KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-16
“Kaum penjajah Mancu memang keterlaluan sekali,” demikian antara lain Siangkoan Lohan berkata, “Bayangkan saja. Pihak kami, Tiat-liong-pang, kurang bagaimana dahulu membantu mereka dan kami telah mengorbankan segalanya untuk membantu mereka. Tetapi ternyata mereka itu merupakan bangsa yang tidak mengenal budi dan mudah melupakan jasa orang. Ayahmu sendiri, nona Pouw, adalah seorang di antara pembesar tinggi yang setia dan baik. Akan tetapi apa jadinya? Keluarga ayahmu dibasmi hanya karena ayahmu berani menentang Hou Seng, padahal ayahmu menentang Hou Seng justru untuk menyelamatkan negara dan kerajaan!”
Sedikit demi sedikit hati Li Sian dibakar. Akan tetapi gadis ini masih ragu-ragu. Gurunya selalu memberi wejangan supaya ia tidak menyimpan dendam terhadap siapa pun juga, dan hidup sebagai seorang pendekar harus bebas dari api dendam karena dendam akan melenyapkan pertimbangan adil. Seorang pendekar harus bertindak adil, membela kebenaran dan keadilan tanpa pilih bulu. Sebaliknya dendam membutakan mata akan kebenaran dan keadilan, semata-mata hanya untuk melampiaskan nafsu dendam saja.
“Saya masih bingung, Paman. Saya ingin sekali berjumpa dengan kakak sulung saya, oleh karena itu saya mohon bantuan Paman, sukalah membantu saya mencari di mana adanya kakak saya itu bertugas supaya saya dapat bertemu dengan anggota keluarga yang tinggal satu-satunya itu.”
“Tentu, tentu sekali, Nona. Kami akan membantumu dan sementara ini, tinggallah di sini sebagai tamu kehormatan, ahhh, tidak, sebagai anggota keluarga kami sendiri, sebagai keponakanku!” kata Siangkoan Lohan dengan ramah sekali.
Li Sian merasa terharu. Kakek ini dan puteranya sungguh baik, menerimanya demikian ramahnya, bahkan menganggapnya sebagai anggota keluarga. Dia pun bangkit berdiri dan memberi hormat.
“Paman sungguh melimpahkan banyak budi kebaikan kepada saya, entah bagaimana saya akan mampu membalasnya. Akan tetapi, harap Paman jangan menyebut saya nona, membuat saya merasa kikuk saja, Paman.”
Siangkoan Lohan tertawa. “Ha-ha-ha, baiklah, Li Sian, baiklah. Mulai sekarang engkau kuanggap keponakanku sendiri, karena mendiang ayahmu dulu amat cocok denganku, seperti saudara pula. Nah, anak Liong, engkau mendengar sendiri. Sekarang, engkau harus bersikap seperti seorang kakak terhadap Li Sian.”
Siangkoan Liong bangkit berdiri, dan sambil tersenyum membalas penghormatan Li Sian. “Aku merasa girang sekali dapat menjadi kakak misanmu, Sian-moi (adik Sian).”
Kedua pipi Li Sian berubah agak merah mendengar sebutan Sian-moi itu, akan tetapi, kalau ia dianggap sebagai keponakan dari Siangkoan Lohan, sudah sepatutnya pemuda itu menyebutnya adik.
“Terima kasih atas kebaikanmu, Liong-toako (kakak Liong),” jawabnya.
Mereka lalu duduk kembali dan melanjutkan makan minum. Semenjak hari itu, Li Sian memperoleh sebuah kamar di rumah besar itu serta diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat. Bahkan pada waktu ia diperkenalkan kepada para murid Tiat-liong-pang, juga kepada Sin-kiam Mo-li, semua orang tak berani bersikap kurang ajar padanya, maklum bahwa gadis itu selain lihai sekali, juga diterima sebagai keponakan Siangkoan Lohan. Bahkan Li Sian ikut pula dalam latihan perang-perangan itu, membantu Sin-kiam Mo-li untuk mempertahankan ‘benteng kota raja’ yang diserbu oleh pasukan yang dipimpin oleh Toat-beng Kiam-ong.
Setelah latihan itu selesai, Li Sian diperkenalkan kepada para sekutu yang lain, kepada Toat-beng Kiam-ong, kepada Agakai kepala suku Mongol, dan kepada Song Ciangkun, tangan kanan Coa Tai-ciangkun yang menjadi komandan pasukan pemerintah yang bertugas jaga di utara. Song Ciangkun inilah yang berjanji kepadanya untuk menyelidiki di mana adanya Pouw Ciang Hin, kakak sulung Li Sian sehingga gadis ini merasa gembira sekali.
Hubungannya dengan Siangkoan Liong juga akrab sekali karena pemuda itu memang pandai mengambil hati, ramah, sopan dan memiliki pengertian yang mendalam tentang sastra dan silat. Bahkan pemuda itu, untuk melakukan penyelidikan, beberapa kali telah mengajak gadis itu berlatih silat. Dengan lega dia mendapat kenyataan bahwa betapa pun lihai Li Sian, akan tetapi dia mampu mengatasi gadis itu walau pun selisihnya tidak berapa jauh!
Sebaliknya, Li Sian kagum sekali akan pengertian pemuda itu mengenai sastra dan tentang pengetahuan lain yang membuat dia merasa bodoh ketinggalan dan dia dapat banyak belajar dari pemuda itu. Dalam ilmu silat, ia pun dapat melihat bahwa Siangkoan Liong ini bahkan jauh lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li, dan sungguh pun belum pernah mereka mengadu ilmu untuk menentukan siapa yang lebih unggul, namun dia sendiri merasa bahwa agaknya tidak akan mudah baginya untuk dapat menang menandingi ilmu kepandaian pemuda yang tampan itu. Tidaklah mengherankan kalau hati Li Sian mulai terpikat.....
********************
Kita tinggalkan dulu Pouw Li Sian yang tanpa disadarinya telah terjatuh ke tempat yang amat berbahaya baginya, dan mari kita melihat keadaan Suma Lian. Gadis ini setelah pulang ke rumah orang tuanya, segera menambah kepandaiannya dengan gemblengan ayah ibunya.
Dari ayahnya, Suma Ceng Liong, dia tekun berlatih Ilmu Coan-kut-ci, semacam ilmu totokan yang ampuh sekali karena jari tangannya yang sudah dilatih secara istimewa itu bukan hanya mampu menotok jalan darah dan menghentikan aliran darah, bahkan bisa menembus tulang sesuai dengan namanya, yaitu Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang)! Ilmu ini memang mengerikan dan agak kejam, karena ayahnya dulu menerimanya dari seorang datuk sesat yang bernama Hek I Mo-ong (Raja Iblis Baju Hitam).
Ada pun dari ibunya, Kam Bi Eng, Suma Lian menerima ilmu yang hebat, yaitu ilmu pedang gabungan yang dimainkan dengan sebatang suling dan diberi nama Koai-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Siluman), yaitu gabungan dari Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas). Kini dia sudah memiliki sebuah suling emas yang dapat dimainkan dengan hebatnya sehingga suling emas itu bagaikan sebatang pedang saja yang dapat bergulung-gulung dengan hebatnya sambil mengeluarkan suara melengking-lengking.
Hanya karena ia sudah memiliki dasar yang amat kuat berkat gemblengan mendiang kakek Gak Bun Beng atau Bu Beng Lokai, maka gadis ini mampu mempelajari kedua ilmu yang hebat itu dalam waktu yang tidak berapa lama. Ayah bundanya gembira sekali melihat kemajuan puteri mereka. Akan tetapi, ada suatu hal yang membuat suami isteri ini agak gelisah, yaitu melihat betapa puteri mereka kini telah berusia dua puluh tahun lebih, hampir dua puluh satu dan puterinya itu bertunangan pun belum!
Sejak puteri mereka pulang, suami isteri itu hampir setiap malam membicarakan hal ini. Akan tetapi mereka merasa ragu untuk mengajak puteri mereka bicara karena melihat betapa puteri mereka memiliki watak keras, dan puteri mereka demikian lincah jenaka dan gembira. Mereka khawatir kalau-kalau usul mereka akan diterima dengan hati yang tidak senang dan membuat puteri mereka menjadi murung.
“Bagaimana pun juga, kita harus memberi tahunya, isteriku,” kata Suma Ceng Liong. “Usia dua puluh tahun lebih sudah terlalu dewasa untuk seorang gadis! Sampai kapan kita harus menanti untuk menikahkan anak kita yang tunggal itu? Biar pun untuk gadis kang-ouw, urusan pernikahan tidak boleh disamakan dengan gadis biasa, akan tetapi bagaimana pun juga, seorang wanita haruslah membentuk rumah tangga dan memiliki keturunan hidup sebagai seorang isteri atau ibu yang berbahagia. Dan kita menjadi kakek dan nenek yang bahagia pula.”
“Baiklah, besok akan kuajak dia bicara. Mudah-mudahan saja, selama ini sudah ada pemuda yang menjadi pilihan hatinya.”
“Aku meragukan hal itu. Bukankah baru saja dia meninggalkan tempat tinggal paman Gak Bun Beng setelah orang tua itu meninggal dunia? Aku bahkan jadi teringat akan cerita kakak Suma Ciang Bun dulu itu...“
“Hemmm, tentang muridnya, Gu Hong Beng itu?” tanya Kam Bi Eng.
Memang, Suma Ciang Bun pernah berterus terang kepada mereka bahwa ketika nenek Teng Siang In, ibu Suma Ceng Liong akan meninggal dunia, ditunggu oleh Gu Hong Beng, nenek itu pernah minta Hong Beng berjanji agar kelak menjadi suami Suma Lian dan karena permintaan itu merupakan permintaan atau pesan terakhir seorang yang akan mati, pemuda itu tentu saja tidak sampai hati untuk menolaknya. Baru setelah nenek itu meninggal, Gu Hong Beng menjadi bingung dan tidak berani mengaku kepada Suma Ceng Liong dan isterinya, hanya berani menceritakannya kepada gurunya, yaitu Suma Ciang Bun. Gurunya inilah yang kemudian memberi tahukannya kepada Suma Ceng Liong berdua.
Akan tetapi ketika itu, Suma Lian sedang belajar silat kepada kakek Gak Bun Beng dan baru berusia tiga belas tahun. Oleh karena itu ayah ibunya menjawab bahwa karena anak itu masih belum dewasa, maka urusan pernikahan ini sebaiknya pembicaraannya ditunda dan kelak akan diserahkan kepada Suma Lian sendiri. Mereka memberi tahu kepada Suma Ciang Bun bahwa tentang perjodohan puteri mereka, mereka akan menyerahkan kepada pilihan Suma Lian sendiri. Kalau kelak Suma Lian suka menjadi jodoh Gu Hong Beng seperti yang diusulkan oleh mendiang nenek Teng Siang In, tentu mereka pun tidak berkeberatan.
Kini, setelah puteri mereka dewasa dan mereka memikirkan perjodohan puteri mereka, tentu saja suami isteri itu teringat kepada Gu Hong Beng! Sudah lama sekali mereka tidak pernah bertemu dengan Gu Hong Beng atau pun gurunya, Suma Ciang Bun. Akan tetapi mereka pernah mendengar bahwa kakak mereka itu kini tinggal sebagai pertapa di lereng Gunung Tapa-san, di dekat sumber air Sungai Han-sui di Propinsi Shensi.
“Hemmm, entah berapa usianya sekarang. Kalau tidak keliru, ketika kakak Ciang Bun membicarakan urusan perjodohan itu, Hong Beng berusia sembilan belas tahun dan Lian-ji baru berusia tiga belas tahun. Kalau sekarang Lian-ji berusia dua puluh tahun, berarti Hong Beng sudah berusia dua puluh enam tahun,” kata Suma Ceng Liong mengingat-ingat. “Pemuda itu cukup baik, gagah perkasa dan sederhana dan tentang ilmunya, walau pun mungkin tidak setinggi yang dikuasai Lian-ji, namun tentu selama ini dia telah memperoleh banyak pengalaman dan kemajuan.”
“Hanya kita tidak tahu apakah dia masih belum memperoleh jodoh, dan kita lebih tidak tahu lagi keadaan anak kita sendiri. Sebaiknya, biarlah besok kutanyai Lian-ji, apakah selama ini ia sudah bertemu dengan seorang pemuda yang cocok untuk menjadi calon suaminya.”
“Kalau sudah ada?” tanya suaminya.
“Kita akan desak dia supaya segera diadakan kontak dan kita sebagai orang tua akan membicarakan dengan pihak sana.”
“Bagaimana kalau ia belum mempunyai pandangan?”
“Wah, kalau begitu aku sendiri pun bingung,” kata Kam Bi Eng.
“Begini saja, kalau memang benar ia masih bebas, kita suruh saja ia pergi berkunjung ke tempat pertapaan kakak Suma Ciang Bun. Kasihan Bun-toako, hidup seorang diri. Biarlah Lian-ji berkunjung ke sana dan menyampaikan permintaan kita agar Bun-toako suka tinggal bersama kita di sini. Dengan demikian, memberi kesempatan kepadanya untuk bertemu dengan Hong Beng dan kita nanti bicarakan urusan jodoh itu, kalau-kalau Lian-ji menyetujuinya.”
Kam Bi Eng menyetujui usul suaminya. Bagaimana pun juga, sebagai seorang ibu tentu saja dia pun ingin sekali melihat puterinya menikah dan biar pun usianya baru empat puluh tahun, karena tidak mempunyai anak lain kecuali Suma Lian, maka Kam Bi Eng juga mendambakan adanya seorang cucu yang mungil.
Demikianlah, pada keesokan harinya, Kam Bi Eng mengajak puterinya bercakap-cakap. Dipancingnya puterinya itu dalam sebuah pembicaraan tentang perjodohan. Suma Lian tersenyum memandang ibunya.
“Aihhh, Ibu ini! Pagi-pagi bicara tentang perjodohan! Siapa sih yang memikirkan soal jodoh?” katanya sambil tertawa.
Kam Bi Eng adalah seorang yang juga berwatak lincah jenaka, akan tetapi ia memiliki ketegasan. “Hentikan main-main itu, anakku. Ingat, berapa usiamu sekarang?”
“Berapa, ya? Dua puluh tahun lebih kukira.”
“Nah, biasanya seorang wanita yang berusia dua puluh tahun lebih telah menggendong seorang anak. Apakah engkau sama sekali belum memikirkan urusan perjodohan? Aku dan Ayahmu menyerahkan pemilihan calon suami kepadamu, maka aku ingin sekali tahu apakah selama ini engkau sudah bertemu dengan seorang pria yang kau anggap cocok untuk menjadi calon suamimu?”
“Wah, Ibu ini ada-ada saja. Selama ini aku tekun berlatih silat, mana ada kesempatan untuk memikirkan soal itu? Tidak, Ibu, aku belum mempunyai pilihan siapa pun juga.”
“Sudahlah kalau begitu. Sekarang, ayahmu dan aku minta agar supaya engkau suka mengundang paman tuamu Suma Ciang Bun. Kasihan dia, hidup mengasingkan diri dan seorang diri pula. Engkau kunjungilah dia dan atas nama kami, undanglah dia ke sini. Sebentar, kupanggil ayahmu!”
Kam Bi Eng lalu memanggil suaminya yang berada di ruangan belakang. Suma Ceng Liong datang dan dia pun membenarkan apa yang dikatakan isterinya.
“Benar, Lian-ji. Kami merasa kasihan kepada Bun-toako. Engkau pergilah ke sana dan katakan bahwa kami mengundang dia untuk datang dan tinggal di sini bersama kita.”
“Akan tetapi, di manakah paman Ciang Bun tinggal?”
“Dia bertapa di lereng Pegunungan Tapa-san, di dekat sumber air Sungai Han Sui, di Propinsi Shensi. Carilah dia sampai dapat, anakku, dan bujuklah dia supaya suka ikut bersamamu ke sini. Kami sudah rindu padanya dan katakan bahwa kami ingin sekali agar dia tinggal bersama kami di sini, sedikitnya untuk beberapa waktu lamanya, syukur kalau dapat selamanya. Dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi, Lian-ji.”
Suma Lian mengangguk. Memang tidak enak rasanya tinggal di rumah saja, dan ia pun tidak mengira sama sekali bahwa selain mengundang paman tuanya, juga kedua orang tuanya itu mengharapkan ia bertemu dengan Gu Hong Beng yang sudah ditunangkan dengannya secara diam-diam oleh mendiang neneknya!
Beberapa hari kemudian, setelah membawa bekal pakaian beserta uang secukupnya, berangkatlah Suma Lian meninggalkan rumah orang tuanya. Kini ia sudah berbeda lagi dengan ketika dia pulang, karena dia sudah dibekali dua macam ilmu yang membuat dirinya menjadi semakin lihai. Dan di pinggangnya kini terselip sebatang suling emas!
Seperti juga sumoi-nya, Li Sian, ia mampu mempergunakan setiap ranting kayu untuk menjadi pedang dan memainkan ilmu Lo-thian Kiam-sut. Akan tetapi dengan suling emas itu ia merasa lebih mantap dan lebih percaya akan kemampuan diri sendiri.
Perjalanan yang dilakukan Suma Lian cukup jauh, menuju ke barat melalui Propinsi Honan dan Shensi. Kalau pulangnya, akan lebih mudah mengambil jalan air, yaitu naik perahu mengikuti aliran Sungai Kuning, akan tetapi berangkatnya, ia mengambil jalan darat. Namun, bagi seorang gadis perkasa seperti Suma Lian, perjalanan itu bahkan sangat menggembirakan dan ia sama sekali tidak khawatir akan adanya gangguan di dalam perjalanan karena ia sudah membawa bekal ilmu kepandaian yang tinggi.
Akan tetapi, baru beberapa hari ia meninggalkan Cin-an dan tiba di perbatasan Propinsi Hopei karena dara ini mengambil jalan lurus ke barat, ia memasuki sebuah kota kecil, di perbatasan itu dan oleh karena hari sudah mulai gelap, ia mengambil keputusan untuk bermalam di kota itu. Dia tidak menyangka di tempat itu ia bertemu dengan pengalaman yang berbahaya!
Sore hari itu, setelah memasuki kota Bun-koan yang tidak berapa besar. Suma Lian segera menoleh ke kanan kiri untuk mencari rumah penginapan. Hari itu ia melakukan perjalanan sehari penuh melalui jalan berdebu dan ia merasa tubuhnya lelah, panas dan kotor. Ia ingin mandi, kemudian mencari makan malam yang enak sebelum beristirahat semalam suntuk agar tenaganya pulih kembali dan besok dapat melanjutkan perjalanan pagi-pagi dengan tubuh segar.
Kota itu tidak besar dan ternyata hanya mempunyai sebuah rumah penginapan yang tidak berapa besar. Keadaan rumah penginapan itu terlalu kotor bagi Suma Lian. Akan tetapi, gadis ini pernah hidup dalam keadaan yang serba sederhana bahkan sangat kekurangan ketika ia mengikuti gurunya hidup sebagai orang yang miskin, maka ia tidak dapat terlalu banyak memilih dan tidak pula merasa jijik ketika ia akhirnya memperoleh sebuah kamar yang tidak besar dan agaknya jarang dibersihkan. Ia hanya minta agar kain alas tempat tidur dan bantalnya diganti dengan yang bersih, dan untuk itu ia harus mengeluarkan beberapa uang kecil untuk pelayan.
Hanya dengan mengeluarkan uang persenan tambahan pula maka dia akhirnya bisa memperoleh cukup air untuk mandi. Tubuhnya terasa segar dan nikmat setelah mandi bersih dan mengenakan pakaian pengganti, dan atas petunjuk pelayan yang sudah dua kali menerima hadiah uang kecil darinya itu, ia memperoleh keterangan di mana ia bisa membeli makan malam yang enak.
Benar saja, restoran kecil itu ternyata dapat menyuguhkan makanan yang cukup lezat, terutama sekali masakan udang kegemarannya. Harganya pun tidak mahal. Dengan puas Suma Lian kembali ke kamar di rumah penginapannya, siap untuk tidur.
Selagi ia berjalan melalui lorong menuju ke kamarnya, tiba-tiba ia mendengar suara anak laki-laki yang merengek, datangnya dari kamar di sebelahnya.
“Aku mau pulang! Ah, antarkan aku pulang, atau aku mau pulang sendiri. Aku tidak mau lagi melanjutkan perjalanan dan ikut denganmu!” Suara itu jelas suara seorang anak laki-laki dan suaranya terdengar seperti anak yang ketakutan.
Karena tertarik, dan lorong di mana kamar-kamar berjajar itu sepi, Suma Lian kemudian menghentikan langkahnya dan mendengarkan.
“Hushhhhh, jangan ribut-ribut,” terdengar suara seorang laki-lagi, suaranya membujuk. “Kalau sampai terdengar olehnya dan dia menyusul ke sini, tentu kita akan dibunuh, terutama sekali engkau.”
“Ahh, kenapa wanita itu hendak membunuh aku? Kenapa?” Anak itu membentak.
“Ssttt, dia adalah musuh ibumu. Dan hanya ibumu yang dapat melawannya, dapat melindungimu, karena itu aku akan mengantar pada ibumu. Ia berada di kota So-tung, tak jauh dari sini. Besok pagi-pagi kita ke sana dan sekarang diamlah, kita sembunyi di sini...“
Anak itu tidak terdengar merengek lagi. Suma Lian tentu saja merasa heran mendengar ucapan laki-laki itu. Siapakah yang ingin membunuh seorang anak kecil dan mengapa? Akan tetapi, jangan-jangan laki-laki itu hanya menakut-nakuti saja dan karena bukan urusannya, maka ia pun melangkah menuju ke kamarnya dan merebahkan diri setelah membuka sepatunya.
Akan tetapi, percakapan di kamar sebelah itu membuat ia tidak mudah untuk pulas. Perhatiannya tetap saja tertuju ke kamar sebelah dan kewaspadaannya tetap berjaga-jaga, siap untuk turun tangan menolong kalau-kalau benar ada bahaya mengancam anak di sebelah itu!
Akhirnya, karena tidak terjadi sesuatu sampai jauh hampir tengah malam, Suma Lian mulai mengantuk. Ketika ia hampir tertidur, tiba-tiba saja telinganya yang masih dalam keadaan waspada itu menangkap sesuatu yang mencurigakan, suara gerakan di atas genteng! Sedikit suara ini saja sudah cukup baginya untuk terbangun.
Cepat disambarnya sepatunya, dipakainya dan ia pun membuka daun jendela, lalu tubuhnya sudah meluncur keluar dari jendela kamarnya. Pada saat itu, dia melihat seorang laki-laki yang menggendong seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tujuh tahun, juga melompat keluar dari jendela kemudian melarikan diri.
Itulah orang yang tinggal di kamar sebelah, pikirnya. Agaknya laki-laki itu pun sudah mendengar akan suara mencurigakan di atas genteng dan kini dia mengajak anak itu melarikan diri. Dan benar saja, pada saat itu pula, dari atas genteng menyambar turun bayangan orang yang berseru dengan halus.
“Hemmm, engkau hendak lari ke mana?“
Mendengar ini laki-laki yang menggendong anak itu mempercepat larinya. Terkejutlah Suma Lian melihat bahwa laki-laki itu ternyata dapat berlari cepat sekali, bukan larinya orang sembarang melainkan larinya orang yang menguasai ilmu berlari cepat dengan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat! Akan tetapi wanita itu, bayangan yang membentak tadi, juga dapat berlari cepat melakukan pengejaran.
Melihat kejadian ini, Suma Lian juga mengerahkan tenaganya dan ikut mengejar pula. Untung baginya bahwa malam itu bulan bersinar terang sehingga ia dapat melihat jelas dua bayangan yang saling berkejaran itu. Laki-laki yang menggendong anak itu dapat berlari cepat sekali, akan tetapi pengejarnya agaknya lebih lihai lagi sehingga jarak di antara mereka menjedi semakin dekat.
Suma Lian yang khawatir kalau-kalau dua orang itu terkejar dan terbunuh, mempercepat larinya dan ketika laki-laki itu menghilang ke dalam sebuah hutan kecil, pengejarnya meragu dan berhenti sebentar di luar hutan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Suma Lian untuk mempercepat larinya dan membentak,
“Hai, engkau yang berniat jahat, tunggu dulu!” bentakannya nyaring sehingga membuat wanita yang tadi melakukan pengejaran itu terkejut, lalu membalikkan tubuhnya.
Sekarang mereka berdiri berhadapan, dalam jarak antara dua meter. Sinar bulan cukup terang sehingga walau pun tidak sangat jelas, namun mereka dapat saling melihat dan keduanya diam-diam merasa heran. Suma Lian melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan nampak seperti seorang penjahat. Sebaliknya malah, dia seorang wanita muda, seorang gadis yang cantik jelita, matanya lebar dan sikapnya gagah sekali.
Akan tetapi, wanita itu agaknya marah oleh gangguannya. Begitu mereka berhadapan, ia menegur Suma Lian, suaranya nyaring dan ketus.
“Siapakah engkau yang berani mencampuri urusan orang lain dengan lancang? Mau apa engkau mengejar aku?”
Suma Lian tidak marah, hanya ia merasa heran mengapa ada seorang gadis secantik dan segagah ini berhati kejam hendak membunuh seorang anak kecil.
“Aku mengejar untuk mencegah engkau melakukan suatu kejahatan, Sobat! Mengapa pula engkau mengejar orang yang membawa seorang anak kecil tadi? Tidak usah kau lanjutkan niatmu yang jahat itu...“
“Lancang kau! Kalau aku mengejar mereka, engkau mau apa? Apamukah laki-laki itu?”
“Bukan apa-apa. Aku kebetulan sedang bermalam di kamar dekat kamar mereka dan mendengar bahwa mereka takut kepadamu yang hendak membunuh, maka aku lalu ikut pula mengejar. Kalau engkau lanjutkan pengejaranmu, terpaksa aku akan turun tangan menghalangimu.”
“Hemm, manusia sombong dan lancang yang hendak mencampuri urusan orang! Atau mungkin engkau kaki tangannya, ya? Kalau begitu perlu kuhajar dulu engkau!” Gadis itu sudah menerjang dengan tamparan ke arah muka Suma Lian.
Tentu saja Suma Lian cepat mengelak dan langsung balas menyerang dengan tak kalah cepatnya. Namun, gadis itu meloncat ke samping dan kini dia menerjang lagi sambil menghujankan serangan dengan kaki tangannya, seolah-olah ingin cepat merobohkan Suma Lian agar ia dapat cepat melakukan pengejaran terhadap laki-laki yang melarikan bocah tadi.
Menghadapi serangan yang luar biasa cepatnya ini, Suma Lian terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa gadis yang menjadi lawannya ini benar-benar lihai sekali. Serangan gadis itu bukan saja sangat cepat, akan tetapi juga hawa pukulan yang keluar dari gerakan kaki tangannya amat kuat, tanda bahwa gadis itu memiliki sinkang yang sudah tinggi tingkatnya. Ia pun cepat melindungi dirinya dengan langkah-langkah ajaib Sam-po Cin-keng sehingga dengan mudah ia dapat menghindarkan semua serangan lawan.
Gadis itu menjadi semakin penasaran. “Hemmm, kiranya engkau mempunyai sedikit kepandaian, ya?” bentaknya. “Nah, terimalah ini!”
Tangan kanannya menyambar cepat dan ada hawa yang panas sekali menyambar dari tangan kanannya itu, dan kehebatan serangan ini sukar untuk dielakkan lagi oleh Suma Lian. Ia terkejut, maklum akan hebatnya pukulan lawan, maka ia pun menggerakkan tangan kirinya sambil mengerakkan tenaga Swat-im Sinkang untuk menyambut pukulan yang mengandung hawa panas itu.
“Dukkk!”
Dua buah lengan yang berkulit putih halus itu saling bertemu. Keduanya terdorong ke belakang dan keduanya memandang dengan mata terbelalak.
“Swat-im Sinkang...!” teriak gadis yang menyerang itu.
“Hui-yang Sinkang...!” Suma Lian juga berseru heran.
Gadis itu memandang marah, lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka Suma Lian. “Engkau dari mana mencuri ilmu dari Pulau Es?” bentaknya.
Suma Lian tersenyum mengejek. “Sobat, engkaulah yang mencuri ilmu dari keluargaku. Aku bernama Suma Lian, keturunan langsung dari penghuni Pulau Es!”
“Aihhhhh...!” Gadis itu berseru dan memandang dengan mata terbelalak.
“Kau… kau... Suma Lian, puteri dari paman Suma Ceng Liong?”
“Benar, dan siapakah engkau?”
“Aku Kao Hong Li...“
“Aihhh...! Engkau puteri bibi Suma Hui...?” seru Suma Lian dan mereka maju saling berangkulan. “Enci Hong Li, maafkan aku, maafkan kelancanganku tadi.”
”Sudahlah, adik Lian. Sering kali aku datang berkunjung ke rumah paman Suma Ceng Liong, akan tetapi engkau belum juga pulang. Tentu ada sebabnya mengapa engkau tadi mencegah aku mengejar orang yang menculik anak itu.”
Suma Lian merasa kaget setengah mati. “Apa? Dia... dia itu menculik anak itu? Wah, kalau begitu aku yang bersalah, enci Hong Li.”
Lalu ia menceritakan bahwa tadi ia mendengar anak itu merengek minta pulang. “Dan laki-laki itu mengatakan bahwa mereka harus cepat melarikan diri darimu yang hendak membunuh mereka, terutama membunuh anak itu. Maka, ketika melihat betapa mereka melarikan diri dan engkau mengejarnya, aku pun langsung saja turun tangan hendak mencegahmu. Maafkan aku...“
“Hemmm, penculik itu telah menipu si anak dan engkau pun ikut pula tertipu, adik Lian. Aku melihat dia melarikan anak laki-laki itu yang berteriak minta dilepaskan dan minta dipulangkan, maka aku melakukan pengejaran sejak kemarin. Aku kehilangan jejaknya dan baru aku temukan mereka di rumah penginapan ini.”
“Akan tetapi siapakah dia, Enci? Dan mengapa pula dia menculik anak laki-laki itu? Siapa pula anak laki-laki itu?”
“Aku juga tidak tahu siapa mereka dan mengapa pula dia menculik anak itu. Ketahuilah, adik Lian, aku sedang melakukan perjalanan menuju ke rumah orang tuamu, untuk memberi kabar tentang meninggalnya kakek dan nenek di gurun pasir...“
“Ahhh! Penghuni Gurun Pasir...?”
“Benar, kakek dan nenekku tewas setelah istana itu diserbu banyak datuk sesat, dan setelah memberi tahukan kepada orang tuamu, aku akan pergi mencari siapa para datuk yang pernah menyerbu ke sana. Dan engkau sendiri, engkau sudah berapa lama pulang dan sekarang hendak ke mana?”
“Aku diutus oleh orang tuaku untuk mengundang paman tua Suma Ciang Bun agar suka datang ke rumah kami.”
“Aih, paman Suma Ciang Bun? Dia bertapa di Tapa-san dan agaknya sudah tidak mau lagi mencampuri dunia ramai. Aku pun pernah beberapa kali berkunjung ke sana. Ahhh, sungguh tidak kusangka kita akan saling bertemu seperti ini, adik Lian!”
“Aku pun girang sekali dapat bertemu denganmu, enci Hong Li. Akan tetapi, setelah mendengar keteranganmu tentang lelaki yang bercaping lebar tadi bahwa dia menculik anak itu, biarlah aku akan melakukan pengejaran dan menolong anak itu!”
“Tapi, ke mana engkau akan mencarinya, adik Lian? Dan aku pun belum yakin benar, baru mencurigainya menculik anak, belum ada bukti nyata, bahkan aku tidak tahu siapa dia dan siapa anak itu.”
“Biarlah, Enci. Aku akan menyelidiki. Terpaksa kita harus berpisah di sini, Enci. Engkau melanjutkan perjalanan ke rumah orang tuaku menyampaikan berita duka itu, dan aku akan pergi berkunjung kepada paman Suma Ciang Bun setelah menyelidiki penculik itu.”
Kao Hong Li merangkul lagi, merasa sayang untuk saling berpisah. “Aih, kita baru saja bertemu secara tidak sengaja. Kalau tadi kita tidak sama-sama menggunakan Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, entah bagaimana jadinya dengan kita yang saling hantam sendiri. Akan kuceritakan ini kepada orang tuamu. Ahhh, aku masih ingin sekali bersamamu dan bercakap-cakap lama, adik Lian.”
“Aku pun begitu, Enci. Akan tetapi karena kita berdua sama-sama mempunyai tugas, biarlah lain kali masih banyak kesempatan bagi kita untuk saling berjumpa lagi dan bercakap-cakap sepuasnya.”
“Baiklah, adik Lian. Nah, selamat berpisah. Akan tetapi kalau engkau mengejar orang bercaping lebar itu, berhati-hatilah. Melihat gerakannya ketika lari, kurasa dia bukanlah seorang yang lemah.”
“Engkau benar, enci Hong Li. Akan tetapi aku pun belum yakin benar bahwa dia seorang penjahat yang menculik anak itu. Mungkin hanya timbul kesalah pahaman saja antara dia dan engkau. Aku tahu ke mana harus mencarinya karena ketika dia bicara dengan anak itu di dalam kamarnya, dia ada menyebutkan bahwa mereka akan pergi ke kota So-tung. Aku akan menyusul ke sana.”
“Aku tidak khawatir, engkau tentu akan mampu mengatasinya, Lian-moi.”
Kedua orang gadis itu yang masih saudara misan, saling peluk lagi kemudian Kao Hong Li meninggalkan tempat itu, berkelebat lenyap di kegelapan bayangan pohon. Suma Lian juga cepat masuk kembali ke dalam kamarnya dan setelah menggendong buntalan pakaiannya, dia pun meninggalkan kamar rumah penginapan itu tanpa pamit karena dia sudah membayar sewa kamar itu sore tadi.
Tidak sukar bagi Suma Lian untuk menemukan kota So-tung yang letaknya kurang lebih tiga puluh li dari kota di mana ia bermalam itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi ia telah memasuki kota So-tung. Sayang ia tertinggal jauh sehingga ia tidak lagi melihat bayangan laki-laki bercaping lebar bersama anak laki-laki itu. Namun, Suma Lian tidak putus asa dan ia pun segera berputar-putar melakukan penyelidikan di seluruh kota.
Ketekunannya berhasil baik. Ketika berjalan tiba di dekat pintu gerbang barat, ia melihat bayangan orang berkelebat dan ternyata bayangan itu adalah laki-laki berpakaian serba hijau yang mengenakan caping lebar, yang semalam melarikan diri bersama anak laki laki yang dikejar oleh Kao Hong Li itu! Akan tetapi, kini laki-laki itu berjalan seorang diri tanpa menggendong anak laki-laki itu dan nampaknya tergesa-gesa hendak keluar dari kota melalui pintu gerbang barat.
Melihat ini, Suma Lian juga mempercepat langkahnya keluar dari pintu gerbang itu. Pagi itu masih sunyi sekali, belum nampak seorang pun manusia di luar pintu gerbang dan Suma Lian melihat betapa laki-laki bercaping itu menoleh, kemudian melarikan diri!
“Hei, tunggu...!” Suma Lian berseru.
Dan ia pun mempergunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran. Melihat gadis itu melakukan pengejaran, laki-laki itu mempercepat larinya. Hal ini membuat Suma Lian semakin curiga dan ia pun mengerahkan seluruh kepandaiannya sehingga tidak lama kemudian ia dapat menyusul dan bahkan mendahului, lalu membalik dan menghadang.
“Tunggu dulu!” bentaknya lagi.
Laki-laki itu terkejut bukan main, akan tetapi, ketika melihat bahwa gadis yang larinya melebihi kijang cepatnya ini bukanlah gadis yang kemarin membayanginya, wajahnya menjadi agak lega.
“Ahh, kukira tadinya engkau adalah orang yang jahat itu, Nona,” katanya, dan sepasang matanya mengamati wajah Suma Lian penuh perhatian, dan penuh kagum pula.
Sebaliknya, Suma Lian juga memperhatikan orang ini. Seorang laki-laki muda, usianya tentu paling banyak tiga puluh tahun, agak kurus dan kedua pipinya nampak peyot bagai orang yang pemadatan. Akan tetapi sepasang matanya tajam mencorong menandakan bahwa dia seorang yang ‘berisi’, dan sinar mata itu tajam, juga mengandung kekejaman dan kelicikan. Mulutnya tersenyum dan nampak giginya yang agak menghitam karena banyak yang sudah rusak.
Wajah yang sebetulnya tampan itu nampak tidak menarik lagi ketika dia tersenyum dan diam-diam Suma Lian bersikap waspada. Orang seperti ini tentu tidak boleh dipercaya, demikian bisik hatinya. Sementara itu, pria yang kurus itu ketika melihat bahwa yang mengejarnya seorang gadis yang teramat cantik menarik, memperlebar senyumnya dan melangkah maju sambil menjura dengan sikap sopan.
“Aih, ada urusan apakah engkau mengejar dan menahan aku, Nona? Siapakah nama Nona dan ada keperluan apakah dengan aku?”
Suma Lian mengerutkan alisnya. Orang ini biasa mempergunakan topi caping lebar untuk menyembunyikan mukanya, akan tetapi sekarang dia mengangkat topi itu tinggi-tinggi sehingga nampak wajahnya yang sebenarnya tampan namun kurus sekali itu.
Dan sepasang mata yang tajam itu, selain mengandung kelicikan dan kekejaman, juga Suma Lian merasakan adanya kekuatan yang tidak wajar, seperti dimiliki orang yang biasa mempergunakan ilmu sihir. Hal ini diketahuinya semenjak ia dilatih ilmu sihir oleh ayahnya, sepulangnya dari perguruan. Oleh karena itu, ia pun bersikap hati-hati.
“Tidak ada urusan antara kita, dan tidak ada perlunya aku memperkenalkan nama. Akan tetapi, semalam aku melihat engkau melarikan seorang anak laki-laki sehingga timbul keinginan tahuku apa yang terjadi dengan anak itu? Di mana adanya anak laki-laki itu sekarang dan mengapa engkau melarikannya malam-malam dari rumah penginapan itu?”
Pria itu terbelalak. “Tapi... tapi... kulihat engkau bukanlah wanita yang membayangi dan mengejarku kemarin...”
“Memang bukan! Aku yang bermalam di kamar sebelah dan mendengarmu melarikan diri. Hayo katakan, siapakah anak itu dan mengapa pula engkau melarikannya dan di mana dia sekarang?”
“Bukan urusamu, Nona, dan kunasehatkan agar engkau tidak mencampuri urusanku yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu.”
“Hemmm, setiap kali hidungku mencium sesuatu yang busuk, tak mungkin aku tinggal diam begitu saja sebelum aku tahu betul bahwa tidak ada kejahatan dilakukan orang! Bawa aku pada anak itu agar aku dapat bicara sendiri dengan dia baru aku percaya bahwa engkau tidak melakukan sesuatu yang jahat terhadap dia!”
Laki-laki ini mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Nona, engkau masih muda dan cantik, tetapi amat sombong. Engkau tidak memandang sebelah mata kepada orang lain, agaknya engkau belum mengenal siapa diriku. Aku Liok Cit, tak percuma mempunyai julukan Tok-ciang Hui-moko (Iblis Terbang Bertangan Racun), dan tidak biasa aku diperintah orang lain! Pergilah sebelum terlambat!”
Suma Lian belum pernah mendengar nama julukan itu dan ia tersenyum. Ia seorang gadis yang lincah jenaka dan pemberani, maka mendengar nama julukan itu ia merasa geli.
“Wah-wah, julukanmu demikian hebatnya, seakan-akan engkau ini pandai terbang dan seolah-olah tanganmu beracun. Kulihat mungkin hanya hatimu saja yang beracun, dan mukamu seperti orang berpenyakit keracunan yang sudah mendekati liang kubur. Kalau engkau tak mau membawaku kepada anak itu, sekali dorong engkau tentu akan masuk liang kubur!”
“Bocah sombong!” Liok Cit, laki-laki itu, memaki.
Mendadak dia pun menyerang dengan terkaman tangan kanan ke arah pundak Suma Lian, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut. Serangan ini ganas dan berbahaya sekali, namun dengan mudahnya Suma Lian mengelak sambil mundur dan kakinya mencuat dengan tendangan menyamping, mengarah lambung lawan.
“Dukkk!”
Liok Cit menangkis tendangan itu dan balas menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Tubuhnya mendoyong ke depan, kedua tangannya terbuka dan dipergunakan sebagai golok, yang kanan membacok leher, yang kiri menusuk ke arah dada.
Melihat gerakan orang, Suma Lian maklum bahwa lawan ini memang bukan orang sembarangan, memiliki gerakan yang cepat dan dari sambaran kedua lengannya pun dapat dilihat bahwa dia memiliki tenaga sinkang yang kuat. Akan tetapi ia tidak takut. Ia melindungi kedua tangannya dengan tenaga Inti Bumi yang dapat menolak semua hawa beracun, dan menangkis sambil mengerahkan Swat-im Sinkang.
“Plak! Plak!”
Kedua pasang lengan bertemu dan tubuh Liok Cit terdorong ke belakang dan dia agak menggigil karena ketika lengannya bertemu dengan lengan gadis itu, ada hawa dingin melebihi salju menyusup ke tubuhnya melalui lengan yang beradu dengan lengan gadis itu.
“Ihhhhh...!”
Dia mengguncang tubuhnya untuk mengusir hawa dingin dan pada saat itu, Suma Lian sudah datang menyerangnya dengan totokan ke arah pundaknya. Cepat sekali gerakan gadis itu, akan tetapi lebih cepat lagi gerakan Si Iblis Terbang, karena tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat jauh ke belakang.
Suma Lian terkejut dan maklum bahwa orang ini memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang istimewa dan kiranya pantas memakai julukan Iblis Terbang. Ia mendesak lagi dengan serangan-serangannya, untuk memaksa orang itu supaya membawanya ke tempat anak yang semalam dibawanya pergi. Kini ia percaya akan keterangen Hong Li. Orang ini tentulah seorang penjahat lihai yang melakukan penculikan terhadap anak itu. Buktinya anak itu merengek minta pulang dan tentu kini disembunyikan di suatu tempat.
Liok Cit mengelak sambil berloncatan ke sana-sini. Dia mempergunakan kecepatan gerakannya, namun dia tidak mampu melepaskan diri dari desakan Suma Lian. Hanya dengan cara berloncatan yang amat cepat dia selalu dapat menjauh lagi tiap kali sudah terdesak hebat.
“Engkau masih tidak mau menyerah dan membawaku kepada anak itu?” bentak Suma Lian dan tiba-tiba ia menotok dengan ilmu totok Coan-kut-ci yang baru saja dipelajarinya dari ayahnya.
Ilmu totokan ini adalah ilmu yang berasal dari golongan hitam, merupakan ilmu yang keji dan dahsyat bukan main. Baru hawa totokannya saja sudah terasa oleh lawan dan Liok Cit juga merasa terkejut. Tadi ketika gadis itu menggunakan tenaga yang berhawa dingin, dia sudah terkejut dan jeri, kini gadis itu menyerangnya dengan totokan yang demikian dahsyatnya.
Kembali dia menyelamatkan diri dengan ilmu ginkang-nya. Tubuhnya terjengkang ke belakang seperti dilemparkan akan tetapi dia selamat dari totokan yang amat dahsyat itu. Tahulah dia bahwa jika dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka. Akan tetapi susahnya, kalau hendak melarikan diri pun pasti dapat dikejar karena ilmu berlari cepat gadis itu pun hebat sekali. Diam-diam dia berkeringat dingin, menduga-duga siapa adanya gadis muda yang demikian lihainya.
Sementara itu, Suma Lian sendiri juga menjadi penasaran. Jelaslah bahwa dalam hal ilmu silat, ia tidak kalah oleh si baju hijau ini, akan tetapi orang ini sungguh licin seperti belut dan mempunyai ginkang yang istimewa sehingga selalu dapat menghindarkan diri pada detik terakhir kalau serangannya sudah hampir mengenai sasaran.
Dengan marah dia lalu mencabut suling emas dari ikat pinggangnya dan menyerang dengan suling emasnya yang diputar dengan cepat. Suling itu mengeluarkan gaung merdu seperti ditiup dan berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah Liok Cit.
Orang ini pun cepat mencabut pedangnya. Melihat gulungan sinar emas menyambar-nyambar, dengan gugup dia lalu menangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga sekuatnya.
“Cringgg...!“
Pedang itu seperti terlibat gulungan sinar dan Liok Cit tidak mampu mempertahankan pegangan gagang pedangnya yang langsung terlepas dari tangannya. Mana dia mampu menandingi Ilmu Koai-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Siluman) yang baru saja dipelajari gadis itu dari ibunya.
Namun begitu sinar emas menyambar ke arah dadanya, sambil mengeluarkan teriakan melengking tahu-tahu tubuh Liok Cit sudah mencelat ke atas sebatang pohon tak jauh dari situ. Hebat memang gerakan ini, cepat seperti setan terbang saja!
Suma Lian menudingkan sulingnya ke arah lawan yang berada di puncak pohon itu. “Engkau masih belum mau menyerah? Biar engkau melarikan diri ke neraka sekali pun, jangan harap dapat terlepas dari sulingku ini! Cepat turun dan tunjukkan aku di mana adanya anak itu!”
Tok-ciang Hui-moko Liok Cit menghela napas panjang. Dia maklum bahwa dia kalah, akan tetapi dia masih mempunyai andalan lainnya untuk menundukkan gadis ini. Dia adalah seorang yang lama berkecimpung di dunia hitam dan menjadi sahabat baik dari para tosu Pek-lian-kauw sehingga pernah dia mempelajari ilmu sihir. Tentu saja ilmu ini selalu digunakannya untuk melakukan kejahatan dan kini dia hendak mempergunakan ilmu ini untuk menundukkan gadis yang membahayakan dirinya itu.
“Baiklah, Nona aku menyerah kalah. Aku bukan musuhmu, bukan orang jahat dan tidak bermaksud jahat kepadamu. Biarkan aku turun dan mari kita bicara baik-baik, Nona.”
“Turunlah. Tidak usah banyak bicara, asal engkau membawa aku kepada anak itu dan membiarkan aku bicara sendiri dengan dia, cukuplah. Kalau memang engkau tidak melakukan kejahatan, aku pun tidak suka mengganggu orang yang tidak berdosa,” kata Suma Lian sambil menyimpan kembali suling emasnya di ikat pinggang, tertutup oleh bajunya.
Dengan gerakan bagai seekor burung melayang turun, Liok Cit meloncat turun dari atas puncak pohon itu dan berdiri di depan Suma Lian. Diam-diam gadis ini amat kagum dan memujinya. Ginkang orang ini memang hebat sekali, pikirnya, dan ia sendiri masih kalah setingkat dalam hal meringankan tubuh. Untung bahwa dalam hal ilmu silat dan tenaga, ia masih menang jauh sehingga tadi ia mampu membuat orang ini tidak berdaya.
Akan tetapi, kini Liok Cit merangkapkan kedua tangannya seperti orang menyembah di depan dada, matanya memandang tajam penuh wibawa dan suaranya terdengar halus, namun mendesis dan mengandung pengaruh yang kuat pula. “Aku seorang sahabat, Nona, bukan musuh. Aku bermaksud baik kepadamu. Lihat, mukamu penuh keringat, usaplah dulu keringatmu baru kita bicara.”
Otomatis, Suma Lian mengusap sedikit keringat di dahinya dengan ujung lengan baju. Tiba-tiba saja gadis ini maklum. Keparat, pikirnya di dalam hati, orang ini menggunakan kekuatan sihir! Tentu saja ia mengerti dan dapat merasakan karena bukankah baru saja ia dilatih ilmu sihir oleh ayahnya sendiri? Tadi pun, dari pandang mata Liok Cit, ia sudah menduga bahwa orang ini menguasai kekuatan sihir dan sekarang agaknya hendak mempengaruhinya dengan sihir.
Diam-diam gadis ini tersenyum geli dalam hatinya. Baiklah, pikirnya, kalau ia tidak dapat menundukkannya karena orang ini terlalu cepat mengelak, dia akan pura-pura tersihir agar dapat dibawa ke tempat anak itu. Akan tetapi, diam-diam ia mengerahkan tenaga batinnya, bukan hanya sekedar untuk melawan ilmu sihir lawan, melainkan juga untuk mempengaruhi Liok Cit sehingga Liok Cit percaya bahwa ia yang tersihir.....
Komentar
Posting Komentar