KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-18


Can Bi Lan mempunyai seorang suci (kakak seperguruan perempuan) yang tadinya merupakan seorang tokoh sesat yang amat terkenal dengan julukannya Bi-kwi, bernama Ciong Siu Kwi yang menurut ayah ibunya, kini tokoh sesat itu telah sadar, bahkan telah melakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa membela para pendekar.

Menurut ayahnya, tokoh itu telah menikah dengan seorang pemuda petani yang berjiwa gagah perkasa walau pun tidak paham ilmu silat, dan kini kabarnya telah mengundurkan diri dan hidup sebagai petani, entah di mana. Keluarga itu tidak pernah menghubungi teman-teman lagi, bahkan tidak pernah mencampuri urusan dunia persilatan.

Tadinya, cerita tentang wanita itu tidak begitu menarik perhatiannya, akan tetapi kini, secara aneh dan kebetulan, ia dihadapkan dengan tokoh itu! Maka, tentu saja ia merasa amat tertarik dan ingin sekali ia melihat apa yang akan terjadi antara bekas tokoh sesat itu dan wanita lihai yang berjuluk Sin-kiam Mo-li ini. Kini ia pun mengerti mengapa anak kecil berusia tujuh tahun itu memiliki sikap seorang jantan, seorang pendekar. Kiranya dia putera bekas tokoh sesat yang pernah dipuji-puji oleh orang tuanya itu!

Memang tidak bohong kalau Ciong Siu Kwi mengatakan kepada Sin-kiam Mo-li bahwa sudah lama sekali ia tidak pernah lagi mencampuri dunia persilatan. Jangankan dunia persilatan, bahkan selama ini ia belum pernah memperlihatkan ilmu silatnya sehingga kecuali suaminya sendiri, tak seorang pun di dalam dusun mereka atau di dusun-dusun sekitar tempat tinggal mereka tahu bahwa nyonya Yo Jin yang tiap hari bekerja seperti wanita petani biasa itu sebetulnya ialah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi! Bahkan Yo Han sendiri pun tidak tahu! Yo Jin ayah anak itu, melarang isterinya untuk melatih putera mereka dengan ilmu silat.

“Ilmu silat tak terpisahkan dari kekerasan,” demikian suami itu berkata. “Dan kekerasan selalu mendatangkan permusuhan, dendam, kebencian dan kekejaman. Kita tidak boleh membiarkan putera kita menjadi seorang yang banyak musuh dan akhirnya menjadi seorang manusia yang berhati keras dan kejam.”

“Kurasa tidak selalu harus begitu, karena ilmu silat selain menjadi ilmu bela diri, juga merupakan olah raga yang menyehatkan badan dan batin, juga merupakan kesenian yang indah, bahkan kalau tidak keliru penggunaannya, dapat membuat orang menjadi seorang pendekar yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.”

“Hemmm, bagaimana pun juga alasannya tetap saja akhirnya dia akan mempergunakan kepandaiannya, yaitu ilmu memukul roboh, melukai dan membunuh orang lain, untuk mempertahankan apa yang dinamakannya kebenaran dan keadilan itu,” kata Yo Jin. “Tidak perlu kita melihat terlalu jauh atau mencari contoh yang terlalu jauh, ingat saja pengalamanmu sendiri. Ketika engkau masih berkecimpung di dunia persilatan, dengan modal kepandaian silatmu, bagaimana keadaan dirimu? Kemudian, lihat keadaanmu sekarang, semenjak kita menikah, sejak engkau meninggalkan dunia persilatan, sejak engkau tak pernah lagi menggunakan ilmu silatmu, hidup sebagai petani biasa. Apakah engkau tidak melihat perbedaannya?”

Ciong Siu Kwi tersenyum dan merangkul suaminya. Ia merasa kalah. “Tentu saja aku melihat perbedaannya yang sangat jauh, jauhnya seperti langit dan bumi! Kini hidupku tenteram, tak pernah mempunyai musuh, bahkan tak pernah dimusuhi orang.”

“Dan engkau bahagia?”

“Ya, aku berbahagia sekali.”

“Nah, mengapa engkau hendak menyeret anak kita ke dalam kehidupan yang penuh dengan pertentangan, perkelahian, permusuhan itu? Coba bayangkan saja. Andai kata engkau melatih Han-ji (anak Han) memainkan ilmu silat, andai kata dia telah pandai ilmu silat, tentu terjadi perubahan dalam pergaulannya dengan teman-temannya. Dia akan ditakuti, disegani, juga tentu ada yang iri. Lalu, kalau ada anak lain yang juga pernah belajar silat, tentu akan terjadi bentrokan antara dia dan anak itu, karena keduanya tentu ingin melihat siapa yang lebih unggul. Mereka akan berkelahi, menggunakan ilmu silat mereka, saling pukul. Kalau tidak anak kita yang terluka, tentu anak yang lain itu dan lalu timbullah permusuhan dan dendam antara keluarga kita dengan keluarga anak itu! Tidak, aku tidak suka melihat anak kita menjadi jagoan dan tukang pukul. Aku lebih ingin melihat anak kita kelak menjadi seorang laki-laki sejati, yang gagah berani menentang kelaliman, bukan mengandalkan kerasnya tulang dan kulit, akan tetapi mengandalkan kebenaran yang tidak dipaksakan oleh kekerasan.”

Ciong Siu Kwi yang amat mencinta suaminya mengalah. Demikianlah, sampai berusia tujuh tahun, Yo Han tidak pernah diajarkan ilmu silat. Namun, anak itu mewarisi watak ayahnya. Dia pemberani, jujur, dan terbuka, tetapi juga mewarisi kecerdikan ibunya.

Ketika sampai sore suami isteri itu tidak melihat putera mereka, keduanya menjadi amat khawatir. Ciong Siu Kwi mencari-cari dan bertanya-tanya. Akhirnya ada seorang petani yang melihat ketika dia berada di luar dusun betapa Yo Han dipondong dan dilarikan seorang laki-laki yang berpakaian serba hijau dan memakai caping lebar sehingga tidak nampak wajahnya, dan tubuhnya kurus.

Mendengar ini, Ciong Siu Kwi gelisah bukan main. Demikian juga Yo Jin. Keduanya dapat menduga bahwa putera mereka diculik orang! Yo Jin menarik napas panjang.

“Aih, tak kusangka bahwa setelah bertahun-tahun hidup tenteram, kembali terjadi kekerasan seperti ini. Aku yakin bahwa ini juga merupakan akibat dari keadaan hidupmu yang dahulu. Balas dendam! Ah, balas-membalas tiada habisnya, Yo Han yang tidak berdosa ikut pula terseret ke dalam permusuhan dunia persilatan.”

“Sudahlah, apa pun yang terjadi, kita tidak boleh tinggal diam saja. Aku harus mencari anakku dan merampasnya kembali. Kalau perlu, aku akan mempergunakan kepandaian yang dulu. Anakku harus diselamatkan, dengan taruhan nyawaku!”

Yo Jin tidak dapat membantah, hanya menarik napas panjang ketika melihat isterinya berangkat setelah membawa perbekalan. Bukan hanya lenyapnya Yo Han diculik orang itu saja yang membuat dia prihatin, akan tetapi terutama sekali terseretnya kembali isterinya ke dalam arus kehidupan dunia persilatan itulah!

Ia dapat membayangkan betapa isterinya akan bertemu dengan lawan-lawan dan akan selalu diancam bahaya dalam usahanya merampas kembali putera mereka. Dia sendiri tidak mungkin dapat melakukan pengejaran. Dan setelah isterinya pergi meninggalkan dusun itu, dia termenung. Diakah yang benar, atau isterinyakah ketika mereka berdebat apakah putera mereka perlu diajari ilmu silat ataukah tidak?

Dunia begini penuh orang jahat! Cukupkah mengandalkan para petugas keamanan saja untuk menjaga keamanan keluarga atau diri sendiri? Tanpa ilmu silat, dia sekarang merasa sama sekali tidak berdaya kalau menghadapi perbuatan jahat orang lain yang menimpa dirinya atau keluarganya.

Akan tetapi, andai kata dia pandai ilmu silat, bukankah kemungkinan puteranya diculik orang lebih besar lagi karena musuh-musuh mereka akan lebih banyak lagi? Buktinya, demikian banyaknya anak-anak dusun itu, tak ada penjahat yang mengganggu mereka, kecuali anaknya atau lebih tepat lagi anak isterinya!

Ini hanya disebabkan karena isterinya pernah menjadi seorang tokoh dunia persilatan! Andai kata isterinya seorang wanita dusun biasa, seorang wanita petani yang lemah, sama sekali tidak ada kemungkinan dan alasan bagi orang jahat mana pun juga untuk menculik Yo Han!

Demikianlah, Ciong Siu Kwi meninggalkan suaminya yang duduk termenung, dan begitu keluar dari dalam dusun, ia sudah menjadi Bi-kwi yang dahulu, dalam arti kata sebagai seorang wanita perkasa yang siap menghadapi bahaya dan lawan. Dia mengerahkan tenaganya untuk berlari cepat, tangkas seperti seekor harimau betina yang kehilangan anaknya, siap untuk mencakar dan merobek-robek dada siapa pun juga yang berani mengganggu anaknya! Bukan lagi sebagai Ciong Siu Kwi yang rajin bekerja di ladang setiap hari.

Karena ia pernah menjadi seorang tokoh besar dunia persilatan, bahkan seorang datuk sesat yang ditakuti, banyak pengalaman, maka tidak sulit baginya untuk mengikuti jejak penculik puteranya. Ia pandai mencium jejak, pandai mencari keterangan di sepanjang perjalanan sehingga akhirnya ia dapat juga tiba di dalam hutan di mana Sin-kiam Mo-li tinggal untuk sementara waktu dalam tugasnya menghimpun kekuatan.

Kebetulan sekali dia melihat seorang gadis yang cantik dan lihai bertanding dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li dan para pembantunya, kemudian melihat betapa Sin-kiam Mo-li mengancam hendak membunuh Yo Han! Melihat Yo Han berada di tangan Sin-kiam Mo-li, mengertilah Ciong Siu Kwi.

Benar sekali dugaan suaminya. Kiranya yang menculik puteranya bukanlah orang asing, akan tetapi musuh lamanya, yaitu Sin-kiam Mo-li. Dan melihat betapa gadis cantik itu tadi dikeroyok dan bahkan Sin-kiam Mo-li menggunakan siasat curang untuk memaksa gadis itu menyerah dengan mengancam Yo Han, tahulah Ciong Siu Kwi bahwa gadis itu adalah orang yang berusaha menolong puteranya.

Sebagai seorang bekas tokoh sesat yang banyak pengalaman, sekali melepas pandang saja Ciong Siu Kwi sudah dapat menilai keadaan. Ia tahu bahwa gadis itu tentu lihai bukan main. Kalau tidak demikian, tidak mungkin seorang seperti Sin-kiam Mo-li akan menggunakan cara curang, yaitu dengan mengancam akan membunuh Yo Han kalau gadis itu tidak mau menyerah.

Dengan adanya gadis selihai itu, ditambah ia sendiri, kiranya mereka berdua tidak perlu takut menghadapi Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Akan tetapi, ketika ia teringat kepada puteranya, hatinya seperti ditusuk-tusuk. Tidak, tidak mungkin ia menggunakan kekerasan karena setelah dirinya hadir, Sin-kiam Mo-li bukan lagi menggunakan gertak kosong belaka jika mengancam Yo Han, seperti yang tadi dilakukannya terhadap gadis itu. Dan demi keselamatan puteranya, tidak ada jalan baginya kecuali untuk sementara mengalah. Untuk sementara!

Ketika mendengar ucapan Sin-kiam Mo-li bahwa wanita itu sedang bergerak bersama para pendekar dan patriot untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu, tentu saja di dalam hatinya Ciong Siu Kwi tidak percaya seujung rambut pun. Ia bisa menduga ‘gerakan’ macam apa yang dilakukan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li.

Dahulu pun wanita ini bersekutu dengan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Memang kedua perkumpulan itu sejak dahulu menentang pemerintah Mancu, namun sama sekali bukan demi perjuangan membela rakyat, melainkan untuk kepentingan perkumpulan mereka sendiri. Akan tetapi, semua ini ia sembunyikan di lubuk hatinya saja dan wajahnya kini berubah, senyumnya menjadi ramah.

“Aih, benarkah itu, Mo-li? Jika begitu, sungguh aku pun ikut merasa girang dan bangga sekali kepadamu! Dan tentu saja aku mendukung perjuanganmu yang mulia itu. Akan tetapi, mengapa engkau menyuruh orang membawa puteraku ke sini?”

Sin-kiam Mo-li kembali tersenyum. “Hi-hi-hik, Bi-kwi, apakah kecerdikanmu juga sudah hilang setelah engkau menjadi seorang wanita petani? Tentu saja bukan percuma aku membawa puteramu yang tampan dan gagah ini ke sini. Hal ini bukan lain karena kami menginginkan tenagamu, menghendaki bantuanmu dalam gerakan kami.”

“Ahhh, Mo-li, untuk urusan begitu saja mengapa harus membawa anakku ke sini? Kita pernah menjadi rekan segolongan, kenapa bersikap sungkan dan ragu? Kalau engkau datang kepadaku dan berterus terang, tidak perlu lagi engkau menggunakan cara yang membikin aku kaget dan khawatir itu. Tentu saja untuk gerakan perjuangan menentang kaum penjajah Mancu, aku selalu siap siaga setiap saat. Nah, biarkan anakku ke sini, aku sudah rindu padanya. Aku akan membantu perjuanganmu itu,” kata Ciong Siu Kwi sambil mengembangkan kedua lengannya untuk menyambut puteranya.

Akan tetapi Yo Han tak dapat bergerak karena pundaknya masih dipegang dan ditekan oleh tangan Sin-kiam Mo-li, dan ketika Ciong Siu Kwi melangkah mendekati puteranya, tekanan jari tangannya semakin kuat membuat Yo Han meringis karena nyeri.

“Berhenti, Bi-kwi!” Sin-kiam Mo-li membentak. “Kalau engkau berani maju lagi, sekali menggerakan jari tanganku ini, anakmu akan mampus!”

Tentu saja Ciong Siu Kwi cepat menghentikan langkahnya dan ia memperlihatkan muka terheran-heran.

“Aih, kenapa, Mo-li? Bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku dengan senang hati akan membantu gerakan perjuanganmu? Bebaskan puteraku, dan anggap aku ini sudah menjadi rekanmu seperjuangan!” Ia berkata sambil tersenyum ramah.

Akan tetapi Sin-kiam Mo-li tetap memandang dengan alis berkerut dan senyumnya yang mengejek. “Hemmm, Bi-kwi, kau kira aku begitu bodoh untuk mempercayaimu begitu saja? Aku belum lupa ketika beberapa tahun yang lalu engkau sudah menipuku dengan sikapmu seperti ini, datang dan pura-pura bersahabat! Aku tak akan pernah melupakan kecerobohanku itu, dan sekarang jangan harap engkau akan dapat menipuku lagi!”

Diam-diam Ciong Siu Kwi merasa khawatir sekali. Ia tahu akan kecerdikan dan kelihaian Sin-kiam Mo-li. Memang, kurang lebih delapan tahun yang lalu, ketika ia membebaskan Kao Hong Li yang waktu itu baru berusia tiga belas tahun dari tangan Sin-kiam Mo-li yang menculik anak itu, dia pun mempergunakan siasat bersahabat sehingga akhirnya, bersama dengan pendekar Gu Hong Beng, ia berhasil menyelamatkan Kao Hong Li dari tangan iblis betina ini. Tentu saja kini Sin-kiam Mo-li tidak percaya lagi padanya! Ia pun tidak perlu berpura-pura lagi sekarang, tetapi harus menghadapi kenyataan ini dengan tabah.

“Baiklah, Sin-kiam Mo-li. Sekarang katakan, apa yang harus kulakukan demi menebus keselamatan dan kebebasan puteraku? Engkau tahu, jika sampai engkau mengganggu anakku, melukainya apa lagi membunuhnya, hemmm, berarti engkau telah menciptakan seorang musuh yang akan terus mengejarmu sampai engkau mati. Aku akan berubah menjadi setan yang haus akan darahmu, hal ini tentu engkau tahu!”

Diam-diam Sin-kiam Mo-li, iblis betina yang berhati kejam itu bergidik juga mendengar ucapan yang mengandung ancaman yang amat mengerikan itu dan dia tahu bahwa wanita ini tidaklah menggertak saja.

“Bi-kwi, engkau bukan orang bodoh, demikian pula aku. Kalau kita bekerja sama, aku yakin kita berdua akan mencapai hasil yang amat hebat. Engkau tentu maklum pula, bahkan aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Kalau itu yang kuinginkan, tentu sudah kubunuh anakmu ini. Tidak, aku sungguh ingin bekerja sama denganmu, namun demi keamanan dan agar aku tidak ragu lagi akan kesetiaanmu, terpaksa anakmu kujadikan sandera.”

Sejak tadi, Suma Lian hanya mendengarkan saja. Kalau dia mau, tentu saja mudah baginya untuk melarikan diri walau pun puluhan orang anak buah Ang-i Mo-pang masih mengepung tempat itu dengan senjata di tangan.

Juga para anggota Ang-i Mo-pang berdiri seperti patung, memandang dan mendengar dengan penuh perhatian. Tentu saja mereka semua mengenal baik Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi, karena wanita ini pernah menjadi pemimpin mereka setelah menaklukkan ketua mereka, beberapa tahun yang lalu ketika Bi-kwi masih berkecimpung di dunia kang-ouw.

Kini, melihat betapa dengan sangat cerdiknya Sin-kiam Mo-li menekan Ciong Siu Kwi dengan ancaman terhadap putera wanita itu, Suma Lian tiba-tiba mengeluarkan suara tertawa yang cukup lantang sehingga mengejutkan semua orang. Suma Lian kemudian berkata dengan lantang pula.

“Bibi yang baik, bukankah engkau ini bibi Ciong Siu Kwi, isteri dari paman Yo Jin? Aku adalah Suma Lian dan ayahku adalah Suma Ceng Liong. Aku yakin tentu bibi sudah mengenalnya. Ibuku Kam Bi Eng.”

Diam-diam Ciong Siu Kwi terkejut dan juga girang mendengar nama gadis itu dan nama ayah bundanya. Tentu saja dia mengenal baik ayah bunda gadis ini, akan tetapi dia mengerutkan alisnya. Sungguh ceroboh bagi gadis itu memperkenalkan namanya begitu saja di depan Sin-kiam Mo-li!

Akan tetapi, Suma Lian agaknya dapat menduga apa yang dikhawatirkan karena dia segera melanjutkan kata-katanya, “Bibi Ciong Siu Kwi, perlu apa mendengarkan ocehan iblis betina itu? Dia hanya akan menipumu dan membohongimu dengan kelicikannya. Jangan percaya padanya. Aku pun pernah mendengar dari ayah akan namanya yang tersohor jahat. Orang macam ia mana mungkin menjadi patriot dan pendekar? Jangan takut, Bibi, ancamannya terhadap puteramu hanya gertakan kosong belaka. Kalau dia berani mengganggu anakmu, aku akan membasmi ia dan semua anak buahnya ini!”

“Enci itu benar, Ibu!” Tiba-tiba Yo Han berseru kepada ibunya. “Lawan saja iblis ini. Aku tidak takut mati! Mati pun aku akan tersenyum karena aku yakin, dengan bantuan enci yang gagah itu, Ibu akan mampu membalaskan kematianku dan membasmi iblis ini dan semua anak buahnya...”

Tiba-tiba anak itu berhenti bicara karena tubuhnya menjadi lemas ketika Sin-kiam Mo-li menotoknya dengan hati gemas.

“Han-ji...!” teriak Ciong Siu Kwi dan Sin-kiam Mo-li tersenyum.

Bagaimana pun juga, pada saat melihat puteranya ditotok pingsan, hati ibunya menjadi gelisah sekali dan tak dapat ditahan lagi dia pun menjerit. Sin-kiam Mo-li memandang dengan hati gembira, penuh kemenangan.

“Bi-kwi, jangan dikira aku tidak akan berani menggorok leher puteramu! Dan aku pun tidak takut akan balas dendammu. Tinggal kau pilih saja, bekerja sama dengan kami dan anakmu selamat atau kubunuh dulu puteramu, baru kami akan membunuhmu, juga suamimu!”

Ciong Siu Kwi menjadi ragu-ragu. Bagaimana pun juga, melihat puteranya, ia khawatir sekali, dan orang macam Sin-kiam Mo-li memang tidak boleh dipandang ringan begitu saja. Ancamannya akan dapat dibuktikan karena hati wanita itu kejam melebihi binatang buas.

“Mo-li... apa... apa yang harus kulakukan?” tanyanya, suaranya melemah dan ia tidak berani memandang kepada Suma Lian.

“Pertama, engkau harus memperlihatkan kesungguhan hatimu bekerja sama denganku, Bi-kwi. Maka aku minta agar engkau membantu kami menghadapi gadis ini! Mari kita tangkap gadis ini!”

Seperti orang yang sudah tidak memiliki kemauan sendiri lagi karena putus asa melihat puteranya yang sedang berada di dalam cengkeraman Sin-kiam Mo-li, Ciong Siu Kwi mengangguk. “Baik!”

Ia lalu tiba-tiba saja bergerak dan menyerang ke arah Suma Lian yang masih berdiri tegak. Gadis ini sudah menyelipkan suling emasnya di ikat pinggang, akan tetapi selalu siap siaga menghadapi serangan lawan. Dan sekarang, melihat betapa Ciong Siu Kwi menyerangnya, ia menjadi terkejut dan amat bingung. Ia tahu benar mengapa wanita ini menyerangnya. Karena terpaksa, untuk menyelamatkan puteranya! Dan ia tidak dapat menyalahkan wanita ini.

Akan tetapi, serangan Siu Kwi demikian hebat! Ketika tubuh wanita ini menerjang dan tangannya menyambar ke arah dadanya, tangan itu didahului angin pukulan yang amat dahsyat hingga mengeluarkan suara bercuitan yang mengerikan. Sungguh merupakan serangan maut yang amat berbahaya.

Suma Lian cepat mempergunakan langkah ajaibnya untuk mengelak dan serangan itu pun mengenai tempat kosong. Ciong Siu Kwi memang menyerangnya dengan sungguh-sungguh.

Di dalam hatinya, tentu saja Siu Kwi tidak membenci atau memusuhi gadis keturunan keluarga Pulau Es ini, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat melakukan serangan pura-pura terhadap Suma Lian di depan Sin-kiam Mo-li yang tentu akan mengetahui apakah serangannya itu benar-benar ataukah hanya main-main saja.

Oleh karena itulah, begitu bergerak, Ciong Siu Kwi sudah mengerahkan tenaga dan menggunakan Ilmu Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot), semacam ilmu pukulan yang amat dahsyat. Tentu saja di dalam hatinya Ciong Siu Kwi berharap agar gadis keturunan keluarga Pulau Es ini telah memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi darinya supaya semua serangannya tak akan berhasil.

Maka, gembiralah hatinya ketika ia melihat betapa dengan gerakan langkah yang luar biasa anehnya, tahu-tahu gadis itu telah lenyap dan telah berada di samping kanannya sehingga serangannya yang pertama tadi pun hanya mengenai tempat kosong! Melihat kehebatan cara gadis ini mengelak dari serangannya, Ciong Siu Kwi lalu membalik ke kanan sambil menyerang lagi, kini lebih hebat karena kedua tangannya dibuka dan kini kedua tangan itu membacok dari kanan kiri dan mengeluarkan suara berdesing seolah-olah kedua tangan itu telah berubah menjadi pedang yang tajam! Inilah Ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) yang amat ampuh, peninggalan dari Sam Kwi. Kedua tangan itu kalau mengenai tubuh lawan dapat membuat bagian tubuh itu terluka seolah-olah terbacok pedang!

Kembali Suma Lian mengelak dengan gerakan yang aneh. Gadis ini pun kagum bukan main. Tidak heran kedua orang tuanya pernah menceritakan bahwa wanita ini dahulu menjadi seorang tokoh yang amat ditakuti di dunia kang-ouw. Baru saja ia mengelak, Ciong Siu Kwi sudah menyerangnya lagi, kini dengan tendangan bertubi-tubi yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dua macam serangannya yang pertama dan ke dua.

Meski ia memiliki San-po Cin-keng yang merupakan langkah ajaib, namun menghadapi tendangan Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin) itu, terpaksa Suma Lian harus menggunakan kedua-tangannya untuk kadang-kadang menangkis. Akan tetapi ia berhasil pula menghalau serangkaian tendangan yang ampuh itu.

Diam-diam Ciong Siu Kwi menjadi kagum bukan main dan semakin girang karena seperti yang diharapkan, gadis ini mempunyai ilmu kepandaian yang amat hebat dan agaknya masih berada di atas tingkat kepandaiannya sendiri! Dengan kenyataan ini maka bagaimana pun ia menyerang untuk memenuhi paksaan Sin-kiam Mo-li, ia tidak akan mungkin dapat mengalahkan Suma Lian! Ia menyerang terus, akan tetapi tidak mau mempergunakan ilmunya yang paling dahsyat, yaitu Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan Belas Jurus Ilmu Silat Lutung Hitam), walau pun serangan-serangannya juga cukup dahsyat dan bersungguh-sungguh.

“Hemmm, Bi-kwi, apakah engkau sudah lupa bahwa ada Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang yang kau miliki? Kenapa tidak mengeluarkan ilmu itu?” Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li berseru.

Bi-kwi sangat terkejut. Iblis betina itu sungguh cerdik dan dia harus berhati-hati. Tanpa menjawab, dia segera mengubah ilmu silatnya dan kini dia mainkan delapan belas jurus ilmu silat yang hebat ini.

Suma Lian bersikap hati-hati dan dia pun mengimbanginya dengan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit) yang sudah dipelajarinya dengan baik sekali dari kakek Gak Bun Beng. Dan dia pun mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang sehingga ketika beberapa kali ia menangkis dan lengannya bertemu dengan lengan Bi-kwi, maka wanita itu menggigil kedinginan!

Melihat serangan-serangan yang dilakukan Bi-kwi, diam-diam Sin-kiam Mo-li menjadi girang. Semua serangan itu bukanlah palsu dan tentu saja ia tidak merasa heran kalau Bi-kwi tak mampu mengalahkan gadis keluarga Pulau Es itu. Maka ia pun menyerahkan Yo Han yang masih tertotok itu kepada dua orang anak buahnya, memberi perintah agar jangan ragu-ragu membunuh anak itu bila sampai ada yang mau merampasnya dengan paksa.

Kemudian ia mengeluarkan aba-aba kepada Tok-ciang Hui-moko Liok Cit yang segera mengerahkan kembali anak buah Ang-i Mo-pang untuk mengepung dan mengeroyok Suma Lian. Sin-kiam Mo-li sendiri sudah mencabut kebutan dan pedangnya, dan langsung ia terjun ke lapangan pertempuran, menyerang Suma Lian dengan sepasang senjatanya yang ampuh itu.

Akan tetapi, Suma Lian sudah siap siaga dan kini suling emasnya itu telah berada di tangan kanannya. Nampak gulungan sinar emas ketika ia memutar sulingnya untuk melindungi dirinya dari sambaran kedua senjata lawan, kemudian ia membalas dengan hantaman suling ke arah kepala Mo-li, disusul totokan dengan jari tangan kiri ke arah lambung.

Saking hebatnya serangan balasan ini, Sin-kiam Mo-li terpaksa melompat ke belakang dan pada saat itu, Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi sudah pula mengirim serangannya dengan tendangan berantainya yang berbahaya. Juga Liok Cit sudah masuk pula menggunakan pedangnya, namun begitu pedangnya bertemu sinar suling emas, pedang itu terpental dan terpaksa Liok Cit juga melompat ke belakang.

Tentu saja kini Bi-kwi merasa khawatir sekali. Betapa pun pandainya Suma Lian, kalau ia maju mengeroyoknya bersama Sin-kiam Mo-li dan pembantunya yang kelihatannya juga lihai itu, tidak mungkin gadis itu akan mampu bertahan.

Melihat keraguan Bi-kwi, Sin-kiam Mo-li membentak. “Bi-kwi, hayo cepat bantu kami merobohkan gadis ini. Ingat, anakmu masih berada di tangan kedua orang anak buahku dan sekali aku memberi isyarat, mereka akan menggorok lehernya!”

Bi-kwi masih belum menyerang Suma Lian lagi dan mereka bertiga hanya mengepung gadis itu.

“Mo-li, bukankah yang kau kehendaki adalah agar aku mau bekerja sama denganmu? Nah, aku sudah siap dan mau, oleh karena itu, untuk apa mengeroyok Suma Lian ini? Suma Lian, engkau pergilah dan jangan mencampuri urusanku! Aku mau bekerja sama dengan Sin-kiam Mo-li untuk menentang pemerintah penjajah!”

Tentu saja bukan tidak ada artinya Bi-kwi menyuruh Suma Lian pergi. Pertama, supaya gadis itu selamat, ke dua agar gadis itu mencari bala bantuan untuk menyelamatkan ia dan puteranya.

Akan tetapi, Suma Lian mempunyai pikiran yang lain lagi. Gadis yang cerdik ini melihat kesempatan bagus terbuka ketika Sin-kiam Mo-li menyerahkan anak itu kepada dua orang anggota Ang-i Mo-pang.

“Apa, Bibi? Engkau suruh aku pergi? Aku justru hendak membasmi iblis ini. Cepat ambil puteramu!” Berkata demikian, dengan tiba-tiba sekali ia sudah memutar suling emasnya dan menyerang dengan amat dahsyatnya kepada Sin-kiam Mo-li!

Gadis ini mempergunakan jurus ampuh dari gabungan Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas, yang baru-baru ini sudah dilatihnya dengan tekun di bawah bimbingan ibunya. Sambil menyerang, dia lantas mengerahkan tenaga Inti Bumi, yang merupakan sinkang yang paling cocok untuk memainkan ilmu pedang dengan suling itu, juga ia mengeluarkan suara melengking nyaring yang mengandung kekuatan sihir untuk mengejutkan lawan!

Menghadapi serangan ini, Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Kekuatan sihir dalam suara melengking itu membuat ia terkejut dan kehilangan akal sehingga ia tidak dapat berbuat atau mengeluarkan suara ketika pada saat itu Bi-kwi sudah meloncat ke arah puteranya. Sin-kiam Mo-li sibuk menghadapi serangan dahsyat dari Suma Lian itu dan biar pun ia menggunakan pedang dan kebutan untuk melindungi dirinya, tetap saja ia terdesak sampai mundur beberapa langkah namun belum juga mampu membebaskan diri dari ancaman gulungan sinar suling emas itu!

Melihat ini, Liok Cit menyergap dari belakang, menusukkan pedangnya untuk membantu pemimpinnya. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh Suma Lian membalik dan sebuah tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Puyuh) menyerempet lambungnya sehingga Liok Cit terpelanting!

Sementara itu Ciong Siu Kwi cukup cerdik untuk dapat menangkap seketika teriakan Suma Lian tadi. Ia pun cepat meloncat ke arah Yo Han yang dijaga oleh dua orang anggota Ang-i Mo-pang. Gerakannya demikian cepat, loncatannya seperti seekor singa betina menubruk saja.

Dua orang yang menjaga Yo Han tidak mendapat aba-aba dari Sin-kiam Mo-li, dan mereka tidak sempat menggerakkan senjata untuk menyerang Yo Han karena tiba-tiba saja Ciong Siu Kwi sudah datang dengan kedua tangannya menyambar, menampar dan dua orang itu pun terpelanting bagai tersambar petir! Mereka memang sudah mengenal Bi-kwi dan sudah merasa jeri, maka begitu terpelanting dan terbanting, mereka tak mampu bangun lagi atau pura-pura pingsan saja agar lebih aman! Ciong Siu Kwi segera menyambar tubuh puteranya, membebaskan totokannya dan memondongnya, siap untuk melarikan diri.

Tetapi, Sin-kiam Mo-li yang berkat bantuan Liok Cit tadi sudah terbebas dari desakan Suma Lian, cepat berseru, “Bi-kwi, tahan dulu. Lihat siapa yang berada di tangan kami!”

Ciong Siu Kwi yang sudah siap melarikan puteranya, menengok dan seketika wajahnya berubah pucat sekali dan seluruh tubuhnya menegang, lalu lemas. Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa Sin-kiam Mo-li akan bertindak sedemikian jauh sehingga ketika ia pergi meninggalkan dusunnya, agaknya telah ada orang kepercayaan iblis itu yang segera menangkap suaminya! Yo Jin kini telah menjadi tawanan, kedua tangannya diikat di belakang tubuhnya dan sehelai rantai panjang kini dipegangi oleh dua orang anggota Ang-i Mo-pang!

Bahkan ketika Yo Han yang juga melihat ayahnya, melepaskan diri dari pondongannya, Bi-kwi tidak mampu menahannya. Anak itu melorot turun dan lari menghampiri ayahnya. “Ayah...! Ayah...! Lepaskan ayahku!”

Anak itu kemudian mengamuk, menggunakan kakinya menendang dan tangannya untuk memukul ke arah dua orang yang memegang rantai yang membelenggu kedua tangan Yo Jin. Akan tetapi Sin-kiam Mo-li telah menangkap pundaknya dan anak itu pun lemas tak mampu bergerak lagi.

“Ikat setan cilik ini dan satukan dengan ayahnya!” perintahnya.

Dua orang anak buah yang lain segera mengikat kedua tangan Yo Han dan rantai pengikatnya disatukan dengan rantai pengikat tangan Yo Jin.

“Bawa mereka masuk dan jika kalian melihat Bi-kwi berani memberontak dan melawan aku, jangan ragu-ragu lagi, bunuh suami dan anaknya itu!” Mendengar perintah ini, empat orang anak buah Ang-i Mo-pang lalu menyeret Yo Jin dan Yo Han pergi dari situ.

Yo Jin tidak berkata sesuatu, hanya memandang kepada isterinya. Dan pandang mata itu! Bagai ribuan ujung pedang yang menghujam ke dalam hati Ciong Siu Kwi! Pandang mata suaminya tercinta itu penuh penyesalan, seolah-olah suaminya itu menegur dan mengingatkannya bahwa mala petaka yang menimpa keluarganya itu adalah akibat dari kesalahannya di waktu dahulu! Dan memang suaminya benar. Semua ini terjadi karena ia pernah menjadi seorang Bi-kwi, seorang datuk sesat yang penuh dosa! Kini datanglah hukuman dari Tuhan!

Dengan kedua mata basah, penuh air mata, kini tanpa menunggu perintah lagi, Bi-kwi langsung maju menyerang Suma Lian! Serangannya sekali ini penuh semangat, penuh kesungguhan sehingga mengejutkan Suma Lian.

“Bibi...!” Suma Lian berseru sambil mengelak cepat.

“Engkau harus mati untuk menghidupkan suami dan anakku!” bentak Bi-kwi yang sudah menerjang lagi dengan sepenuh tenaganya. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li tersenyum girang karena ia merasa yakin bahwa kini Bi-kwi telah berada dalam cengkeramannya.

“Bagus, Bi-kwi, begitulah baru seorang sahabat sejati!” katanya dan dia pun memberi isyarat kepada Liok Cit untuk kembali maju. Kebutan dan pedangnya sudah digerakkan untuk menyerang Suma Lian.

Gadis ini sekarang menjadi marah bukan main. “Sin-kiam Mo-li, sungguh engkau iblis kejam dan aku harus membasmi engkau untuk membersihkan dunia dan menentramkan kehidupan rakyat!”

Sambil membentak marah, Suma Lian mengelak dari serangan Bi-Kwi dan meloncat ke kiri menyambut terjangan Sin-kiam Mo-li dengan suling emasnya. Karena ia tahu bahwa setelah melihat ancaman terhadap suami dan anaknya, Bi-Kwi sekarang benar-benar tak berdaya dan membutakan mata, maka wanita itu dapat merupakan lawan berbahaya sekali.

Bi-Kwi menyerangnya dengan sungguh-sungguh, sedangkan dirinya tentu saja tak tega membalas serangan wanita itu, karena dia maklum benar bahwa Bi-Kwi memusuhinya secara terpaksa sekali. Dia menimpakan kemarahannya kepada Sin-kiam Mo-li, bukan karena dirinya, melainkan karena melihat cara Sin-kiam Mo-li menguasai Bi-Kwi dengan cara yang amat licik.

“Trang-tranggg...!”

Saking hebatnya serangan Suma Lian dengan sulingnya, dua kali sulingnya bertemu dengan pedang dan kebutan di kedua tangan Sin-kiam Mo-li dan akibatnya iblis betina itu mengeluh dan meloncat jauh ke belakang. Ketika kedua senjatanya tadi bertemu dengan suling, tiba-tiba saja tangan kiri Suma Lian menampar. Benturan dengan suling itu membuat tubuhnya terasa dingin seperti disiram air es sehingga ia harus cepat mengerahkan sinkang-nya karena ia maklum bahwa gadis itu tentu mempergunakan Swat-im Sinkang, yaitu Tenaga Inti Salju, sinkang yang amat hebat dari pulau es.

Ketika tamparan tangan kiri menyambar, ia pun cepat menyambut dengan kebutannya, dengan maksud melukai tangan itu atau kalau mungkin melibat pergelangan tangan lawan dengan bulu kebutannya yang beracun. Tetapi, gadis perkasa itu tidak menarik kembali tangannya sehingga tangan itu bertemu dengan bulu kebutan dan akibatnya, Sin-kiam Mo-li merasa tubuhnya panas seperti dibakar api.

Itulah yang membuat ia meloncat mundur. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu dengan tangan kanannya yang mempergunakan suling emas mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang yang dingin sekali, sedangkan detik berikutnya, tangan kirinya yang menampar itu mengandung tenaga panas. Ia sudah pula mendengar bahwa di samping Swat-im Sinkang yang amat dingin, juga keluarga Pulau Es memiliki Hwi-yang Sinkang atau Tenaga Sakti Inti Api yang amat panas.

Suma Lian hanya mengelak dari serangan-serangan Bi-kwi, bahkan juga serangan yang dilakukan Liok Cit hanya dielakkannya, karena seluruh daya serangnya ditujukannya kepada Sin-kiam Mo-li. Maka, melihat wanita ini meloncat mundur, ia pun mengejarnya dengan loncatan dan kembali ia telah menyerangnya dengan dahsyat dan bertubi-tubi!

Sin-kiam Mo-li berusaha melindungi tubuhnya dengan pedang dan kebutan, akan tetapi hawa pukulan dahsyat yang dikeluarkan dari tangan kiri dan suling emas di tangan Suma Lian membuat ia kembali terhuyung ke belakang. Pada saat itu Bi-kwi kembali sudah menghantam dari samping untuk menolong Sin-kiam Mo-li yang terdesak. Suma Lian memutar tubuhnya, sekaligus menangkis pukulan Bi-kwi dengan tangan kiri dan menangkis pedang Liok Cit dengan sulingnya.

“Dukkk!”

Tubuh Bi-kwi terpental sehingga hampir roboh karena tenaganya membalik sedemikian kuatnya.

“Cringgg...!”

Kembali Liok Cit merasa betapa tangannya yang memegang pedang disergap hawa dingin yang membuatnya menggigil. Namun dia masih sempat mengeluarkan aba-aba dan belasan orang berpakaian merah telah menerjang Suma Lian dari segenap penjuru.

Gadis itu memutar sulingnya sambil mengerahkan tenaga dan beberapa orang anggota Ang-i Mo-pang berseru kesakitan dan pedang mereka terlepas, bahkan ada pula yang roboh karena tidak kuat menahan tangkisan suling yang amat kuat itu. Akan tetapi, lebih banyak lagi orang berpakaian merah mengepung dan mengeroyok Suma Lian. Gadis itu hanya mempergunakan sulingnya melindungi diri, dan mencari-cari dengan pandang matanya. Kiranya Sin-kiam Mo-li sudah menjauhkan diri, berdiri di atas sebuah batu di bawah pohon dan di depannya terbentang petak rumpun yang hijau subur.

Karena Suma Lian maklum bahwa sekali ia mampu merobohkan Sin-kiam Mo-li, tentu dengan mudah ia mengalahkan anak buah iblis betina itu dan menyelamatkan keluarga Yo, ia memutar sulingnya sedemikian rupa sehingga para pengeroyok terpaksa mundur. Dengan menerjang ke kiri, ia merobohkan empat orang anggota Ang-i Mo-pang dan ia pun lalu menerobos keluar dari kepungan untuk mengejar Sin-kiam Mo-li.

“Iblis betina, mau lari ke mana kau...?” bentaknya sambil berlari cepat melintasi petak rumput sambil memutar suling emasnya.

“Nona Suma, hati-hati...“ Tiba-tiba Bi-kwi berseru, akan tetapi terlambat karena tubuh Suma Lian tiba-tiba terjeblos ke dalam sebuah lubang sumur yang berada di bawah rumput hijau subur itu.

Oleh karena sama sekali tidak menyangka dan tidak curiga, Suma Lian tidak mampu menghindarkan dirinya pada saat kedua kakinya terjeblos ke bawah. Dia hanya dapat mengerahkan ginkang-nya agar luncuran tubuhnya ke bawah tidak terlampau cepat dan berat. Untunglah bahwa ketika ia terjeblos dan rumput penutup sumur itu ikut terjeblos, lubang sumur itu terbuka lebar dan ada sinar matahari yang menerobos masuk ke dalam sumur. Biar pun hanya remang-remang, namun cukup bagi mata Suma Lian yang tajam terlatih itu untuk dapat melihat apa yang berada di bawah, di dasar sumur dan ia pun terkejut.

Kiranya sumur itu merupakan sumur yang tiada airnya, dan di dasar sumur dipasangi tombak-tombak runcing menghadap ke atas, siap untuk menerima tubuh siapa pun yang masuk ke dalam sumur! Untung ada sinar masuk dan ia dapat melihatnya, kalau tidak, besar sekali bahayanya ia akan terluka dan mungkin tewas!

Kini ia cepat menusukkan suling emas yang masih dipegangnya ke dinding sumur dan ternyata dinding yang hanya merupakan tanah padas itu, dengan mudah tertusuk suling. Ia pun bergantung pada suling yang masuk seluruhnya ke dalam padas kecuali ujung yang dipegangnya!

Suma Lian memandang ke bawah. Tombak-tombak itu hanya tinggal satu meter saja di bawahnya. Ia harus dapat turun ke bawah, berpijak pada ujung mata tombak-tombak itu karena kalau tidak demikian, ia tidak mempunyai dasar untuk meloncat ke atas.

Sementara itu, dari atas terdengar suara ketawa Sin-kiam Mo-li. Suma Lian tidak tahu betapa Sin-kiam Mo-li tadi dengan marah sudah menyerang Bi-kwi dan karena Bi-kwi tidak melawan, maka ia dapat dirobohkan dengan totokan. Dan Sin-kiam Mo-li tertawa, suara ketawanya terdengar dari bawah sumur oleh Suma Lian.

“Bi-kwi, ternyata kau hendak berkhianat lagi! Engkau mencoba untuk memperingatkan gadis itu!” bentak Sin-kiam Mo-li. “Aku akan membunuh suami dan puteramu di depan hidungmu, kemudian membunuhmu juga!”

Terdengar oleh Suma Lian, betapa Bi-kwi menjawab dengan suara lirih dan nadanya merendah. “Mo-li, engkau pun tahu bahwa aku baru datang dan aku sama sekali tidak tahu akan lubang jebakan itu. Aku tadi berseru memperingatkan karena naluri belaka, bukan kusengaja. Hal itu membuktikan bahwa perbuatan jahat sudah tercuci bersih dari lubuk hatiku, Mo-li. Karena itu, kalau engkau hendak memaksaku melakukan kejahatan, biar pun engkau bunuh kami sekeluarga, aku tidak akan sudi menaatimu. Kalau untuk perjuangan, tentu saja aku sanggup membantumu karena hal itu bukanlah kejahatan, bahkan merupakan kewajiban para patriot dan pendekar. Akan tetapi, nona Suma Lian ini bukanlah musuh kita, bukanlah bangsa Mancu yang menjajah bangsa kita!”

Kembali Sin-kiam Mo-li tertawa. “Bi-kwi, sudah kukatakan bahwa engkau kuajak untuk bekerja sama menentang pemerintah penjajah Mancu. Dan tentang gadis ini, kau lihat sendiri, bukan aku yang memusuhinya, melainkan ia yang datang memusuhi kami! Pula, engkau harus ingat bahwa ia adalah keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Pulau Es masih terhitung keluarga dari Kerajaan Mancu! Nah, kubebaskan totokan padamu, akan tetapi ingat, jika sekali lagi engkau berani melakukan hal yang merugikan aku dan mencurigakan, jangan harap engkau akan dapat bertemu kembali dengan suami dan puteramu!”

Setelah dibebaskan totokannya, Bi-kwi lalu bertanya, “Mo-li, bagaimana pun juga nona Suma Lian itu hanya datang dengan niat menyelamatkan anakku. Ia bukan orang jahat, bukan pula kaki tangan Kerajaan Mancu. Oleh karena itu, perlu apa membunuhnya? Bukankah lebih baik kalau dia diselamatkan, kemudian diajak bekerja sama menentang pemerintahan penjajah?”

“Heh-heh-heh, engkau tidak tahu Bi-kwi. Siapa pun yang terjebak ke dalam sumur ini, tentu mampus karena di dasar sumur sudah menanti banyak tombak yang akan menembus tubuhnya. Ia tentu sudah tewas, kalau belum, batu ini yang akan membantu supaya kematiannya datang dengan cepat!” Setelah berkata demikian, Sin-kiam Mo-li mengerahkan tenaganya mendorong batu besar yang tadi diinjaknya.

Batu itu besar sekali, akan tetapi dengan tenaganya yang kuat, Sin-kiam Mo-li akhirnya berhasil mendorongnya setelah dibantu oleh Liok Cit dan anak buah Ang-i Mo-pang. Batu itu menggelinding ke arah sumur dan kalau terjatuh ke dalam sumur itu, betapa pun tinggi ilmu kepandaian Suma Lian, pasti ia tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi, tergencet batu dari atas dan tertusuk tombak-tombak runcing dari bawah!

Bi-kwi hanya dapat melihat dengan wajah pucat, ngeri membayangkan betapa tubuh nona pendekar, keturunan keluarga Pulau Es itu akan binasa secara menyedihkan tanpa dia mampu berbuat sesuatu.

Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda yang berseru lantang, “Sin-kiam Mo-li, sungguh di mana-mana engkau hanya menyebar kejahatan!”

Dan pemuda itu lalu meloncat ke arah batu yang menggelinding dan sudah tiba dekat sumur itu. Sekali dia mendorong, batu itu lalu terpental dan terlempar sampai beberapa meter jauhnya!

Melihat ini, Bi-kwi terbelalak penuh kagum. Dia maklum betapa sukarnya melakukan perbuatan seperti itu, membutuhkan tenaga yang bukan main besarnya! Ia memandang penuh perhatian.

Seorang pemuda sederhana saja. Pakaiannya serba putih, wajahnya sederhana, tidak terlalu tampan biar pun juga tidak buruk, akan tetapi sinar matanya lembut dan mulutnya selalu membayangkan senyum ramah sehingga wajah itu mendatangkan rasa suka di dalam hatinya.

Sementara itu, melihat pemuda yang baru muncul dan yang sekali mendorong dapat membuat batu yang amat berat dan besar tadi terpental, Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya. Wajahnya agak berubah dan sinar matanya membayangkan rasa gentar. Ia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Tan Sin Hong, atau yang kini dikenal banyak orang kang-ouw sebagai Pek-ho Enghiong (Pendekar Bangau Putih)!

Akan tetapi, beberapa orang anggota Ang-i Mo-pang tidak mengenal pemuda ini. Walau pun mereka tadi terkejut juga melihat batu itu terpental oleh dorongan seseorang, akan tetapi melihat bahwa orang itu hanyalah seorang pemuda sederhana berpakaian putih, mereka mengira bahwa pemuda itu hanya memiliki tenaga besar saja. Enam orang anggota Ang-i Mo-pang, dengan pedang di tangan, untuk mencari muka dan jasa, cepat menerjang Sin Hong dengan ganas sekali.

Melihat enam batang pedang menyambar dari semua penjuru, mengarah hampir semua bagian tubuh berbahaya darinya, Sin Hong tidak menjadi gentar. Dia memutar tubuhnya dan dengan Ilmu Silat Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa), secara beruntun dia mampu mengelak dan menangkis pedang-pedang itu dengan kedua lengannya, dan kakinya juga membagi-bagi tendangan.

Empat batang pedang yang bertemu dengan lengannya langsung terpental dan terlepas dari pegangan pemiliknya, disusul robohnya enam orang itu oleh tendangan Sin Hong. Untung bagi mereka bahwa pemuda itu bukan seorang pembunuh, maka mereka hanya terpelanting dan terbanting keras saja, tetapi tidak menderita luka yang membahayakan keselamatan hidup mereka. Tanggung amat.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah si Bangau Putih

KISAH SI BANGAU PUTIH (BAGIAN KE-13 SERIAL BU KEK SIANSU)