KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-20


Ia tak mengenal ilmu totokan yang aneh sekali gerakannya itu, yang biar pun dilakukan dengan sebuah saja jari tangan, namun amat berbahaya karena jari telunjuk itu menjadi keras bagaikan baja. Dia pernah mempelajari ilmu Toat-beng-ci (Jari Maut), sebuah ilmu totokan yang istimewa dari seorang di antara tiga gurunya.

Gurunya itu, Tiong Khi Hwesio, dahulunya ketika masih bernama Wan Tek Hoat pernah mendapat julukan Si Jari Maut karena ilmu totoknya itu. Dan kalau dibandingkan dengan Toat-beng-ci, kedua jari tangan gadis itu tidak kalah ampuhnya. Akan tetapi, teringat akan Toat-beng-ci, dia pun kemudian cepat mengubah gerakannya dan kini dia pun menghadapi totokan-totokan itu dengan totokan pula!

“Tuk! Tuk!”

Ketika kedua telunjuk tangan Suma Lian bertemu dengan ujung telunjuk kedua tangan Sin Hong, gadis segera itu berseru kaget. Pemuda itu menghadapi totokannya dengan tangkisan berupa totokan pula, dan dapat pula dengan tepat menotok ujung telunjuknya dengan tenaga Inti Bumi yang sama pula! Ia menjadi semakin penasaran dan marah, lalu kedua tangannya dibuka, dihantamkan ke arah lawan dengan mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya!

Sambaran hawa pukulan ini makin mengejutkan hati Sin Hong karena dia tahu akan kehebatannya. Tiada lain jalan baginya kecuali menerima hantaman itu dengan kedua tangan terbuka pula.

“Plakkk!”

Kedua pasang tangan itu kini saling melekat dan keduanya terkejut sekali! Dua tenaga raksasa dari tubuh masing-masing telah bertemu dan mereka berdua berada dalam keadaan terjepit. Siapa yang lebih dulu menarik tenaganya akan celaka! Tidak ada lain jalan kecuali melanjutkan pengerahan tenaga sinkang yang sekarang seolah-olah macet dalam pertemuan kedua pasang telapak tangan itu, saling dorong dalam kekuatan yang sama.

Kalau Sin Hong menghendaki, dia dapat menggunakan tenaga gabungan dalam dirinya dengan Ilmu Pek-ho Sin-kun. Akan tetapi dia khawatir kalau-kalau gadis itu tidak akan kuat menerimanya dan akan tewas atau setidaknya terluka parah. Karena hal itu tidak dikehendakinya, maka dia tidak mau mempergunakannya. Akan tetapi, dia pun tidak mungkin dapat menarik kembali tenaganya karena kalau hal itu terjadi, dia akan celaka.

Di dalam kedua telapak tangan gadis itu terkandung tenaga sakti Inti Bumi, Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang. Kalau dia menarik tenaganya, satu di antara tiga tenaga sakti itu akan terus meluncur melalui telapak tangan dan menghantamnya. Dia dapat tewas atau terluka parah! Darahnya dapat menjadi beku oleh Swat-im Sinkang, atau hangus oleh Hui-yang Sinkang, atau bahkan semua ototnya, setidaknya jantungnya, akan remuk oleh tenaga sakti Inti Bumi!

Di lain fihak, Suma Lian juga terkejut bukan main. Ia pun mengerti bahwa keadaannya amat berbahaya. Ia tidak mungkin dapat menarik kembali tenaganya, karena kalau ia lakukan ini, ia akan dihantam tenaga dahsyat dari pemuda itu. Maka jalan satu-satunya baginya hanyalah menambah tenaganya dan mengerahkan semua tenaga yang ada. Namun, betapa pun dia mengerahkan tenaga, di fihak pemuda itu pun agaknya selalu menambah tenaga untuk mengimbanginya hingga mereka berdua bagai sedang dalam keadaan melayang, tenggelam tidak terapung pun tidak.

Kalau pertandingan adu tenaga sinkang itu dilanjutkan, akhirnya mereka berdua akan kehabisan tenaga. Siapa yang lebih dahulu habis tenaganya, dialah yang akan celaka! Sebaliknya, kalau mereka menarik kembali tenaga mereka, siapa yang terlebih dahulu menarik kembali tenaganya, dia yang akan binasa! Sungguh suatu keadaan yang amat mengerikan.

Mereka berdua saling pandang. Melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat, pandang matanya mulai panik, Sin Hong merasa kasihan. Dari kepala mereka sudah mengepul uap putih, tanda bahwa keduanya telah mengerahkan tenaga yang amat hebat dan di dalam tubuh mereka bergolak mendidih oleh kekuatan yang berputaran itu.

Tiba-tiba saja, Suma Lian mendengar suara berbisik dan melihat betapa bibir pemuda itu bergerak perlahan. Terdengar olehnya, sayup sampai dan lirih sekali suara pemuda itu.

“Dorong dan tarik berbareng, lempar tubuh ke belakang.”

Sejenak Suma Lian memandang bingung lalu ia mengerti. Memang, kalau mereka dapat melakukan hal itu dalam detik yang sama, yaitu keduanya saling dorong kemudian keduanya dalam saat yang sama saling menarik tenaga kemudian melempar tubuh ke belakang, kemungkinan besar mereka akan dapat saling melepaskan diri. Memang harus tepat sekali, karena kalau tidak tepat dan dalam detik yang sama yang berbareng, seorang di antara mereka dapat celaka. Selagi gadis itu meragu walau pun ia sudah mengangguk sebagai jawaban, terdengar, lagi bisikan pemuda itu menghitung.

“Satu... dua... tiga...!”

Seperti menurutkan naluri saja, tepat pada hitungan ketiga, Suma Lian mengerahkan tenaga sinkang-nya mendorong, lalu menarik. Hal yang sama dilakukan pula oleh Sin Hong, tepat pada waktunya sehingga tiba-tiba saja kedua pasang tangan yang tadinya saling menempel itu terlepas dan seperti didorong oleh tenaga raksasa. Tubuh mereka terpental ke belakang seperti dua helai layang-layang putus talinya.

Ini saja sudah berbahaya sekali karena mereka itu tadi dalam keadaan ‘kosong’ setelah masing-masing menarik tenaga, kini terpental karena ledakan tenaga masing-masing yang tadi saling mendorong. Akan tetapi berkat ketinggian ilmu kepandaian mereka, keduanya dapat menguasai dirinya sehingga ketika tubuh mereka terpental itu, mereka dapat membuat pok-sai (salto) sampai beberapa kali dan dapat turun ke atas tanah dalam keadaan berdiri, tidak sampai terbanting keras.

Wajah Suma Lian nampak pucat, akan tetapi perutnya masih panas sekali. Ia masih merasa panasaran oleh karena merasa belum dikalahkan. Di lain saat, tubuhnya sudah meluncur ke arah Sin Hong, didahului sinar kuning emas dari sulingnya.

Gadis ini telah mencabut suling emasnya dan dengan gerakan luar biasa cepat sudah menyerang dengan memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut (Naga Siluman) yang dimainkannya dengan suling emas. Sulingnya lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar keemasan yang bergulung-gulung serta mengeluarkan suara mengaung-ngaung tinggi rendah, sungguh dahsyat sekali!

“Aih, Nona, harap hentikan seranganmu!” Sin Hong berseru terkejut sekali.

Baru saja mereka berdua terlepas dari bahaya maut, dan nona ini masih melanjutkan pertandingan itu dengan serangan yang begini hebat! Karena dia terkejut dan tidak menyangka biar pun dia sudah mengelak, tetap saja sinar suling itu masih merobek baju di pundak kirinya. Akan tetapi dia masih dapat menghindarkan diri dengan bergulingan dan menjauh.

“Tidak, seorang di antara kita belum kalah!” bentak Suma Lian galak dan gadis ini sudah menyerang lagi.

Terpaksa Sin Hong melawan karena dia mendapat kenyataan bahwa gadis ini yang memang amat lihai dan memiliki banyak macam ilmu silat tinggi, setelah menggunakan suling emas ternyata semakin berbahaya pula. Dan begitu tubuhnya meloncat bangun dari bergulingan tadi, dia sudah mainkan Ilmu Silat Pek-ho Sin-kun!

Hanya ilmu simpanannya inilah yang akan bisa menyelamatkan dirinya, pikirnya, sebab kalau dia mengandalkan ilmu silatnya yang lain kiranya akan sukar menghindarkan diri dari ancaman suling emas yang amat dahsyat itu. Tubuhnya bergerak dengan lambat namun cepat, lemah namun kuat! Inilah inti dari ilmu silatnya itu, nampak kosong namun berisi.

Gerakannya bagaikan seekor burung bangau, demikian tenang dan lambat, indah dan setiap gerak mengandung kekuatan tersembunyi yang amat hebat, kekuatan yang dapat menerbangkan tubuh seekor burung bangau itu jauh tinggi di angkasa, kelemasan yang dapat membuat seekor burung bangau mampu melawan dan mengalahkan seekor ular, kecepatan tersembunyi yang dapat membuat seekor burung bangau bisa menangkap seekor katak yang meloncat dengan cepatnya.

Tubuh Sin Hong bergerak seperti menari di antara gulungan sinar kuning emas itu. Kedua lengannya kadang-kadang terpentang bagai sayap seekor burung bangau putih. Lengan tangan itu demikian lemasnya, kadang-kadang lengan itu seperti leher bangau, tangannya membentuk kepala bangau yang menyampok suling dan menotok ke arah jalan darah di sekitar tubuh Suma Lian.

Gadis ini kagum bukan main. Belum pernah ia menyaksikan ilmu silat yang seindah itu. Pernah ia mempelajari Ilmu Silat Panca Hewan, yaitu gerakan lima binatang, harimau, kijang, biruang, kera dan burung. Akan tetapi, Ilmu Silat Burung yang dipelajarinya itu berbeda dengan ilmu silat yang kini dimainkan lawannya. Dan kedua lengan lawannya itu demikian lemas dan kuat, ketika menangkis sulingnya membuat tangannya yang memegang suling tergetar. Namun, ia hanya kagum dan sama sekali tidak gentar.

“Hyaaaaa...!”

Suma Lian menyerang lagi setelah memutar sulingnya yang berubah menjadi lingkaran lebar. Sinar terang mencuat ke depan ketika sulingnya menusuk ke arah ulu hati lawan. Sin Hong menyambut dengan tangkisan tangan kanan dari samping sambil miringkan tubuhnya.

Lengan kanannya itu seperti leher burung Bangau Putih menangkis terus melibat dan tangannya yang sudah membentuk kepala bangau itu, langsung menotok ke depan, ke arah pergelangan tangan yang memegang suling, dan tangan kirinya, juga membentuk kepala burung bangau menotok ke arah pundak kiri dari arah belakang tubuh gadis itu. Kedua serangan balasan ini masih dibantu kaki kirinya yang seperti kaki bangau yang mencakar menendang ke arah bagian sisi luar dari lutut kanan Suma Lian.

Gadis itu terkejut bukan main. Gerakan lawan demikian otomatis dan cepat walau pun nampaknya lambat dan tenang sekali. Ia tidak tahu bahwa itulah jurus Bangau Mencuci Sayap dari Ilmu Pek-ho Sin-kun yang amat sakti dari lawannya. Ia cepat-cepat menarik kembali sulingnya, diputar untuk menangkis totokan pada pundaknya, sedangkan untuk menghindarkan diri dari tendangan itu ia terpaksa meloncat jauh ke belakang dalam keadaan terhuyung! Tenaga yang dipergunakan Sin Hong adalah tenaga gabungan dari tiga orang gurunya, maka tentu saja pertemuan tenaga itu, walau pun bukan merupakan benturan langsung, membuat Suma Lian terhuyung.

Tiba-tiba terdengar teriakan Yo Han, “Enci Suma Lian, tadi Suhu telah menyelamatkan nyawa Enci, kenapa sekarang Enci menyerangnya mati-matian? Begitukah cara Enci membalas budi kebaikan orang?”

Anak ini sejak tadi memang diam saja untuk menyaksikan pertandingan antara gurunya dan gadis yang oleh ibunya dikatakan amat lihai itu. Akan tetapi dia menjadi pening ketika menonton pertandingan itu, tidak tahu siapa kalah siapa menang atau siapa yang lebih unggul di antara mereka. Gerakan mereka berdua itu terlalu cepat bagi matanya yang tidak terlatih. Hanya ketika dia melihat Suma Lian mempergunakan senjata suling emas yang mengeluarkan sinar menyilaukan itu, sedangkan gurunya tak menggunakan senjata, hatinya lalu merasa khawatir kalau-kalau gurunya sampai celaka. Maka kini dia mengeluarkan seruan itu.

Tentu saja Suma Lian yang telah siap untuk menyerang lagi, menjadi heran mendengar ucapan dari anak itu. Ia menahan dirinya, dan menoleh kepada Yo Han. Napasnya agak memburu dan baru terasa olehnya betapa lelah tubuhnya dan pakaiannya telah basah oleh keringat.

“Yo Han, apa artinya ucapanmu itu?” tanyanya dengan alis berkerut karena dia tidak pernah merasa diselamatkan nyawanya oleh Tan Sin Hong.

“Enci, ketika Enci tadi terjatuh ke dalam sumur, iblis betina itu menggelindingkan sebuah batu besar ke dalam sumur untuk membunuhmu. Ibu tidak berdaya mencegah dan ibu sudah pucat sekali, akan tetapi pada saat batu hendak menggelinding ke dalam sumur, tiba-tiba muncul suhu Tan Sin Hong yang memukul dan mendorong batu sehingga tidak sampai jatuh ke dalam sumur dan menimpa Enci yang masih berada di dalam sumur itu.”

Tentu saja Suma Lian terkejut bukan main mendengar keterangan Yo Han itu. Ia cepat menoleh, memandang kepada Sin Hong dengan sepasang mata tajam menyelidik, juga mengandung rasa heran.

“Benarkah itu? Kenapa engkau diam saja dan tidak menceritakan hal itu ketika aku menyerangmu?”

Sin Hong tersenyum dan menggeleng kepalanya perlahan. “Nona, hal yang sekecil itu tidak perlu disebut lagi. Bukankah sudah menjadi kewajiban kita masing-masing untuk mencegah terjadinya kejahatan, menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?”

“Wah, sungguh aku harus malu sekali! Engkau sudah menolongku menghindarkan aku dari kematian mengerikan di dalam sumur itu, sedangkan aku masih bersikap buruk, menantangmu, dan engkau masih juga menyebut aku nona! Aihhh, Toako (Kakak Tua), jangan membuat aku menjadi makin malu dan berdosa. Maafkan aku, Toako!” katanya tersenyum dan ia pun menjura dengan membungkukkan tubuhnya sampai dalam sekali.

Sin Hong memandang dengan wajah berseri dan dia pun tersenyum geli. Nona ini sungguh gagah perkasa, lincah polos dan juga ugal-ugalan. Melihat sikap Suma Lian, lenyap sudah semua rasa penasaran karena gadis ini tadi menyerangnya mati-matian. Memang gadis ini berwatak aneh, akan tetapi harus diakuinya bahwa dia mempunyai kegagahan yang luar biasa, juga demikian ringannya mulut yang manis itu mengakui kesalahannya dan minta maaf.

Sikap mau mengakui kesalahan dan minta maaf inilah yang amat mengagumkan hati Sin Hong karena pemuda ini maklum bahwa sikap demikian hanya dimiliki oleh orang-orang yang berjiwa pendekar gagah perkasa dan bijaksana, dan merupakan sifat yang amat sukar dilakukan oleh kebanyakan orang. Dia pun cepat membalas penghormatan itu dengan bersoja dan membungkukkan tubuhnya.

“Sudahlah, Nona. Semua kesalah pahaman itu mungkin saja terjadi karena Nona belum mengenalku.”

“Ah, Toako. Engkau masih saja menyebutku nona-nona! Padahal, engkau yang memiliki tenaga sakti Inti Bumi, jelas masih mempunyai hubungan dengan aku, kenapa masih mempergunakan tata cara sungkan-sungkan! Kalau engkau tidak mau menyebut adik kepadaku itu berarti bahwa engkau tidak mau berkenalan denganku dan kuhabisi saja pertemuan kita sampai di sini saja!”

Tentu saja Sin Hong terkejut. Gadis ini sungguh aneh sekali, hatinya keras dan agaknya ia tidak mau mengalah dalam hal apa pun juga! Maka sambil tersenyum dia pun cepat berkata,

“Baiklah, Non... ehh, adik Suma Lian yang baik. Maafkan aku karena sesungguhnya aku merasa kurang pantas kalau aku berkakak adik dengan seorang gadis seperti engkau, keturunan keluarga Pulau Es yang gagah perkasa.”

Wajah yang cemberut itu kini sudah tersenyum kembali, matanya bersinar-sinar dan lesung pipit yang manis muncul kembali di kanan kiri mulutnya. “Uhh, Hong-ko (kakak Hong) engkau hendak mengejekku, ya? Siapa tidak tahu bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali. Baru sekarang aku bertemu tanding yang demikian lihai, dan aku sungguh mengaku kalah!”

“Ahhh, jangan merendahkan diri, Lian-moi (adik Lian)! Kepandaianmulah yang hebat bukan main. Aku sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es dan baru hari ini aku beruntung sekali merasakan semua kehebatan itu. Akan tetapi yang membuat aku bingung, bagaimana engkau mahir pula menggunakan tenaga sakti Inti Bumi?”

“Marilah kita duduk dan bicara, Hong-ko. Hei, Yo Han, marilah engkau duduk di sini. Kenapa berdiri bengong saja di situ?” teriak Suma Lian sambil menggapai kepada anak itu yang sejak tadi berdiri di pinggir.

Mendengar panggilan ini, Yo Han lari menghampiri.

“Enci, bagaimana pendapatmu dengan ilmu kesaktian suhu-ku? Siapakah yang lebih unggul antara Enci dan Suhu tadi?” tanyanya sambil duduk di atas rumput, dekat Suma Lian.

“Tentu saja gurumu yang lebih lihai,” kata Suma Lian tersenyum.

“Yo Han, duduk saja di situ dan tutup mulut, jangan bicara kalau tidak ditanya!” Sin Hong berkata dengan tegas.

“Baik, Suhu,” jawab Yo Han, tegas pula walau pun sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh kegembiraan. Agaknya Yo Han sudah mengenal betul watak gurunya yang lemah lembut dan tahu bahwa kegalakan tadi dibuat-buat saja.

Mereka duduk berhadapan, dan Yo Han duduk agak mundur di belakang.

Setelah beberapa lamanya saling pandang, Suma Lian lalu berkata, “Hong-ko, agaknya engkau sudah tahu bahwa aku adalah keturunan keluarga Pulau Es. Tentu engkau mendengar dari percakapan ketika aku menghadapi orang-orang sesat tadi. Akan tetapi aku sendiri belum tahu siapakah engkau sebenarnya.”

“Namaku Tan Sin Hong.”

“Itu aku sudah tahu. Akan tetapi, siapakah gurumu, Hong-ko? Aku yakin bahwa ada hubungan antara perguruan kita karena kita berdua sama-sama menguasai tenaga Sakti Inti Bumi, walau pun ilmu-ilmu silatmu aneh dan banyak yang tidak kukenal.”

Sin Hong mengerutkan alisnya. Selama ini, belum pernah dia menceritakan kepada orang lain tentang guru-gurunya, tentu saja kecuali kepada keluarga suheng-nya, Kao Cin Liong sebagai putera tunggal suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir. Akan tetapi, dia pun sudah sering mendengar dari para gurunya bahwa keluarga Pulau Es tak boleh dianggap sebagai ‘orang luar’ karena ada hubungan erat sekali antara keluarga Istana Gurun Pasir dan Pulau Es.

Dia tahu bahwa gadis yang wataknya aneh ini akan tersinggung dan marah kembali kalau dia tidak mau mengaku siapa guru-gurunya. Kiranya tidak ada salahnya kalau dia mengaku kepada seorang gadis she Suma, keturunan asli dari Pulau Es.

“Terus terang saja, Lian-moi, belum pernah aku memperkenalkan nama guru-guruku kepada orang lain. Akan tetapi karena para guruku mengenal baik keluarga Pulau Es, bahkan masih mempunyai hubungan dekat, dan mengingat pula bahwa di antara kita sudah terjadi tali persahabatan yang akrab, maka biarlah aku mengaku kepadamu. Aku memiliki tiga orang guru, mereka adalah mendiang suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir...“

“Ahhh! Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?” Suma Lian berseru, hampir berteriak.

“Benar, dan yang seorang lagi adalah suhu Tiong Khi Hwesio. Mereka bertiga berada di Gurun Pasir dan aku menjadi murid para guruku itu selama tujuh tahun di sana.”

“Aihh...! Pantas saja engkau demikian lihai! Tapi... tapi... engkau tadi berkata mendiang? Apakah... apakah mereka itu sudah...”

“Mereka sudah meninggal dunia, Lian-moi, tewas pada saat belasan orang tokoh sesat menyerbu ke Istana Gurun Pasir. Dan ketahuilah bahwa para penyerbu itu bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li tadi bersama kawan-kawannya yang lihai.”

“Iblis betina tadi?” Suma Lian berseru kaget dan matanya terbelalak. “Tapi... bagaimana mungkin iblis betina itu dan kawan-kawannya mampu menewaskan mereka yang sakti? Padahal di sana ada engkau pula, Hong-ko?” Suma Lian bertanya dengan nada suara mengandung penasaran.

Ia tahu bahwa Sin-kiam Mo-li lihai, akan tetapi ia sendiri mampu menandingi iblis betina itu bahkan Sin Hong sendiri jauh lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li. Bagaimana mungkin iblis betina itu bersama kawan-kawannya mampu menewaskan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, juga Tiong Khi Hwesio yang pernah didengarnya pula dari ayah ibunya sebagai seorang yang amat lihai?

Sin Hong menarik napas panjang. “Agaknya Tuhan telah menakdirkan bahwa tiga orang guruku itu harus gugur dan tewas sebagai orang-orang yang gagah perkasa. Kurang lebih dua tahun yang lalu terjadinya. Tiga orang guruku adalah orang-orang sakti, akan tetapi usia mereka pun sudah amat lanjut, rata-rata delapan puluh tahun, bahkan suhu Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sudah berusia delapan puluh lima tahun. Ada pun yang datang menyerbu, bukan orang-orang sembarangan, banyak yang lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li. Mereka adalah tokoh-tokoh besar dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw semua berjumlah tujuh belas orang. Tiga orang guruku tewas akan tetapi dari tujuh belas orang penyerbu itu empat belas orang tewas pula, sedangkan yang masih hidup namun terluka parah adalah Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-kauw, Thian Kek Sengjin, tokoh besar Pek-lian-kauw.”

“Akan tetapi engkau sendiri, bukankah engkau berada di sana, Hong-ko dan bagaimana gurumu tewas?” Suma Lian memandang dengan alis berkerut, agaknya merasa heran dan menyesal mengapa pemuda ini tidak dapat membela guru-gurunya.

Sin Hong menarik napas panjang, jantungnya terasa nyeri seperti ditusuk setiap kali dia teringat akan peristiwa itu.

“Sudah kukatakan tadi Lian-moi, agaknya Tuhan sudah menghendaki demikian dan menakdirkan tiga orang guruku itu sudah tiba saatnya meninggal dunia. Pada waktu itu, aku tidak berdaya. Tiga orang guruku itu mengajarkan sebuah ilmu gabungan ciptaan mereka bertiga dan mengoperkan gabungan tenaga sakti kepada diriku. Ilmu itu harus kupelajari selama satu tahun, dengan syarat bahwa selama setahun itu aku sama sekali tidak boleh melakukan gerakan silat apa lagi mengerahkan sinkang karena kalau hal ini kulakukan... aku akan segera tewas dengan sendirinya, terpukul sendiri oleh tenaga yang kukerahkan itu. Nah bayangkan saja, Lian-moi. Aku tidak dapat bergerak, terpaksa melihat tiga orang guruku tewas di tangan mereka, dan aku sendiri tertawan tiga orang yang masih tersisa itu. Mereka mengira aku seorang kacung yang tidak memiliki ilmu silat, mereka memaksaku untuk menunjukkan di mana adanya pusaka-pusaka istana tua itu. Karena memang tidak ada pusaka, mereka menyiksaku. Aku membakar istana tua itu berikut jenazah tiga orang guruku, dan aku disuruh menguburkan jenazah empat belas orang penyerbu yang tewas. Untung bagiku pada malam harinya, aku berhasil melarikan diri dan sembunyi di dalam hutan selama satu tahun untuk menyelesaikan latihanku.”

Suma Lian mendengarkan dan sekarang senyumnya timbul kembali. Kiranya pemuda ini bukan seorang pengecut, melainkan karena terpaksa maka tidak mampu membela guru-gurunya.

“Tapi kenapa Sin-kiam Mo-li tadi tidak heran melihat engkau muncul sebagai seorang yang berilmu tinggi, Hong-ko?”

“Semenjak aku keluar dari dalam hutan, sudah pernah aku bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, yaitu ketika ia hendak membunuh ketua Cin-sa-pang. Aku menyelamatkan ketua itu dan sejak itu Sin-kiam Mo-li sudah tahu bahwa aku mewarisi ilmu dari para guruku.”

“Akan tetapi, Hong-ko, yang satu ini sungguh aku tidak mengerti. Engkau telah bertemu dengan seorang di antara para pembunuh guru-gurumu, yaitu Sin-kiam Mo-li. Mengapa engkau tidak membalas dendam dan membunuh iblis betina itu?”

Sin Hong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Ketahuilah Lian-moi, guru-guruku pernah memesan dengan amat sangat kepadaku supaya jangan membiarkan dendam meracuni hatiku. Jika selama ini aku menentang Sin-kiam Mo-li, yang kutentang adalah perbuatannya yang jahat, bukan karena dendamku kepada pribadinya, karena kematian guru-guruku.”

Suma Lian mengerutkan alisnya. Pernah pula ia mendengar ayahnya juga berpendapat demikian, namun ia sendiri tidak pernah dapat menerima dan menyetujui pendapat itu. “Sudahlah, sekarang ceritakan, siapa keluargamu, Hong-ko, dan bagaimana engkau sampai dapat menjadi murid para penghuni Istana Gurun Pasir.”

Terpaksa Sin Hong menceritakan riwayatnya, betapa keluarga ayahnya menjadi hancur karena perbuatan jahat musuh yang sampai sekarang belum diketahuinya benar siapa orangnya. Betapa ayahnya dibunuh orang, ibunya tewas di gurun pasir, dan dia sendiri tertolong oleh para penghuni Istana Gurun Pasir sehingga lalu menjadi murid mereka. Betapa kemudian dia menyelidiki pembunuh ayahnya dan sampai sekarang belum juga berhasil.

“Hemmm, kalau begitu engkau tentu menaruh dendam dan hendak membalas kematian ayahmu?” Suma Lian memancing.

Pemuda itu menggeleng kepalanya. “Sama sekali tidak, Lian-moi. Aku hanya mencari pemecahan rahasia itu. Ingin aku mengetahui siapa pembunuh ayahku dan mengapa pula ayah dibunuh sehingga ibu pun tewas dalam keadaan sengsara. Kalau pembunuh itu memang jahat, tentu saja akan kutentang seperti aku menentang para penjahat lainnya, siapa dan di mana pun juga. Menurut hasil penyelidikanku, rahasianya agaknya terletak pada perkumpulan Tiat-liong-pang dan aku sedang hendak pergi ke sana.”

Suma Lian mengangguk-angguk. “Dan tentang ilmu sinkang Inti Bumi itu, kau pelajari dari siapa?”

“Dari suhu Tiong Khi Hwesio.”

“Ahhh! Menurut cerita ayahku, Tiong Khi Hwesio dahulunya bernama Wan Tek Hoat, berjuluk Si Jari Maut, seorang pendekar yang lihai sekali.”

“Benar, dan menurut mendiang Tiong Khi Hwesio guruku itu, sinkang Inti Bumi berasal dari para penghuni Pulau Neraka. Bagaimana engkau sendiri yang menjadi keturunan keluarga Pulau Es, dapat menguasai sinkang itu, Lian-moi?”

“Aku… meski aku adalah cucu buyut Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan ayahku merupakan keturunan langsung, namun aku pernah menjadi murid paman kakekku sendiri yang berjuluk Bu Beng Lokai dan sekarang telah meninggal dunia. Dari dialah aku mempelajari sinkang itu. Kemudian tentu saja aku memperdalam ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, dari ayah dan juga ilmu mempergunakan suling emas ini dari ibuku.”

Sin Hong memandang kagum. “Ahhh, tidak heran kalau engkau begitu lihai, Lian-moi. Kiranya engkau sudah mempelajari banyak ilmu silat tinggi di samping ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es.”

“Sudahlah, Toako, tak perlu memuji lagi. Sudah jelas bahwa dalam hal ilmu silat, bagai mana pun juga aku masih kalah olehmu. Sekarang, engkau hendak pergi ke mana? Aku sendiri akan pergi ke lereng Gunung Tapa-san, untuk menemui seorang paman tua dan menyampaikan pesan ayahku. Dan engkau?”

“Seperti sudah kuceritakan tadi, penyelidikanku membawaku ke sini dan aku akan pergi mengunjungi Tiat-liong-pang, melanjutkan penyelidikanku karena sebelum mati, orang she Lay itu menyebut Tiat-liong-pang. Dan menurut penyelidikanku, perkumpulan itu bersarang di luar kota Sang-cia-kou, di lereng sebuah bukit.”

“Sang-cia-kou di selatan? Kalau begitu dapat melalui Tapa-san. Bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama saja, Hong-ko?”

Sin Hong tersenyum gembira. Gadis ini demikian lincah dan ternyata ramah dan manis sekali kalau tidak marah, dan tentu perjalanan akan menjadi menyenangkan dan tidak sepi kalau dilakukan bersama Suma Lian.

“Baiklah, Lian-moi. Hanya ada satu hal yang membuat aku agak bingung, yaitu anak ini. Aku masih mempunyai banyak tugas yang harus kuselesaikan, dan banyak menempuh perjalanan jauh yang sukar, bahkan mungkin bertemu lawan yang jahat dan tangguh. Bagaimana aku akan dapat leluasa bergerak kalau harus menjaga dia?”

“Akan tetapi dia muridmu dan ibunya sudah menyerahkan kepadamu, Hong-ko. Engkau pun sudah menerimanya!” kata Suma Lian. Ia pun tersenyum lebar karena ia merasa gembira bahwa bukan ia yang menerima beban berat itu! Kalau ia yang menerima Yo Han dari ibunya, tentu ia akan menjadi lebih bingung dibandingkan Sin Hong.

“Benar, dan terus terang saja, biar pun aku belum mempunyai niat mengambil murid, merasa masih terlalu muda, bahkan tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Aku suka melihatnya, akan tetapi, kalau sekarang dia terus mengikuti aku, bagaimana aku akan dapat berhasil melaksanakan tugasku?”

“Suhu, harap Suhu tidak khawatir!” Tiba-tiba Yo Han berkata dengan penuh semangat, “Suhu tidak perlu mempedulikan teecu, tidak perlu menjaga teecu, karena teecu dapat menjaga diri sendiri.”

Mendengar ucapan itu, Sin Hong dan Suma Lian saling pandang. Keduanya tersenyum, ada rasa kagum membayang pada wajah mereka. Anak itu memang luar biasa. Sedikit pun tidak pernah belajar silat akan tetapi memiliki keberanian dan semangat yang hebat, bahkan sedikit pun tidak gentar menghadapi ancaman maut di tangan Sin-kiam Mo-li. Sungguh amat sukar dicari keduanya anak dengan nyali seperti ini, nyali seorang calon pendekar sejati.

“Ahhh, aku mempunyai jalan keluar yang amat baik!” tiba-tiba Suma Lian berkata. Sin Hong memandang kepadanya dengan penuh harapan.

“Ketahuilah, Hong-ko. Paman tua yang akan kukunjungi itu adalah saudara sepupu dari ayahku. Dia bernama Suma Ciang Bun, keturunan langsung pula dari keluarga Pulau Es. Pek-hu (Uwa) Suma Ciang Bun itu hidup seorang diri, hanya berdua dengan muridnya yang sering kali pergi merantau. Dan dia pun tidak berkeluarga, bahkan kini ayah menyuruh aku pergi mengunjunginya dan menyampaikan ajakan ayahku supaya pek-hu suka tinggal bersama ayah dan ibu, agar hidupnya di hari tua tidak kesepian. Nah, bagaimana kalau engkau titipkan Yo Han kepadanya lebih dahulu selama engkau melaksanakan tugasmu? Aku yang akan bicara dan setelah melihat Yo Han aku yakin pek-hu akan suka pula menerimanya.”

Wajah Sin Hong berseri. “Ahhh, itu merupakan jalan keluar yang baik sekali!” Tiba-tiba wajahnya berubah. “Akan tetapi, bagaimana aku berani mengganggu locianpwe itu?”

Ia lalu menoleh kepada Yo Han dan berkata, “Dan bukankah itu berarti aku melepaskan pula tanggung jawabku setelah menerima anak ini dari ibunya?”

“Urusan pek-hu akulah yang akan bicara, Hong-ko. Dan jika pek-hu mau menerimanya, kurasa bukan berarti engkau melepas tanggung jawab, karena bukankah maksud bibi Bi-kwi hanya supaya engkau membawa pergi Yo Han dan anak ini dihindarkan dari gangguan Sin-kiam Mo-li?”

Akan tetapi Sin Hong masih meragu, memandang kepada Yo Han dengan bingung. Melihat ini, Yo Han segera berkata, “Suhu, teecu mengerti bahwa kalau teecu ikut dengan Suhu sekarang, teecu akan menjadi beban dan Suhu akan merasa terhalang dan terganggu. Karena itu, teecu akan mentaati semua perintah Suhu, disuruh tinggal di mana pun teecu menurut, asal Suhu tidak melupakan teecu dan kelak pada waktunya Suhu datang menjemput teecu.”

Mendengar ini, Suma Lian bertepuk tangan dan memuji. “Murid yang bagus sekali, ahh engkau beruntung mempunyai seorang murid seperti dia, Hong-ko!”

Mau tak mau Sin Hong tersenyum. Bagaimana pun juga, dia memang suka dan kagum kepada Yo Han. “Kalau begitu, baiklah, dan sebelumnya kuhaturkan terima kasih atas bantuanmu, Lian-moi.”

Mereka bertiga kemudian melanjutkan perjalanan, menuju ke Tapa-san. Di sepanjang perjalanan Sin Hong merasa gembira selalu karena Suma Lian memang merupakan seorang gadis yang lincah jenaka, sedangkan Yo Han juga merupakan seorang anak yang menyenangkan dan murid yang taat dan cekatan.

Setiap kali mereka berhenti di hutan dan terpaksa bermalam di tempat terbuka, tanpa diperintah lagi anak itu mencari kayu bakar, atau air dan sebagainya. Juga Yo Han amat pandai membawa diri, pendiam tak pernah bicara kalau tidak ditanya. Wajahnya selalu cerah walau pun kadang-kadang, terutama sekali di waktu malam kalau dia sedang duduk menghadapi api unggun, anak itu sering kali termenung.

Sin Hong dan Suma Lian bisa menduga bahwa tentu anak ini teringat dan rindu kepada ayah bundanya. Namun, tak pernah anak itu mau mengatakan hal ini dan dengan keras hati menyembunyikan kesedihannya itu di balik dagu yang mengeras dan mata yang bersinar-sinar.....

********************

Kita tinggalkan dahulu perjalanan Sin Hong, Suma Lian dan Yo Han yang menuju ke Pegunungan Tapa-san itu, dan mari kita mengikuti keadaan Pouw Li Sian yang telah berada di sarang Tiat-liong-pang. Seperti telah diceritakan di bagian depan, gadis ini berkunjung ke Tiat-liong-pang karena ketuanya yaitu Siangkoan Lohan (Kakek Gagah Siangkoan) atau bernama Siangkoan Tek, dulu adalah sahabat dari mendiang ayahnya, Menteri Pouw Tong Ki.

Bahkan pernah satu dua kali ia diajak ayahnya berkunjung ke Tiat-liong-pang sehingga ia sudah mengenal Siangkoan Lohan dan puteranya, Siangkoan Liong. Ia berkunjung untuk bertanya mengenai salah seorang kakaknya, satu-satunya anggota keluarganya yang kabarnya masih hidup, yaitu Pouw Ciang Hin, yang menurut hasil penyelidikannya, kini menjadi seorang perwira pasukan kerajaan yang bertugas jaga di perbatasan utara dekat Tembok Besar.

Munculnya gadis itu di Tiat-liong-pang, sempat menggemparkan karena ketika Sin-kiam Mo-li yang mencurigainya menyuruh anak buahnya untuk menangkap, Pouw Li Sian menunjukkan bahwa dia adalah seorang gadis yang sangat lihai. Sin-kiam Mo-li sendiri tidak mampu mengalahkannya! Siangkoan Lohan segera menerimanya dengan ramah dan baik ketika mendengar pengakuan Li Sian bahwa gadis yang cantik dan lihai ini bukan lain adalah puteri sahabatnya, Pouw Taijin.

Gadis ini diterima dan disambut dengan gembira, dan ketika bertemu dengan Siangkoan Liong yang pernah dikenalnya ketika mereka masih kecil, di antara mereka berdua lalu segera terjalin suatu keakraban.

Pouw Li Sian adalah seorang gadis yang biar pun telah mempegoleh pendidikan ilmu silat tinggi sehingga membuatnya menjadi seorang gadis yang amat lihai, namun dia masih hijau dalam pengalaman. Ia baru saja meninggalkan perguruan dan pengetahuan umumnya masih dangkal, walau pun ia bukan seorang gadis bodoh. Oleh karena itu, ketika ia tinggal di sarang Tiat-liong-pang, ia tidak menaruh curiga sedikit pun.

Tetapi, bagaimana pun juga, ia merasa heran ketika diperkenalkan dengan para tokoh sesat yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang. Banyak di antara mereka yang sikapnya kasar, bahkan amat menjemukan hatinya karena mereka itu jelas-jelas memperlihatkan pandang mata yang kurang ajar dan tidak sopan.

Perasaan penasaran yang terkandung di dalam hatinya pada saat melihat orang-orang kang-ouw yang kasar itu berada di situ, dan agaknya menjadi pembantu atau tamu dari Tiat-liong-pang, mendorong Li Sian untuk membicarakannya dengan Siangkoan Liong yang telah dipercayainya. Sesudah beberapa hari tinggal di situ dan dia melihat betapa Tiat-liong-pang melatih para anggotanya untuk bermain perang-perangan, seolah-olah perkumpulan itu sedang mempersiapkan diri untuk berperang, ia pun pada suatu senja bercakap-cakap tentang semua itu dengan Siangkoan Liong dalam sebuah taman.

Mereka duduk berhadapan di atas bangku kayu sederhana di dekat kolam ikan buatan yang membuat tempat itu terasa nyaman dan sejuk segar. Baik Siangkoan Liong mau pun gadis itu, baru saja mandi dan berganti pakaian bersih sehingga keduanya merasa segar pula.

Biar pun Li Sian baru tinggal belasan hari di tempat itu, namun pergaulannya dengan Siangkoan Liong telah cukup akrab karena pemuda itu memang pandai membawa diri, selalu sopan dan ramah. Siangkoan Liong adalah seorang yang amat cerdik, bagaikan seekor harimau yang mengenakan bulu domba, sedikit pun tak nampak wataknya yang mata keranjang dan siap menerkam ketika melihat Li Sian yang cantik. Bahkan Li Sian merasa amat tertarik kepada pemuda yang memang tampan dan gagah ini.

Setelah mereka duduk saling berhadapan keduanya saling pandang. Seperti biasanya Siangkoan Liong duduk dengan tenang. Sikapnya pendiam, halus serta lembut. Wajah yang tampan itu terpelihara dengan cermat. Rambutnya hitam licin dan disisir rapi, dan tercium keharuman dari pakaian dan rambutnya. Pakaiannya pun selalu rapi dan setiap hari berganti pakaian baru. Dilihat sepintas lalu, tidak nampak bahwa Siangkoan Liong adalah seorang pemuda yang amat lihai ilmu silatnya, lebih pantas dia menjadi seorang kongcu (tuan muda) bangsawan yang hartawan dan terpelajar tinggi.

Pemuda itu pun memandang Li Sian dengan sinar mata penuh kekaguman. Gadis ini nampak manis sekali, terutama adanya tahi lalat di dagunya, menjadi penambah dalam kecantikannya. Biar pun bukan pesolek, namun Li Sian pandai berdandan. Pakaiannya yang sederhana nampak rapi, juga rambutnya digelung dengan indahnya. Ada sedikit anak rambut terjuntai di dahinya, lembut sekali. Sikapnya halus dan lembut namun anggun, seperti puteri bangsawan sejati. Gerak-geriknya halus tetapi di balik kehalusan itu nampak jelas oleh mata Siangkoan Liong yang terlatih bahwa di situ tersembunyi kekuatan dahsyat.

Siangkoan Liong semakin kagum. Tidak disangkanya bahwa dalam diri seorang gadis yang begini cantik dan halus, terdapat kepandaian silat yang tinggi, bahkan lebih tinggi tingkatnya dari pada Sin-kiam Mo-li! Dia amat kagum dan makin bulat tekadnya untuk menundukkan gadis ini, untuk memilikinya agar dapat dibanggakannya. Bukan sekedar dijadikan permainannya, sebagai sumber kesenangan jasmani saja. Tidak, dia ingin mempersunting Li Sian menjadi isterinya karena agaknya hanya gadis yang berdarah bangsawan ini saja yang patut untuk mendampinginya kalau kelak dia menjadi seorang kaisar!

Setelah sekian lamanya saling pandang, baru terasalah oleh Li Sian ketidak wajaran itu, betapa sepasang mata pemuda itu memandangnya tak seperti biasa, akan tetapi penuh dengan kekaguman dan daya tarik. Tiba-tiba ia merasa mukanya panas dan gadis itu pun menundukkan mukanya.

“Ehh, Twako, kenapa sejak tadi memandang saja padaku tanpa bicara?” tegurnya.

Siangkoan Liong tersenyum dan nampak seperti baru sadar dari mimpi. Dia cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi hormat dengan bersoja dan membungkukkan tubuhnya sampai dalam.

“Ahhh, maafkan aku, Sian-moi. Tanpa kusadari aku sudah terpesona... maaf, bukan maksudku untuk merayu, akan tetapi sore hari ini engkau sungguh nampak begini cantik jelita seperti bidadari, membuat aku terpesona tadi...”

Menghadapi ucapan dengan sikap yang demikian sopan, bagaimana Li Sian dapat merasa tidak senang oleh pujian itu? Pujian yang terdengarnya demikian sopan, disertai maaf, bukan sekedar rayuan kasar. Ia pun tersenyum dan mukanya menjadi semakin merah, sampai ke lehernya.

Ia melempar kerling malu-malu dan berkata, “Aih, Toako, harap jangan bicara seperti itu, membuat aku merasa malu saja. Kalau kau lanjutkan pujian-pujianmu itu, aku akan segera pergi ke dalam kamarku dan tidak mau bicara padamu sore ini.”

“Maaf, maaf...! Aku tidak bermaksud membuat hatimu tersinggung, Sian-moi. Maafkan aku dan aku berjanji tidak akan mengulangi lagi.”

Li Sian tersenyum. “Sudahlah, Toako, engkau tidak bersalah apa-apa, tidak perlu minta maaf. Aku sengaja ingin bicara denganmu sore hari ini, karena ada beberapa hal yang selama ini menjadi pertanyaan dalam hatiku dan menimbulkan rasa penasaran.”

Siangkoan Liong segera memperlihatkan sikap serius pada saat dia memandang wajah gadis itu penuh perhatian. “Persoalan apakah yang membuatmu penasaran, Sian-moi? Tanyakanlah, tidak ada rahasia bagimu di sini.”

“Begini, Toako. Pertama, begitu tiba di sini, aku bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang melihat sikap mereka agaknya bukanlah manusia baik-baik, tetapi lebih pantas kalau menjadi tokoh-tokoh kaum sesat dari dunia hitam! Misalnya Sin-kiam Mo-li itu, selain julukannya saja sudah jelas menunjukkan bahwa dia seorang iblis betina, juga sikapnya demikian menyeramkan, seperti lagi menyembunyikan sesuatu dan pandang matanya kadang-kadang begitu kejam dan buas. Dan Toat-beng Kiam-ong itu, hihhh, pandang matanya padaku membuat aku bergidik dan hampir saja aku menyerangnya ketika pada suatu kali dia memandang dan tersenyum kepadaku. Juga para pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu, agaknya mereka pun bukan orang baik-baik. Toako, benarkah dugaanku bahwa mereka adalah tokoh-tokoh sesat dan kalau benar demikian, kenapa Tiat-long-pang menerima orang-orang seperti itu di sini?” Pertanyaan ini diajukan Li Sian dengan pandang mata tajam penuh selidik ditujukan kepada wajah pemuda itu.

Siangkoan Liong tetap tersenyum tenang, bahkan lalu berkata, “Selain itu, adakah lagi hal lain yang mendatangkan perasaan heran dan penasaran di dalam hatimu, Sian-moi? Kalau ada, ajukanlah pertanyaan itu agar sekalian kujawab, karena memang terdapat banyak hal yang belum kau ketahui dan agaknya kesemuanya itu perlu aku jelaskan kepadamu.”

“Ada satu lagi, Toako. Aku melihat betapa para anggota Tiat-liong-pang dilatih perang-perangan seolah-olah mereka itu menghadapi suatu pertempuran atau perang. Apakah artinya semua itu? Apakah ada bahaya yang mengancam Tiat-liong-pang?”

Pemuda itu tertawa, lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Sian-moi, sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, menjelaskan hal-hal yang telah kau lihat terjadi di sini dan menimbulkan keheranan dalam hatimu, ingin aku bertanya, ingatkah engkau akan peristiwa yang menimpa keluarga orang tuamu, beberapa tahun yang lalu ketika engkau masih kecil, peristiwa yang mengakibatkan hancurnya keluarga orang tuamu?”

Li Sian mengerutkan alisnya dan mengangguk. “Karena sebagai seorang menteri ayah berani menentang Thaikam Hou Seng yang berkuasa. Menurut penjelasan mendiang guruku, kaki tangan Hou Seng itulah yang membunuh ayah ibu dan kemudian ayah difitnah sehingga sisa keluargaku ditangkap sebagai pemberontak. Semua kakakku tewas kecuali kakak Pouw Ciang Hin yang kabarnya kini menjadi perwira...“

Pemuda itu mengangguk-angguk, “Jelaslah bahwa keluargamu hancur karena kelaliman kaisar! Kaisar yang menjadi permainan para thaikam dan para menteri yang jahat dan korup. Ingat, Sian-moi, biar pun menjadi menteri, akan tetapi ayahmu bukanlah seorang Mancu asli, melainkan peranakan dan darahmu lebih banyak darah Han dari pada darah Mancu.”

Mata gadis itu terbelalak. “Maksudmu bagaimanakah Toako, dengan menyinggung soal keturunan dan darah?”

“Maaf, Sian-moi. Kita adalah orang-orang Han. Engkau tentu tahu bahwa pemerintah sekarang ini adalah pemerintah penjajah bangsa Mancu yang menjajah tanah air kita, memperbudak bangsa kita!” Ucapan ini penuh semangat dan gadis itu memandang dengan penuh perhatian.

“Lalu, bagaimana?” tanyanya, ingin tahu karena ia belum dapat menduga ke arah mana percakapan itu.

“Nah, karena itulah Tiat-liong-pang menganggap sudah tiba saatnya untuk menentang pemerintahan penjajah, menumbangkan kekuasaan bangsa Mancu!”

“Kau maksudkan… memberontak?” Li Sian membelalakkan matanya, tidak menyangka sama sekali bahwa Tiat-liong-pang bermaksud memberontak.

Pemuda itu mengangguk-angguk. “Memberontak terhadap kekuasaan penjajah Mancu, Sian-moi, berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsa kita dari cengkeraman penjajah. Itulah sebabnya mengapa kami menghimpun kekuatan, melatih anak buah kami dan tentang para tokoh itu, engkau tidak keliru, memang di antara mereka terdapat orang-orang kang-ouw dari dunia hitam. Kami membutuhkan tenaga mereka, bantuan mereka karena mereka itu memiliki kepandaian tinggi, juga memiliki banyak anak buah. Kami harus menghimpun kekuatan dari mana pun juga untuk memperkuat kedudukan kami agar perjuangan kami menentang penjajah dapat berhasil. Nah, engkau mengerti sekarang keadaan di sini, Sian-moi?”

Sesungguhnya, hati Li Sian diliputi kekhawatiran dan kebingungan. Ia belum mengerti benar, akan tetapi ia mengangguk-angguk. Bagaimana pun juga pada dasarnya ia dapat mengerti. Tiat-liong-pang hendak memberontak, menentang pemerintah sebab kerajaan yang sekarang adalah Kerajaan Mancu, bangsa asing yang menjajah tanah air dan bangsa! Dan ia pun merasa bangga dan kagum.

Kiranya Tiat-liong-pang sedang mengadakan gerakan perjuangan yang demikian mulia, akan tetapi juga amat berbahaya. Tiba-tiba ia pun teringat akan sesuatu dan wajahnya mendadak berubah pucat.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah si Bangau Putih

KISAH SI BANGAU PUTIH (BAGIAN KE-13 SERIAL BU KEK SIANSU)