KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-09


“Tepat di sebelah timur jembatan itu,” kata Kwee-piauwsu, “Hanya terhalang dua buah rumah. Rumah pelesir itu bercat merah, besar dan di depannya tumbuh sekelompok mawar.”

“Kalau begitu, aku akan pergi ke sana sekarang juga!” kata Sin Hong sambil bangkit berdiri dan menjura kepada Kwee-piauwsu, puterinya dan beberapa orang piauwsu yang tadi mencari jejak Lay-wangwe. “Terima kasih atas segala kebaikan Paman, juga engkau adik Ci Hwa, dan para saudara piauwsu yang telah membantuku.”

“Nanti dulu, Sin Hong,” kata Kwee piauwsu, “Engkau... apa yang hendak kau lakukan terhadap orang gendut botak itu?”

“Akan kutangkap dia dan kupaksa mengaku tentang peristiwa yang terjadi.”

“Sin Hong, engkau tidak boleh memandang rendah pada mereka yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap ayahmu dan Tang-piauwsu itu. Mereka itu lihai dan berbahaya, dan siapa tahu kalau-kalau dugaanmu benar dan di belakang Lay-wangwe itu terdapat gerombolan jahat itu. Engkau harus berhati-hati...“

“Biarlah aku yang menemaninya, Ayah! Tan-toako, mari kutunjukkan engkau tempatnya dan aku akan membantumu kalau muncul orang-orang jahat itu!” kata Ci Hwa dengan gagah.

Tentu saja Sin Hong merasa semakin tidak enak. Melihat keraguannya, Kwee-piauwsu berkata, dengan suara yang tegas.

“Ci Hwa benar, Sin Hong. Engkau boleh mengandalkan ia yang sudah memiliki ilmu silat cukup tinggi untuk membela diri dan juga membantumu. Nah, kalian pergilah, akan tetapi berhati-hatilah dan jangan bertindak sembrono.”

Sin Hong tidak dapat menolak lagi dan terpaksa dia bersama Ci Hwa lalu keluar dari rumah keluarga Kwee. Mereka berjalan berdampingan. Malam menjelang pagi itu dingin dan sunyi bukan main, juga agak gelap karena kini bulan sudah lenyap, tinggal tersisa bintang-bintang yang suram cahayanya.

“Siauw-moi (adik kecil), sungguh aku hanya membikin repot engkau saja,” Sin Hong berkata, karena dia merasa tidak enak oleh sikap gadis itu yang diam saja.

“Ah, tidak, Toako. Bagaimana pun juga, aku merasa berkewajiban untuk ikut membantu menangkap penjahat itu, yang telah membunuh ayahmu dan Tang-piauwsu, karena aku harus membersihkan nama ayah yang tadinya ternoda oleh dugaan bahwa ayah yang melakukan kejahatan itu.”

Sin Hong tidak bicara lagi, diam-diam dia kagum kepada gadis ini. Seorang gadis yang tidak banyak bicara, akan tetapi memiliki semangat besar, keberanian dan kegagahan.

“Nah, itulah rumahnya,” kata Ci Hwa menunjuk ke sebuah rumah yang cukup besar dan bercat merah, di halaman depan tumbuh bunga-bunga mawar. Semua daun pintu dan jendela rumah itu masih tertutup dan suasananya sunyi sekali.

“Aku akan segera mengetuk pintu dan minta bicara dengan Lay-wangwe,” berkata Sin Hong sambil melangkah lebar untuk menghampiri pintu depan.

“Nanti dulu, Toako. Kalau engkau datang begitu saja ingin menemuinya, tentu dia curiga dan kalau dia melarikan diri, engkau akan kehilangan dia dan akan sukar kalau harus mencari orang yang sembunyi-sembunyi. Sebaiknya kalau aku berjaga-jaga di bagian belakang agar dia tidak dapat melarikan diri. Kalau dia lari dari pintu belakang, aku akan menahannya.”

Sin Hong merasa semakin kagum. Dibandingkan gadis ini, dia kalah jauh dalam hal pengalaman dan kecerdikan. “Baiklah, Hwa-moi, engkau benar sekali.”

Gadis itu lalu berkelebat dan dengan cepat berlari memutari rumah itu untuk mengintai dan berjaga di belakang rumah. Setelah menunggu beberapa lamanya untuk memberi kesempatan kepada Ci Hwa tiba di belakang rumah dan mencari tempat pengintaian yang tepat, Sin Hong kemudian menghampiri pintu depan. Dia tidak ingin menimbulkan keributan dengan masuk sebagai seorang pencuri. Dia mengetuk pintu depan beberapa kali.

Tak lama kemudian daun pintu terbuka dan seorang kakek berusia enam puluh tahun muncul sambil menggosok-gosok mata dengan punggung tangan. Dia nampak masih mengantuk, juga ketika pintu terbuka, dia agak menggigil kedinginan oleh angin pagi yang menerpa masuk.

“Ah, Kongcu, sungguh merupakan waktu yang aneh untuk mengunjungi rumah pelesir!” Dia terkekeh. “Kongcu datang terlalu pagi atau justru terlalu malam. Anak-anak manis itu masih tidur pulas semua, nanti kurang lebih jam sepuluh mereka baru akan bangun. Apakah Kongcu menghendaki seorang di antara mereka? Dengan tambahan istimewa, kiranya ia mau dibangunkan pagi-pagi begini.”

Wajah Sin Hong berubah merah. Sialan, pikirnya, dia disangka ingin melacur!

Dia menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak, Lopek. Aku bukan datang untuk pelesir, melainkan mencari seorang tamu, yaitu Lay-wangwe.”

Mendadak pandang mata orang itu berubah, penuh kecurigaan dan alisnya berkerut. “Tidak ada yang bernama Lay-wangwe di sini,” katanya ketus.

Sin Hong tidak mau mempergunakan kekerasan yang akan meributkan suasana dan membikin takut Lay-wangwe.

“Lopek, aku tahu bahwa Lay-wangwe bermalam di sini. Ketahuilah, aku adalah seorang sahabat baiknya yang perlu sekali bicara dengan dia sekarang juga. Amat penting!” Sin Hong mengeluarkan sepotong perak dan menyerahkannya kepada pelayan itu.

Melihat berkilaunya perak, pandang mata kakek itu silau dan sikapnya berubah walau pun dia masih ragu-ragu.

“Akan tetapi aku tidak mengenal siapa Kongcu, dan selain itu tamu yang sedang tidur nyenyak tentu akan marah sekali jika kuganggu dan kuketuk pintunya. Apa yang harus kukatakan kalau dia terbangun dan marah-marah kepadaku karena gangguanku?”

Uang itu sudah diterima dan lenyap ke dalam saku baju pelayan itu. Sin Hong sudah merasa menang, namun dia pun harus berhati-hati dan jangan sampai menimbulkan kecurigaan. Dia tahu bahwa Lay-wangwe pasti telah memesan kepada para pelayan di tempat itu untuk merahasiakan kehadirannya di rumah itu.

“Kalau dia sudah terbangun dan marah-marah, katakan saja bahwa aku adalah seorang sahabatnya yang datang untuk memberi tahu padanya bahwa ada bahaya mengancam dirinya, dan dia harus cepat pergi bersamaku kalau ingin selamat.”

Mendengar ini, pelayan itu terbelalak.

“Wah, kalau begitu gawat!” katanya dan dia pun lari masuk ke dalam rumah besar itu setelah menutup kembali pintu depan.

Sin Hong menanti sambil mendekatkan telinganya ke daun pintu agar dapat mendengar lebih baik. Dia siap untuk mempergunakan kekerasan kalau jalan halus ini gagal. Akan tetapi siasatnya tadi berhasil baik.

Pada saat pelayan itu mengetuk daun pintu kamar di mana Lay-wangwe masih tidur mengorok sambil merangkul dua orang wanita pelacur yang mengapitnya, dia terbangun dan tentu saja dia marah-marah karena merasa terganggu.

“Lay-wangwe, ada keperluan penting sekali, harap bangun!” demikian suara pelayan yang mengetuk pintu kamar itu.

Dua orang pelacur terbangun lebih dahulu dan mereka segera menutupi tubuh mereka dengan selimut, sementara itu Lay-wangwe bangkit dan duduk dengan sukar karena perutnya amat gendut. Dia pun menutupi tubuhnya dengan selimut dan mengomel.

“Keparat, siapa berani menggangguku?” Kepada seorang di antara dua orang pelacur itu dia memberi isyarat untuk membuka daun pintu.

Ketika daun pintu terbuka dan dengan takut-takut pelayan tua itu terbungkuk-bungkuk masuk. Lay-wangwe membentak marah.

“Apa kau sudah bosan hidup, berani mengganggu aku sepagi ini?”

“Maafkan saya, Lay-wangwe, tetapi di luar sudah datang seorang tamu yang mengaku sahabat baik Wangwe. Dia mengatakan bahwa ada bahaya mengancam diri Wangwe dan kalau Wangwe menghendaki supaya selamat, Wangwe harus cepat-cepat pergi bersama dia sekarang juga.”

Laki-laki pendek gendut itu terbelalak, wajahnya berubah pucat dan cepat-cepat dia meraih pakaiannya secepat mungkin.

“Bagaimana orangnya? Masih mudakah? Atau sudah tua? Dan siapa namanya?” Dia bertanya sambil mengenakan pakaiannya.

“Dia belum sempat mengaku siapa namanya, akan tetapi orangnya masih muda dan dia ramah sekali, baik sekali, Lay-wangwe. Dan dia nampaknya bersungguh-sungguh...“

“Kalau begitu aku harus cepat pergi dari sini!” katanya sambil melemparkan beberapa potong uang perak kepada dua orang pelacur itu.

Dia keluar dari kamar dan melihat betapa beberapa buah kamar yang berderet di situ juga nampak terbuka. Agaknya ribut-ribut itu sudah membangunkan tamu-tamu lain. Hal ini sebenarnya biasa saja, namun orang she Lay yang sudah ketakutan itu sekarang memandang penuh kecurigaan, seakan-akan bahaya yang disebutkan tadi datang dari kamar-kamar itu. Dia pun cepat-cepat melangkah keluar, tidak tahu betapa beberapa buah kancing bajunya salah memasuki lubangnya serta kedua matanya kemerahan dan ujungnya dihias kotoran mata.

Setelah membuka pintu depan dia berhadapan dengan Sin Hong! Sekali lihat saja Sin Hong sudah tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan orang yang dimaksudkan oleh Tang-piauwsu dan Ciu-piauwsu, yaitu orang gendut botak yang terkenal dengan nama Lay-wangwe, si pengirim emas yang mengakibatkan tewasnya ayahnya dan membuat perkara menjadi berlarut-larut sampai kematian Tang-piauwsu itu.

Akan tetapi, dia belum yakin benar bahwa si gendut ini hanya merupakan umpan untuk menjebak ayahnya. Bagaimana kalau dia ini benar-benar pengirim emas, sama sekali tidak bersalah?

“Siapa... siapakah engkau...? tanya Lay-wangwe dengan sangsi ketika melihat seorang pemuda yang sama sekali tidak pernah dikenalnya.

Akan tetapi, Sin Hong melangkah maju. “Apakah engkau yang bernama Lay-wangwe?”

Karena tak mengenal pemuda itu, muncul lagak Lay-wangwe yang memandang rendah orang lain. Apa lagi orang ini mengganggunya dan dia tidak melihat adanya gangguan dan dia tidak melihat adanya bahaya mengancam seperti yang dikatakan pelayan tadi.

“Benar, akulah Lay-wangwe. Engkau siapa dan mau apa?” Kemudian dia menoleh ke kanan kiri dan menyambung, “Engkau bilang ada bahaya? Engkaulah yang mengatakan ada bahaya tadi, dan di mana bahaya itu?”

Sin Hong tersenyum. “Lay-wangwe, di sinilah letaknya bahaya kalau engkau tidak mau bicara terus terang padaku. Ketahuilah, aku adalah putera dari mendiang Tan-piauwsu, pemimpin Peng An Piauwkiok yang dahulu mengangkut emasmu ke Tuo-lun! Ingatkah engkau? Engkau datang kepada ayah, mengirim peti berisi emas ke Tuo-lun, kemudian di tengah jalan, ayah dibunuh orang dan engkau menuntut ganti kerugian dan menyita rumah beserta perusahaan ayah. Lalu terjadi pembunuhan pula atas diri Tang-piauwsu belum lama ini. Nah, katakanlah, apa yang kau ketahui tentang semua pembunuhan itu?”

Lay-wangwe terbelalak memandang kepada Sin Hong, kemudian dia tersenyum lebar, mengejek. “Orang muda, hanya untuk itu engkau berani mengganggu aku? Memang akulah yang mengirim emas itu, dan karena hartaku hilang, aku lalu menyita rumah dan perusahaan ayahmu. Aku sudah menderita kerugian besar dan engkau masih hendak menggangguku? Aku tidak tahu apa-apa tentang pembunuhan itu!” Ia pun membalikkan tubuhnya hendak masuk lagi.

“Tunggu dulu!” Sin Hong berseru dengan suara keras.

Lay-wangwe membalik dan kini matanya menjadi semakin merah dan alisnya berkerut karena dia sudah marah sekali.

“Engkau mengaku sebagai seorang hartawan di kota raja, akan tetapi ternyata engkau bukan hartawan kota raja karena di sana tidak ada seorang pun yang mengenalmu! Dan pada waktu engkau hendak mengirim peti berisi emas itu melalui Ban-goan Piauwkiok, engkau menolak ketika petinya hendak dibuka dan isinya diperiksa, bahkan engkau lalu membatalkan pengiriman itu, dan mengirimkannya tanpa membuka peti melalui ayahku. Siapakah engkau ini sebenarnya dan apa maksudmu memancing ayah dengan umpan kiriman emas itu untuk menjebaknya?”

“Bocah kurang ajar! Berani engkau menyelidiki keadaanku? Engkau patut dihajar!”

Dan tiba-tiba saja orang yang gendut itu bergerak cepat sekali, menyerang Sin Hong dengan pukulan dua tangannya secara bertubi-tubi! Orang akan terkejut sekali melihat betapa ‘hartawan’ Lay itu tiba-tiba saja menjadi seorang laki-laki yang ganas dan dapat melakukan penyerangan secepat dan sekuat itu, padahal tubuhnya bulat dengan perut yang gendut.

Sin Hong tentu saja tidak gugup, akan tetapi dia pun agak terkejut karena tidak mengira bahwa Lay-wangwe itu ternyata bisa menyerangnya, bukan hanya dengan cepat sekali, tapi juga dia dapat melihat betapa pukulan-pukulannya mengandung tenaga yang cukup kuat! Kiranya si gendut ini bukan orang sembarangan dan tentu saja kecurigaannya semakin bertambah.

“Hemmm, kiranya engkau seorang tukang pukul!” katanya sambil miringkan tubuhnya.

Pada saat kedua tangan Lay-wangwe yang melancarkan pukulan bertubi-tubi itu lewat, tangan Sin Hong bergerak menotok dan robohlah tubuh yang berperut gendut itu, tidak mampu bangkit lagi karena tubuh itu terasa lemas oleh totokan Sin Hong! Kini muka orang itu nampak ketakutan karena baru dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang luar biasa lihainya, yang dapat merobohkannya dalam satu gebrakan saja! Sulit untuk dipercaya, akan tetapi kenyataannya demikianlah dan dia mulai merasa ngeri dan takut.

“Nah, sekarang ceritakan yang sebenarnya. Siapa yang dulu mengatur pancingan dan jebakan itu? Siapa pula yang sudah membunuh ayahku dan Tang-piauwsu? Katakan sebetulnya kalau tidak ingin aku terpaksa menggunakan kekerasan memaksamu!”

Sin Hong sengaja menekankan jari tangannya ke pundak orang gendut itu dan orang itu pun menyeringai kesakitan. Penekanan pada jalan darah di pundaknya itu membuat seluruh tubuh bagian atasnya demikian nyeri seperti ditusuki ribuan jarum dan keringat dingin membasahi muka dan lehernya.

“Aku... aku tidak tahu siapa pembunuhnya... aku hanyalah anak buah saja...,“ katanya dengan suara terputus-putus saking hebatnya rasa nyeri yang dideritanya. Sin Hong melepaskan jarinya.

“Lalu siapa pemimpinmu? Siapa yang mengutusmu? Jawab!”

“...Tiat... Tiat-liong-pang...!” Tiba-tiba dia menjerit dan berkelojotan.

Sin Hong terkejut bukan main. Pada saat orang itu tadi mulai membuat pengakuan, ada belasan jarum dan paku beracun menyambar ke arahnya dari depan. Ia cepat mengelak dengan loncatan ke samping dan tangannya mendorong sehingga sisa senjata rahasia itu terpukul angin dorongannya sehingga runtuh. Akan tetapi ketika dia memandang, dia melihat orang gendut itu sudah berkelojotan dengan muka membiru dan mata melotot.

Dia melihat bayangan orang berkelebat lari ke dalam rumah itu. Sudah terlambat untuk menyelamatkan si gendut dan dia pun cepat meloncat dan mengejar ke dalam rumah. Bayangan yang kelihatan berpakaian hitam itu ternyata mempunyai gerakan yang amat cepat.

Terdengar jeritan-jeritan para wanita ketika Sin Hong berlari cepat memasuki rumah itu. Ternyata wanita-wanita pelacur yang keluar dari kamar masing-masing, terkejut dan ketakutan melihat kejar-kejaran itu, apa lagi yang dikejar adalah seorang yang memakai pakaian hitam dan kedok hitam pula!

Dengan penuh semangat Sin Hong melakukan pengejaran. Dia merasa yakin bahwa orang berpakaian hitam itulah yang menjadi kunci rahasia pembunuhan-pembunuhan itu, setidaknya orang itu tentu yang sudah membunuh Tang-piauwsu. Maka dia harus dapat menangkapnya!

Orang itu menerjang pintu belakang dan terus melompat ke dalam kegelapan pagi yang masih remang-remang itu. Tetapi tiba-tiba ada orang menyambutnya dengan bentakan nyaring.

“Berhenti!” Bentakan itu dibarengi munculnya Kwee Ci Hwa dengan pedang telanjang di tangan.

Melihat betapa ada seorang gadis berpedang menghadang di depannya, orang itu tidak berhenti, bahkan menerjang dan menyerang Ci Hwa! Tentu saja Ci Hwa terkejut akan kenekatan orang itu dan ia pun menyambut dengan tusukan pedangnya! Akan tetapi, orang itu menangkis dengan tangan kiri dan tangan kanannya tetap saja mencengkeram ke arah dada Ci Hwa!

“Plakkk!”

Pedangnya tertangkis oleh tangan kosong itu begitu saja sampai hampir terlepas dari pegangannya dan dadanya terancam cengkeraman. Terpaksa Ci Hwa melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik, kemudian ia membalikkan tubuhnya. Tapi terlambat!

Orang yang ternyata luar biasa lihainya itu sudah menendang lututnya sehingga Ci Hwa terguling. Orang itu menubruk lagi dengan hantaman tangan kanannya ke arah kepala Ci Hwa yang sudah tidak sempat untuk mengelak atau menangkis lagi!

“Dukkk!”

Pukulan hebat dari orang berkedok hitam itu tertangkis oleh tangan Sin Hong yang datang tepat pada saat nyawa Ci Hwa terancam bahaya itu.

Orang itu mengeluarkan seruan kaget, kemudian menyerang dengan kedua tangan didorongkan ke arah dada Sin Hong. Pukulan jarak jauh! Ini membuktikan bahwa orang berkedok itu memang lihai bukan main. Sin Hong menyambut dengan dorongan penuh tenaga sinkang sehingga orang itu terjengkang!

Kembali dia mengeluarkan seruan kaget dan terus meloncat jauh dan menghilang ke dalam kegelapan pagi buta itu. Sin Hong tidak mengejar karena dia mengkhawatirkan keselamatan Ci Hwa melihat kelihaian orang itu. Siapa tahu masih ada kawanan penjahat di situ yang akan mencelakai Ci Hwa.

“Engkau terluka, Hwa-moi (adik Hwa)?” tanyanya sambil memegang pundak gadis itu.

Ci Hwa menggelengkan kepala, lalu bangkit berdiri. Kakinya tidak terluka parah, hanya agak terpincang.

“Mari kita kejar dia!” kata Sin Hong dan sambil memegang tangan gadis itu, dia pun meloncat sehingga Ci Hwa merasa seolah-olah tubuhnya diangkat dan dibawa terbang! Sampai beberapa lamanya Sin Hong dan Ci Hwa mencari-cari, namun si kedok hitam itu sudah lenyap.

“Sayang, dia telah pergi...!” kata Sin Hong yang terpaksa menghentikan larinya.

Gadis itu mengangkat muka memandangnya dengan sinar mata penuh rasa kagum, lalu ia merunduk dan merasa malu sekali untuk bertemu pandang dengan pemuda itu.

“Hong-ko...“

“Ya. Kenapa, Moi-moi, engkau tidak terluka parah, bukan?”

Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Tidak, dan aku tadi terbebas dari maut, berkat pertolonganmu, Hong-ko.”

“Aih, sudahlah, hal itu tidak perlu disebut-sebut lagi. Sayang jahanam itu dapat lolos. Dia tentu tahu banyak tentang rahasia pembunuhan-pembunuhan itu.”

“Siapakah orang berkedok yang lihai itu, Hong-ko?”

“Aku tidak tahu. Aku berhasil bertemu dengan Lay-wangwe yang gendut itu dan ketika aku mulai mengancamnya untuk mengaku, mendadak dia diserang senjata rahasia dan tewas. Penyerangnya adalah orang berkedok itu maka aku mengejarnya.”

“Ahhh...!” Tentu saja Ci Hwa terkejut mendengar bahwa orang she Lay itu tewas pula oleh orang berkedok tadi.

“Sungguh aku merasa malu dan menyesal sekali, Hong-ko. Aku memandang rendah padamu, mengira engkau tidak sedemikian pandainya sehingga aku ikut membantumu, ternyata bahkan sudah menghalangimu menangkap orang berkedok itu. Kiranya engkau memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya.”

“Sudahlah, Hwa-moi, jika tidak ada engkau yang menghadangnya, tentu aku tak sempat bentrok dengannya dan ia telah lebih dulu menghilang. Mari kita pulang dan melaporkan hal ini kepada ayahmu sebab tadi aku memperoleh keterangan yang cukup penting dari Lay-wangwe. Menurut pengakuannya sebelum dia terbunuh, dia hanya diperalat oleh Tiat-liong-pang.”

“Tiat-liong-pang? Perkumpulan apa itu dan di mana?”

“Aku tidak tahu, sebaiknya kalau kita tanyakan hal itu kepada ayahmu, mungkin dia lebih tahu.”

Benar saja, ketika Kwee-piauwsu mendengar bahwa si gendut Lay itu diperalat oleh Tiat-liong-pang, dia terkejut bukan main. “Tiat-liong-pang? Perkumpulan besar di bawah pimpinan Siangkoan Lohan! Sungguh aneh sekali! Perkumpulan itu terkenal amat kuat, dan Siangkoan Lohan adalah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian sangat tinggi. Perkumpulannya terkenal kuat pula dan dia memiliki hubungan dekat dengan istana, bahkan kabarnya dihadiahi puteri dari istana yang menjadi isterinya karena dia banyak berjasa terhadap kerajaan. Apa artinya ini? Mengapa suatu perkumpulan besar seperti Tiat-liong-pang tiba-tiba ada hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan ayahmu dan Tang-piauwsu, bahkan kini membunuh Lay-wangwe, kaki tangannya sendiri untuk menutup mulutnya? Apa yang dikehendaki perkumpulan macam Tiat-liong-pang di sini? Sungguh aneh dan sukar dipercaya keterangan orang she Lay itu!”

“Bagaimana pun juga, keterangan itu sudah mendatangkan jejak baru dan saya akan melakukan penyelidikan ke sana, paman Kwee. Sayang bahwa orang berkedok itu bisa lolos, karena dia pasti tahu akan semua peristiwa pembunuhan itu, bahkan mungkin sekali dialah yang melakukan pembunuhan terhadap ayah dan paman Tang.”

Kwee-piauwsu mengangguk-angguk. “Memang tidak ada jalan lain untuk melakukan penyelidikan setelah orang she Lay itu terbunuh. Akan tetapi berhati-hatilah, Sin Hong, karena Tiat-liong-pang adalah sebuah perkumpulan yang amat kuat dan berpengaruh, juga bukan perkumpulan penjahat.”

“Baik, Paman dan terima kasih atas semua nasehat dan bantuan Paman.”

Pada hari itu juga, Sin Hong meninggalkan rumah keluarga Kwee, dan setelah pemuda itu pergi, wajah Ci Hwa nampak murung dan sinar matanya suram. Ayahnya melihat hal ini dan diam-diam merasa heran.

Akan tetapi, belum sempat dia bertanya, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali dia mendapatkan bahwa puterinya itu telah pergi meninggalkan rumah tanpa pamit! Hanya terdapat surat di atas meja dalam kamarnya yang memberi tahukan ayah ibunya bahwa ia pergi untuk membantu menyelidiki pembunuh Tan-piauwsu dan Tang-piauwsu, untuk mencuci nama ayahnya yang tadinya disangka menjadi pembunuh.

Nyonya Kwee menangis dan merasa khawatir sekali, membujuk suaminya agar mencari dan mengajak kembali Ci Hwa. Akan tetapi suaminya menghiburnya.

“Ia sudah dewasa dan sudah mempunyai bekal kepandaian silat yang cukup kuat untuk menjaga diri sendiri. Biarlah ia mencari pengalaman selagi masih bebas.” Demikian dia berkata kepada isterinya.

Akan tetapi diam-diam dia mengharapkan puterinya itu dapat bertemu dan bekerja sama dengan Sin Hong karena Kwee-piauwsu merasa suka sekali kepada Sin Hong yang mirip ibunya, wanita yang pernah dikasihinya itu. Ia berharap untuk dapat menjodohkan puterinya dengan pemuda itu!

Sementara itu, setelah meninggalkan rumah keluarga Kwee, Sin Hong tidak langsung pergi ke luar kota untuk menyelidiki Tiat-liong-pang, melainkan singgah di bekas rumah orang tuanya. Dia melihat betapa bangunan itu, baik kantor piauwkiok mau pun rumah tinggalnya, telah diperbaiki sehingga kelihatan baru dan dicat baru pula. Hampir dia tak mengenali lagi tempat di mana dia tinggal sejak lahir sampai berusia belasan tahun.

Ciu-piauwsu menyambutnya dengan wajah gembira. “Tan Sin Hong, engkau baru saja datang? Bagaimana dengan hasil penyelidikanmu?” tanyanya langsung setelah pemuda itu dipersilakan masuk.

Karena Ciu-piauwsu adalah satu-satunya orang dari pihak ayahnya yang mengetahui akan semua urusannya itu, Sin Hong lalu menceritakan dengan singkat tentang semua hasil usahanya. Betapa dia sudah gagal menemukan Lay-wangwe di kota raja, betapa dia kemudian menyelidiki keluarga Kwee-piauwsu dan atas bantuan keluarga itu dia lalu berhasil menemukan Lay-wangwe di Ban-goan dan kembali ada pembunuhan, yaitu terhadap diri si gendut itu, lagi-lagi oleh seorang berkedok.

“Sayang aku tak dapat menangkap orang berkedok itu,” dia mengakhiri ceritanya. “Akan tetapi Lay-wangwe sudah meninggalkan suatu pengakuan yang dapat merupakan jejak baru dalam penyelidikanku, paman Ciu.”

“Ahhh, benarkah? Apa saja yang diakuinya?” Ciu-piauwsu mendesak.

“Menurut pengakuannya sebelum dia tewas oleh senjata rahasia orang berkedok itu, dia hanya diperalat oleh Tiat-liong-pang.”

“Ohhhh...!” Wajah Ciu-piauwsu berubah dan matanya terbelalak. Dia nampak terkejut bukan main.

“Kenapa, Paman?”

“Celaka, tentu orang gendut botak itu telah membohongimu. Mana mungkin semacam Tiat-liong-pang mencampuri urusan ini? Tiat-liong-pang adalah sebuah perkumpulan besar dan kuat dipimpin oleh Siangkoan Lohan, seorang kakek yang gagah perkasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mana mungkin melakukan kejahatan? Tentu si gendut itu membohongimu!”

“Kurasa tidak, Paman. Betapa pun juga, setidaknya kini terdapat jejak baru sehingga aku dapat melanjutkan penyelidikanku.”

“Aku lebih condong untuk menyelidiki Ban-goan Piauwkiok. Orang she Kwee itu lebih mencurigakan...“

“Tidak, Paman. Dugaan kita sudah keliru. Paman Kwee Tay Seng sama sekali tidak bersalah...“

“Ahhh, jangan engkau sampai tertipu oleh sikap manisnya!”

“Tidak, Paman. Aku yakin bahwa ia tak bersalah dan aku akan melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang.”

Ciu-piauwsu mengangguk-angguk. “Terserah kepadamu, Sin Hong. Akan tetapi berhati hatilah. Jangan sampai engkau menuduh pihak yang tidak berdosa dan Tiat-liong-pang merupakan perkumpulan yang kuat sekali, bahkan mempunyai hubungan dekat dengan istana karena ketuanya masih termasuk keluarga kerajaan!”

Pada hari itu, Sin Hong meninggalkan Ban-goan setelah menerima banyak nasehat dari Ciu-piauwsu agar berhati-hati jika menyelidiki Tiat-liong-pang. Dia melakukan perjalanan cepat menuju ke kota San-cia-kou karena perkumpulan itu terletak di lereng sebuah bukit di luar kota itu.....

********************

Sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san disebut Puncak Telaga Warna karena di puncak itu terdapat sebuah telaga kecil yang amat indah. Telaga itu dikelilingi pohon-pohon dan karena airnya jernih dan tenang, maka bayangan terpantul amat jelasnya dan membuat air telaga seolah-olah berwarna-warni.

Puncak ini amatlah indahnya. Hawanya selalu sejuk, bahkan kadang-kadang teramat dingin. Karena hawa yang terlalu dingin inilah maka penduduk tinggal di lereng bawah atau kaki puncak. Akan tetapi, di antara pohon-pohon besar dekat telaga itu nampak sebuah bangunan terselip di antara pohon-pohon raksasa.

Sebuah bangunan yang kokoh kuat dan sedang saja besarnya. Rumah itu tidak memiliki tetangga dan nampak sunyi, namun melihat betapa pekarangannya selalu bersih, dan di belakang rumah terdapat taman bunga dan kebun sayur dan pohon-pohon buah, dapat diketahui bahwa rumah ini dihuni orang.

Memang demikianlah, dan penghuni rumah itu bukanlah orang sembarangan, karena orang biasa saja tentu tidak akan tahan tinggal terlalu lama di tempat yang sunyi dan hawanya amat dingin itu. Penghuninya adalah dua orang kakek kembar. Mereka berusia kurang lebih lima puluh delapan tahun, dan mereka amat terkenal di dunia kang-ouw dengan sebutan Beng-san Sian-eng (Sepasang Garuda dari Beng-san).

Dua orang kakek ini serupa benar wajah dan bentuk tubuh mereka mirip satu sama lain sehingga sukarlah bagi orang luar untuk membuat perbedaan di antara mereka. Orang-orang kang-ouw jarang ada yang mengetahui bahwa mereka sesungguhnya adalah cucu-cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mereka adalah putera kembar dari kakek Gak Bun Beng yang kini berjuluk Bu Beng Lokai.

Biar pun orang luar sukar untuk mengenal mana yang bernama Gak Jit Kong dan mana yang Gak Goat Kong, tapi tentu saja isteri mereka dengan mudah dapat membedakan mereka. Isteri mereka berdua hanya seorang, yaitu bekas murid dan anak angkat mereka sendiri yang bernama Souw Hui Lian. Dua orang kembar ini telah jatuh cinta kepada murid mereka sendiri, dan Souw Hui Lian juga mencinta mereka. Maka kedua orang kakek kembar ini pun menikahlah dengan bekas murid mereka walau pun ayah mereka sebenarnya tidak setuju mendengar kedua orang putera kembarnya itu menikah dengan seorang wanita saja.

Peristiwa pernikahan itu membuat hati ayah mereka, Gak Bun Beng, menjadi kecewa dan berduka. Kakek ini sudah berduka karena ditinggal mati isterinya yang bernama Milana, puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai.

Dalam keadaan berduka, lalu menghadapi kekecewaan karena kedua orang puteranya yang dianggap tidak begitu berbakat dalam ilmu silat sekarang bahkan menikah dengan seorang wanita saja, maka pergilah kakek Gak Bun Beng meninggalkan Puncak Telaga Warna. Dia hidup merana, bahkan terlunta-lunta sebagai Bu Beng Lokai, sampai dia kemudian menemukan Suma Lian, cucu keponakannya sendiri yang kemudian menjadi muridnya dan pertemuan ini memulihkan kembali gairah hidupnya.

Semenjak ditinggal pergi ayah mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hidup di Puncak Telaga Warna, bersama isteri mereka, Souw Hui Lian dan kini mereka telah mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Gak Ciang Hun yang kini sudah berusia kurang lebih sepuluh tahun.

Tentu saja mereka berdua pun merasa berduka bahwa ayah mereka tidak merestui pernikahan mereka, bahkan meninggalkan mereka. Mereka sudah berusaha mencari ayah mereka, namun tidak pernah berhasil sehingga akhirnya mereka putus asa dan menanti saja di Puncak Telaga Warna dengan penuh keprihatinan kalau mereka teringat kepada ayah mereka yang sudah amat tua itu.

Adanya Gak Ciang Hun, putera mereka, merupakan hiburan terbesar bagi mereka dan mengurangi rasa dosa terhadap ayah mereka karena bagaimana pun juga, pernikahan mereka dengan Hui Lian kini telah menghasilkan seorang putera. Bukankah itu berarti bahwa Tuhan memberkahi mereka dan memberkahi pernikahan itu?

Pada suatu pagi yang sejuk dan indah, karena matahari pagi mulai mengusir kegelapan dan memandikan puncak Telaga Warna itu dengan cahaya keemasan setelah semalam suntuk puncak itu diselimuti kabut yang menciptakan embun pagi, Gak Ciang Hun telah berada di dalam taman bunga. Anak ini memang suka sekali bangun pagi dan bermain main seorang diri di dalam taman. Sepasang matanya penuh kebahagiaan memandang burung-burung pagi berloncatan dan beterbangan dari dahan ke dahan, sambil berkicau penuh keriangan.

Anak ini baru berusia sepuluh tahun dan dia hanya hidup bersama dua orang ayahnya dan seorang ibunya. Memang kadang-kadang ayahnya atau ibunya membawa dirinya menuruni puncak pergi ke dusun-dusun, atau ke pasar dusun untuk membeli segala keperluan rumah tangga mereka dan menjual hasil kebun atau buruan mereka sehingga anak ini beberapa kali sebulan dapat bertemu dengan banyak orang di dusun-dusun. Namun karena setiap harinya hanya bermain-main sendiri saja maka tentu anak ini merasa kesepian dan mencari hiburan dengan bermain-main sendiri di tempat-tempat indah, di mana dia dapat melihat binatang-binatang dan mendengarkan suara mereka.

Pagi hari itu, selain menikmati kicau burung yang ramai menyambut datangnya pagi, dia pun melihat banyak kupu-kupu kuning. Sebetulnya untuk kupu-kupu itulah maka sepagi itu dia sudah duduk di taman. Semenjak beberapa hari ini, sampai kurang lebih sebulan, taman itu akan penuh kupu-kupu kecil kuning. Sedang musimnya.

Indah sekali kupu-kupu yang puluhan ribu banyaknya itu, membuat taman itu menjadi lebih cerah, seakan-akan taman itu sedang penuh dengan bunga-bunga kuning yang sedang berkembang. Karena ingin segera menikmati keindahan pagi itu, Ciang Hun hanya sebentar saja berlatih silat di kebun belakang tadi.

Di kebun belakang, tak jauh dari taman itu, oleh orang tuanya dibuatkan sebuah petak rumput yang luas dan tempat ini dipergunakan keluarga itu untuk berlatih silat. Memang setiap pagi Ciang Hun harus berlatih silat, akan tetapi pagi ini hanya sebentar saja dia berlatih dan dia segera berlari-lari memasuki taman setelah melihat kupu-kupu kuning mulai beterbangan.

Tiba-tiba ada beberapa ekor burung beterbangan dari atas pohon, meluncur turun dan menyambari kupu-kupu kuning kecil itu. Melihat ini, Ciang Hun lalu menjadi marah. Dia meloncat dan menggunakan kedua tangannya untuk mengusir burung-burung itu sambil mengeluarkan teriakan-teriakan sehingga burung-burung itu terbang ketakutan.

Akan tetapi, tidak lama kemudian ada saja beberapa ekor yang menyambar turun lagi sehingga Ciang Hun segera mengambil batu-batu kecil untuk menyambiti dan mengusir mereka, melindungi kupu-kupu kuning kecil. Setelah dia menggunakan batu-batu kecil, barulah burung-burung itu terbang pergi, tentu saja untuk menyambari kupu-kupu yang beterbangan jauh dari taman itu.

Ciang Hun duduk kembali di atas bangku taman dan merasa lega. Sekarang kupu-kupu kuning itu beterbangan bebas, di antara bunga-bunga, bahkan ada yang terbang tinggi ke atas pohon tanpa diganggu burung-burung itu!

Memang sejak kecil anak ini telah digembleng oleh orang tuanya sehingga dalam usia sepuluh tahun, selain dia menguasai dasar-dasar ilmu silat, juga di dalam batinnya telah bersemi watak yang gagah dan tak rela melihat yang lemah dijadikan korban keganasan yang kuat. Sudah bersemi watak seorang pendekar, watak membela golongan lemah yang tertindas.

“Indah sekali kupu-kupu itu!” Tiba-tiba terdengar suara halus.

Ciang Hun cepat menoleh dan dia melihat seorang wanita muda telah berdiri di situ sambil memandangi kupu-kupu kuning kecil yang beterbangan kian kemari. Anak itu merasa heran sekali dan perhatiannya kini beralih dari kupu-kupu ke arah gadis itu.

Seorang gadis yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Sekali pandang saja tahulah Ciang Hun bahwa gadis itu tidak pernah dikenalnya dan bukanlah seorang gadis dari dusun di lereng bawah. Bukan gadis dusun! Pakaiannya amat berbeda, juga sikapnya berbeda.

Gadis ini mengenakan pakaian yang aneh sekali. Pakaian yang penuh tambal-tambalan! Seperti pakaian pengemis saja. Akan tetapi, kalau pakaian pengemis tambal-tambalan dan kotor sekali, sebaliknya pakaian yang menutupi tubuh gadis ini, tambal-tambalan tapi amat bersih! Juga potongannya tidak seperti pakaian gadis dusun yang kebesaran, namun ringkas dan ketat membungkus tubuh gadis itu sehingga nampak pinggangnya yang ramping kecil, seperti pinggang lebah.

Sepatunya yang kecil terbuat dari kulit berwarna hitam dan nampak kuat. Rambutnya juga berbeda lipatannya dengan rambut para gadis dusun. Rambut itu hitam lebat dan panjang, sekarang digelung ke atas secara aneh, ditusuk dengan tusuk konde panjang sederhana, seperti sebatang sumpit merah. Kedua mata gadis itu seperti mencorong, dan mulutnya tersenyum-senyum ketika ia membalas pandangan Ciang Hun.

“Adik yang baik, engkau benar sekali. Burung-burung itu memang jahat dan perlu diusir! Mereka itu menyambari dan membunuh kupu-kupu yang tidak berdosa!” kata pula gadis itu dan pandang matanya nampak ramah sekali.

Ciang Hun mengerutkan alis, lalu menjawab, “Aku mengusir burung-burung itu bukan karena menganggap mereka jahat, melainkan karena tidak tega melihat kupu-kupu itu dimakan. Burung-burung itu pun tidak jahat!”

Gadis itu melebarkan matanya, nampak heran mendengar jawaban itu. “Akan tetapi, bukankah mereka itu memakani kupu-kupu yang tidak berdosa?”

“Kita pun suka makan ayam, babi, kelinci dan binatang lain yang tidak berdosa, apakah kita pun menjadi jahat?” Anak itu membantah. “Agaknya kupu-kupu itu memang menjadi makanan burung, jadi burung-burung itu pun tidak bersalah. Tidakkah begitu?”

Kini gadis itu yang nampak heran dan bingung, lalu mengangguk-angguk.

“Wah, agaknya benar juga engkau.” Lalu ia tertawa cerah, suara ketawanya nyaring dan merdu sekali. “Adik kecil, engkau sungguh cerdik sekali. Jawabanmu itu membikin aku takluk dan mengaku kalah! Siapa sih engkau ini? Siapa namamu?”

“Namaku Ciang Hun.”

“Apakah ada hubunganmu dengan Beng-san Siang-eng?”

“Mereka itu adalah ayahku! Aku bernama Gak Ciang Hun.”

Gadis itu kelihatan girang bukan main. “Aihhh, pantas engkau cerdik dan pintar sekali! Kiranya adik ini putera dari Beng-san Siang-eng? Engkau harus menyebut enci (kakak perempuan) padaku!”

Biar pun Ciang Hun jarang bergaul dengan orang asing, namun dia bukan seorang anak pemalu. Ia lalu menghampiri. Agaknya dia senang melihat gadis yang berwajah manis, kalau tersenyum muncul lesung pipit di kedua pipinya, dan pandang matanya ramah sekali itu.

“Enci, engkau siapakah?”

“Namaku Suma Lian dan engkau boleh memanggil aku enci Lian.”

Anak itu terbelalak memandang pada Suma Lian, pandang matanya penuh kekagetan, keheranan dan kekaguman.

“Suma...? Enci, she-mu sama dengan she dari kakek buyut. Kata ayah, kakek buyutku bernama Suma Han adalah seorang pendekar sakti, penghuni Istana Pulau Es yang tidak ada lawannya di dunia ini!”

Suma Lian tersenyum dan membelai kepala anak itu. “Tidak salah keterangan ayahmu, adik Ciang Hun. Kakek buyutmu bernama Suma Han itu juga kakek buyutku, karena itu kita adalah enci dan adik sendiri.”

Gadis bernama Suma Lian itu adalah puteri dari pendekar Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang tinggal di dusun Hong-cun, di dekat kota Cin-an. Meski pun ayah ibunya merupakan pendekar-pendekar yang sakti, namun gadis ini semenjak berusia dua belas tahun, telah menjadi murid Bu Beng Lokai, paman kakeknya sendiri.

Pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang. Gerakan mereka cepat sekali namun Suma Lian dapat melihat mereka. Seorang di antaranya menyambar ke arah Ciang Hun dan dua orang yang lain menerjang dan menyerang Suma Lian!

Gadis itu terkejut, tidak menyangka bahwa dirinya akan diserang secara tiba-tiba oleh dua orang itu, maka cepat dia pun mempergunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh), meloncat menjauhi dua orang penyerangnya. Ketika ia turun dan menengok, ternyata Ciang Hun telah dirangkul dan dilindungi seorang wanita cantik, sedangkan dua orang penyerangnya tadi adalah dua orang laki-laki berusia hampir enam puluh tahun yang kembar dan keduanya nampak gagah perkasa!

Kini kedua orang kakek kembar itu, yang juga terkejut dan penasaran melihat betapa serangan mereka tadi dengan sangat mudah dihindarkan lawan yang ternyata hanyalah seorang gadis muda, sudah siap untuk menyerang lagi.

“Tahan dulu, kedua paman Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong! Aku bukan orang lain dan tidak berniat buruk!” seru Suma Lian melihat mereka sudah hendak menyerangnya lagi itu karena sekali lihat pun ia dapat menduga bahwa ia tentu berhadapan dengan dua orang putera kembar gurunya, dan tentu wanita itu ibu dari Ciang Hun.

“Ia adalah enci Suma Lian, cucu buyut dari kakek buyut Suma Han!” teriak Ciang Hun kepada ayah ibunya.

Mendengar ini, tentu saja sepasang kakek kembar itu terkejut dan juga merasa heran, saling pandang lalu mereka menghadapi dengan pandang mata penuh selidik.

“Nanti dulu!” kata Souw Hui Lian yang tadi bergerak cepat lebih dahulu menyelamatkan dan melindungi puteranya. “Ia harus dapat membuktikannya!”

Ia lalu melepaskan Ciang Hun dan sekali meloncat ia sudah berhadapan dengan Suma Lian yang merasa kagum melihat kecepatan gerakan wanita itu. Ia sudah mendengar bahwa wanita itu dahulu merupakan murid dari kedua kakek kembar dan ternyata ilmu kepandaiannya sudah lumayan.

“Bibi, apakah engkau tidak percaya kepadaku?” tanyanya sambil tersenyum. “Apakah wajah dan potonganku ini mirip penjahat dan tidak pantas menjadi keturunan keluarga para Pendekar Pulau Es?”

Suma Lian memang memiliki watak yang jenaka, berani, lucu dan kadang-kadang ugal ugalan, mewarisi watak ayahnya ketika muda. Ia lalu bergaya memutar-mutar tubuh di depan kakek kembar dan isteri mereka itu.

Hui Lian mengerutkan alisnya. Seorang gadis muda yang pakaiannya amat aneh, penuh tambal-tambalan, dengan sikap yang demikian ugal-ugalan, bagaimana ia bisa percaya begitu saja?

“Kalau engkau benar she Suma dan keturunan para Pendekar Pulau Es, apa buktinya?” bentak Hui Lian.

Suma Lian tersenyum manis dan menjura dengan hormat dan lucu kepada Hui Lian. “Bibi yang baik, namaku benar Suma Lian, ayahku Suma Ceng Liong dan ibuku Kam Bi Eng. Dan bukan itu saja, aku pun menjadi murid dari paman kakek Bu Beng Lokai, ayah mertuamu sendiri.”

“Hemm, gadis muda, jangan engkau bicara sembarangan. Nama Ayah mertuaku bukan Bu Beng Lokai!” kata pula Hui Lian, semakin curiga walau pun nama ayah ibu gadis itu sempat mengejutkannya.

“Aihhh, maafkan aku, Bibi. Mungkin kalian tidak mengenal nama Bu Beng Lokai, akan tetapi sebelum mempergunakan nama itu, paman kakekku yang kini menjadi guruku itu bernama Gak Bun Beng...“

“Kong-kong...!” Seru Ciang Hun gembira mendengar nama kakeknya disebut. Biar pun dia belum pernah melihat kakeknya, namun sering kali kedua ayahnya bercerita tentang kakeknya dan dia amat merindukannya.

“Nanti dulu!” kata pula Hui Lian. “Kalau benar engkau murid ayah mertuaku, engkau tentu dapat melayani seranganku ini!”

Tiba-tiba saja ia lalu menyerang Suma Lian dengan jurus ampuh dari Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit). Suma Lian tentu saja mengenal baik ilmu silat ini dan sambil mengelak dan bergerak dengan ilmu yang sama, ia pun membalas serangan lawan dengan jurus lain dari Lo-thian Sin-kun.

Hui Lian masih belum merasa puas. Setelah menangkis, ia pun menyerang lagi dan dua orang wanita itu pun saling serang dengan ilmu yang sama sehingga mereka itu seperti dua orang yang berlatih silat saja. Setelah lewat belasan jurus dan ternyata gerakan Suma Lian dalam ilmu silat itu amat bagusnya, barulah Hui Lian merasa puas dan dia pun meloncat ke belakang.

Suma Lian memandang sambil tersenyum manis. “Lo-thian Sin-kun yang Bibi mainkan sungguh bagus! Apakah Bibi hendak menguji lagi?”

“Cukup, engkau memang benar Suma Lian dan maafkan kecurigaan kami karena dalam beberapa hari ini kami terancam bahaya dari seorang musuh yang pandai,” kata Hui Lian.

“Ehhhhh?” Suma Lian terkejut mendengar ini.

Baru sekarang ia melihat betapa wajah dua orang pamannya dan juga bibinya nampak muram dan mata mereka merah seperti orang yang kurang tidur. “Akan tetapi kalau benar demikian, mengapa tadi aku melihat adik Hun bermain sendirian di luar?”

“Aih, anak itu belum mengenal bahaya. Mari kita masuk dan bicara di dalam,” kata pula Souw Hui Lian sambil menggandeng tangan Suma Lian, kini sikapnya manis sekali.

Suma Lian tersenyum memandang kepada kedua orang pamannya. “Maaf, Paman, aku datang membikin ribut saja. Akan tetapi sikap Bibi memang amat mengagumkan, dia cerdik dan pintar!”

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong hanya tersenyum mendengar pujian itu dan mereka pun lalu masuk ke dalam rumah yang cukup luas itu. Seorang pelayan wanita setengah tua segera muncul pada saat dipanggil Hui Lian dan diperintahkan untuk menyediakan minuman untuk tamu yang disebutnya Suma-siocia (nona Suma) ketika diperkenalkan kepada pelayannya.

“Aih, Bibi ini!” Suma Lian berseru memotong ucapan itu. “Kenapa harus menyebutku nona segala? Ciang Hun sudah menyebutku enci kepadaku dan sebagai bibiku, tidak sepatutnya Bibi menyebut nona. Namaku Suma Lian, tanpa nona.”

Hui Lian tersenyum dan kini ia tahu bahwa Suma Lian bukan seorang gadis kasar dan kurang ajar tetapi seorang gadis yang jujur, terbuka, lincah dan tidak suka berpura-pura. “Baiklah, Suma Lian. Sekarang kami ingin sekali tahu, apakah maksud kunjunganmu ini? Kami yakin bahwa tentu kunjunganmu ini mempunyai maksud yang penting sekali.”

Suma Lian berpikir sejenak. Dia memang datang membawa keperluan penting, akan tetapi berita yang dibawanya itu bukan berita menyenangkan, melainkan berita tentang gurunya yang sakit tua dan menghendaki kedatangan kedua orang putera kembarnya itu. Sebaiknya kalau ia mengetahui lebih dahulu bahaya apa yang katanya mengancam keluarga paman dan bibinya ini.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah si Bangau Putih

KISAH SI BANGAU PUTIH (BAGIAN KE-13 SERIAL BU KEK SIANSU)