KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-04
Saking mendongkolnya karena nafsu birahi sudah sampai ke ubun-ubunnya akan tetapi pemuda itu sedikit pun belum tersentuh, Sin-kiam Mo-li tanpa malu-malu lagi marah marah di depan dua orang kakek yang menjadi rekannya.
“Ha-ha-ha, Mo-li, dia seperti mayat saja? Ha-ha-ha, mungkin dia yang tolol ataukah engkau yang sudah terlalu tua!” kata Thian Kong Cinjin.
Kakek ini biasanya pendiam, sikapnya halus dan berwibawa, akan tetapi sekali ini dia mendongkol melihat sikap rekannya itu. Mereka benar berhasil membasmi Istana Gurun Pasir, akan tetapi juga kehilangan banyak anak buah. Sute-nya, Ok Cin Cu, juga tewas, dan wanita iblis itu hanya bersenang-senang saja melampiaskan nafsu birahinya, tanpa malu-malu di depannya lagi! Oleh karena itu, rasa dongkol itu membuat dia kini mampu mentertawakan Sin-kiam Mo-li.
Sin-kiam Mo-li memandang ke arah kakek itu dengan mata melotot. Dia marah sekali, akan tetapi dia pun maklum bahwa wakil ketua Pat-kwa-pai itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan, dan dia pun tidak ingin mencari keributan.
Dengan kasar ia pun mencengkeram tubuh Sin Hong dan dibawanya lari berloncatan ke tempat lain, menjauhi kedua orang kakek itu dan bersembunyi di balik semak-semak bunga di kebun itu. Dia tidak peduli mendengar suara ketawa dua orang kakek itu dan melempar tubuh Sin Hong ke atas rumput.
“Jika sekarang engkau tetap tak mau melayaniku, akan kupaksa kau sampai mampus!” desisnya.
Dan kembali dia membelai-belai dan merayu, bahkan kini Sin-kiam Mo-li mengerahkan kekuatan ilmu sihirnya pula untuk menguasai Sin Hong.
Di bawah sinar api unggun kecil yang dibuatnya, Sin Hong terbelalak melihat bahwa kini Sin-kiam Mo-li nampak masih muda dan amat cantik! Kembali darah mudanya tersirap dan mulai bangkit kembali gairah nafsu birahi di dalam dirinya secara wajar dan normal.
Sin-kiam Mo-li dapat mengetahui hal ini maka girangnya bukan main. Ia menciumi dan mengecupi seluruh tubuh Sin Hong dengan mulutnya, seperti seekor ayam mematuki beras, berusaha sebisa mungkin untuk mengobarkan gairah yang mulai nampak bangkit dalam diri pemuda itu.
Namun, Sin Hong mengerahkan batinnya, memusatkan perhatiannya kepada bayangan tiga orang gurunya dan sungguh aneh. Hawa di pusarnya menjadi semakin panas dan kini bergerak mengalir ke luar, berputaran melindungi seluruh tubuhnya dan perlahan lahan gairah yang menguasainya tadi menjadi lemah dan semakin padam. Betapa pun Sin-kiam Mo-li mengerahkan tenaga sihirnya, tetap saja kekuatan sihir itu membuyar ketika menguasai Sin Hong.
Pemuda ini mengerti bahwa kekuatan yang diterimanya dari tiga orang gurunya itu telah bekerja dan menyelamatkannya. Dia pun merasa girang sekali. Tenaga dari Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun telah memperlihatkan kehebatannya, padahal dia belum mengerahkan sinkang-nya, hanya mengerahkan kekuatan batin untuk menolak pengaruh aneh tadi. Kini, wajah yang nampak muda dan cantik sekali itu berubah menjadi seperti semula, wajah seorang wanita cantik yang mulai nampak tua.
Melihat betapa api gairah yang tadi telah mulai bernyala di tubuh pemuda itu mendadak menjadi padam kembali, bukan main marahnya Sin-kiam Mo-li. Ia marah tetapi juga heran, dan merasa terhina! Selama ini, jarang ada pemuda yang ditawannya mampu menolak hasratnya, baik secara suka rela atau pun dipengaruhi sihirnya.
Tapi pemuda ini, pemuda lemah yang sama sekali tidak pandai silat, dapat menghadapi sihirnya dengan tenang saja dan sama sekali tidak terpengaruh! Dia sungguh merasa terhina, bukan saja ia merasa ditolak seorang laki-laki, akan tetapi juga sihirnya seperti tidak manjur.
Karena kecewa dan marah, sedangkan nafsu birahi telah membakar dirinya dan naik ke ubun-ubunnya, Sin-kiam Mo-li menjadi seperti gila. Wanita tua ini mulai menampari Sin Hong, mencakar, menggigit, di samping terus merayu sampai akhirnya tubuh Sin Hong penuh dengan luka cakaran dan tamparan.
Dan akhirnya pemuda ini tidak kuat lagi dan roboh pingsan di atas rumput! Sedangkan Sin-kiam Mo-li terengah-engah, kelelahan dan ia pun akhirnya tertidur dalam keadaan kehabisan tenaga dan hampir pingsan dibakar nafsu yang dikobarkannya sendiri.
Ketika Sin Hong siuman, malam sudah amat larut, antara tengah malam dan fajar. Dia merasa betapa hawa dingin menyusup ke dalam tulang-tulangnya melalui kulit tubuhnya yang tidak tertutup pakaian, juga ada rasa perih karena luka-lukanya. Ketika membuka mata dan melihat bahwa dia rebah terlentang di atas rumput, dan tidak jauh dari situ rebah pula tubuh Sin-kiam Mo-li yang mendengkur lirih, tahulah dia bahwa wanita itu telah tidur nyenyak karena kelelahan.
Inilah kesempatan baik baginya, pikir Sin Hong. Dua orang kakek itu pun tidak nampak, agaknya tidur di bagian lain dari kebun itu dan malam itu cukup gelap, tidak ada bintang nampak di langit yang tertutup awan hitam.
Dengan hati-hati sekali Sin Hong mengambil pakaiannya yang tadi direnggut lepas semua dari tubuhnya oleh Sin-kiam Mo-li, dan melihat dua batang pedang yang berada di dekat Sin-kiam Mo-li, ingin dia mengambilnya. Akan tetapi, seperti orang yang selalu siap siaga, lengan kanan Sin-kiam Mo-li berada di atas pedang itu sehingga Sin Hong tidak berani melanjutkan niatnya.
Apa lagi, dia tidak membutuhkan pedang. Tiga orang gurunya telah menggemblengnya sedemikian rupa sehingga dia tidak membutuhkan senjata pelindung diri lagi. Pula, dari para gurunya dia mendengar bahwa pedang Ban-tok-kiam dan pedang Cui-beng-kiam merupakan dua batang pedang yang amat jahat, mengandung racun yang amat ampuh dan telah minum darah dan mencabut nyawa entah berapa ribu orang! Dia tidak ingin memiliki dua batang pedang itu dan kalau tadi timbul niatnya mengambil, hanya karena dia teringat bahwa Ban-tok-kiam milik subo-nya (ibu gurunya) sedangkan Cui-beng-kiam milik Tiong Khi Hwesio, salah seorang di antara dua gurunya yang laki-laki.
Tanpa mengenakan pakaiannya lebih dahulu, hanya membawanya saja, Sin Hong lalu meninggalkan Sin-kiam Mo-li dan keluar dari kebun itu. Dia tahu bahwa dia harus dapat cepat-cepat pergi karena kalau sampai diketahui ketiga orang iblis itu, tanpa dia dapat mempergunakan ilmu berlari cepat, kalau hanya berlari biasa saja, tentu akan segera dapat disusul, apa lagi melalui daerah gurun pasir yang kering, tanpa adanya hutan atau bahkan tumbuh-tumbuhan untuk menyembunyikan diri.
Akan tetapi, dia mengenal benar daerah di sekitar gurun pasir itu dan dia tahu di mana letaknya bukit terdekat, bukit yang penuh hutan, yaitu di sebelah barat, dari situ tidak nampak karena tertutup oleh bukit-bukit gurun pasir. Orang lain yang tidak mengenal daerah itu dengan baik, seperti tiga orang jahat itu, sudah mengambil jalan ke selatan, jalan yang teraman karena jalan ke selatan itu menuju ke daerah tanah keras. Padahal, menuju ke bukit di barat itu lebih dekat dibandingkan jarak menuju ke selatan.
Perhitungan Sin Hong ternyata tepat. Ketika Sin-kiam Mo-li terbangun dan tidak melihat pemuda itu, tentu saja ia marah sekali. Kemarahannya semakin memuncak ketika dua orang tosu itu mentertawakannya. Dia pun mengajak mereka untuk segera melakukan pengejaran.
“Akan kusiksa dia dan kurobek kulitnya, kemudian kucabut jantungnya!” Wanita iblis itu mengancam dengan muka merah sekali.
Pemuda itu tidak saja telah menolak untuk melayaninya, bahkan ilmu sihirnya pun tidak mempan, dan kini tahu-tahu telah melarikan diri. Dan seperti diperhitungkan oleh Sin Hong, tiga orang lihai itu melakukan pengejaran secepatnya menuju ke selatan.
Tentu saja mereka tidak berhasil menyusul Sin Hong yang telah tiba di bukit sebelah barat dengan aman. Dia memasuki hutan yang memenuhi bukit itu, hutan lebat yang jarang didatangi manusia karena selain hutan ini amat liar, juga letaknya begitu jauh dari kota dan dusun. Ketika Sin Hong berkeliaran di dalam hutan yang memenuhi seluruh perbukitan di daerah itu, dia melihat banyak binatang hutan dan pohon-pohon yang menghasilkan buah-buahan maka dia pun mengambil keputusan untuk bersembunyi terus di dalam tempat ini sampai pertapaannya selama setahun itu lewat.
Di tempat ini, dia tak akan mengalami gangguan manusia dan dia dapat melaksanakan tapanya dengan aman. Dia pun memilih sebuah goa untuk dijadikan tempat tinggal, dan beberapa bulan kemudian, dalam perantauannya menjelajahi perbukitan itu, dia hanya menemukan beberapa orang pertapa saja tinggal di tempat-tempat tersembunyi.
Ada yang tinggal di dalam goa, ada yang membuat pondok sederhana. Mereka adalah orang-orang yang mengasingkan diri dan menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat ramai. Ada yang bertapa untuk melarikan diri dan pertapaan itu hanya merupakan suatu pelarian dari keadaan hidup yang serba tidak menyenangkan, ada pula yang bertapa dengan pamrih memperoleh sesuatu dari hasil pertapaannya, yang pada hakekatnya juga merupakan pelarian dari suatu keadaan yang tidak disukainya untuk mendapatkan suatu keadaan yang diharapkan dan dibayangkan akan mendatangkan kesenangan bagi dirinya.
Sin Hong tinggal dengan aman di dalam goa yang agak terpencil untuk menyelamatkan dirinya. Sungguh berat Ilmu Pek-ho Sin-kun yang diterimanya dari tiga orang gurunya itu, karena selama setahun, ia sama sekali tak boleh mengerahkan sinkang dan karena itu tentu saja dia terancam bahaya.
Untung baginya bahwa ketika menjadi tawanan Sin-kiam Mo-li, dia berhasil meloloskan diri. Jika tidak, ia tentu akan menjadi korban kekejaman tiga orang iblis itu. Keadaannya serba salah. Untuk melawan, terpaksa dia mengerahkan sinkang dan dia akan tewas pula, seperti yang dipesankan oleh tiga orang gurunya. Tidak melawan, akhirnya dia akan mereka bunuh!
Demikianlah, selama setahun Sin Hong bersembunyi di dalam hutan itu, dan memenuhi pesan tiga orang gurunya. Setiap hari dia bersemedhi, melatih diri untuk menguasai hawa sakti yang bergelora di dalam tubuhnya sampai akhirnya dia berhasil menguasai dan mengendalikan hawa sakti itu, dapat mempergunakan sesuai dengan kehendaknya.
Bahkan kemudian ketika dia berlatih Silat Pek-ho Sin-kun setiap gerakannya dapat mengatur tenaga sakti sesuai dengan takarannya. Kini, bahaya dari hawa sakti itu bagi dirinya sendiri lenyap dan dia pun kini menjadi seorang yang amat lihai.
Pada hari terakhir dia berada di dalam hutan itu, dia berlatih Silat Pek-ho Sin-kun dan kalau saja tiga orang gurunya bisa menyaksikannya, tentu mereka akan merasa bangga bukan main. Pemuda itu bersilat dengan tangan kosong, gerakannya nampak perlahan saja, namun pohon-pohon di sekelilingnya seperti dilanda angin taufan, dan di lain saat, gerakan-gerakannya sama sekali tidak menggerakkan daun-daun pohon, namun ketika jari tangannya yang terbuka menyentuh batang pohon, batang pohon itu seperti dibabat dengan pedang tajam dan tumbang!
Sin Hong sendiri terkejut melihat hasil ini, juga girang namun berjanji pada diri sendiri untuk berhati-hati menggunakan Pek-ho Sin-kun karena ternyata merupakan gabungan ilmu-ilmu yang amat ampuh dan akibatnya dapat mengerikan bagi lawannya.
Akhirnya dia pergi meninggalkan perbukitan itu dengan pakaian compang-camping oleh karena selama setahun dia tidak dapat berganti pakaian, kecuali kadang-kadang kalau pakaiannya dicuci, dia mengenakan cawat dari kulit batang pohon.....
********************
Biar pun pakaiannya compang-camping, namun Sin Hong nampak gagah. Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir tebal dan dikalungkan di lehernya. Bajunya sudah penuh tambalan dan terbuka di bagian dada atas, memperlihatkan dadanya yang bidang dan kulit dadanya yang kemerahan karena ditimpa sinar matahari yang terik.
Wajah pemuda berusia dua puluh dua tahun ini tidak tampan akan tetapi juga tidak buruk, namun sinar matanya lembut dan mulutnya selalu tersenyum ramah dan dua hal inilah yang mendatangkan daya tarik dan kesejukan pada wajahnya. Bentuk tubuhnya sedang saja, namun di balik kulit itu terdapat kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan, namun yang membuat tubuhnya kokoh seperti batu karang.
Dengan mempergunakan ilmunya berlari cepat, pemuda ini melakukan perjalanan ke selatan, melewati gurun pasir. Gurun itu sepi sekali dan ini menguntungkan Sin Hong yang dapat melakukan perjalanan secepatnya. Kalau di situ lalu lintasnya ramai, tentu keadaannya akan menarik perhatian orang. Bukan hanya pakaiannya yang compang-camping seperti jembel, akan tetapi juga larinya yang cepat bagaikan terbang itu.
Tujuan perjalanannya sudah jelas. Pertama, dia akan pergi ke kota Ban-goan, yaitu kota kelahirannya untuk menyelidiki mengenai kematian ayahnya setelah terlebih dahulu dia menyelidiki ke Tuo-lun di mana ayahnya tewas dalam sebuah hutan di luar kota Tuo-lun seperti yang didengarnya dari Tiong Khi Hwesio.
Kemudian, setelah urusannya selesai, dia akan berkunjung ke kota Pao-teng, mencari suheng-nya, yaitu Kao Cin Liong, putera tunggal suami isteri Kao Kok Cu dan Wan Ceng yang menjadi gurunya, untuk mengabarkan tentang tewasnya dua orang tua itu dan terbasminya Istana Gurun Pasir.
Karena dia mempergunakan ilmu berlari cepat, maka dalam beberapa hari saja dia pun sudah tiba di Tuo-lun. Dia lalu melakukan penyelidikan dan bertanya-tanya kepada para piauwsu yang berada di kota ini.
Akan tetapi, semua orang yang ditanya tidak ada yang dapat memberi keterangan lebih jelas dari pada apa yang sudah pernah didengarnya dari Tiong Khi Hwesio, yaitu bahwa mendiang ayahnya bersama sepuluh orang anak buahnya kedapatan tewas semua di dalam hutan di selatan kota Tuo-lun itu.
Dia pun segera mencari hutan itu dan pada suatu pagi, dia menemukan gundukan tanah kuburan yang cukup tinggi di dalam hutan. Sin Hong berdiri di depan tanah kuburan itu dan membaca tulisan yang diukir dengan kasar pada sebuah batu yang besar dan yang ditaruh di depan kuburan.
Terbaca nama ayahnya sebagai piauwsu, karena bunyi tulisannya hanya ‘Kuburan Tan Piauwsu bersama sepuluh orang temannya’.
Sin Hong merasa terharu. Tentu gurunya, Tiong Khi Hwesio itu yang sudah mengubur ayahnya, dikubur menjadi satu di tempat ini. Ia pun lalu berlutut memberi hormat kepada makam ayahnya.
Sin Hong pergi meninggalkan hutan itu dan melanjutkan perjalanan. Dia tidak berhasil mendapat keterangan yang berharga di Tuo-lun. Harapannya kini tinggal penyelidikan ke kota kelahirannya di Ban-goan. Ia akan menyelidiki dan mencari Tang-piauwsu yang dulu menjadi wakil dan pembantu utama ayahnya. Mudah-mudahan saja Tang-piauwsu berhasil lolos dari kejaran para perampok berkedok itu, pikirnya. Kalau Tang-piauwsu juga tewas, sukarlah baginya untuk menyelidiki siapa gerangan para perampok itu dan siapa pula yang membunuh ayah ibunya.
Pada suatu hari, tibalah dia di Tembok Besar, tempat penyeberangan para pedagang dan pengawal kalau hendak ke luar Tembok Besar. Matahari telah naik tinggi dan Sin Hong berhenti sebentar sambil menghapus keringatnya dengan ujung baju yang sudah compang-camping itu.
Keadaan di situ sunyi sekali. Hanya beberapa hari saja dalam sebulan jalan itu ramai dilalui rombongan pedagang. Kini, para pedagang hanya berani melakukan perjalanan membawa barang-barang mereka secara rombongan, dikawal oleh para piauwsu yang kuat karena akhir-akhir ini timbul banyak perampok di daerah perbatasan itu.
Dari tempat yang agak tinggi itu Sin Hong mengamati ke arah selatan. Kembali dia mengenang perjalanannya bersama ibunya menyusul ayahnya di Tuo-lun, dikawal oleh Tang-piauwsu. Lalu teringatlah dia akan pendapat nenek Wan Ceng, subo-nya setelah mendengar akan semua peristiwa yang menimpa dirinya.
Nenek yang cerdik itu menyatakan kecurigaannya kepada Tang-piauwsu! Dia tak begitu ingat lagi bagaimana sikap Tang-piauwsu terhadap keluarganya dan dia pun tak begitu yakin akan kebenaran persangkaan subo-nya itu. Akan tetapi, bagaimana pun juga, dia akan menyelidiki dengan cermat dan hati-hati agar jangan sampai menuduh orang yang tidak bersalah.
Selagi dia termenung, tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya belasan orang dari balik tembok dan batu-batu besar. Mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai tampang menyeramkan. Sikap mereka kasar, serta tangan mereka memegang golok telanjang dan memandang kepadanya dengan alis berkerut dan penuh ancaman ketika mereka berloncatan menghampirinya.
Diam-diam Sin Hong merasa girang. Mereka ini, dilihat dari sikapnya, tentulah sebangsa perampok dan agaknya dia menemukan jejak pertama untuk bahan penyelidikannya. Maka dia pun menanti dengan tenang dan memperhatikan laki-laki yang berada paling depan. Tentu dia kepalanya, pikirnya.
Laki-laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan berkumis lebat sekali, sekepal sebelah, dengan jenggot pendek tebal. Tubuhnya tinggi besar bagaikan raksasa dan mukanya yang sebagian bawah tertutup jenggot dan kumis itu berkulit hitam. Matanya melotot lebar dan garang.
“Keparat!” Tiba-tiba kepala perampok itu menyumpah-nyumpah setelah dia berhadapan dengan Sin Hong, matanya yang lebar melotot memandang pemuda itu dari atas ke bawah, melihat pakaiannya yang compang-camping. “Kukira belut gemuk yang lunak dagingnya, kiranya hanya seekor cacing!”
Para anggota perampok tertawa mendengar makian kepala perampok itu. Mereka tadi melihat munculnya seorang laki-laki dari jauh, kemudian mereka bersembunyi, dan lalu keluar untuk menyergap calon korban itu. Sudah sebulan ini mereka tidak memperoleh mangsa dan dalam keadaan haus mereka telah bergembira melihat munculnya seorang calon mangsa. Siapa kita, orang itu hanyalah seorang jembel muda yang sama sekali tidak dapat diharapkan memiliki sesuatu yang berharga.
“Ha-ha-ha, cacing juga cacing kurus pula, kulitnya pun tidak ada harganya satu sen!” kata seorang di antara mereka.
“Toako, kita bunuh dan cincang saja daging dan tulangnya supaya menjadi santapan anjing-anjing hutan!” kata seorang perampok lainnya.
Dengan sikap buas dan beringas, belasan orang itu sudah maju mengepung Sin Hong dan mereka pun merasa heran mengapa pemuda itu tidak berlutut dan menangis minta ampun. Sebaliknya, pemuda itu malah tersenyum menghadapi kepala perampok itu dan kini Sin Hong berkata lembut,
“Kalian ini memang seperti anjing-anjing hutan kelaparan. Akan tetapi kebetulan sekali kalian datang, karena aku ingin minta keterangan dari kalian. Kuharap kalian suka memberi tahu kepadaku apakah kalian tahu tentang gerombolan perampok yang suka memakai kedok. Nah, katakanlah dan aku yang berterima kasih tak akan mengganggu kalian selanjutnya!”
Para perampok itu saling pandang dan ada di antara mereka yang tertawa bergelak, merasa lucu karena sikap pemuda itu seakan-akan mengancam mereka! Akan tetapi kepala perampok itu menjadi marah bukan main. Matanya semakin lebar melotot ketika dia membentak.
“Cacing tanah busuk! Berani kau membuka mulut besar? Engkau tidak tahu berhadapan dengan siapa, keparat! Aku adalah Hek-san-coa (Ular Gunung Hitam) dan bersama kawan-kawanku, kami terkenal di seluruh Tembok Besar!”
Sin Hong tersenyum mengejek. “Kebetulan sekali! Engkau adalah ular hitam, dan aku adalah Pek-ho (Bangau Putih) yang kelaparan. Bolehlah si bangau makan si ular untuk membersihkan daerah ini!”
Tentu saja ucapan pemuda itu mendatangkan kemarahan besar kepada belasan orang itu. Pemuda jembel begini berani menentang mereka, bahkan barusan menghina kepala perampok! Padahal mereka adalah gerombolan yang ditakuti semua orang dan amat terkenal bagi para pedagang dan pengawal yang suka lewat di situ.
“Toako, biarkan aku menyembelih tikus ini!” bentak salah seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus dengan mata sipit dan muka kuning pucat.
Tanpa menanti jawaban pemimpinnya, si tinggi kurus ini telah menggerakkan goloknya, membacok ke arah Sin Hong dengan cepat dan kuat sekali. Agaknya orang ini hendak membuktikan ancamannya, sekali tebas menyembelih leher pemuda yang sudah berani menghina mereka itu.
Namun, tentu saja serangan ini terlampau lamban dan terlampau lemah bagi seorang pemuda gemblengan seperti Sin Hong, tiada ubahnya permainan kanak-kanak saja. Dia menundukkan kepala untuk membiarkan golok lewat di atas kepalanya. Dan begitu dia menggerakkan tangan, jari tangannya sudah menotok ke bawah siku lengan dan begitu golok terlepas, dia sudah menyambar golok itu yang langsung dia luncurkan ke bawah, tapi sengaja dia balikkan sehingga punggung golok yang tidak tajam menghantam lutut si tinggi kurus.
“Takkk...! Aduuuhhhhh...!”
Si tinggi kurus terjungkal dan meloncat lagi, berloncatan dengan kaki kanan, sedangkan dua tangannya memegang lutut kirinya yang terasa nyeri bukan main. Saking nyerinya, dia roboh lagi, memijit-mijit tulang kering di bawah lututnya.
Tulang kering dipukul golok, biar hanya punggung golok, akan tetapi besi yang berat itu tentu saja cukup membuat tulang keringnya retak dan nyerinya sampai menusuk ke tulang sumsum! Sin Hong melempar golok itu ke atas tanah sampai ke gagangnya!
Terkejutlah semua perampok, terkejut dan marah. Tak mereka sangka bahwa pemuda jembel itu pandai ilmu silat, bahkan demikian lihainya sehingga dalam segebrakan saja telah membuat si tinggi kurus itu roboh tak berdaya. Hanya satu gebrakan saja! Hampir mereka tidak percaya dan menganggap bahwa hal itu hanya suatu kebetulan saja. Akan tetapi, kemarahan melihat seorang temannya terluka membuat mereka marah dan ganas seperti ikan-ikan hiu mencium darah.
“Jembel busuk, mampuslah!” teriak seorang yang gemuk pendek dengan perut gendut dan orang ini yang berdiri di belakang Sin Hong, sudah membacokkan goloknya dari atas ke bawah, mengarah kepala pemuda itu. Kalau terkena sasaran itu tentu kepala itu terbelah dua dan isi kepala akan berhamburan.
Namun, tanpa menoleh, hanya dengan mengandalkan pendengarannya yang tajam, Sin Hong miringkan tubuhnya. Golok yang menjadi sinar terang itu menyambar lewat dan tangannya bergerak ketika tubuhnya diputar membalik tanpa mengubah kedudukan dua kaki dan di lain saat, golok itu sudah pindah tangan karena pemegangnya merasa lengannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu apa yang telah terjadi, golok itu, dengan terbalik, menyambar kakinya.
“Takkk...! Auuuwww... aduhhh... aduhhhh...!”
Dan dia pun berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari, kaki kanannya diangkat dan kaki kiri berloncatan seperti halnya orang pertama, kemudian dia pun jatuh terjungkal, memijiti lutut kanannya yang terpukul punggung golok.
Kini para perampok itu mengeroyok Sin Hong dengan serangan golok mereka! Sin Hong kembali sudah melempar golok rampasannya setelah tadi mengetuk lutut lawan. Golok meluncur dan menancap di batu sampai ke gagangnya, kemudian dengan kedua tangan kosong dia menghadapi pengeroyokan para perampok itu.
Hebat sekali sepak terjang Sin Hong. Tubuhnya sudah demikian peka sehingga seolah-olah di mana-mana tubuhnya memiliki mata dan mampu mengelakkan setiap serangan. Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun tidak dipergunakannya karena dia tidak ingin memperlihatkan ilmu itu kalau tidak penting sekali.
Akan tetapi ilmu-ilmu silat yang tinggi-tinggi sudah mendarah daging dengan tubuhnya. Maka tiap kali ia mengelak sambil menyerang, sudah pasti yang menyerangnya berbalik roboh sambil mengaduh-aduh. Ada yang tulang kakinya retak, tulang pundaknya patah, atau lengannya terkilir.
Satu demi satu mereka roboh. Tak seorang pun tewas, akan tetapi tidak seorang pun mampu bangkit atau ikut mengeroyok lagi. Sin Hong hanya berdiri di tempat tadi, tidak melangkah jauh, hanya mengubah kedudukan kuda-kuda kaki sesuai dengan serangan lawan. Dia menanti lawan menyerang, kemudian menghadapi serangan dan sekaligus merobohkannya.
Melihat dalam sekejap mata saja lebih dari setengah jumlah orangnya roboh, kepala perampok itu marah bukan main. “Bocah setan, akulah lawanmu!”
Melihat kepala perampok sendiri yang maju, enam orang sisa anak buah perampok yang belum roboh segera mundur, memberi kesempatan kepada pemimpin mereka. Kepala perampok itu memegang sebatang golok yang besar dan tebal, nampak amat berat, tanda bahwa dia memiliki tenaga besar.
Dengan mata melotot dia menghadapi Sin Hong. Sekarang dia tak memandang rendah setelah melihat betapa pemuda itu dengan mudah mampu merobohkan tujuh orang anak buahnya. Dia ingin tahu siapa adanya pemuda jembel yang lihai ini karena belum pernah dia mendengar, apa lagi melihat tentang pemuda ini.
“Bocah setan, siapakah engkau sesungguhnya?” bentaknya.
Sin Hong tersenyum. Tidak ada gunanya berkenalan dengan segala macam perampok seperti ini, pikirnya.
“Engkau Ular Gunung Hitam, dan aku si Bangau Putih. Nah, lekas katakan saja tentang perampok yang berkedok itu, dan aku akan pergi dengan aman.”
“Bangsat sombong! Jangan mengira engkau akan dapat terlepas dari hukuman golok keramatku!” Dan kepala perampok itu pun sudah memutar goloknya.
Golok yang besar dan berat itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar yang berdesing-desing mengerikan. Akan tetapi sikap Sin Hong tetap tenang, hanya menanti kepala perampok itu melakukan serangan. Kepala perampok itu tak segera menyerang karena sesungguhnya dia pun mulai merasa jeri melihat kelihaian pemuda itu.
Maka sekarang dia pun berseru kepada enam orang anak buahnya yang belum roboh. “Kepung, keroyok dan kita bunuh dia! Cincang badannya!”
Melihat betapa kini pemimpin mereka sendiri yang maju, enam orang itu pun berbesar hati dan mereka segera menyerang dari semua jurusan, menghujankan serangan golok mereka ke arah tubuh Sin Hong. Kepala perampok itu pun ikut pula menyerang!
Kembali Sin Hong dikeroyok, sekali ini lebih hebat dari pada yang tadi. Akan tetapi, Sin Hong tetap tenang dan bersikap menanti. Setiap kali serangan datang, dia mengelak sambil terus merobohkan penyerangnya, dengan tangan, kaki atau punggung golok.
Akibatnya sama saja. Yang terkena tamparan tangannya, tentu akan patah tulang iga atau tulang pundak, yang tertendang patah tulang kaki. Dalam waktu hanya beberapa menit saja, enam orang sisa anak buah itu pun sudah roboh semua.
Kepala perampok yang licik itu tadi hanya menyerang dengan hati-hati saja untuk turut mengeroyok sehingga dia belum sampai dirobohkan. Kini, melihat betapa semua anak buahnya roboh, tanpa banyak cakap lagi dia pun cepat membalikkan tubuh dan hendak melarikan diri! Melihat ini, Sin Hong memungut sebatang golok yang tercecer, kemudian menyambitkan golok itu.
“Ceppp...!”
Kepala perampok itu mengeluh dan roboh dengan punggung ditembusi golok. Tidak seperti anak buahnya, dia pun tewas seketika. Sin Hong sengaja membunuhnya, karena dia berpendapat bahwa kalau kepala perampok itu tidak dibunuh, akan percuma saja menasihati anak buahnya untuk bertobat. Kepala perampok itu tentu akan memaksa anak buahnya untuk merampok lagi dan dengan adanya kepala perampok yang ganas dan jahat, maka anaknya pun akan menjadi lebih berani.
Tiga belas anak buah perampok itu masih rebah atau duduk sambil mengaduh-aduh kesakitan. Wajah mereka semua berubah pucat ketika mereka melihat betapa pemimpin mereka tewas dan kini pemuda yang amat perkasa itu menghampiri mereka.
“Nah, sekarang kalian katakan padaku, siapakah gerombolan perampok berkedok yang pada beberapa tahun yang lalu merajalela di sini, bahkan telah membunuh Tan-piauwsu dari Ban-goan, dan menyerang pula Tang-piauwsu. Hayo ceritakan yang benar, kalau tidak, terpaksa akan kubunuh kalian semua seperti yang sudah aku lakukan terhadap pemimpinmu ini!”
Para perampok itu saling pandang dengan bingung dan ketakutan, akan tetapi seorang di antara mereka, yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, dan menderita patah tulang pundaknya, segera bangkit dan berkata kepada Sin Hong.
“Harap Taihiap (Pendekar Besar) sudi memaafkan kami orang-orang kasar yang tidak mengenal orang pandai dan berani kurang ajar. Kiranya di antara kami hanya saya saja yang tahu akan perampok-perampok berkedok yang delapan tahun yang lalu merampok dan membunuh Tan-piauwsu dari Ban-goan karena pada waktu itu, saya kebetulan melihatnya dari jauh.”
Bukan main girang rasa hati Sin Hong mendengar ini dan dia pun cepat menghampiri orang itu. “Bagus sekali! Ceritakan bagaimana terjadinya dan siapa mereka itu, siapa pula pemimpin mereka!”
Orang itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala.
“Sungguh menyesal sekali saya sendiri tidak mengenal mereka, Taihiap. Saya melihat rombongan Tan-piauwsu dihadang dan diserang oleh dua puluh orang lebih orang yang mengenakan kedok, merampas barang yang dikawalnya dan membunuh Tan-piauwsu dan kawan-kawannya. Kemudian mereka melarikan diri menunggang kuda. Hanya ada satu hal penting yang dapat saya ceritakan, yaitu sebelum penghadangan itu terjadi, saya melihat rombongan perampok itu tadinya mengenakan pakaian seperti rombongan piauwsu. Mereka berhenti di dalam hutan, mengganti pakaian dan mengenakan kedok. Maka, saya menduga bahwa gerombolan itu agaknya hanya perampok palsu saja, Taihiap, penyamaran dari rombongan piauwsu.”
Sin Hong mengerutkan alisnya. Agaknya tepat dugaan mendiang subo-nya, pikirnya. Jangan-jangan Tang-piauwsu yang merencanakan semua itu, untuk merampas barang kawalan yang berharga. Akan tetapi mengapa Tang-piauwsu sendiri kemudian dihadang perampok berkedok? Apakah itu juga hanya siasatnya saja, untuk membunuh dia dan ibunya? Benarkah seperti yang diduga oleh subo-nya yang cerdik itu?
“Engkau masih ada penjelasan lain lagi?” tanyanya.
Perampok itu menggeleng kepalanya. Akan tetapi, keterangan itu cukup penting bagi Sin Hong dan sudah cukup banyak pula. Dia harus menyelidiki ke Ban-goan.
Sin Hong teringat bahwa dia tidak mempunyai bekal, juga bahwa pakaiannya haruslah diganti, maka dia lalu berkata kepada mereka.
“Kalian sudah biasa merampok orang, sekarang aku membutuhkan uang. Berikan uang yang ada pada kalian kepadaku!”
Perampok yang memberi keterangan tadi lalu berkata, “Kami tidak mempunyai banyak uang, Taihiap. Sedikit harta yang kami terima dari ketua kami biasanya cepat habis untuk foya-foya. Akan tetapi saya yakin pemimpin kami itu memiliki barang berharga.” Dia lalu menghampiri mayat kepala perampok, dan tak lama kemudian menghampiri Sin Hong sambil membawa sebuah pundi-pundi kecil terisi uang emas dan perak!
Akan tetapi Sin Hong tidak membutuhkan uang sebanyak itu. Sebagian dia bagi-bagikan kepada para anggota perampok sambil berkata, “Kali ini aku masih memaafkan kalian dan hanya membunuh pemimpin kalian. Akan tetapi lain kali kalau aku melihat kalian masih merampok, terpaksa aku akan membasmi kalian. Kuharap kalian suka menyadari bahwa pekerjaan merampok itu terkutuk, dan sekali waktu kalian pasti akan menerima hukuman, baik itu dari pasukan keamanan, dari para pendekar atau setidaknya, sudah pasti akan datang hukuman dari Tuhan! Bertobatlah dan ubahlah jalan hidup kalian. Jika kalian mau bekerja, tentu kalian akan dapat mencari makan. Nah, selamat tinggal!”
“Nanti dulu, Taihiap!” teriak orang tua yang tadi memberi keterangan. “Kami ingin sekali bertobat dan mengubah jalan hidup kami, akan tetapi kami ingin lebih dahulu mengenal siapakah Taihiap?”
Sin Hong tersenyum. “Sebut saja aku si Bangau Putih.”
Begitu dia berkelebat, bayangannya lenyap di antara pohon-pohon dan meninggalkan orang-orang itu yang menjadi bengong saking heran dan kagum mereka. Mulai peristiwa ini dan seterusnya, dunia kang-ouw mulai mengenal nama Pek Ho Enghiong (Pendekar Bangau Putih) karena memang Sin Hong jarang memperkenalkan namanya sendiri dan sepak terjangnya seperti seekor burung bangau putih yang menyambar dan melayang-layang.
Memang dia suka sekali mengenakan pakaian putih. Setelah dia mempunyai uang dan berkesempatan membeli pakaian, dia membeli pakaian yang sederhana, berwarna putih dengan garis pinggir berwarna kuning atau biru. Dan dengan pakaian putih ini, semakin terkenallah julukan Si Bangau Putih.....
********************
Kota Ban-goan tidaklah besar. Akan tetapi karena kota ini merupakan kota yang menjadi awal penyeberangan ke luar Tembok Besar, maka kota ini dikunjungi banyak pedagang yang ingin membawa barang dagangannya menyeberang lewat Tembok Besar.
Perusahaan piauwkiok (ekspedisi) yang mengawal barang dagangan juga makin subur dan sibuk. Banyak terdapat perusahaan ekspedisi atau pengawal di kota ini, dan satu di antaranya, yang terkenal dan dipercaya orang, adalah perusahaan piauwkiok yang dulu dipimpin oleh Tan-piauwsu.
Tidak sukar bagi Sin Hong untuk menemukan Tang-piauwsu, yaitu orang yang sedang dicarinya. Tang-piauwsu ternyata masih melanjutkan pekerjaan ayahnya, melanjutkan perusahaan ekspedisi yang dahulu dipegang ayahnya, dan Sin Hong masih belum lupa akan rumah bekas tempat tinggal orang tuanya itu.
Tidak banyak perubahan pada rumah itu yang bagian depannya merupakan kantor, juga papan nama Peng An Piauwkiok (Kantor Ekspedisi Selamat) masih tergantung di depan kantor. Bahkan rumah itu kini nampak butut dan seolah-olah tidak terpelihara lagi. Dua orang kuli tua duduk di depan kantor, di atas bangku reyot dan melihat mereka berdua mengobrol sambil menghisap rokok dapat diketahui bahwa perusahaan itu sepi saja.
Sin Hong masih ingat kepada dua orang kuli tua ini, walau pun dia tidak tahu lagi siapa nama mereka. Tulang-tulang menonjol di balik kulit yang menjadi keras karena kerja berat itu menambah bayangan kemiskinan diderita dua orang ini.
Melihat ada seorang pemuda menghampiri kantor itu, dua orang kuli ini cepat bangkit memberi hormat dan kegembiraan membayang di wajah mereka, kegembiraan penuh harap untuk mendapatkan pekerjaan yang mendatangkan hasil bagi mereka.
“Selamat pagi, Tuan Muda. Apakah Tuan Muda hendak mengirim barang yang perlu pengawalan?” tanya seorang di antara mereka penuh harapan.
Begitu mudahnya membaca kegembiraan penuh harapan membayang di wajah mereka sehingga Sin Hong merasa terharu. Melihat rumah ini, bertemu dengan dua wajah tua yang tidak asing ini, mendatangkan kenangan lama dan mengingatkan dia akan ayah ibunya yang sudah tiada.
Pohon cemara itu masih tumbuh di samping rumah dan dia masih mengenal cabang-cabangnya yang kini semakin besar dan tinggi. Juga batu besar di bawahnya, di mana dahulu dia sering kali bermain di atasnya. Hatinya terharu, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan perasaan hatinya dan dia masih tersenyum ramah ketika menjawab,
“Ji-wi Lopek (Paman Tua Berdua), aku ingin bertemu dengan Tang-piauwsu. Apakah dia berada di sini?”
Dahulu, delapan tahun yang lalu, Tang-piauwsu merupakan pembantu utama ayahnya dan pengawal ini dahulu adalah seorang bujangan berusia tiga puluh tahun lebih, tidak berkeluarga dan tinggalnya mondok pula di rumah ayahnya. Tentu kini ia sudah berusia empat puluh tahun.
Sin Hong ingin sekali tahu apakah pengawal itu masih tinggal di situ ataukah pindah ke rumah lain dan hanya berkantor di situ. Diam-diam dia menjadi gelisah, jangan-jangan Tang-piauwsu sudah tiada, tewas pula ketika mengawal dia dan ibunya dan kemudian dikeroyok oleh para perampok berkedok. Tetapi jawaban orang itu melegakan hatinya.
“Tang-piauwsu? Tentu saja dia berada di sini, Kongcu. Kongcu hendak bicara tentang pesanan pengawalan? Biar saya panggilkan dia, tentu sedang berada di bagian dalam rumahnya. Akhir-akhir ini kesehatannya sering kali terganggu.”
Dua orang itu lalu masuk ke dalam setelah mempersilakan Sin Hong duduk menanti di bangku yang terdapat di dalam kantor itu. Sin Hong duduk sambil mengamati keadaan kantor itu.
Seingatnya, kantor ini dahulu lebih bersih dan lebih banyak mejanya, dan sedikitnya ada lima orang piauwsu yang duduk di situ melayani tamu. Juga ada sedikitnya lima orang kuli yang menerima barang-barang kemudian menyimpannya ke dalam gudang sebelum dikirimkan. Akan tetapi sekarang kantor itu kosong sama sekali tidak ada orangnya, dan meja yang terdapat di situ hanya dua, kini kosong tanpa pegawai.
Suara sepatu dari dalam membuat dia mengangkat muka memandang. Dan muncullah Tang-piauwsu. Dia masih ingat benar wajah itu, hanya kini nampak jauh lebih tua dari pada delapan tahun yang lalu.
Tubuh yang tinggi besar dari Tang Lun, demikian nama piauwsu itu, sekarang sedikit membungkuk. Kumis dan jenggotnya tidak terpelihara. Meski usianya baru empat puluh tahun lebih sedikit, rambutnya telah banyak bercampur uban. Mukanya memperlihatkan garis-garis pengalaman pahit yang dalam.
Dan yang lebih mengherankan hati Sin Hong adalah buntungnya telinga kiri piauwsu itu! Daun telinga kirinya tidak ada. Sin Hong cepat bangkit berdiri dan Tang-piauwsu yang mengira mendapat langganan baru, segera memberi hormat.
“Selamat pagi, Kongcu. Apakah Kongcu mencari saya? Sayalah Tang-piauwsu, dan jika Kongcu membutuhkan pengawalan…”
“Paman Tang, lupakah Paman kepadaku?” kata Sin Hong, suaranya agak menggetar karena keharuan.
Orang ini dahulu pernah membela dia dan ibunya dari serangan gerombolan perampok berkedok. Melihat wajah orang ini, seketika lenyaplah keraguannya. Dia hampir yakin bahwa dugaan mendiang subo-nya itu keliru.
Orang tinggi besar dan telinga kirinya buntung itu memandang kepada Sin Hong penuh perhatian dan keraguan. Betapa pun dia mengingat-ingat, tetap saja dia tidak mampu mengenal pemuda itu.
“Maaf... maafkan saya yang sudah tua dan lemah ingatan, akan tetapi siapakah Kongcu ini...,” katanya agak bingung.
Sin Hong tersenyum ramah sambil melangkah maju mendekati Tang Lun, kemudian dia berkata lembut, “Paman Tang Lun, aku adalah Sin Hong, Tan Sin Hong, sudah lupakah engkau?”
Sepasang mata itu terbelalak dan wajah itu menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah. Matanya memandang penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki, kemudian dia menubruk Sin Hong dan menangis! Orang tua itu, yang dulu terkenal sebagai seorang piauwsu yang gagah perkasa, kini merangkul Sin Hong sambil menangis terisak-isak seperti anak kecil.
Sin Hong membiarkan saja karena maklum bahwa agaknya baru sekarang orang ini mendapatkan kesempatan melepaskan semua penanggungan batinnya melalui tangis. Bukan hanya pelepas derita batin, tetapi juga mungkin karena keharuan, kekagetan dan kegembiraan melihat Sin Hong masih hidup.
Akhirnya dia dapat juga bicara. Sambil tetap memegang kedua pundak Sin Hong, dia mendorong halus dan mengamati wajah pemuda itu dengan air mata masih bercucuran. Bukan air mata buaya, pikir Sin Hong dan dia masih tetap percaya akan kejujuran orang tua ini.
“Sin Hong! Tan Sin Hong… ya Tuhan Yang Maha Kuasa! Siapa dapat percaya? Siapa yang dapat mengenalmu? Sudah bertahun-tahun aku menangisi kalian semua, ayahmu, ibumu, engkau sendiri. Siapa kira kini engkau muncul dalam keadaan selamat, masih hidup dan sudah dewasa pula? Ya Tuhan, apa saja yang telah terjadi denganmu, Nak? Bagaimana mungkin engkau masih dapat keluar dengan selamat dan di mana ibumu?”
“Nanti dulu, Paman. Aku tentu akan menceritakan semua pengalamanku selama ini, tapi lebih dulu aku ingin mendapatkan keterangan darimu tentang segala yang telah terjadi, segala urusan mengenai keadaan ayah pada delapan tahun yang lalu.”
Orang itu mengangguk-angguk. “Baik, baik akan tetapi mari kita duduk, Sin Hong.”
Mereka duduk berhadapan. Tang Lun menatap wajah pemuda itu, kemudian berkata, “Sebelum aku menjawab semua pertanyaanmu dan menceritakan segala hal yang aku ketahui dengan sebenarnya, terlebih dahulu aku ingin mengetahui satu hal. Jawablah, Sin Hong, katakanlah bagaimana keadaan ibumu.”
Melihat betapa sepasang mata itu memandang dengan penuh selidik, penuh harap dan penuh kecemasan, Sin Hong merasa tidak tega untuk membuat orang tua itu berada dalam keadaan bimbang dan gelisah.
“Paman Tang Lun, ibuku telah meninggal dunia, diserang badai di gurun pasir...“
“Ahhhhh...!”
Tang Lun menutupi mukanya dengan kedua tangannya, kembali dia menangis! Sampai lama baru dia dapat bicara. “Aku yang berdosa, aku... aku yang menyuruh engkau dan ibumu melarikan diri ke gurun pasir sehingga ibumu mendapatkan kematiannya di sana dan engkau... ahhh, hanya berkat perlindungan Tuhan saja engkau masih dapat hidup sampai sekarang... aihhh, Sin Hong, betapa aku selama ini membayangkan kengerian kalian di gurun pasir... dan semua... itu karena aku yang menyuruhmu...”
Sin Hong mengerutkan alisnya. Hemm, kenapa orang ini berkata demikian? Apa benar juga dugaan mendiang subo-nya? Dia merasa tegang, akan tetapi berhasil menekan perasaannya. Dia harus menyelidiki semua ini dengan bebas. Setelah orang tua itu tenang kembali, mulailah dia bertanya.
“Paman Tang Lun, sekarang aku minta dengan hormat supaya engkau suka menjawab dan menceritakan seluruhnya secara jujur padaku. Aku berhak untuk mengetahui segala yang telah terjadi pada kedua orang tuaku, bukan? Nah, pertama, ceritakanlah tentang kepergian ayah ke Tuo-lun, barang apa yang dikawalnya dan siapa yang menyuruhnya. Ceritakanlah dengan jelas dari awal mulanya, Paman.”
Peristiwa yang terjadi delapan tahun yang lalu itu selalu terbayang di dalam benak Tang Lun, maka tanpa banyak mengingat lagi dia pun bercerita, dengan lancar…..
Pada suatu hari, demikian ia bercerita, datanglah seorang hartawan ke kantor ekspedisi Peng An Piauwkiok itu. Hartawan itu datang bersama keempat orang pelayannya. Dia seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahun, berpakaian mewah sekali bahkan keretanya pun indah.
Ia mengaku sebagai seorang hartawan dari kota raja yang datang ke Ban-goan dengan maksud mengirimkan sebuah peti besar berisi emas permata yang harganya tak kurang dari seratus kati emas. Hartawan itu mengaku she Lay dan untuk selanjutnya disebut Lay-wangwe (hartawan Lay) yang katanya membuka toko rempah-rempah yang sangat besar di kota raja.
Karena peti itu berisi barang berharga, maka Tan-piauwsu menuntut biaya pengawalan yang besar, yaitu sepuluh kati emas atau sepersepuluh dari harga barang yang akan dikawalnya. Lay-wangwe sambil tertawa menyetujui dan mengatakan bahwa dia bahkan akan menambah jumlah itu dengan hadiah lain kalau barangnya itu tiba di tempat tujuan dengan selamat.
“Demikianlah Sin Hong. Karena barang itu sangat berharga, ayahmu tidak tega untuk menyerahkan pengawalannya kepada anak buah. Ayahmu berangkat mengawal sendiri bersama sepuluh orang anak buahnya yang dipilihnya, dan urusan di sini diserahkan kepadaku.”
Tang-piauwsu kemudian melanjutkan keterangannya.....
Komentar
Posting Komentar