dapat menguasai langkah-langkah dan gerakan-gerakan dasar dari ilmu mereka bertiga.

Kao Kok Cu menurunkan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat dan meski muridnya tidak berlengan buntung, dia mengajarkan juga caranya menghimpun tenaga sakti melalui Ilmu Sin-liong Hok-te. Nenek Wan Ceng juga mengajarkan Ilmu Ban-tok-ciang dan melatih pemuda itu untuk menghimpun tenaga beracun agar dapat melakukan Ilmu Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) dengan baik. Sementara itu Tiong Khi Hwesio menurunkan gabungan Ilmu Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun, juga melatih menghimpun tenaga sakti lewat ilmu sinkang Tenaga Inti Bumi!

Tentu saja untuk bisa menguasai ilmu-ilmu yang sakti itu, Sin Hong harus berlatih mati matian, menggembleng diri sehingga ia tumbuh menjadi seorang pemuda dewasa yang kurus saking bekerja keras setiap hari dan malam untuk menguasai ilmu-ilmu itu! Dan semenjak tinggal di situ, ia hanya mau memakai pakaian serba putih untuk mengabungi ayah ibunya yang tewas secara menyedihkan.

Tiga tahun kemudian ketika dia berada di situ mempelajari ilmu, pada suatu hari datang berkunjung seorang laki-laki gagah perkasa yang berusia lima puluh tiga tahun. Dia ini bukan lain adalah Kao Cin Liong, putera tunggal dari Kao Kok Cu dan Wan Ceng, yang datang berkunjung dan membujuk ayah ibunya yang telah tua itu untuk tinggal bersama dia di Pao-teng.

“Kini ayah dan ibu telah berusia lanjut, dan saya sekeluarga tinggal jauh di Pao-teng. Sungguh tidak enak bagi saya kalau mengingat keadaan ayah dan ibu. Sebaiknya kalau ayah berdua tinggal bersama kami di Pao-teng supaya kami dapat mengurus semua keperluan ayah berdua,” demikian antara lain Kao Cin Liong membujuk orang tuanya.

Akan tetapi ayah ibunya tetap tidak mau menuruti permintaan puteranya. “Ketahuilah bahwa aku lebih suka tinggal di tempat yang sunyi ini bersama ayahmu, Cin Liong. Kami dapat mengurus diri sendiri dan andai kata kelak kami meninggal dunia, kami dapat saling mengurus atau merawat dan ada satu di antara kami yang akan mengabarimu di Pao-teng,” demikian nenek Wan Ceng berkata.

Puteranya tidak merasa heran mendengar ibunya sedemikian enaknya bicara tentang kematian. Dia sudah mengenal watak ibu dan ayahnya yang menganggap kematian sebagai hal yang biasa saja.

“Pula, kami sekarang mempunyai seorang murid yang juga melayani semua keperluan kami. Inilah dia, namanya Tan Sin Hong.” kata Kao Kok Cu. “Juga di sini tinggal pula Tiong Khi Hwesio yang menambah kegembiraan kami. Tak perlu engkau memusingkan kami tiga orang-orang tua dan biarkan kami dalam kegembiraan kami sendiri.”

Dia lalu menceritakan tentang Sin Hong yang segera memberi hormat kepada Kao Cin Liong yang disebutnya ‘suheng’ (kakak seperguruan). Diam-diam Cin Liong merasa heran dan kagum akan baiknya nasib anak itu yang secara tak terduga telah menjadi murid ayah ibunya dan juga Tiong Khi Hwesio!

Kao Cin Liong tinggal selama satu minggu di Istana Gurun Pasir, dan setelah dia pergi meninggalkan tempat itu, pulang ke Pao-teng, kehidupan di situ menjadi seperti biasa lagi. Sin Hong tekun berlatih silat, dan ketiga orang tua renta itu kadang-kadang masih suka berkeliaran di padang pasir, bahkan beberapa kali masih senang bermain-main dengan badai.....

********************

Sang waktu berjalan dengan amat cepatnya. Kalau kita masing-masing menengok ke belakang, kepada kehidupan kita di masa lalu di masa kanak-kanak, di masa muda dan selanjutnya, akan nampak betapa cepatnya waktu berjalan.

Bagi seorang dewasa, masa kanak-kanak yang lewat belasan tahun yang lalu, hanya seolah-olah baru kemarin saja. Semua peristiwa di masa kanak-kanak nampak seperti baru terjadi kemarin dan kenangan pada masa lalu ini akan membuat setiap orang menyadari bahwa tahu-tahu dia telah menjadi tua!

Demikian pendeknya kehidupan ini, kenapa waktu yang pendek itu tidak kita isi dengan langkah-langkah yang berguna, baik bagi diri sendiri mau pun bagi orang lain? Apa yang telah kita lakukan bagi manusia, bagi dunia, bagi Tuhan? Pertanyaan seperti ini sudah sepatutnya kita pertanyakan kepada diri sendiri masing-masing, dan bagi mereka yang belum pernah melakukan hal yang berguna atau merasa belum pernah, marilah mulai dari saat ini juga.

Langkah hidup apakah yang berguna? Tentu bukan langkah hidup atau perbuatan yang mengandung pamrih bagi kepentingan diri sendiri, karena langkah seperti itu hanya akan menimbulkan konflik atau pertentangan. Langkah hidup yang benar dan berguna hanyalah langkah atau perbuatan yang didasari oleh cinta kasih. Karena itu, mengapa tidak membiarkan cinta kasih bersinar menerangi batin?

Bukan dengan cara memupuk cinta kasih, karena hal ini tidak mungkin. Bukan dengan jalan mempraktekkan cinta kasih atau mengusahakan agar kita bisa menjadi baik dan menjadi seorang pengasih. Sama sekali tidak mungkin. Kita hanya dapat menyingkirkan hal-hal yang memenuhi batin kita, hal-hal yang bukan cinta kasih, bahkan yang justru membuat batin tertutup bagi masuknya sinar cinta kasih.

Kita harus menyingkirkan kebencian, permusuhan, dendam, pementingan diri, ambisi pribadi, iri hati dan segala macam keinginan yang didorong oleh nafsu. Kalau batin sudah bersih dari semua itu, tanpa kita panggil, tanpa kita cari, sinar cinta kasih akan menerangi batin. Dalam keadaan demikian, semua perbuatan kita akan didasari cinta kasih, berarti hidup kita berguna, baik bagi manusia mau pun bagi Tuhan!

Tanpa terasa lagi, sudah tujuh tahun Tan Sin Hong tinggal di Istana Gurun Pasir! Dan berkat ketekunannya, kerajinannya yang tak mengenal lelah, dalam usia dua puluh satu tahun, berhasillah dia menguasai seluruh ilmu yang diajarkan oleh ketiga orang gurunya kepadanya.

Sementara itu, tiga orang tua yang tinggal di Istana Gurun Pasir, kini menjadi semakin tua! Tiong Khi Hwesio sudah berusia hampir delapan puluh tahun, demikian pula nenek Wan Ceng, sedangkan suaminya Kao Kok Cu, telah berusia delapan puluh lima tahun! Mereka merasa betapa tenaga mereka digerogoti usia dari dalam, daya tahan mereka telah berkurang, hanya penggunaan otak mereka yang belum mundur, bahkan mereka menjadi semakin waspada dan pandai.

Karena merasa bahwa mereka bertiga sudah mendekati akhir usia, setelah melakukan latihan semedhi bersama, mereka bertiga mendapat kesempatan untuk bersama-sama menciptakan suatu ilmu yang khas untuk diwariskan kepada murid mereka yang baik itu. Selama tujuh tahun mereka melihat betapa Sin Hong adalah seorang yang selain tekun, tabah dan juga berkemauan keras, memiliki kesetiaan dan kebaktian terhadap mereka. Hal ini membuat mereka merasa suka dan sayang kepada Sin Hong.

Mereka pun mulai menciptakan suatu ilmu bersama dan setelah berhasil, mereka lalu mengajarkan ilmu ini kepada Sin Hong. Ilmu ini diilhami oleh gerakan seekor burung bangau, walau pun intinya mengandung sari dari ilmu ketiga orang tua itu. Dan karena gerakannya, mereka memberi nama ilmu ini Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dan kemudian mengajarkannya kepada Sin Hong.

Akan tetapi, bukan mudah mempelajari ilmu silat yang didasari ilmu batin yang kuat ini. Sin Hong sendiri tertegun karena kaget mendengar pesan Kao Kok Cu yang mewakili mereka bertiga.

“Sin Hong, ketahuilah bahwa ilmu yang akan kami berikan kepadamu ini bukanlah ilmu sembarangan, melainkan ilmu perahan dari seluruh kepandaian kami bertiga. Sinkang yang dikandung ilmu silat ini merupakan sinkang gabungan dari kami bertiga yang akan kami salurkan kepadamu pula. Untuk itu, sebelumnya engkau harus tahu bahwa setelah engkau menerima saluran sinkang dari kami, lalu mempelajari Pek-ho Sin-kun sampai tamat, engkau harus menghindarkan dirimu dari semua gerakan ilmu silat selama satu tahun penuh. Sanggupkah engkau?”

Sambil berlutut Sin Hong bertanya. “Sebelum teecu menyatakan kesanggupan teecu, ingin teecu mengerti apa yang Suhu maksudkan dengan menghindarkan diri dari semua gerakan silat itu?”

“Engkau tidak boleh bersilat walau pun menghadapi ancaman apa pun juga, dan sama sekali tidak boleh mengerahkan sinkang. Dan setiap kali ada kesempatan, engkau harus bersemedhi dengan mengendurkan seluruh otot dan syaraf, meniadakan segala pikiran dan kemauan, supaya tenaga yang kami salurkan kepadamu dapat mengendap dan menyesuaikan diri dengan tubuhmu. Kalau engkau melanggarnya, engkau akan celaka oleh tenagamu itu sendiri. Nah, syaratnya amat berat. Sanggupkah engkau?”

Sin Hong berpikir dengan keras. Sungguh berat sekali syarat itu. Bagaimana dia dapat membiarkan diri kosong seperti itu selama setahun? Berlatih silat pun tidak boleh! Akan tetapi, makin sukar syaratnya, tentu semakin hebat pula ilmunya. Maka dia pun segera mengangguk.

“Teecu menerima syarat itu, Suhu. Akan tetapi teecu mohon keterangan lagi untuk dapat teecu mengerti benar dan agar tidak sampai teecu melakukan pelanggaran kelak. Bagaimana kalau ada orang yang mengancam dan menyerang teecu?”

“Omitohud… kenapa engkau dihantui rasa khawatir, Sin Hong?” kata Tiong Khi Hwesio. ”Biar pun ada yang menyerangmu, hendak membunuhmu sekali pun engkau tidak boleh menggerakkan ilmu silat yang akan menggerakkan pula tenaga sinkang di tubuhmu.”

“Jadi teecu sama sekali tidak boleh membela diri walau pun teecu takkan menentang?”

“Tentu saja kau boleh berusaha menyelamatkan diri. Akan tetapi engkau hanya boleh menggunakan akal atau kalau terpaksa menggunakan tenaga juga, hanya tenaga otot biasa saja, bukan tenaga sinkang. Sudah tentu engkau dapat terancam bahaya maut dengan syarat ini, tetapi itu sudah menjadi resikonya mempelajari ilmu yang dahsyat,” kata Wan Ceng.

“Baik, teecu menerima syarat itu!” berkata Sin Hong dengan suara tegas dan penuh semangat.

Mulailah dia mempelajari Ilmu Pek-ho Sin-kun. Karena dia sudah menguasai ilmu-ilmu simpanan dari tiga orang gurunya, maka ilmu gabungan ini dapat dikuasainya dalam waktu pendek saja. Kemudian, dia disuruh duduk bersila. Ketiga orang gurunya duduk bersila pula di belakangnya.

Tiong Khi Hwesio lalu menempelkan telapak tangan kanan ke pundak kanannya, Kao Kok Cu menempelkan telapak tangan di punggungnya, dan Wan Ceng menempelkan tangan di pundak kirinya. Perlahan-lahan, setelah dia disuruh membuka dirinya tanpa melakukan perlawanan sedikit pun, Sin Hong lalu merasa betapa hawa yang hangat mengalir ke dalam tubuhnya melalui tiga bagian tubuh yang ditempel telapak tangan itu. Makin lama hawa itu menjadi semakin banyak mengalir dan menjadi semakin panas, berputar di seluruh tubuhnya, kemudian perlahan-lahan berkumpul di pusarnya.

Dia tahu betapa ada hawa sakti yang luar biasa kuatnya memasuki tubuhnya, maka dia hanya menerima saja tanpa melawan sedikit pun. Setelah tiga orang itu menghentikan penyaluran hawa sakti itu dan ketiganya menggeser duduk mereka ke belakang, Sin Hong merasa betapa ada hawa yang kuat sekali berpusing di dalam pusarnya. Dia membalik dan berlutut menghadap ketiga orang gurunya.

Mereka itu agak pucat dan terengah, namun mereka tersenyum memandang kepadanya dengan pandang mata penuh kasih sayang. Hal ini membuat Sin Hong terharu bukan main dan dia pun bertiarap, menyentuh lantai di depan kaki mereka dengan dahinya berulang kali sambil menghaturkan terima kasih.

“Sekarang, sebaiknya engkau segera melakukan siu-lian (semedhi) di dalam kamarmu, Sin Hong. Boleh engkau melaksanakan pekerjaanmu, akan tetapi yang penting saja dan selebihnya dari waktumu, pergunakan untuk semedhi. Dan ingat pesan kami bertiga.”

Sin Hong kembali menghaturkan terima kasih kemudian dia pun keluar dari ruangan itu, memasuki kamarnya dan cepat duduk bersila dan bersemedhi mengendurkan seluruh tubuhnya luar dalam dan membiarkan tenaga sakti yang berpusingan di dalam pusarnya itu bergerak-gerak seperti benda hidup di dalam tubuhnya!

Seperti biasa, dengan amat tekun Sin Hong kini mempergunakan kesempatan untuk bersemedhi. Dengan girang dia mendapat kenyataan betapa keliaran tenaga sakti yang dia terima dari tiga orang gurunya itu, semakin teratur dan bergerak mengelilingi semua bagian tubuhnya dengan lembut, tidak lagi liar seperti pada hari-hari pertama. Semakin lama tenaga itu mengendap di pusarnya dan dia mendapat kenyataan betapa sedikit ketegangan saja sudah cukup untuk membuat tenaga itu bangkit dan berputaran di seluruh tubuhnya.

Kini tahulah dia akan maksud guru-gurunya yang melarang dia mengerahkan sinkang selama satu tahun. Kalau dia mengerahkan tenaga, maka tenaga sakti yang amat besar itu akan bangkit dan mengamuk, dan tentu tubuhnya bagian dalam tidak akan mampu menahannya karena tenaga sakti itu masih setengah liar dan belum dapat dikendalikan sepenuhnya.

Keadaan seperti itu berlangsung terus selama sepuluh bulan. Kini, semenjak mereka selesai mengajarkan ilmu gabungan terakhir kepada Sin Hong, tiga orang tua itu banyak menganggur dan mereka lebih banyak bersemedhi. Mereka merasa betapa tenaga mereka makin berkurang, bukan karena disalurkan kepada Sin Hong, melainkan karena dimakan usia tua.

Pada suatu pagi yang cerah, istana itu nampak sunyi sekali. Empat orang penghuninya semua masih duduk bersila, melakukan semedhi pagi yang amat baik karena pada saat itu, sinar matahari pagi merupakan sumber yang sangat baik, mengandung kekuatan yang dahsyat. Dengan bersemedhi, mereka dapat menampung kekuatan ini, kekuatan yang menghidupkan.

Akan tetapi, tidak seperti biasanya, di tempat yang sunyi itu kini didatangi serombongan orang yang aneh-aneh. Nampak tak kurang dari tujuh belas orang yang perlahan-lahan menghampiri Istana Gurun Pasir. Mereka datang dari arah selatan dan sikap mereka amat berhati-hati, bahkan seperti orang-orang yang takut-takut, agaknya gentar karena mereka sudah mendengar akan kehebatan nama Istana Gurun Pasir ini. Mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw kenamaan, tentu saja mereka tahu bahwa penghuni Istana Gurun Pasir ini adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang sakti, bahkan isterinya juga seorang nenek yang sakti.

Di halaman depan istana itu, mereka berhenti. Enam orang di antara mereka, agaknya yang menjadi pemimpin, berbisik-bisik seperti merundingkan sesuatu dan sikap mereka jelas membayangkan perasaan gentar. Bagi orang yang sudah biasa menjelajahi dunia kang-ouw, akan mengenal enam orang ini karena mereka adalah tokoh-tokoh besar yang terkenal di dunia persilatan.

Orang pertama adalah seorang wanita yang usianya sudah enam puluh tujuh tahun, akan tetapi masih nampak cantik karena ia pesolek, dan pakaiannya juga serba indah, sikapnya lemah lembut dan gerak-geriknya yang halus tidak menunjukkan bahwa ia sebenarnya adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan namanya ditakuti banyak orang di dunia persilatan.

Tubuhnya tinggi ramping dengan pinggang yang lemas seperti batang pohon yang-liu. Inilah Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti), seorang yang tidak saja memiliki ilmu pedang yang dahsyat, akan tetapi bahkan pandai pula ilmu sihir! Kini ia berdiri dengan tangan kanan memegang pedang dan tangan kiri memegang kebutan bergagang emas.

Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia lima puluh dua tahun, tubuhnya tinggi besar dengan brewok. Dia juga bukan orang sembarangan karena dia terkenal sebagai seorang pencuri yang amat lihai, berjuluk Sai-cu Sin-touw (Maling Sakti Muka Singa), memiliki sepasang tangan yang bergerak cepat sekali sehingga dengan kedua tangan kosong saja dia berani menghadapi lawan tangguh yang bersenjata. Sai-cu Sin-touw ini merupakan seorang tangan kanan dan pembantu yang dipercaya oleh Sin-kiam Mo-li.

Orang ke tiga seorang kakek berusia tujuh puluh dua tahun, juga bertubuh tinggi besar dengan perut gendut sekali seperti karung beras, mengenakan jubah kuning yang di bagian dadanya bergambar pat-kwa. Dari jubahnya ini mudah dikenal bahwa dia adalah seorang tokoh Pat-kwa-kauw (Agama Segi Delapan) yang tinggi kedudukannya.

Rambutnya yang telah putih semua itu menutupi sebagian mukanya karena riap-riapan. Mukanya pucat kekuningan seperti orang berpenyakitan. Akan tetapi Ok Cin Cu, kakek pendeta ini, lihai bukan main dengan tongkatnya yang berbentuk ular dan berwarna hitam.

Orang ke empat adalah suheng-nya, bernama Thian Kong Cinjin dan dia adalah wakil ketua Pat-kwa-kauw cabang utara. Usianya sudah tua sekali, tujuh puluh delapan tahun. Rambut dan jenggotnya sudah putih, tubuhnya tinggi kurus namun berwibawa. Sikapnya halus lemah lembut. Dia membawa sebatang tongkat setinggi tubuhnya. Dibandingkan para pendeta lainnya, Thian Kong Cinjin ini yang paling lihai dan tingkat kepandaiannya bahkan seimbang dengan Sin-kiam Mo-li yang dianggap pimpinan rombongan ini.

Orang ke lima juga sudah tua, tujuh puluh lima tahun usianya. Dia adalah Thian Kek Sengjin. Melihat jubahnya yang bergambar bunga teratai di dadanya, dapat diketahui bahwa dia adalah seorang tokoh besar perkumpulan Pek-lian-kauw. Biar pun usianya sudah tua namun mukanya merah seperti darah, tubuhnya kurus kering dan dia memiliki sepasang mata bagai mata kucing. Ia juga membawa sebatang tongkat yang berbentuk ular berwarna hitam.

Orang ke enam dari kelompok pimpinan ini bernama Coa-ong Sengjin, usianya tujuh puluh dua tahun dan dia juga tokoh Pek-lian-kauw, sute (adik seperguruan) dari Thian Kek Sengjin. Tubuhnya kecil bongkok, mukanya buruk mirip muka monyet. Akan tetapi jangan dipandang rendah kakek kecil buruk ini, karena selain ilmu silat yang cukup lihai dengan tongkat ular hidup sepanjang lima kaki, dia juga ahli atau pawang ular yang dapat memanggil ular-ular berbisa untuk membantunya menghadapi lawan!

Enam orang ini bersatu dibawah pimpinan Sin-kiam Mo-li yang dianggap paling lihai. Hanya Sin-kiam Mo-li seorang yang tidak menjadi tokoh dari suatu perkumpulan agama sedangkan lima orang itu, yang seorang adalah pembantunya, sedangkan empat yang lain adalah para pendeta Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw. Bahkan sebelas orang yang menjadi anak buah mereka adalah para anggota Pek-lian-kauw yang pilihan dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.

Apakah maksud kedatangan tujuh belas orang itu ke Istana Gurun Pasir? Para pendeta itu terkena hasutan Sin-kiam Mo-li yang menganggap dua keluarga dari Pulau Es dan Istana Gurun Pasir sebagai musuh-musuh besarnya. Dan karena dua perkumpulan itu, Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, juga merupakan dua perkumpulan pemberontak yang telah banyak melakukan penyelewengan dan kejahatan, maka sudah seringkali mereka bentrok dengan anggota keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Maka, ketika dihasut dan diajak oleh Sin-kiam Mo-li untuk menyerbu Istana Gurun Pasir, mereka pun menyambut dengan baik walau pun mereka masih ragu-ragu dan takut-takut.

Melihat betapa para pendeta itu kelihatan jeri sekali setibanya di pekarangan depan istana, sambil berbisik-bisik Sin-kiam Mo-li mengulangi bujukannya.

“Kenapa kalian tiba-tiba saja menjadi takut lagi? Sudah kukatakan berkali-kali, menurut perhitunganku, suami isteri itu telah menjadi kakek dan nenek yang tua sekali, jauh lebih tua dari pada kalian semua. Tentu mereka telah menjadi kakek dan nenek pikun yang akan mudah saja kita kalahkan. Apa yang perlu kita takuti? Kita semua berjumlah tujuh belas orang, sedangkan mereka hanya berdua, seorang kakek dan seorang nenek yang mungkin sudah berpenyakitan. Dan ingat akan harta benda dan pusaka-pusaka yang tidak ternilai harganya di dalam istana! Semuanya akan menjadi milik kita kalau sudah membunuh mereka.”

“Tapi... tapi... bagaimana kalau putera mereka dan para pendekar lain berada di dalam istana itu? Kita semua akan mati konyol!” bantah Ok Cin Cu, tokoh Pat-kwa-kauw itu. Keraguannya ini disetujui oleh tiga orang pendeta lainnya karena mereka mengangguk-angguk membenarkan.

“Ahhh, kalian kira aku sudah begitu bodoh? Sebelum berangkat, aku sudah melakukan penyelidikan ke Pao-teng dan Kao Cin Liong bersama keluarganya berada di rumah. Percayalah, di dalam istana tua ini hanya ada kakek dan nenek itu, dan aku yakin kita akan mampu mengalahkan mereka. Mari...!” Sin-kiam Mo-li lalu melangkah maju terus menghampiri istana.

Keadaan istana yang amat sunyi itu membuat para pendeta menjadi berani dan mereka mulai percaya akan keterangan Sin-kiam Mo-li. Istana itu memang nampak sunyi saja, seperti tidak ada penghuninya saja atau kalau pun ada, tentu tidak banyak.

Rombongan penyerbu ini sama sekali tidak pernah mimpi bahwa barang-barang yang mereka sangat inginkan itu, terutama kitab-kitab ilmu, tidak akan mereka dapatkan di tempat itu. Tiga orang kakek itu, terutama Kao Kok Cu dan Wan Ceng sudah sejak lama membakar semua kitab pelajaran. Mereka berpendapat bahwa ilmu merupakan sesuatu yang amat berbahaya kalau sampai terjatuh ke tangan orang jahat. Oleh karena itu, setelah merasa bahwa mereka sudah tua dan setelah mereka mewariskan ilmu-ilmu mereka kepada murid terakhir, mereka lalu membakar semua kitab yang ada!

Juga Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya sama sekali tak tahu bahwa penghuni Istana Gurun Pasir walau pun sudah tua renta namun masih amat lihai dan cerdik sehingga kedatangan mereka itu sudah semenjak tadi diketahui. Oleh karena itu, ketika mereka menyerbu serambi depan istana tua itu, tiba-tiba saja pintu depan terbuka dan mereka melihat tiga orang tua sedang duduk bersila di belakang ambang pintu depan, dengan sikap yang tenang, bahkan tersenyum menghadapi mereka!

Melihat ini, para pendeta itu hampir berteriak kaget dan kembali nyali mereka menjadi kecil, apa lagi mereka melihat kenyataan bahwa suami isteri tua penghuni Istana Gurun Pasir itu ternyata ditemani oleh seorang hwesio yang mereka kenal sebagai Tiong Khi Hwesio yang juga lihai! Mereka tentu saja mengenal hwesio ini yang dahulunya adalah seorang pendekar dengan julukan Si Jari Maut!

“Celaka,” pikir mereka. “Kiranya di samping Pendekar Naga Sakti dan isterinya, masih ada lagi Si Jari Maut!”

Akan tetapi, Sin-kiam Mo-li yang tadinya kaget juga melihat adanya Tiong Khi Hwesio di situ, membesarkan hati kawan-kawannya dan berkata, “Mari maju, mereka hanyalah tiga orang tua bangka yang sudah mau mampus!”

“Omitohud...!” Tiong Khi Hwesio berseru sambil tersenyum lebar. “Bukankah yang datang ini sahabat-sahabat lama, Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawan dari Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw? Sin-kiam Mo-li, sudah bertahun-tahun engkau agaknya belum juga mau bertobat? Mau apakah engkau dan teman-temanmu mengunjungi tempat sunyi ini?”

Sin-kiam Mo-li memandang kepada hwesio itu dengan marah sekali. Tiong Khi Hwesio adalah musuh besarnya. Adalah hwesio ini yang dahulu memimpin para pendekar untuk menentang ibu angkatnya, yaitu mendiang Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama sehingga ibu angkatnya itu tewas. Melihat kehadiran kakek ini di Istana Gurun Pasir, bukan saja mengejutkan hatinya, akan tetapi lebih lagi mendatangkan kemarahan dan kebencian mendalam. Ia tidak takut karena kini hwesio itu nampak sudah demikian tua!

“Tiong Khi Hwesio, tua bangka yang mau mampus. Kebetulan engkau berada di sini sehingga kami dapat membasmi dirimu sekalian!” bentaknya.

Selama beberapa tahun ini, Wan Ceng sudah dapat memenangkan diri sendiri. Ia yang dahulunya merupakan seorang wanita yang gagah perkasa, galak dan keras hati, kini menjadi seorang nenek yang berhati lembut. Biar pun ia tahu bahwa Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya itu adalah tokoh-tokoh sesat yang amat jahat, namun tidak timbul kebencian atau kemarahan dalam hatinya.

Melihat kenyataan ini, bukan main girangnya rasa hati Wan Ceng. Inilah ujian terakhir baginya, ujian bagi keadaan batinnya apakah benar-benar dia sudah bebas dari pada kemarahan dan kebencian. Dan dia melihat kenyataan yang menggembirakan bahwa kemunculan orang-orang jahat yang berniat buruk ini pun kini tidak dapat mengusik dan memunculkan kemarahan atau kebencian dalam batinnya.

Ia menoleh kepada suaminya yang nampak tenang saja seolah-olah tidak menghadapi ancaman, dan kepada Tiong Khi Hwesio yang tertawa-tawa. Hatinya terharu. Sungguh Wan Tek Hoat kini telah berubah sama sekali. Dahulu pernah dijuluki Si Jari Maut yang bersikap keras tanpa mengenal ampun kepada orang jahat atau musuhnya, akan tetapi sekarang telah menjadi seorang hwesio yang masih tertawa-tawa biar pun diancam dan dimaki.

Kakek Kao Kok Cu yang bersikap tenang itu bangkit berdiri, diikuti oleh isterinya dan Tiong Khi Hwesio, dan berkata dengan halus namun berwibawa sekali, “Kami penghuni Istana Gurun Pasir sudah puluhan tahun tidak pernah mempunyai urusan dengan siapa pun juga, dan kami pun tidak mau bermusuhan dengan Cu-wi (Kalian). Harap kalian suka tinggalkan kami yang ingin hidup aman dan damai.”

Melihat sikap Pendekar Naga Sakti yang mereka takuti demikian lunak, dan nampaknya sudah tua sekali, hati Sin-kiam Mo-li menjadi besar.

“Hemmm, ingin kami melihat sampai di mana kebenaran nama besar Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Biar pun kalian tinggal diam di sini, namun keturunan dan murid-murid kalian bersama murid keluarga Pulau Es, selalu memusuhi kami. Karena itu hari ini kami sengaja datang untuk membunuh kalian. Kami berpendapat bahwa membunuh sebatang pohon haruslah membongkar akarnya dahulu, baru seluruh pohonnya akan rontok.”

“Omitohud...!” seru Tiong Khi Hwesio. “Sin-kiam Mo-li dan para sobat dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Kebetulan bahwa musuh kalian yang paling besar adalah diri kalian sendiri! Tidak sadarkah kalian bahwa kalian banyak mendapat tentangan adalah akibat dari pada tindakan kalian sendiri? Kalau kalian mengambil jalan yang benar, tak pernah mengganggu orang baik-baik, pasti tidak akan ada yang menentang kalian. Dari pada membunuh kami bertiga orang tua yang tidak akan ada gunanya, lebih berguna kalau kalian mawas diri dan mengubah cara hidup kalian...“

“Tutup mulutmu, hwesio busuk!” bentak Sin-kiam Mo-li. “Kami datang bukan untuk mendengarkan khotbah atau ceramah. Hayo kalian bertiga keluarlah kalau memang berani, kami menunggu di luar!”

Wanita ini menantang dan memberi isyarat pada teman-temannya untuk mundur sampai ke pekarangan istana yang luas. Dia memang cerdik. Kalau dia dan kawan-kawannya menyerbu ke dalam, selain ruangan di sana tidak begitu luas sehingga sukar melakukan pengepungan dan pengeroyokan, juga dia khawatir kalau istana tua itu mengandung jebakan-jebakan dan alat rahasia yang membahayakan. Kalau berkelahi di pekarangan ini, dia dapat mengerahkan semua temannya yang berjumlah tujuh belas orang untuk mengepung dan mengeroyok tiga orang tua itu.

Tiong Khi Hwesio melangkah keluar sambil tertawa. Sedangkan Kao Kok Cu saling pandang dengan Wan Ceng, dan keduanya tersenyum.

“Suamiku, kalau Tuhan menghendaki, biarlah kita berpisah di dunia ini untuk bertemu di alam lain.”

Kao Kok Cu mengangguk, tersenyum dan tangan mereka saling sentuh dengan mesra, penuh perasaan kasih sayang. “Selamat berpisah, isteriku.”

Mereka pun bergandeng tangan keluar mengikuti Tiong Khi Hwesio. Sejenak mereka berdua seolah-olah merasa sedang menjadi pengantin, melangkah perlahan di belakang seorang pendeta yang mengawinkan mereka, menuju ke tempat sembahyangan!

Setelah ketiga orang tua ini tiba di pekarangan, Sin-kiam Mo-li segera memberi isyarat kepada semua temannya dan tujuh belas orang itu lalu mengepung dua orang kakek dan seorang nenek yang berdiri saling membelakangi membentuk segi tiga.

“Bagaimana, Kao-taihiap? Apakah kita harus melayani mereka ini?” terdengar Tiong Khi Hwesio bertanya sambil tersenyum. Pertanyaan itu seolah-olah hendak menguji apakah jalan pikiran sahabatnya itu sama dengan pikirannya.

“Tentu saja,” jawab Kao Kok Cu tenang.

“Omitohud! Untuk apa?” Tiong Khi Hwesio mendesak.

“Pertama, sudah menjadi kewajiban kita untuk melindungi dan membela diri dari semua ancaman yang datang dari dalam mau pun luar, dan ke dua, sudah menjadi kewajiban kita pula sebagai orang-orang yang pernah mempelajari ilmu untuk mencegah terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang sesat,” kini yang menjawab adalah nenek Wan Ceng.

“Ha-ha-ha, bagus!” kata Tiong Khi Hwesio. “Tetapi, kita membela diri dan menghadapi mereka ini tanpa marah dan benci?”

“Tanpa marah dan benci!” kata kakek Kao Kok Cu dengan suara tegas.

Sementara itu, mendengarkan tiga orang tua itu bercakap-cakap seenaknya, dengan sikap acuh seakan-akan mereka sedang bercengkerama, bukan sedang dikepung dan diancam musuh, Sin-kiam Mo-li menjadi marah sekali. Ia menganggap tiga orang tua itu memandang rendah kepadanya dan teman-temannya, maka ia pun berteriak dengan suara lantang sekali.

“Serbuuuuu! Bunuh mereka...!”

Sin-kiam Mo-li sendiri sudah menggerakkan sepasang senjatanya, yaitu pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri, menyerang kepada kakek Kao Kok Cu karena ia tahu bahwa Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang buntung lengan kirinya inilah yang paling tangguh.

Sai-cu Sin-touw si Maling Sakti Muka Singa sudah cepat menyusulkan serangan pula dengan kedua tangannya, membantu Sin-kiam Mo-li. Namun dengan gerakan ringan dan halus, Kao Kok Cu dapat menghindarkan serangan mereka itu dengan elakan dan kebutan ujung lengan bajunya yang kiri dan kosong.

Ok Cin Cu dan Thian Kong Cinjin, dua orang tokoh Pat-kwa-kauw itu, segera menerjang Tiong Khi Hwesio dengan tongkat mereka. Tiong Khi Hwesio bergelak tertawa dan dia pun mencabut Cui-beng-kiam yang tadi sudah dipersiapkannya ketika mereka bertiga bersila menyambut datangnya rombongan tamu tak diundang itu. Terjadilah perkelahian antara dia dan dua orang pengeroyoknya yang lihai.

Wan Ceng juga sudah mencabut Ban-tok-kiam untuk menghadapi terjangan dua orang kakek tokoh Pek-lian-kauw, yaitu Thian Kek Sengjin yang bersenjatakan tongkat naga hitam dan Coa-ong Sengjin yang bersenjatakan seekor ular hidup dan dua orang ini menyerang dengan ganas. Akan tetapi nenek Wan Ceng menghadapi mereka dengan tenang. Pada wajahnya sedikit pun tidak terbayang kemarahan, sungguh jauh bedanya dengan wataknya di waktu yang lalu.

Sebelas orang anak buah Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw yang mengepung mereka juga telah memegang senjata masing-masing. Seorang di antara mereka mengeluarkan sebongkok hio (dupa biting), membakar ujungnya sampai membara, dan lalu membagi-bagikan hio itu, masing-masing mendapatkan tiga batang. Kemudian, tiga batang hio itu mereka pasang di kepala, diselipkan pada ikat kepala yang sudah mereka pakai.

Kemudian, sebelas orang itu memakai dupa di kepalanya ini lalu berlari-lari mengelilingi pertempuran itu sambil membaca mantera. Kiranya, seperti yang sebelumnya sudah mereka rencanakan, dipimpin oleh seorang pendeta Pek-lian-kauw, mereka membentuk sebuah barisan siluman yang mempergunakan kekuatan mantera dan ilmu hitam dari Pek-lian-kauw!

Barisan yang memupuk tenaga ilmu hitam ini berlari-larian, makin lama semakin cepat mengitari pertempuran itu, kemudian tiba-tiba membalik dan demikian berkali-kali sambil membaca mantera sampai muka mereka dipenuhi keringat dan kini ada sinar aneh pada pandang mata mereka seperti mata orang yang tidak sadar lagi, bahkan mulut mereka, yang masih berkemak-kemik itu kini mengeluarkan busa! Kiranya sebelas orang itu kini seperti dalam keadaan kesurupan. Mulailah mereka melakukan pengeroyokan kepada tiga orang tua dari Istana Gurun Pasir itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah si Bangau Putih

KISAH SI BANGAU PUTIH (BAGIAN KE-13 SERIAL BU KEK SIANSU)