KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-24


“Desss...!”

Pukulan kedua tangan Bi-kwi itu tepat mengenai punggung dan tengkuk, akan tetapi akibatnya, tubuh Bi-kwi sendiri yang terhuyung ke belakang dengan menggigil! Ia tadi merasa seperti menyerang sebuah pilar baja yang amat dingin! Maklum bahwa ia tidak akan mampu melawan lagi, dan kalau sampai tertawan tentu musuh-musuhnya takkan mengampuninya, Bi-kwi lalu meloncat ke dekat jenazah suaminya.

“Suamiku, tunggu... aku menyusulmu...,” katanya.

Dan pada saat Sin-kiam Mo-li meloncat mendekatinya untuk mencegah, Bi-kwi sudah mencengkeram ke arah kepalanya sendiri. Dia mengerahkan Ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan kelima jari tangan kanannya menusuk dan menancap ke dalam kepalanya sampai ke otak. Ia pun terkulai dan roboh menelungkup dan merangkul jenazah Yo Jin, tewas seketika!

Meski hatinya girang karena memperoleh pedang Koai-liong Po-kiam yang diterimanya dari Ouwyang Sianseng, namun hati girang Siangkoan Lohan terganggu oleh kekesalan melihat betapa kekacauan terjadi di situ.

“Tangkap mereka semua, jebloskan ke dalam tahanan dan jaga yang ketat. Awas, jangan sampai ada yang dapat lolos! Perkuat penjagaan dan jangan biarkan siapa juga masuk tanpa ijin!” bentaknya kepada murid utamanya, Tiat-liong Kiam-eng yang segera mengerahkan anak buah Tiat-liong-pang untuk menyeret tubuh Kun Tek, Hong Beng, Li Sian dan Ci Hwa dan memasukkan mereka ke dalam tahanan, ke dalam kamar sel yang terpisah-pisah, juga untuk menyingkirkan dua sosok mayat dan membersihkan ruangan itu.

Siangkoan Lohan lalu mengajak Ouwyang Sianseng dan puteranya, bersama dengan para pembantunya yang berada di situ, untuk memasuki ruangan dalam dan berunding. Menurut perhitungan Ouwyang Sianseng, sekarang sudah tiba waktunya untuk segera melakukan gerakan.

Penyerbuan orang-orang muda itu menunjukkan bahwa gerakan mereka mulai diketahui orang luar dan hal itu berbahaya. Lebih baik mendahului sebelum pemerintah mencium akan gerakan itu. Maka, Siangkoan Lohan segera mengirim utusan untuk menghubungi para sekutunya, terutama Agakai kepala suku Mongol, dan tentu saja Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan yang berada di perbatasan, pasukan Mancu yang sudah siap membantu pemberontakan itu. Juga para pembantu yang bertugas ke luar, dipanggil agar segera pulang.....

********************

Empat orang muda yang tadinya lemas tertotok, kini sudah dapat menggerakkan tubuh mereka. Akan tetapi, Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian mendapatkan diri mereka terbelenggu. Sehelai rantai baja panjang mengikat kaki mereka pada tonjolan besi di dinding, dan kedua pergelangan tangan mereka juga dibelenggu, disambung dengan rantai sehingga biar pun mereka mampu menggerakkan kaki tangan, namun mereka tidak dapat bebas.

Hanya Ci Hwa seorang yang tidak terbelenggu, dan hal ini adalah karena Tiat-liong Kiam-eng menganggap Ci Hwa sama sekali tidak berbahaya. Dia menganggap bahwa ilmu kepandaian gadis itu tidak berapa tinggi sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan mampu memberontak.

Dia sendiri yang memimpin penjagaan atas diri empat orang tawanan itu. Sejumlah lima puluh orang ditugaskan berjaga secara bergilir dan dia sendiri sering kali meronda untuk meneliti keadaan empat orang tawanan itu agar jangan sampai ada kesempatan atau kemungkinan bagi mereka untuk lolos.

Ketika Ci Hwa sudah bisa menggerakkan tubuhnya lagi, ia segera bangkit dalam kamar tahanan yang luasnya hanya tiga meter persegi itu dan memeriksa keadaan kamar tahanan. Sebuah kamar yang kuat, dengan tembok tebal dan di bagian depannya ada sebuah pintu besi yang bagian atasnya terdapat terali baja. Ia segera melangkah ke pintu dan memandang keluar.

Tempat itu merupakan bangunan yang agaknya memang khusus dibangun menjadi sebuah penjara atau tempat tawanan karena mempunyai banyak sekali kamar-kamar seperti yang ditempatinya itu. Sebuah kamar yang kosong sama sekali sehingga orang harus tidur dan duduk di lantai yang dingin dan keras! Ketika ia didorong ke dalam kamar ini secara kasar oleh anggota Tiat-liong-pang, ia sempat melihat betapa hal yang sama diperlakukan oleh para anggota Tiat-liong-pang kepada Gu Hong Beng dan juga kepada gadis cantik dan pemuda tinggi besar yang tidak dikenalnya, akan tetapi yang sama-sama melawan Tiat-liong-pang dan sekutunya.

“Kasihan Beng-ko...” Ci Hwa mengenang nasib Hong Beng. “Karena menolongku, dia sampai ikut tertawan. Ahh, bagaimana aku harus menolongnya? Biar berkorban nyawa sekali pun, aku bersedia untuk menyelamatkannya.”

Ia termenung dan menyadari sepenuhnya bahwa ia telah jatuh cinta kepada pemuda tampan dan halus yang pernah merenggutnya dari tangan maut ketika ia nekat hendak membunuh diri di hutan itu. Ia tahu bahwa ketiga orang tawanan lain berada di dalam kamar-kamar sebelah karena ia dilemparkan dalam kamar terakhir, dan dia pun melihat betapa tiga orang itu terlebih dahulu dibelenggu sebelum ditinggalkan di dalam kamar tahanan. Akan tetapi ia tidak dapat berhubungan dengan mereka karena kamar mereka bersebelahan.

Meski pun malam itu di luar amat gelapnya, namun di bangunan besar yang menjadi tempat tawanan ini cukup terang oleh lampu-lampu gantung. Agaknya memang tempat itu sengaja diterangi agar supaya gerak-gerik para tawanan dapat dilihat jelas oleh para penjaga.

Ci Hwa melihat dua orang penjaga membawa lentera mengiringkan seorang laki-laki tinggi kurus menuju ke tempat para tawanan. Agaknya masih ada lagi tawanan lain di tempat itu selain mereka berempat. Kini laki-laki tinggi kurus itu melakukan perondaan, menjenguk ke dalam setiap kamar yang berisi tawanan melalui ruji besi di bagian atas pintu. Dari jauh, Ci Hwa melihat dari sinar lentera itu dan kembali ia tertegun.

Tadi, ketika ia dan ketiga orang lainnya diseret ke tempat tawanan ini, ia pun sudah tertegun dan terheran melihat laki-laki tinggi kurus itu, yang ternyata menjadi pimpinan para anak buah Tiat-liong-pang yang melakukan penjagaan di tempat itu. Ia merasa sudah mengenal laki-laki itu, akan tetapi lupa lagi di mana.

Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, dengan sepasang mata tajam dan muka yang agak pucat. Pedangnya tergantung di punggung dan pandang matanya yang tajam itu membayangkan kecerdikan dan juga kekejaman. Kini, melihat sinar lentera menyoroti muka orang itu, melihat lirikan mata itu, tiba-tiba Ci Hwa teringat.

Ciu Piauwsu! Ya, telah beberapa kali ia bertemu dengan rekan ayahnya itu. Dia adalah seorang piauwsu (pengawal barang kiriman) di Ban-goan, di kota tempat tinggalnya. Sebagai seorang piauwsu, rekan dari ayahnya, tentu saja ia mengenalnya, seperti ia mengenal semua piauwsu di kota Ban-goan. Bahkan akhir-akhir ini, Ciu Piauwsu yang bernama Ciu Hok Kwi itu menarik perhatian keluarganya saat Ciu Piauwsu mendatangi Ban-goan Piauwkiok dan menantang ayahnya!

Ayahnya, Kwee Tay Seng atau Kwee Piauwsu, lalu menyambut tantangan Ciu Piauwsu sehingga terjadi perkelahian, di mana Ciu Piauwsu tidak mampu menandingi ayahnya, mengaku kalah dan pergi sambil mengancam. Itulah Ciu Piauwsu! Dan kini, tahu-tahu dia muncul di tempat ini, sebagai kepala para anggota Tiat-liong-pang!

Mengingat hal ini, tiba-tiba saja Ci Hwa melihat kesempatan baik untuk menyelamatkan Hong Beng dan dua orang lainnya. Kalau saja ia dapat mendekati Ciu Piauwsu! Bagai mana pun juga, mereka adalah sekota, bahkan orang itu juga seorang piauwsu, seperti ayahnya.

Dia pun teringat bahwa Ciu Piauwsu adalah seorang piauwsu di perusahaan piauwkiok milik ayah Tan Sin Hong! Ciu Piauwsu adalah pembantu dari mendiang Tan Piauwsu. Apakah ini hanya suatu kebetulan saja? Otak gadis ini bekerja dan semakin mantap hatinya untuk mendekati bisa Ciu Piauwsu, dengan cara apa pun, bukan sekedar untuk berusaha menyelamatkan Hong Beng dan kedua orang tawanan lainnya, namun juga untuk menyelidiki tentang kehadiran seorang piauwsu dari Ban-goan yang kini berada di antara orang-orang Tiat-liong-pang!

Seseorang yang sudah mengalami peristiwa hebat seperti yang diderita oleh Ci Hwa, memang dapat berubah segala-galanya. Rasa kekhawatiran, sakit hati, putus asa, dan duka yang melanda hatinya semenjak dia diperkosa dan dihina oleh Siangkoan Liong, membuat ia menjadi seorang yang nekat. Ia tidak lagi menghargai dirinya sendiri, yang ada hanyalah satu tekad, ialah membalas dendam, melampiaskan kebencian atau rasa cinta tanpa mengenal batas lagi, tanpa mempedulikan keselamatan diri atau harga diri lagi.

Kini, Ciu Hok Kwi dan dua orang anak buahnya yang memeriksa setiap orang penghuni kamar-kamar tahanan itu, sedang menuju ke kamar tahanan di mana Ci Hwa berdiri memegangi terali besi dan memandang keluar.

“Ciu Piauwsu...!” Ci Hwa memanggil dengan suara lembut.

Ciu Hok Kwi memandang tajam dan sejenak dia menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian. Ketika Ci Hwa berada di perkampungan itu dan menjadi korban Siangkoan Liong, Ciu Hok Kwi tidak berada di sana sehingga dia tidak tahu akan semua peristiwa yang menimpa diri gadis itu. Sekarang, ketika dia melakukan perondaan, tiba-tiba saja seorang di antara para tawanan itu, seorang gadis manis sekali dengan mulut yang penuh gairah, memanggilnya dengan sebutan Ciu Piauwsu, sebuah sebutan yang luar biasa sekali di situ karena tiada seorang pun menyebutnya seperti itu!

Dia memandang tajam dan heran, lalu melangkah mendekat. Dia hanya tahu bahwa di antara empat orang tawanan yang tadi mengamuk dan ditangkap, gadis ini adalah yang paling lemah dan tidak berbahaya, demikian menurut keterangan Siangkoan Kongcu. Oleh karena itu, dia pun tidak merasa perlu untuk membelenggu gadis ini.

Ci Hwa melihat sikap orang itu, maklum bahwa orang she Ciu itu agaknya lupa dan tidak mengenalnya. Memang ketika berada di Ban-goan, di antara mereka tiada hubungan sesuatu dan amat jarang berjumpa.

Gemblengan batin yang mengalami guncangan dan tekanan hebat itu telah membuat gadis yang hijau itu kini menjadi seorang wanita yang matang dan penuh perhitungan! Ia tersenyum, senyum manis dan ia tahu bahwa senyumnya dengan tarikan pada dagunya itu akan menciptakan lesung pipit yang manis pada lekukan pipinya yang kiri, yang sengaja dia miringkan agar tersorot sinar lentera yang dibawa oleh kedua orang anak buah Tiat-liong-pang itu.

“Aihh, Ciu Piauwsu, apakah engkau sudah tidak ingat kepadaku? Kita sama-sama dari Ban-goan, dan oleh karena itu, harap kau suka mengingat akan kawan sekota dan suka menolong aku...!” di dalam suaranya, Ci Hwa menggetarkan permohonan yang amat sangat, demikian pula sinar matanya memandang penuh harapan.

Ciu Hok Kwi tertarik. Dia bukanlah seorang pelahap wanita seperti Toat-beng Kiam-ong atau Siangkoan Liong, akan tetapi dia bukanlah kanak-kanak pula. Dia seorang laki-laki dewasa yang sudah berpengalaman, maka tentu saja dapat menangkap gairah dalam pandang mata gadis manis ini, di mana terkandung penawaran dan janji manis sekali.

“Hemmm, jangan ngawur! Aku bukan piauwsu...!” Dia masih mencoba karena dia belum mengenal gadis itu. Matanya tak dapat dihindarkan lagi mengamati lekukan dan tonjolan bukit dada yang menjadi amat jelas karena Ci Hwa menekan dadanya pada jeruji besi kuat-kuat.

“Aih, Ciu Piauwsu, harap jangan salah sangka. Aku... aku mengenalmu sebagai seorang piauwsu yang gagah. Namaku Kwee Ci Hwa... dari Ban-goan Piauwkiok! Nah, engkau tentu masih ingat, bukan?”

Ciu Hok Kwi terbelalak, lalu mengelus dagunya yang halus karena jenggotnya dia cukup bersih. Matanya yang tajam itu mengamati wajah gadis cantik itu penuh perhatian.

“Ahh, engkau she Kwee... dari Ban-goan Piauwkiok?”

“Benar, Ciu Piauwsu, aku puteri majikan Ban-goan Piauwkiok!”

Ciu Hok Kwi mengangguk-angguk dan tersenyum simpul, lalu mendekat, untuk dapat mengamati wajah cantik itu lebih jelas lagi. “Ahhh, kiranya puteri Kwee Piauwsu! Dan mengapa pula engkau sampai tertawan di sini?”

Ci Hwa, gadis yang sebetulnya masih hijau itu, kini telah menjadi matang oleh musibah yang menimpa dirinya, membuatnya menjadi wanita yang amat cerdik dan pandai sekali bersandiwara. Mudah saja baginya kini untuk menekan batinnya sehingga air matanya mengalir turun dari kedua matanya ketika ia mendengar pertanyaan Ciu Hok Kwi itu.

“Aih, Ciu Piauwsu, harap engkau suka menaruh kasihan padaku dan suka menolongku, mengingat bahwa kita sama-sama datang dari Ban-goan. Nasibku sungguh malang... dan di tempat asing ini, siapa lagi yang dapat kumintai tolong kecuali engkau seorang? Tolonglah aku, selamatkan aku dan... aku akan berterima kasih sekali, aku berhutang budi dan aku akan membayarmu dengan apa saja, Ciu Piauwsu...“

Kembali Ciu Hok Kwi melihat sikap yang menantang dan penuh janji manis itu, dari sepasang mata yang basah air mata, dari mulut yang setengah terbuka, dari tonjolan dada yang ditekan pada jeruji besi.

“Bagaimana aku dapat menolongmu? Aku tidak berani membebaskanmu, nona Kwee, karena para pemimpin sendiri yang menawanmu.”

“Tidak usah membebaskan aku, asal aku... jangan sampai terbunuh... katakan kepada mereka bahwa aku ini adalah calon isterimu atau apa saja, asal aku dapat terhindar dari bahaya maut...“

Berdebar rasa jantung Ciu Hok Kwi. Dia memang belum menikah, dan sukar ditemukan seorang gadis yang demikian manis seperti Ci Hwa menawarkan diri seperti ini!

“Akan tetapi ceritakan lebih dulu bagaimana engkau sampai tertawan? Apakah engkau memusuhi Tiat-liong-pang?”

“Mana aku berani? Aku akan bercerita terus terang saja kepadamu, Ciu-toako, dan hal ini baru kepadamu saja kuceritakan,” Ci Hwa berbisik-bisik.

Ciu Hok Kwi semakin tertarik karena gadis itu menyebutnya toako, bukan Piauwsu lagi, sebutan yang lebih akrab.

“Aku meninggalkan rumah orang tuaku, engkau tentu mengerti, sebagai seorang gadis yang ingin meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan. Ketika tiba di dekat tempat ini, aku diganggu lima orang pemburu, aku dikeroyok dan kalah, dan hampir aku diperkosa oleh mereka berlima. Aku sudah ditelanjangi, empat orang memegang kaki tanganku dan orang ke lima sudah siap untuk memperkosa aku yang masih perawan...“ Entah dari mana Ci Hwa memperoleh kemampuan untuk bercerita seperti itu, sengaja menggambarkan keadaan yang dapat merangsang pendengarnya.

Dan usahanya berhasil. Mendengar cerita itu, sepasang mata Ciu Hok Kwi seakan-akan menelanjanginya, meraba-raba tubuhnya sebab piauwsu muda itu lalu menggambarkan keadaan Ci Hwa seperti yang diceritakannya itu. Dan Ci Hwa sengaja berhenti untuk memancing reaksi dari pendengarnya.

“Lalu bagaimana...? Lanjutkan ceritamu...!” kata Ciu Hok Kwi agak terengah-engah dan mukanya yang biasanya pucat itu sekarang menjadi agak kemerahan, matanya tetap menggerayangi lekuk lekung tubuh Ci Hwa dengan lahap.

“Aku sudah putus asa, hendak menjerit namun mulutku dibungkam. Aku hanya dapat meronta-ronta sekuatku, akan tetapi sia-sia karena keempat orang itu memegangi kaki tanganku. Dan pada saat terakhir, muncullah Siangkoan Kongcu! Dengan gagahnya dia menghajar lima orang pemburu itu sampai mereka terbunuh semua dan mayat mereka dilempar ke dalam jurang. Lalu Siangkoan Kongcu menghampiri aku yang masih belum sempat berpakaian...”

Kembali ia berhenti dan melihat dengan kegembiraan yang disembunyikan betapa laki laki itu berkeringat dan menjilati bibirnya sendiri seperti seekor anjing kelaparan melihat daging segar yang membangkitkan selera dan menambah rasa lapar.

“Kemudian... bagaimana...?” Suara Ciu Hok Kwi lirih dan parau.

“Aku adalah seorang yang mengenal budi. Kalau sudah ditolong orang, maka aku mau membalas budi itu dengan apa saja. Dan Siangkoan Liong seorang laki-laki muda yang tampan, seperti... engkau ini, Ciu-toako, dan aku dalam keadaan telanjang. Kami saling tertarik dan aku lalu menyerahkan diri bulat-bulat, menyerahkan segalanya dengan suka rela. Segala yang tadinya hendak diminta secara paksa oleh kelima orang pemburu itu, kuberikan kepada Siangkoan Kongcu dengan senang hati, apa lagi karena dia berjanji hendak mengawini aku yang selamanya belum pernah berdekatan dengan pria.”

“Lalu... lalu bagaimana...?”

Kembali Ci Hwa menangis dan suaranya tersendat-sendat ketika ia melanjutkan. “Akan tetapi dia... dia mengingkari janji... aku lalu pergi, hendak membunuh diri... aku yang masih perawan telah menyerahkan kehormatanku, dan dia ingkar janji...! Ketika sedang membunuh diri, aku dicegah oleh seorang pendekar yang bernama Gu Hong Beng itu. Dia mencegah aku bunuh diri dan menasehati aku kemudian dia hendak membelaku, hendak menuntut pertanggungan jawab Siangkoan Kongcu. Akan tetapi kami kalah dan tertawan...“

“Hemmm, salahmu sendiri, sungguh tidak tahu diri. Bagaimana berani hendak menuntut Siangkoan Kongcu?”

“Begini, Ciu-toako. Kalau tadinya dia tidak berjanji akan mengawiniku, tentu aku tidak menuntut. Tapi aku tahu bahwa itu tidak tahu diri, karena itu, aku mohon kepadamu, Ciu-toako yang baik, tolonglah aku, selamatkanlah aku dan aku akan berhutang budi kepadamu...“ Kembali pandang mata Ci Hwa menantang.

Ciu Hok Kwi yang sudah terangsang oleh cerita gadis itu tadi, sekarang tersenyum dan kembali mengelus dagunya, “Dan dengan apa engkau hendak membalas budiku itu?” Pertanyaannya ini disertai kerling tajam, mengandung kegenitan yang jelas.

“Ciu-toako, sudah kukatakan bahwa aku adalah seorang gadis yang suka membalas budi. Aku pasti akan mau melakukan apa saja yang kau kehendaki dariku!” Jawabannya demikian meyakinkan dan melenyapkan keraguan hati Ciu Hok Kwi.

“Engkau mau kalau malam ini engkau menemani aku tidur di kamarku?” tanya murid pertama Siangkoan Lohan itu dengan tegas, tanpa malu-malu lagi.

Mau tidak mau, wajah Ci Hwa menjadi merah dan ia merasa betapa mukanya panas sekali, akan tetapi gadis ini memaksa diri tersenyum malu-malu.

“Tentu saja aku mau, Ciu-toako. Apa lagi engkau nampaknya jauh lebih jujur dari pada Siangkoan Kongcu.”

“Tapi aku tidak berjanji bahwa kelak aku akan mengawinimu!”

Ci Hwa tersenyum semakin cerah. “Baik, memang benar bahwa engkau jauh lebih jujur dari pada Siangkoan Kongcu. Kalau engkau tidak menjanjikannya, aku pun kelak tidak akan menuntut, Toako.”

Sepasang mata Ciu Hok Kwi, yang tajam seperti mata kucing itu bersinar-sinar. Namun, dia bukan orang bodoh. Dia tak akan mau percaya demikian saja sebelum ada buktinya. Rasanya terlampau mudah, aneh dan tidak masuk di akal kalau seorang gadis baik-baik seperti Kwee Ci Hwa ini, puteri Kwee Piauwsu yang gagah perkasa di Ban-goan itu, begitu saja menyodorkan dirinya kepadanya!

“Kalau begitu, marilah ikut denganku,” katanya sambil mengeluarkan seuntai kunci-kunci dari saku bajunya, lalu membuka daun pintu kamar sel itu.

Melihat banyak kunci itu, diam-diam Ci Hwa girang sekali. Tidak keliru dugaannya, Ciu Hok Kwi ini menjadi kepala jaga di sini dan dialah yang memegang semua kunci pintu kamar-kamar tahanan! Ia pun keluar dari kamar tahanan itu dan membiarkan dirinya dirangkul dan dipandangi oleh Ciu Hok Kwi, bahkan dia pun dengan sikap malu-malu melingkarkan lengannya pada pinggang laki-laki tinggi kurus itu.

“Jaga di sini baik-baik, aku mau bicara penting dengan Nona ini!” katanya kepada para anak buahnya yang lalu berkedip-kedip sambil tersenyum simpul melihat atasan mereka menggandeng seorang tahanan wanita yang manis, hal yang tidak asing lagi bagi mereka. Sudah menjadi hak Ciu Hok Kwi agaknya, untuk melakukan apa saja terhadap para tahanan, membawa tahanan wanita cantik ke kamarnya, menyiksa, atau bahkan membunuh tahanan!

Setelah tiba di dalam kamarnya, Ciu Hok Kwi yang masih sangsi dan belum dapat percaya benar kepada Ci Hwa, segera minta bukti dari gadis itu untuk melayaninya! Barulah dia percaya benar setelah gadis itu menyerahkan diri dengan pasrah, bahkan dengan sikap gembira dan manis seolah-olah gadis itu menyukai dan menikmati pula apa yang terjadi antara ia dan Ciu Hok Kwi.

Orang she Ciu ini sama sekali tidak tahu betapa di dalam batinnya, gadis itu menangis dan menjerit, betapa tersiksa dan sakit rasanya badan dan batinnya ketika ia harus pasrah saja digeluti oleh orang yang dibencinya itu! Ya, dia membenci Ciu Hok Kwi, pertama-tama karena pernah Ciu Hok Kwi menantang ayahnya dan akhirnya orang ini dikalahkan oleh ayahnya. Kedua, sebab melihat piauwsu ini ternyata adalah kaki tangan pemberontak, dan kini bahkan terpaksa ia menyerahkan diri kepadanya.

Akan tetapi biarlah! Ia sudah tidak memiliki harapan untuk bisa hidup terus, setelah apa yang dialaminya, setelah ia terhina, direnggut kehormatannya oleh Siangkoan Liong. Ia harus mati untuk menebus aib, tetapi sebelum mati, ia harus dapat menyelamatkan Gu Hong Beng.

Pemuda itu telah menolongnya, bahkan sudah memberi penerangan batin kepadanya. Dan sekarang pemuda itu, karena hendak membelanya telah terjatuh ke tangan musuh! Ia harus menyelamatkannya, dengan jalan apa pun juga. Dan kini telah ia laksanakan cara yang paling menyakitkan, baik badannya mau pun batinnya. Ia telah melayani Ciu Hok Kwi, melayani dengan sikap manis pula!

Setelah memperoleh bukti berulang kali dari pelayanan manis Kwee Ci Hwa, akhirnya Ciu Hok Kwi mulai percaya. Ketika mereka mengaso dan rebah bersanding di dalam kamarnya, Ciu Hok Kwi tanpa ragu-ragu lagi menceritakan kepada Ci Hwa yang kini telah dianggapnya sebagai kekasihnya. Menceritakan bahwa dia sesungguhnya adalah Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dan terpandai dari Siangkoan Lohan, juga adalah pembantu utama Siangkoan Lohan!

“Akan tetapi, Ciu-toako yang baik...,” Ci Hwa bertanya sambil memeluk dengan sikap merayu, “bagaimana engkau yang menjadi murid utama Siangkoan Lohan, bisa bekerja sebagai seorang piauwsu di Ban-goan...?”

Ciu Hok Kwi tertawa dan mencium gadis itu, “Itu adalah siasatku. Kami membutuhkan penghubung yang baik untuk keluar masuk perbatasan Tembok Besar tanpa dicurigai, supaya lebih mudah bagi kami berhubungan dengan orang-orang Mongol yang akan membantu gerakan kami. Karena itulah, di Ban-goan tempatnya untuk mengatur semua itu dengan kedok perusahaan Piauwkiok.”

“Tapi… bukankah engkau menjadi piauwsu pembantu dari Tan-piauwsu yang kabarnya terbunuh di utara itu?”

“Ha-ha-ha, benar, memang benar. Itulah siasatku yang sangat cerdik. Tanpa disangka orang, aku kini menguasai piauwkiok itu, sehingga terbukalah jalan bagi gerakan kami untuk berhubungan dengan kawan-kawan di luar Tembok Besar...”

“Ahh, jadi kematian Tan-piauwsu itu termasuk rencana siasatmu? Engkau sungguh lihai sekali, Koko!” Ci Hwa balas mencium meski di dalam hatinya ia ingin muntah karena jijik mendengar bahwa pembunuhan atas diri Tan-piauwsu itu adalah perbuatan orang ini. “Kalau begitu, yang membunuh Tan Piauwsu...”

“Ha-ha-ha, akulah orangnya!” kata Ciu Hok Kwi sambil tertawa.

Sepasang mata Ci Hwa terbelalak dan ia mengamati wajah laki-laki itu yang di bawah sinar lilin itu cukup tampan, akan tetapi juga menyeramkan. “Dan orang berkedok yang membunuh Lay-wangwe...”

“Aku juga orangnya! Ehh, bagaimana engkau bisa tahu...? Ah, kiranya engkaukah yang mencoba untuk menangkap aku itu, Manis? Ha-ha-ha! Untung saat itu hanya kutendang lututmu…!”

Ci Hwa terkejut dan juga marah bukan main, akan tetapi ia memaksa dirinya untuk ikut tertawa, kemudian merangkul dan mencium laki-laki itu sambil memuji. “Wah, kiranya engkaukah orang itu? Aku sudah merasa amat kagum karena kelihaiannya! Dan engkau pernah pula menantang ayahku? Bagaimana engkau dapat dikalahkannya jika ternyata engkau selihai itu?”

Ciu Hok Kwi balas merangkul dan mencium. “Siasat, Manisku, siasat! Aku harus pura pura mengalah supaya tidak mendatangkan kecurigaan putera Tan-piauwsu itu. Engkau tentu telah mengenalnya.”

“Ya, Tan Sin Hong itu bukan? Dia menuduh ayah yang mengatur pembunuhan terhadap ayahnya, maka aku ingin mencuci nama baik ayahku dengan membantunya menangkap pembunuh. Kiranya engkau orangnya dan sekarang engkau malah menjadi kekasihku, orang yang akan menyelamatkan aku dari bahaya di sini.”

Kembali Ci Hwa melayani Ciu Hok Kwi dengan sikap manja, mesra dan manis sehingga Ciu Hok Kwi menjadi tergila-gila, tenggelam dalam nafsunya dan akhirnya, setelah lewat tengah malam, dia pun tidur pulas kelelahan.

Ci Hwa yang tadinya sudah pura-pura tidur pulas lebih dahulu, segera membuka kedua matanya. Dengan hati-hati ia melepaskan lengan dan kaki pria itu yang merangkulnya, lalu melepaskan diri dan sejenak duduk di atas pembaringan sambil mengamati muka dan pernapasan laki-laki itu.

Sudah tidur nyenyak, dapat di ketahuinya dari pernapasannya dan dengkurnya. Sekali pukul saja ia akan dapat membunuh laki-laki ini! Akan tetapi, ia tidak berani melakukan hal ini, karena kalau sampai ia gagal, kalau sampai Ciu Hok Kwi tidak mati oleh sekali pukul dan sempat berteriak, akan gagallah usahanya menolong Gu Hong Beng! Yang terpenting adalah menyelamatkan pemuda itu lebih dulu, pikirnya.

Rasanya tangannya telah gatal hendak menyerang dan membunuh orang yang sedang tidur ini. Apa lagi kalau diingatnya betapa ia tadi digeluti dan menderita siksaan lahir batin yang bagi seorang gadis tidak tertandingi oleh penderitaan yang bagaimana pun juga.

Akan tetapi, Ci Hwa dapat menekan perasaannya. Dengan hati-hati dia pun mengambil baju Ciu Hok Kwi yang tadi ditanggalkan dan dilemparkan ke sudut pembaringan. Jari jari tangannya gemetar pada saat ia mencari-cari dan akhirnya ia menemukan seuntai kunci-kunci dan matanya bersinar-sinar.

Dia lalu mengenakan pakaiannya, dan sepatunya, kemudian turun perlahan-lahan dari atas pembaringan. Ciu Hok Kwi masih mendengkur pulas. Melihat sebatang pedang tergantung di dinding kamar itu, dicabutnya pedang itu dan dibawanya keluar kamar bersama kunci-kunci tadi. Berindap-indap ia menghampiri tempat tahanan.

Ci Hwa menyelinap di balik dinding yang gelap dan mengintai. Jalan menuju ke kamar tahanan itu melalui sebuah lorong dan ada tiga orang penjaga bercakap-cakap di mulut lorong itu. Penjaga-penjaga lainnya entah pergi ke mana. Di situ terdapat belasan orang penjaga dan agaknya mereka merasa aman, maka diadakan pergantian penjagaan. Mungkin yang lainnya sedang tidur dan mereka berjaga dengan bergiliran.

Kenyataan bahwa yang berjaga di situ hanya tiga orang, jantung dalam dada Ci Hwa berdebar tegang dan juga gembira. Jika hanya tiga orang, tentu saja tak berat baginya untuk membunuh mereka, apa lagi keadaan tiga orang itu kini nampak mengantuk. Malam telah amat larut, lewat tengah malam dan mereka bertiga kini tidak bercakap-cakap lagi, melainkan duduk melenggut.

Ci Hwa kemudian memungut batu kerikil yang dilontarkan ke depan. Suara kerikil jatuh menggelinding di lantai ini cukup membuat salah seorang di antara tiga orang penjaga itu terkejut dan memandang dengan curiga. Dia mencabut goloknya dan bangkit dari tempat duduk, lalu melangkah perlahan ke arah pilar yang agak gelap, di mana tadi dia mendengar suara kerikil jatuh.

Baru saja kakinya menginjak di sudut dinding, mendadak nampak sinar berkelebat dan penjaga itu tersentak kaget. Dua matanya terbelalak ketika sebatang pedang menempel jantungnya dan mulutnya tak sempat bersuara karena ada tangan mendekap mulutnya. Dia pun roboh tanpa mengeluarkan suara, kemudian tubuhnya diseret Ci Hwa ke tempat gelap.

Kembali Ci Hwa melempar kerikil, lebih keras dari tadi. Kini, dua orang penjaga yang mengantuk itu terkejut dan bangkit, memandang ke kanan kiri, mencari kawan mereka dan keduanya kemudian melangkah perlahan-lahan ke depan, mencari-cari. Tadi ketika kawan mereka bangkit dan memeriksa keadaan, mata mereka sudah terlalu mengantuk sehingga tidak memperhatikan.

Ci Hwa menanti mereka dengan hati tegang. Ia harus dapat sekaligus merobohkan dua orang ini tanpa menimbulkan banyak kegaduhan, pikirnya, bersiap dengan pedangnya yang sudah bersih dari darah karena ia mengusapkannya ke tubuh korban pertamanya. Ketika dua orang penjaga itu tepat tiba di sudut dinding, dua kali pedang di tangan Ci Hwa berkelebat, menyambar ke arah tenggorokan kedua orang itu.

Hanya terdengar suara mengorok seperti babi disembelih ketika dua orang itu terkulai roboh mandi darah dan berkelojotan tanpa mengeluarkan teriakan karena tenggorokan mereka hampir putus! Ci Hwa tidak membuang banyak waktu lagi. Ia meloncati mayat dua orang penjaga itu dan berlari memasuki lorong. Pertama-tama ia menghampiri pintu kamar di mana Gu Hong Beng ditahan.

Hong Beng sedang duduk bersila menghimpun tenaga. Dia tentu saja, seperti yang lain, tidak dapat tidur. Melalui ketukan pada dinding, ia telah mengadakan hubungan dengan Kun Tek yang ditahan di kamar sebelah kirinya, bahkan mereka berdua dapat bicara sambil berbisik, mengerahkan khikang untuk dapat saling tangkap. Dari suara bisik-bisik ini, dia dan Kun Tek sudah sepakat untuk bersiap-siap menghimpun tenaga dan pada keesokan harinya atau kapan saja ada kesempatan, mereka akan menggunakan tenaga dan kekerasan untuk mengamuk.

Dengan bisikan-bisikannya, Hong Beng dan Kun Tek telah berjanji masing-masing akan menghubungi Ci Hwa dan Li Sian. Cu Kun Tek bertugas menghubungi Li Sian yang berada di sebelah kamarnya, sedangkan Gu Hong Beng akan menghubungi Ci Hwa.

Akan tetapi, setelah beberapa kali mencoba, Hong Beng tidak menerima jawaban dari Ci Hwa sehingga dia merasa gelisah sekali. Apa lagi kalau dia teringat akan perjumpaan mereka pertama kali. Gadis itu hampir saja mati membunuh diri tanpa dia tahu akan sebabnya. Bagaimana kalau sekarang gadis itu mengulang kembali usahanya untuk membunuh diri dalam sel tahanannya karena putus asa? Kini takkan ada lagi yang dapat menghalanginya!

Akan tetapi, satu-satunya cara membunuh diri dalam sel itu, apa lagi setelah mereka semua dilucuti senjatanya, hanyalah dengan jalan membenturkan kepala sampai pecah pada dinding kamar tahanan. Dan sejak tadi, dia memperhatikan dengan hati gelisah dan tidak pernah mendengar suara mengerikan dari pecahnya kepala terbentur pada dinding.

Akan tetapi kenapa gadis itu tidak menjawabnya? Sudah beberapa kali dia mengetuk-ngetuk dinding, juga melalui jeruji besi itu dia pun ‘mengirim’ suaranya dengan kekuatan khikang ke dalam kamar tahanan Ci Hwa di sebelah, namun semua usahanya itu sia-sia belaka.

Tidak pernah ada jawaban dari kamar sebelah, bahkan dia tak mendengar ada suatu gerakan. Tadi memang dia tahu bahwa ada rombongan penjaga yang mendekati pintu kamar tahanan Ci Hwa, bahkan mereka bercakap-cakap, akan tetapi karena ada pula penjaga berdiri di depan pintu kamar tahanannya, dia pun tidak dapat mendekati dan mencoba untuk mendengarkan. Kemudian para penjaga itu pergi dan suasana menjadi sunyi dan sejak itu, dia tidak dapat mendengar sesuatu dari kamar Ci Hwa.

Di lain pihak, Kun Tek yang mencoba untuk menghubungi Li Sian, ternyata memperoleh hasil baik. Ketukannya pada dinding dibalas oleh Li Sian, dan ketika Kun Tek mendekati pintu, ternyata gadis di kamar sebelah itu pun sudah mendekati ke pintu.

“Maaf, Nona, apakah aku mengganggu? Aku adalah Cu Kun Tek dari Lembah Naga Siluman, dan datang ke sini untuk menentang Tiat-liong-pang yang bersekutu dengan kaum sesat untuk melakukan pemberontakan. Jika tidak berkeberatan, maukah Nona memperkenalkan diri kepadaku?”

Mendengar suara bisikan yang dikirim dengan khikang yang cukup kuat ini, Li Sian kagum. Tadi ia sudah melihat kemunculan pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu, bahkan dia sudah mendengar pengakuan Kun Tek kepada Siangkoan Lohan. Ia pernah mendengar nama besar Lembah Naga Siluman dan ada rasa kagum terhadap pemuda itu.

“Namaku Pouw Li Sian,” dia pun berbisik dan mendorong bisikan itu dengan khikang sehingga dapat terdengar jelas oleh Kun Tek yang juga menjadi kagum. Dia tadi sudah melihat kehebatan Li Sian yang bertanding melawan Siangkoan Liong, dibantu Ci Hwa. “Aku seorang yatim piatu, mendiang guruku adalah Bu Beng Lokai. Aku mempunyai permusuhan pribadi dengan Siangkoan Liong, putera Siangkoan Lohan, tetapi karena mereka semua adalah penjahat-penjahat yang licik, curang dan kejam, aku menentang mereka.”

Kun Tek mengangguk-angguk. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Li Sian, terutama sekali ketika mendengar betapa suara bisikan gadis itu tadi gemetar pada saat mengatakan bahwa ia adalah seorang yatim piatu. Agaknya gadis itu teringat akan keadaan dirinya yang yatim piatu dan menjadi sedih, pikir Kun Tek dengan hati terharu. Biar pun baru beberapa kali saja dia mendapat kesempatan mengamati wajah gadis itu, dia masih teringat akan seraut wajah yang cantik dan anggun, dengan sinar mata tajam namun lembut, dengan mulut yang membayangkan kehalusan watak.

“Kalau begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama, Nona. Apakah Nona sudah mengenal dua orang kawan lain yang tertawan di sebelah?”

“Belum, aku belum mengenal mereka berdua. Apakah engkau telah mengenal mereka?”

“Aku belum mengenal gadis itu, akan tetapi laki-laki gagah perkasa itu adalah seorang sahabat lamaku, sahabat baik sejak bertahun-tahun yang lalu. Dia bernama Gu Hong Beng dan dia murid seorang anggota keluarga Pulau Es yang terkenal.”

“Ahhh...!”

Mendengar seruan Li Sian, Cu Kun Tek menjadi heran. Dalam seruan itu, bukan hanya terkandung rasa kaget atau kagum, melainkan lebih mengandung keheranan.

“Kenapakah, Nona?”

“Mendiang guruku, Bu Beng Lokai, adalah mantu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!”

“Ahhh...!” Kini Kun Tek yang berseru, seruan kaget, heran dan kagum menjadi satu. “Kalau begitu, tentu engkau mengenal Gu Hong Beng karena ada hubungan perguruan antara dia dan engkau, Nona.”

“Aku belum pernah mengenalnya. Saudara Cu Kun Tek, apa yang dapat kita lakukan sekarang? Mereka itu ternyata memiliki banyak orang pandai, terutama sekali siucai tua yang tinggi kurus itu, yang merobohkan kita. Dia sungguh mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan lihai bukan main.”

“Benar, Nona. Tadi aku sudah bicara dengan Hong Beng dan kami bersepakat untuk malam ini menghimpun tenaga, bersiap-siap untuk memberontak apa bila kesempatan tiba. Meski pun kakek itu lihai, kalau kita bertiga, berempat dengan nona yang seorang lagi itu, kurasa kita akan dapat menghadapi kakek lihai itu.”

Mereka menghentikan percakapan, kemudian duduk bersila di tengah kamar tahanan masing-masing untuk menghimpun tenaga. Dalam hati Li Sian terasa agak lega setelah ia dapat bercakap-cakap dengan Cu Kun Tek, pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu. Mendengar suara yang berat dan tegas itu, hatinya menjadi lebih tenang dan ia menghadapi segala kemungkinan dengan penuh semangat.

Diam-diam ia mengingat kembali tiga orang yang tidak dikenalnya itu, yang berdatangan membantunya dalam perkelahian sehingga akhirnya mereka semua menjadi tawanan. Ia merasa terharu kalau teringat akan nasib Bi-kwi dan suaminya. Yo Jin, suami wanita lihai itu, tewas seperti seorang yang gagah perkasa walau pun pria itu tidak pandai silat, dan Bi-kwi tewas sebagai seorang isteri yang amat mencinta suaminya.

Ketika ia teringat akan sikap gadis yang menjadi tawanan di sebelah, ia merasa heran sekali. Gadis itu begitu muncul, memaki Siangkoan Liong dan menyerang mati-matian, walau pun tingkat kepandaian silat gadis itu masih jauh di bawah tingkat Siangkoan Liong. Gadis itu demikian nekat dan agaknya sangat membenci Siangkoan Liong. Ada dendam apa antara gadis itu dan Siangkoan Liong? Ia menduga-duga, dan mengingat akan dendamnya sendiri, dia menduga bahwa agaknya gadis itu pun menjadi korban rayuan Siangkoan Liong.

Ingin rasanya ia menampar pipinya sendiri jika teringat betapa ia telah menyerahkan dirinya dengan suka rela kepada pemuda biadab itu! Ia telah terpikat dan memang telah jatuh cinta pada pemuda tampan itu, tak tahu bahwa pemuda itu selain menggunakan rayuan maut, juga menggunakan minuman yang merangsang, dan juga pengaruh ilmu sihir untuk menjatuhkannya!

“Keparat! Aku harus membunuhmu!” Ia mengepal tinju, tetapi lalu mengusir gangguan pikiran ini yang akan melenyapkan ketenteraman hatinya dan juga akan menggagalkan usahanya untuk menghimpun tenaga dalam.

Lewat tengah malam, tiba-tiba Hong Beng dikejutkan dengan munculnya Ci Hwa di luar pintu kamar selnya dan gadis itu malah membuka daun pintu kamarnya dengan kunci, dengan hati-hati sekali.

“Adik Ci Hwa...! Bagaimana engkau dapat keluar dari kamar selmu...?”

“Sssttttt...!” Ci Hwa memberi isyarat agar pemuda itu tidak membuat gaduh, dan ia pun masuk ke dalam kamar itu.

Hong Beng melompat bangun dan ketika Ci Hwa lari merangkulnya, dia pun memeluk dengan hati yang cemas dan amat girang. Akan tetapi dia melihat Ci Hwa menangis sesenggukan di dadanya, dan dia menjadi semakin heran. Dia tentu saja tidak tahu betapa Ci Hwa menangis karena teringat akan pengorbanannya, telah membiarkan dirinya diperhina sesuka hati oleh Ciu Hok Kwi, demi untuk menyelamatkan Hong Beng.

Namun hanya sebentar saja Ci Hwa dipengaruhi kesedihannya. Ia segera melepaskan pelukannya dan berbisik, “Cepat bebaskan teman-teman yang lainnya. Ini kunci-kunci kamar tahanan, cepat dan larilah kalian semua dari sini selagi masih ada kesempatan!” Berkata demikian, Ci Hwa menyerahkan kunci-kunci itu kepada Hong Beng, kemudian melompat keluar.

“Hwa-moi...!” Hong Beng berseru lirih memanggil, akan tetapi gadis itu tidak menoleh lagi dan menghilang dalam kegelapan malam.

Hong Beng hanya tertegun, tidak tahu kemana gadis itu pergi. Akan tetapi dia segera melangkah keluar dari dalam kamar tahanan itu, dan dengan kunci-kunci itu ia berhasil membebaskan Pouw Li Sian dan Cu Kun Tek yang tentu saja menjadi girang sekali.

“Bagaimana engkau dapat keluar membebaskan kami?” bisik Kun Tek.

“Kita sudah ditolong oleh adik Kwee Ci Hwa. Dialah yang tadi membebaskan aku dan menyerahkan kunci-kunci ini,” jawab Hong Beng.

“Di manakah dia sekarang?” Li Sian bertanya sambil memandang wajah pemuda yang menurut keterangan Kun Tek adalah murid keluarga Pulau Es itu.

Hong Beng juga memandang wajah Li Sian dan menggeleng kepala dengan khawatir. “Entahlah, setelah menyerahkan kunci-kunci ini, ia terus melompat pergi.”

“Ah, berbahaya sekali jika begitu. Kita harus mencarinya, dan bersama-sama mencoba untuk meloloskan diri dari tempat ini!” kata Kun Tek.

Li Sian dan Hong Beng mengangguk tanda setuju dan mereka bertiga kemudian berindap-indap keluar melalui lorong kecil itu.

Akan tetapi, pada saat itu para penjaga telah menemukan mayat ketiga orang kawan mereka. Begitu muncul tiga orang tawanan ini, belasan orang penjaga sudah langsung mengepung dan mengeroyok mereka. Terjadilah perkelahian yang seru di mulut lorong, di mana tiga orang muda itu mengamuk hanya dengan tangan kosong saja menghadapi belasan orang penjaga yang semuanya bersenjata tajam.

Sementara itu, Ci Hwa sudah berhasil kembali ke dalam kamar Ciu Hok Kwi yang masih tidur mendengkur. Jantungnya berdebar penuh ketegangan karena kini dia memasuki kamar itu hanya dengan satu tujuan, yaitu membunuh Ciu Hok Kwi dengan pedang di tangannya. Oleh karena ketegangan ini, Ci Hwa menjadi agak gugup dan tidak tenang sehingga tubuhnya melanggar bangku, membuat bangku itu roboh dan mengeluarkan bunyi gaduh.

Suara ini menggugah Ciu Hok Kwi. Dia membuka mata dan tubuhnya bergerak untuk duduk. Pada saat itu, nampak sinar pedang berkelebat dan pedang di tangan Ci Hwa menyambar, membacok ke arah leher Ciu Hok Kwi dengan cepat dan kuat!

Ciu Hok Kwi adalah murid pertama dari Siangkoan Lohan. Ilmu kepandaiannya sudah tinggi, bahkan dia dijuluki Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Naga Besi), seorang ahli pedang yang amat lihai. Oleh karena itu, biar pun dia baru saja bangun tidur dan belum sempat mempersiapkan diri, lalu tiba-tiba diserang dengan bacokan pedang ke lehernya, dia tidak kehilangan akal dan dengan cepat dia melemparkan tubuhnya yang masih telanjang bulat itu ke bawah pembaringan, lalu bergulingan di lantai. Untung dia bergulingan sehingga pedang di tangan Ci Hwa yang mengejarnya hanya bisa melukai pundak kiri, merobek kulit dan sedikit dagingnya sehingga darah bercucuran keluar.

“Heh, apakah engkau mendadak menjadi gila?!” bentaknya marah sambil meloncat dan menyambar pakaiannya, dikenakan pakaian itu sedapatnya karena pada saat itu Ci Hwa sudah menyerangnya lagi.

Dengan tangan kiri memegang bangku yang disambarnya, Ciu Hok Kwi menangkisi serangan Ci Hwa, sedangkan tangan kanan sibuk mengenakan pakaian pada tubuhnya. Bajunya terbalik-balik, celananya sampai robek bagian bawahnya, tetapi setidaknya kini tubuhnya tidak lagi telajang bulat dan dia dapat menghadapi Ci Hwa dengan tenang.

“Ci Hwa, mengapa engkau melakukan semua ini? Bukankah tadi kita saling mencinta dan kau...”

“Tutup mulutmu yang bau busuk dan bersiaplah untuk mampus!” bentak Ci Hwa yang merasa menyesal sekali bahwa ia telah gagal membunuh orang yang amat dibencinya ini. Ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya masih kalah jauh, maka kini ia dengan nekat menyerang terus.

Ciu Hok Kwi mulai marah, apa lagi pada waktu dia meraba saku bajunya dan tidak mendapatkan untaian kunci-kunci itu. Dia juga seorang yang cerdik, maka tahulah dia bahwa gadis ini sengaja menyerahkan diri untuk membuat dia terlena dan tertidur, lalu mencuri kunci-kunci kamar tahanan itu.

Celaka, pikirnya, tentu tahanan-tahanan itu telah dikeluarkan oleh gadis ini! Dan tiba-tiba dia pun mendengar suara ribut-ribut orang berkelahi, maka tahulah dia bahwa para tawanan lain itu telah keluar dan kini berkelahi melawan anak buahnya.

“Perempuan jahanam! Jadi engkau hanya menipu aku, ya? Kalau begitu, mampuslah kamu!”

Ciu Hok Kwi menyerang dengan patahan bangku, yang disambut oleh Ci Hwa dengan serangan pedangnya, penuh kebencian dan kenekatan, dan terjadilah perkelahian mati-matian di dalam kamar itu. Hanya karena kenekatan Ci Hwa saja maka dia mampu mengadakan perlawanan mati-matian, karena sesungguhnya, tingkat kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan lawannya.

Sementara itu, tiga orang pendekar perkasa, Gu Hong Beng, Cu Kun Tek, dan Pouw Li Sian, tanpa banyak membuang waktu dan tenaga, telah merobohkan belasan penjaga itu. Mereka bertiga merampas masing-masing sebatang pedang dan berloncatan untuk mencari Ci Hwa.

Akan tetapi, sebelum mereka berhasil menemukan gadis itu tiba-tiba muncul Siangkoan Lohan, Siangkoan Liong, dan Ouwyang Sianseng! Di samping tiga orang sakti ini, masih nampak belasan orang tokoh sesat yang menjadi kaki tangan mereka, mengepung tiga orang muda yang baru saja merobohkan belasan orang penjaga itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah si Bangau Putih

KISAH SI BANGAU PUTIH (BAGIAN KE-13 SERIAL BU KEK SIANSU)