KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-26


“Sungguh mengherankan sekali berita itu,” kata Suma Ceng Liong kepada Kam Bi Eng, isterinya. “Padahal, sudah lama nama Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan sebagai ketua Tiat-liong-pang amat terkenal. Perkumpulan itu bahkan pernah berjasa terhadap pemerintah Mancu, dan kalau tidak salah, aku pernah mendengar bahwa Siangkoan Lohan dihadiahi seorang puteri dari keluarga kaisar untuk menjadi isterinya. Bagaimana sekarang tersiar berita bahwa dia memimpin orang-orang kang-ouw untuk mengadakan pemberontakan? Sungguh aneh.”

“Hal seperti itu mungkin saja terjadi,” berkata isterinya. “Bagaimana pun juga, sebagai seorang pendekar yang gagah, tentu Lohan juga merasa kurang puas melihat betapa bangsa dan tanah air dijajah oleh orang-orang Mancu. Kalau sekarang dia mengadakan gerakan perjuangan untuk menentang pemerintah penjajah, apakah anehnya hal itu?”

“Kalau dia menggerakkan orang-orang gagah dan rakyat yang tertindas untuk berjuang menentang penjajahan Mancu, hal itu tidaklah aneh dan tidak mengkhawatirkan. Akan tetapi, menurut berita yang kita dengar itu, dia menggerakkan orang-orang kang-ouw (sungai telaga), golongan hitam dan sesat. Ini amat berbahaya karena perjuangan itu jelas bukan demi rakyat, bukan untuk bangsa dan tanah air, melainkan mengandung pamrih untuk golongan itu dan celakalah rakyat jelata kalau hal itu terjadi. Mereka, kalau menang, bahkan akan lebih jahat dan kejam dari pada pemerintah penjajah sendiri.”

Kam Bi Eng memegang lengan suaminya. “Sudahlah, kenapa kita harus memusingkan kepala turut memikirkan urusan pemberontakan? Itu urusan pemerintah dan bukankah pemerintah mempunyai pasukan yang kuat untuk memberantasnya? Bukan urusan kita untuk mencampurinya. Hanya, aku teringat kepada anak kita. Ke mana perginya Lian-ji? Engkau tahu, watak anak itu masih sangat keras sehingga kalau ia mendengar tentang persekutuan golongan hitam itu, tentu ia akan maju menentangnya.”

Suma Ceng Liong mengangguk. “Itulah yang kukhawatirkan. Ia memang telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk membela diri, namun kalau ia sampai mencampuri urusan pemberontakan itu dan ia turut menentang Tiat-liong-pang, sungguh berbahaya. Tingkat kepandaian Siangkoan Lohan amat tinggi, belum tentu anak kita yang kurang pengalaman itu akan mampu menandinginya. Apa lagi kalau diingat bahwa Siangkoan Lohan mengumpulkan banyak tokoh sesat seperti yang beritanya kita dengar.”

Kam Bi Eng mengerutkan alisnya. “Lalu bagamana baiknya? Kita harus menyusulnya dan melindunginya!”

Suaminya mengangguk-angguk. “Tapi tidaklah mudah mencari anak kita itu. Sebaiknya kita pergi berkunjung ke pertapaan kanda Suma Ciang Bun. Tentu dia sudah tiba di tempat itu untuk menyampaikan pesan kita, dan dari sana kita bisa mengikuti jejaknya, karena tentu Bun-ko tahu kemana anak itu pergi setelah meninggalkan tempatnya.”

Karena mengkhawatirkan keadaan anak tunggal mereka yang tercinta, sepasang suami isteri perkasa ini lalu berkemas dan meninggalkan rumah mereka menuju ke Tapa-san di mana Suma Ciang Bun bertapa, untuk mulai mencari jejak puteri mereka.

Suami isteri yang sakti ini sudah lama tidak pernah memasuki dunia ramai, apa lagi ikut mencampuri urusan dunia persilatan. Belasan tahun lamanya mereka hidup dengan tenang dan tenteram di dusun Hong-cun. Dan kini, begitu meninggalkan rumah, apa lagi setelah mereka tiba di luar dusun, timbul kegembiraan dalam hati mereka.

Jiwa petualangan mereka bangkit kembali. Di waktu muda, mereka adalah orang-orang yang suka bertualang, menghadapi banyak macam bahaya sebagai pendekar-pendekar yang setiap saat siap menentang kejahatan. Kegembiraan itu jelas nampak pada wajah mereka yang berubah cerah.

Bagaikan suami isteri yang sedang bertamasya saja mereka berjalan perlahan menuruni bukit kecil, menuju ke padang rumput di kaki bukit yang menjadi permulaan sawah dan ladang yang amat luas, dengan warna hijau menguning menyedapkan mata. Bau tanah dan tanaman gandum yang harum memasuki hidung mereka, bersama hawa udara yang amat segar dan nyaman.

Akan tetapi, tiba-tiba mata mereka yang sudah terlatih dan amat tajam melihat sesuatu yang menarik perhatian mereka. Jauh di sana, di luar padang rumput yang membatasi padang rumput dengan sawah ladang, nampak ada beberapa orang manusia bergerak-gerak. Dari tempat jauh mereka itu nampak kecil sekali, akan tetapi gerakan-gerakan mereka itu dapat dikenal suami isteri ini sebagai gerakan orang-orang berkelahi dengan ilmu silat tinggi.

“Di sana ada orang-orang berkelahi!” berkata Kam Bi Eng kepada suaminya. “Seorang dikeroyok oleh tujuh lawan!”

“Benar,” kata suaminya, seolah-olah suami isteri ini sedang mengadu ketajaman mata mereka. “Yang seorang itu agaknya wanita, sedangkan pengeroyoknya seorang wanita dan enam orang pria.”

Mendengar ucapan suaminya itu, Kam Bi Eng mengerahkan tenaganya memandang dan ia pun berseru membenarkan.

“Hayo cepat kita ke sana!” teriak wanita sakti itu.

Tanpa menanti jawaban suaminya, Kam Bi Eng sudah meloncat ke depan dan berlari secepat angin menuruni bukit. Suma Ceng Liong juga segera mempergunakan ilmunya berlari cepat, mengejar isterinya. Karena keduanya mempergunakan ilmu berlari cepat yang hebat sekali, maka tak lama kemudian mereka berdua pun sudah tiba di tempat perkelahian itu. Memang penglihatan Suma Ceng Liong dari jauh tadi tidak keliru.

Nampak seorang gadis cantik manis berusia kurang lebih dua puluh satu tahun sedang dikeroyok oleh seorang wanita setengah tua dan enam orang laki-laki. Para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun gadis muda itu pun hebat sekali ilmu silatnya.

Melihat betapa gadis cantik manis itu memainkan ilmu pedang yang aneh, namun yang tidak asing baginya, Suma Ceng Liong segera berkata kepada isterinya. “Mari kita bantu gadis itu, bubarkan para pengeroyoknya sebelum ia celaka!”

Memang pada saat itu, gadis berpedang itu sudah terdesak hebat karena memang para pengeroyoknya memiliki kepandaian yang tinggi sekali, bahkan wanita setengah tua itu agaknya jauh lebih menonjol tingkat kepandaiannya dibanding para pengeroyok lain.

Sesungguhnya, tidak mengherankan jika para pengeroyok itu amat lihai, karena wanita setengah tua itu bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li, tokoh sesat yang menjadi pembantu utama dari Siangkoan Lohan! Dan selain Sin-kiam Mo-li, di antara mereka terdapat pula Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek yang menjadi rekan dan juga kekasihnya, dan lima orang lain yaitu kaki tangan Tiat-liong-pang yang sedang mengadakan pemberontakan. Ada pun gadis cantik manis yang sedang dikeroyok itu adalah Hong Li!

Seperti telah kita ketahui, gadis perkasa ini memang sedang menuju dusun Hong-cun di luar kota Cin-an di Propinsi Shantung, di lembah Huang-ho untuk berkunjung ke rumah Suma Ceng Liong seperti yang dipesan oleh ayah ibunya. Ketika tiba di padang rumput di kaki bukit itu, tiba-tiba ia bertemu dengan seorang laki-laki setengah tua pesolek yang genit dan ceriwis sekali. Pria itu adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek.

Sudah menjadi watak atau ciri khas dari tokoh sesat yang berjulukan Raja Pedang ini untuk tidak melewatkan setiap kesempatan bertemu dengan wanita cantik. Selalu saja dia mengganggu dan berusaha mendapatkan wanita itu dan kalau hatinya tertarik, dia tidak peduli lagi siapa wanita itu, isteri orang atau anak gadis orang. Dia akan berusaha menundukkannya, mungkin dengan bujuk rayu mengandalkan kegantengannya, kalau tidak, dia akan menggunakan kepandaiannya untuk mendapatkannya. Dia tidak pantang mempergunakan kekerasan memperkosa wanita itu.

Melihat seorang gadis melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi itu, apa lagi gadis itu cantik manis sekali, segera hati Giam San Ek terpikat dan ia pun menghadang sambil cengar-cerigir menyeringai untuk memikat. Baru beberapa hari dia dan Sin-kiam Mo-li bersama beberapa orang kaki tangan mereka tinggal mondok di dusun berdekatan dalam tugas mereka menghimpun tenaga bantuan untuk gerakan yang dilakukan oleh Tiat-liong-pang.

“Selamat pagi, Nona Manis! Dari mana hendak ke manakah? Dan bolehkah kutemani Nona yang berjalan sendirian saja supaya tidak kesepian?” demkian tegur Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek kepada Kao Hong Li.

Wajah yang bulat telur itu menjadi merah dan mata yang jeli lebar itu mengeluarkan sinar berapi. Hong Li adalah seorang gadis yang cantik dan manis sekali dan sudah lama melakukan perjalanan seorang diri, maka sudah tidak aneh baginya melihat sikap pria yang mencoba untuk menggodanya. Dan setiap kali digoda pria secara kurang ajar, dia pasti turun tangan menghajar pria yang sama sekali tidak menyangka bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang lihai sekali. Kini melihat sikap pria setengah tua yang amat ceriwis itu, Hong Li yang juga pandai bicara lalu tersenyum simpul, menahan kemarahannya yang membuat kedua pipinya kemerahan itu.

“Hemmm, orang tua, pernahkah engkau bercermin?”

Melihat gadis itu tersenyum simpul yang membuat wajahnya makin manis, dan melihat kedua pipi yang halus itu kemerahan yang disangkanya gadis itu malu-malu kucing, Giam San Ek tidak marah mendengar gadis itu menyebutnya orang tua. Dia meraba rambutnya, dan meneliti pakaiannya apakah ada yang kusut, lalu menjawab.

“Tentu saja, Nona Manis! Aku selalu membawa cermin ke mana pun aku pergi. Lihat!” Dan seperti bermain sulap saja, tangan kirinya yang bergerak itu telah mengeluarkan sebuah cermin kecil dari saku bajunya.

Melihat betapa ucapannya tadi itu dianggap benar-benar dan orang itu benar-benar pula mengeluarkan sebuah cermin, Kao Hong Li tak dapat menahan ledakan ketawanya.

“Hemmm, manusia tak tahu diri! Kalau engkau sering bercermin, apakah engkau belum juga melihat betapa engkau ini sudah tua? Akan tetapi engkau masih pesolek, genit dan suka menggoda gadis muda seperti aku. Tidak malukah engkau?”

Mana mungkin orang macam Giam San Ek memiliki perasaan malu? Teguran Hong Li ini hanya dianggapnya main-main saja, bahkan disangka sebagai tanda bahwa gadis itu menanggapi godaannya.

“Ha-ha-ha, Nona Manis. Betapa pun tuanya seorang laki-laki, kalau melihat gadis manis sepertimu ini, siapa yang tidak menjadi tergila-gila? Hayolah, tak usah malu-malu, mari ikut dengan aku bersenang-senang!” Berkata demikian, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mengulurkan tangannya untuk mencubit dagu gadis itu.

Tentu saja Kao Hong Li menjadi marah melihat sikap orang ini makin berkelanjutan, bahkan makin berani hendak mencolek dagunya. Dengan mudah ia mengelak dengan mundur selangkah, dan tangannya menampar keras sekali ke arah muka orang.

Giam San Ek sama sekali tidak mengira bahwa gadis manis itu berani menamparnya, maka ia cepat mengelak. Akan tetapi karena memandang rendah, dia bergerak kurang cepat sehingga walau pun mukanya tidak kena ditampar, pundaknya masih terserempet ujung tangan gadis itu. Dia terkejut, baru tahu betapa tamparan itu mengandung tenaga yang sangat kuat, maka dia pun melangkah mundur sambil memandang dengan alis berkerut.

“Ehh? Engkau hendak membalas keramahan orang dengan pukulan?” bentaknya, kini kurang ramah.

“Keramahanmu hanyalah kekurang ajaran, dan aku adalah seorang gadis yang tidak sudi kau permainkan. Pukulanku adalah pukulan untuk menghajar laki-laki kurang sopan macam kalian ini!” Dan sekarang Kao Hong Li sudah menerjang ke depan, mengirim tamparan bertubi-tubi. Gerakannya tentu saja cepat dan kuat sekali!

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mengelak dan menangkis dua kali.

“Dukkk! Plak!”

Pertemuan dua tangan mereka membuat keduanya terkejut. Hong Li juga kaget karena ternyata dalam tangkisan tangan lawan itu terkandung tenaga sinkang yang amat kuat, sedangkan Giam San Ek tentu saja kaget sekali karena pertemuan lengan itu membuat tubuhnya hampir terjengkang kalau saja dia tidak dapat meloncat ke belakang. Kini dia memandang gadis itu penuh perhatian, dan baru tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga dalam yang kuat.

“Ahh, kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian, pantas sikapmu jual mahal!” bentak Giam San Ek dan dia pun sudah menerjang lagi dengan cepat dan ganas, menyerang dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar ingin memegang atau mencolek.

Akan tetapi, sekali ini dia kecelik dan bukan hanya gadis itu mampu menghindarkan diri dari semua terkamannya, bahkan membalas tidak kalah dahsyatnya sehingga membuat Toat-beng Kiam-ong itu terdesak mundur. Kalau dilanjutkan perkelahian tangan kosong itu, tentu dia akan kalah, karena Kao Hong Li adalah cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, ahli silat tangan kosong dengan ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat, dan juga isterinya ahli silat tangan kosong Han-tok-ciang (Silat Tangan Selaksa Racun).

Kedua ilmu silat ini telah diwarisi Hong Li dari ayahnya, yaitu Kao Cin Liong. Juga dari ibunya, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es gadis bermata lebar ini telah mewarisi ilmu-ilmunya. Maka, tidaklah mengherankan kalau Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek terdesak hebat setelah mereka berkelahi selama belasan jurus saja.

“Singgg...!”

Nampak sinar berkelebat ketika Giam San Ek yang berjuluk Raja Pedang Pencabut Nyawa itu menghunus pedangnya dan mengelebatkan pedang itu di depan tubuhnya. Melihat ini, Hong Li juga mencabut pedangnya. Giam San Ek yang berwatak tekebur itu tertawa mengejek, memandang rendah.

“Ha-ha-ha, Nona Manis. Dengan tangan kosong memang aku sama sekali tidak berhasil mengalahkanmu, akan tetapi ketahuilah dengan siapa engkau berhadapan! Aku Giam San Ek, terkenal dengan julukan Toat-beng Kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa), sungguh sangat disayangkan bahwa seorang gadis jelita seperti engkau terpaksa harus tercabut nyawanya oleh pedangku!”

“Tak perlu banyak cakap, lihat pedangku!” bentak Hong Li dan ia pun sudah memutar pedangnya dan menyerang dengan dahsyatnya.

“Haaaiiitt!”

Dengan lagak mengejek Giam San Ek menangkis serangan, membuat putaran dengan pedangnya dan membalas dengan tusukan ke arah dada Hong Li. Akan tetapi, gadis itu bukan hanya tangguh dalam ilmu silat tangan kosong, juga dia sangat lihai dengan pedangnya. Dia memainkan Ban-tok Kiam-sut dan biar pun ilmu pedang ini paling tepat dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam milik neneknya, akan tetapi dengan pedang di tangannya pun yang tidak beracun, ilmu pedang itu tetap hebat.

Kalau tadinya Giam San Ek masih mengejek dan memandang rendah, makin lama dia menjadi makin kaget mendapat kenyataan betapa lihainya gadis itu dengan pedangnya. Apa lagi mencari kemenangan dengan mudah, baru mempertahankan dirinya agar tidak sampai terkena pedang lawan saja sudah merupakan hal yang tidak mudah baginya! Bahkan makin lama Si Raja Pedang yang sombong ini menjadi semakin terdesak.

Selagi Giam San Ek semakin kebingungan, muncullah bala bantuan baginya yang amat membesarkan hatinya karena yang muncul itu bukan lain adalah kekasihnya, Sin-kiam Mo-li yang lebih lihai darinya dan lima orang anak buahnya, yaitu tiga orang anggota Ang-I Mo-pang dan dua orang murid Tiat-liong-pang yang semuanya memiliki ilmu silat yang sudah boleh diandalkan.

Melihat betapa kekasih dan rekannya itu terdesak oleh seorang wanita muda yang lihai sekali, Sin-kiam Mo-li segera mengeluarkan pedang dan kebutannya, lalu ikut terjun ke dalam pertempuran. Lima orang kawannya juga segera mengeluarkan senjata masing-masing dan kini Hong Li harus menghadapi pengeroyokan tujuh orang lawan tangguh!

Akan tetapi, gadis perkasa ini tidak menjadi gentar meski pun kini ia terkepung, terhimpit dan terdesak karena fihak para pengeroyoknya memang amat kuat, jauh lebih kuat dari padanya. Namun, dengan putaran pedangnya, dibantu tangan kirinya yang mendorong disertai tenaga Swat-im Sinkang, satu di antara ilmu dari Pulau Es yang sangat hebat karena dorongan tangan itu mengeluarkan hawa dingin yang amat kuat, ia melindungi dirinya.

Ketika Suma Ceng Liong melihat dorongan tangan kiri ini, yakinlah dia bahwa gadis itu tentulah keluarga Pulau Es, anggota dari keluarganya sendiri. Siapa lagi gadis itu kalau bukan puteri dari enci-nya, Suma Hui, yang bernama Kao Hong Li? Dia lupa lagi akan wajah keponakannya itu, apa lagi karena bertahun-tahun tidak pernah berjumpa, akan tetapi pukulan itu bagaimana pun juga akan dikenalnya dengan baik!

“Jangan takut, kami datang membantumu!” kata Ceng Liong yang semenjak tadi sudah menganjurkan isterinya untuk membantu gadis yang dikeroyok.

Kini tubuhnya berkelebat menerjang ke depan, dan melihat betapa yang paling lihai di antara para pengeroyok itu adalah wanita yang berpedang dan memegang kebutan, maka dia pun lalu menerjang wanita itu dengan totokan Coan-kut-ci! Coan-kut ci (Jari Penembus Tulang) adalah suatu ilmu yang dahsyat sekali, yang dipelajari Suma Ceng Liong dari Hek-I Mo-ong, gurunya yang juga seorang datuk kaum sesat yang dahulu amat terkenal.

Terdengar suara mencicit dibarengi angin yang kuat bukan main menyambar ke arah Sin-kiam Mo-li. Wanita ini terkejut bukan main, cepat menyambut dengan kebutannya. Akan tetapi, begitu bertemu dengan jari tangan Ceng Liong, bulu kebutan itu rontok dan wanita itu merasa betapa lengannya yang memegang kebutan tergetar hebat.

Ia membalas dengan tusukan pedang, namun didahului oleh tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Badai) yang cepat dari Ceng Liong, membuat wanita itu cepat-cepat melempar diri ke belakang. Nyaris perutnya tertendang dan kini Sin-kiam Mo-li benar-benar kaget bukan main, tidak menyangka akan bertemu dengan lawan sehebat ini! Ia kemudian berkemak-kemik sambil menudingkan pedangnya ke arah Suma Ceng Liong, mengerahkan kekuatan sihirnya dan membentak.

“Engkau yang berani melawan aku, berlututlah!”

Akan tetapi laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu malah tertawa bergelak. Tentu saja sihir itu tidak dapat mempengaruhi Ceng Liong karena pendekar ini pun telah mempelajari ilmu sihir dari ibunya sendiri, yaitu mendiang nenek Teng Siang In. Sambil tertawa, Ceng Liong juga mengerahkan kekuatan sihirnya dan tiba-tiba saja Sin-kiam Mo-li juga tertawa bergelak, tidak dapat menahan geli hatinya karena terseret oleh suara ketawa Ceng Liong!

Sambil tertawa, Ceng Liong sudah melakukan gerakan-gerakan mendorong dengan dua tangannya silih berganti, yang kanan dengan Hwi-yang Sinkang mengeluarkan hawa panas, dan yang kiri mengeluarkan hawa dingin dengan Swat-im Sinkang.

Sin-kiam Mo-li sedang terkejut bukan main karena melihat dirinya tertawa tanpa dapat dikuasainya. Cepat dia mengerahkan tenaga untuk melawan pengaruh tawa itu. Dan pada saat itu, lawannya sudah menyerangnya dengan dua ilmu yang hebat dari Pulau Es. Tentu saja ia menjadi kaget bukan main dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang kemudian bergulingan saja, wanita ini dapat terhindar dari pukulan lawan yang dahsyat.

Sementara itu, Kam Bi Eng juga sudah mencabut suling emasnya dan kini suling itu mengaung-ngaung ketika ia mainkan ilmu pedang gabungan antara Koai-long Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut! Ilmu ini pun merupakan satu di antara ilmu-ilmu tertinggi pada waktu itu, dan yang diserang oleh Kam Bi Eng adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek.

Orang ini terkejut, mencoba untuk memutar pedangnya. Akan tetapi tangkisannya tidak dapat menahan suling itu yang terus menerobos di antara sinar pedangnya sehingga mengancam ulu hatinya. Giam San Ek berteriak kaget dan melempar tubuh ke samping, lalu meloncat agak jauh dengan keringat dingin membasahi tubuhnya! Nyaris dia celaka oleh suling wanita cantik dan gagah itu!

Meski ia pangling dan tidak mengenal suami isteri perkasa yang datang membantunya, akan tetapi begitu menyaksikan gerakan-gerakan mereka, apa lagi melihat Kam Bi Eng memainkan suling emas, Kao Hong Li segera dapat menduga siapa adanya mereka.

“Paman Liong dan bibi Eng, terima kasih kalian sudah datang membantuku!” teriaknya dan tendangan-tendangannya langsung membuat kelima orang pengeroyoknya menjadi kalang kabut.

Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong adalah dua orang yang cerdik dan licik. Melihat kehebatan musuh, mereka berdua tanpa banyak cakap lagi lalu melarikan diri, diikuti oleh lima orang anak buah mereka yang juga menjadi ketakutan! Kao Hong Li meloncat untuk mengejar, akan tetapi Suma Ceng Liong mencegahnya.

“Musuh yang lari jangan dikejar!” kata pendekar ini. Dia maklum betapa lihainya lawan, dan tentu licik sekali sehingga mengejar mereka amatlah berbahaya. Siapa tahu mereka itu lari ke tempat kawan-kawan mereka.

Kao Hong Li mentaati cegahan pamannya, tetapi ia mengerutkan alisnya memandang ke arah menghilangnya tujuh bayangan orang itu dan berkata, “Sayang, seharusnya mereka itu ditumpas, terutama sekali wanita itu!” Lalu, seperti baru teringat bahwa baru saja ia berjumpa dengan paman dan bibinya, gadis itu memberi hormat dan berkata, “Saya segera mengenal Paman dari gerakan Paman, dan mengenal Bibi setelah melihat suling emas itu!”

“Kami pun mengenalmu setelah melihat gerakan silatmu, Hong Li,” kata Kam Bi Eng sambil mengamati wajah yang cantik manis itu.

“Hong Li, siapakah wanita tadi? Ia kelihatan lihai sekali, dan melihat senjatanya pedang dan kebutan, mengingatkan aku akan seorang iblis betina...”

“Dugaan Paman benar. Ia adalah Sin-kiam Mo-li!”

“Ahhh!” Suami isteri itu terkejut.

“Agaknya ia tidak mengenal saya lagi, Paman, karena ketika ia menculik saya, ketika itu usia saya baru tiga belas tahun. Akan tetapi, saya tidak akan pernah dapat melupakan iblis itu dan tadi, begitu bertemu, saya segera mengenalnya. Padahal, saya memang sengaja hendak mencari dan membunuhnya!” kata gadis itu penuh semangat.

Ia teringat akan pengalamannya ketika berusia tiga belas tahun. Pernah ia diculik oleh iblis betina itu, bahkan kemudian diakui sebagai anak angkat dan murid, akan tetapi ia kemudian tahu bahwa sikap baik iblis betina itu hanya siasat belaka.

Suma Ceng Liong menatap tajam wajah Kao Hong Li, diam-diam merasa heran kenapa gadis ini seolah-olah diracuni dendam, padahal, dia mengenal benar pribadi ayah dan ibu gadis ini, orang-orang yang berjiwa pendekar dan tidak mudah dikuasai dendam.

“Hong Li, kenapa engkau ingin membunuhnya dan nampaknya engkau amat membenci wanita itu? Apakah karena ia dahulu menculikmu?” tanya Ceng Liong tak puas.

Hong Li menarik napas panjang. “Memang saya sedang menuju ke rumah Paman untuk menceritakan hal ini. Saya tidak mendendam karena ia pernah menculik saya, Paman. Akan tetapi karena ia dan kawan-kawannya telah menyerbu ke rumah kakek dan nenek di Gurun Pasir. Mereka mengeroyok dan berhasil membunuh kakek, nenek dan juga locianpwe Wan Tek Hoat, bahkan membakar Istana Gurun Pasir.”

“Ihhh...!” Kam Bi Eng berseru kaget.

Suma Ceng Liong juga terkejut sekali. “Apa?! Bagaimana mungkin ia dapat membunuh locianpwe Kao Kok Cu, isterinya, dan bahkan locianpwe Wan Tek Hoat?” Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang mampu membunuh tiga orang sakti itu, apa lagi kalau orang itu hanya wanita tadi dan kawan-kawannya.

“Ayah, ibu dan saya sendiri tadinya juga merasa amat terkejut, heran dan tidak percaya, Paman. Akan tetapi pembawa berita itu adalah murid dari ketiga orang tua sakti itu sendiri.” Hong Li lalu mengulang cerita tentang peristiwa di Istana Gurun Pasir itu seperti yang didengarnya dari Tan Sin Hong.

Suami isteri perkasa itu mendengar dengan penuh perhatian. Wajah mereka dibayangi duka mendengar akan kematian tiga orang tua yang sakti itu. Setelah Hong Li selesai bercerita, Kam Bi Eng tidak sabar lagi bertanya.

“Tiga orang tua yang sakti itu tewas semua, akan tetapi bagaimana mungkin murid mereka itu dapat hidup dan dapat menceritakan peristiwa itu kepada keluargamu?”

“Kami juga berpendapat demikian dan dengan penasaran menanyakan hal itu kepada Tan Sin Hong. Dan ternyata bahwa pada saat penyerbuan terjadi, murid itu sama sekali tidak berdaya. Ia baru saja menerima pengoperan tenaga sakti dari tiga orang gurunya dan selama satu tahun dia pantang mempergunakan tenaga sakti karena hal itu berarti akan membunuh dirinya sendiri. Oleh karena itulah maka dia tidak dapat melakukan perlawanan, karena sekali mengerahkan tenaga, dia akan mati konyol.”

Mendengar ini, Ceng Liong menarik napas panjang. “Aihh, sungguh menyedihkan. Akan tetapi bagaimana pun juga, tiga orang locianpwe itu sudah tua sekali dan mereka tewas sebagai orang-orang gagah, gugur dalam menghadapi orang-orang sesat. Heran sekali nasib mereka sama benar dengan nasib kakek dan nenek-nenekku di Pulau Es! Gugur dalam menghadapi penyerbuan tokoh-tokoh sesat. Sekarang aku paham. Tentu setelah mengoper tenaga sakti kepada murid mereka itu, ketiga orang locianpwe itu mengalami kekurangan tenaga dan pada saat itu, para tokoh sesat datang menyerbu. Bagaimana pun juga, hampir semua penyerbu itu tewas, dan ini membuktikan bahwa ketiga orang locianpwe yang sudah berusia tinggi sekali itu memang masih luar biasa hebat. Nyawa manusia di tangan Tuhan! Kalau Tuhan sudah menghendaki, maka ada saja penyebab kematian seseorang. Kita tidak mungkin dapat mengelakkan kehendak Tuhan!”

“Beruntung sekali bahwa saya dapat bertemu dengan Ji-wi di sini sehingga bukan saja Paman dan Bibi dapat menyelamatkan saya dari tangan orang-orang jahat itu, tetapi juga saya tidak kecelik berkunjung ke rumah Paman dan Bibi yang kosong. Sebenarnya, ke manakah Paman dan Bibi hendak pergi, maka kebetulan berada di sini?”

“Kami memang sengaja meninggalkan rumah karena sudah mendengar akan gerakan pemberontakan yang kabarnya dilakukan oleh Tiat-liong-pang dibantu oleh para tokoh sesat. Karena anak kami Suma Lian juga sedang merantau, maka kami merasa sangat khawatir dan ingin mencarinya.”

“Ahh, Paman! Kebetulan sekali belum lama ini saya bertemu dengan adik Suma Lian!”

Hong Li segera bercerita mengenai pertemuan dirinya dengan Suma Lian yang diawali perkelahian karena kesalah pahaman ketika Hong Li mengejar seorang laki-laki yang menculik seorang anak laki-laki.

“Pertemuan itu singkat saja, Paman. Kami lalu berpisah, saya pergi berkunjung kepada Paman, sedangkan adik Lian terus melanjutkan pengejaran terhadap laki-laki penculik anak-anak itu.”

“Di mana terjadi peristiwa itu?”

“Di kota Ban-koan.”

“Kalau begitu, kami akan cepat mencari jejaknya di sana,” kata Ceng Liong.

Mereka kemudian berpisah. Ceng Liong dan Bi Eng segera menuju ke kota Ban-koan, sedangkan Hong Li mencoba untuk mencari jejak Sin-kiam Mo-li yang tadi melarikan diri bersama kawan-kawannya. Ia kini bersikap lebih berhati-hati, maklum bahwa Sin-kiam Mo-li mempunyai banyak kawan yang lihai. Menghadapi wanita itu sendiri, ia tak gentar, akan tetapi kalau dikeroyok banyak orang seperti tadi, ia bisa celaka.

Akan tetapi, ketika mereka tiba di kota Ban-koan, tentu saja suami isteri pendekar itu sama sekali tidak dapat menemukan lagi jejak puteri mereka. Tiada seorang pun tahu tentang Suma Lian, apa lagi mengenai penculik anak-anak, oleh karena memang kedua orang ini meninggalkan kota itu secara diam-diam, di waktu malam pula.

Dari tempat ini, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng lalu pergi ke Pegunungan Tapa-san untuk mengunjungi pondok tempat tinggal Suma Ciang Bun. Sebelum pergi, Suma Lian telah mereka pesan untuk berkunjung ke rumah pamannya itu dan membujuk Suma Ciang Bun yang hidup sebatang kara untuk tinggal bersama mereka di dusun Hong-cun. Tentu Suma Ciang Bun akan dapat memberi keterangan ke mana selanjutnya puteri mereka itu pergi setelah berkunjung ke sana.

Dugaan mereka yang juga menjadi harapan mereka memang tidak keliru. Di tempat kediaman Suma Ciang Bun, mereka memperoleh keterangan yang banyak. Suma Ciang Bun menyambut mereka dengan gembira sekali dan pendekar ini merangkul adiknya dengan sepasang mata basah. Dia telah merasa rindu sekali kepada Suma Ceng Liong dan pertemuan ini sungguh membuat dia terharu dan juga gembira.

“Bagaimana, Bun-ko, engkau tentu sehat-sehat saja, bukan? Engkau nampak sehat dan segar.”

“Engkau juga semakin gagah saja, Liong-te. Dan isterimu ini juga semakin gagah dan cantik!” kata Suma Ciang Bun.

Kam Bi Eng tertawa, mukanya berubah agak kemerahan. “Ah, Bun-koko ini bisa saja. Orang sudah semakin tua, mana mungkin semakin cantik?”

Seorang anak laki-laki muncul. Usianya baru tujuh tahun lebih, tetapi keadaan anak ini sungguh mengagumkan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Anak itu mempunyai wajah yang tampan dengan sepasang mata yang tajam bersinar penuh semangat dan keberanian, juga mengandung kecerdikan.

“Ah, Bun-ko telah memiliki seorang murid yang baru? Dia baik sekali, Bunko...”

Suma Ciang Bun tersenyum. “Anak ini hanya titipan, yang menitipkannya di sini adalah puteri kalian!”

Tentu saja suami isteri itu terkejut dan girang sekali. “Suma Lian, anak kami?” keduanya hampir berbareng bertanya.

Suma Ciang Bun mengangguk, kemudian dia mengajak mereka semua duduk di dalam pondoknya yang tidak besar namun karena mempunyai banyak jendela maka terbuka dan sejuk hawanya. Lalu dia menceritakan tentang kunjungan Suma Lian dan Tan Sin Hong dan tentang Yo Han yang dititipkan kepadanya oleh dua orang muda itu.

“Bun-ko, apakah yang kau maksudkan Tan Sin Hong murid dari Istana Gurun Pasir itu?” tanya Ceng Liong memotong cerita kakaknya.

“Benar, engkau sudah mendengar akan mala petaka yang terjadi di sana?”

“Sudah, dari Kao Hong Li yang kami jumpai di jalan.”

“Dan tahukah engkau siapa anak ini? Anak ini adalah putera dari Ciong Siu Kwi dan suaminya, Yo Jin,” kata Suma Ciang Bun.

“Ciong Siu Kwi...? Bi...” Suma Ceng Liong yang tadinya hendak mengatakan Bi Kwi, menahan ucapannya teringat akan kehadiran anak itu.

Suma Ciang Bun maklum dan dia mengangguk, lalu diceritakannya semua yang pernah didengarnya dari Suma Lian tentang anak itu, betapa ayah dan ibu anak itu menjadi tawanan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-long-pang.

Mendengar semua cerita itu, Suma Ceng Liong saling pandang dengan isterinya, lalu dia menghela napas panjang. “Kami sudah mengkhawatirkan bahwa tentu Lian-ji akan terlibat dalam urusan pemberontakan Tiat-liong-pang. Jika ia mendengar akan gerakan kaum sesat mendukung pemberontakan, tentu ia akan menentangnya. Kami justru amat mengkhawatirkan hal itu, Bun-ko. Oleh karena itu, kami tidak akan berlama-lama tinggal di sini. Kami akan segera berangkat untuk mencari puteri kami dan membantunya jika dia menentang Tiat-liong-pang.”

Suma Ciang Bun lalu mengangguk-angguk. “Memang sebaiknya begitu, Liong-te. Kaum muda itu memang amat berani, dan kadang-kadang terlalu berani sehingga tidak lagi memakai perhitungan. Aku juga mendengar bahwa gerakan Tiat-liong-pang sekali ini didukung oleh tokoh-tokoh sesat yang sangat lihai, bahkan kabarnya Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai ikut pula mendukung, belum lagi pasukan pemerintah yang berkhianat dan orang-orang Mongol.”

Suami isteri itu lalu berpamit. Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari puteri mereka. Sekali ini, tujuan mereka sudah jelas, yaitu perkumpulan Tiat-liong-pang yang pusatnya berada di lereng bukit di kota Sang-cia-kou di utara.....

********************

Di benteng pasukan-pasukan pemerintah Ceng yang berada di perbatasan utara terjadi peristiwa yang menggegerkan. Selama beberapa minggu ini sudah ada belasan orang perwira menengah dan perwira tinggi secara mendadak saja hilang tanpa meninggalkan jejak! Mereka yang hilang itu semua adalah para perwira yang setia kepada pemerintah.

Karena sebuah pasukan tidak mungkin tanpa pimpinan, maka beberapa pasukan yang kehilangan pimpinan lalu dikuasai oleh Coa Tai-ciangkun, seorang di antara panglima yang bertugas di perbatasan utara. Coa Tai-ciangkun lalu mengangkat perwira-perwira baru untuk memimpin pasukan-pasukan yang telah kehilangan pemimpinnya.

Keadaan seperti itu mencemaskan hati para perwira yang setia kepada pemerintah dan yang masih hidup. Ada beberapa orang di antara mereka nyaris diculik oleh orang-orang berkedok yang berkepandaian tinggi. Mereka ini merasa cemas melihat ada beberapa rekan-rekan mereka yang lenyap dan kini kekuasaan Coa Tai-ciangkun atas pasukan-pasukan di utara semakin besar.

Padahal, mereka sudah mendengar desas-desus bahwa Coa Tai-ciangkun disangsikan kesetiaannya karena kabarnya mengadakan hubungan dengan kekuatan-kekuatan di luar pasukan. Maka, diam-diam di antara para perwira itu mengirim utusan dengan cepat ke selatan, ke kota raja untuk melaporkan peristiwa yang mencemaskan itu.

Pada suatu pagi yang cerah, di atas puncak sebuah bukit tak jauh dari Tembok Besar nampak dua orang menuruni bukit itu perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah dari puncak bukit. Memang indah bukan main pemandangan dari situ. Tembok Besar buatan manusia yang sudah mengorbankan mungkin jutaan orang manusia dalam pembuatannya dan perbaikan-perbaikannya itu, nampak seperti seekor naga di antara bukit-bukit, naik turun dan berkelok-kelok, sehingga membuat dua orang itu kadang-kadang berhenti melangkah untuk lebih menikmati pemandangan itu.

Mereka adalah seorang nenek dan seorang kakek. Kakek itu usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun, berpakaian sastrawan yang sederhana, bertubuh tinggi agak kurus, namun wajahnya masih membayangkan ketampanan dan tubuh itu masih tegak. Gerak-geriknya halus, dan pandang matanya lembut, meski kadang-kadang mencorong penuh wibawa.

Sementara nenek itu belasan tahun lebih muda, baru lima puluh tahun lebih. Bentuk tubuhnya masih ramping, serta gerak-geriknya masih lincah dan cekatan. Keduanya menggendong sebuah buntalan pakaian di punggung dan keduanya nampak gembira, mungkin karena hawa udara yang sejuk nyaman dan pemandangan alam yang amat indahnya itu menyeret mereka ke dalam suasana gembira.

Manusia adalah sebagian dari alam, merupakan bagian tak terpisahkan dari alam. Oleh karena itu, walau pun manusia mabuk oleh nafsu duniawi yang membuat mereka selalu tenggelam dalam kesibukan mencari uang, mengejar kesenangan, hiburan atau urusan rumah tangga, keluarga, atau juga masyarakat dan Negara, sekali waktu akan timbul rindunya kepada alam.

Dan setelah manusia jenuh dari pada segala keduniawian dengan tata kehidupan yang serba mengejar kesenangan ini, misalnya dia berada di tepi samudera atau di puncak bukit, dia akan tenggelam ke dalam kesyahduan alam, ke dalam keheningan yang amat menghanyutkan, yang mendatangkan ketenangan dan kedamaian di dalam batin.

Timbul suatu pertanyaan masing-masing, dalam batin masing-masing, yaitu: Dapatkah kita bebas dari pada segala kebisingan pikiran sewaktu kita berada di dalam masyarakat ramai sehingga kita memperoleh keheningan ketenangan dan kedamaian seperti kalau kita berada seorang diri di puncak gunung atau di tepi samudera?

Biar pun kakek dan nenek itu kelihatan seperti orang-orang biasa saja, namun kalau ada yang mengenal mereka, tentu si pengenal akan terkejut sekali mendapatkan mereka berdua di situ. Mereka bukanlah orang biasa, melainkan pasangan pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu mereka yang tinggi!

Kakek itu bernama Kam Hong. Puluhan tahun yang lalu ia pernah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmunya yang sangat tinggi dan dijuluki Pendekar Suling Emas karena ilmunya mengingatkan dunia persilatan akan kehebatan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling dari seorang pendekar ratusan tahun yang lalu yang juga berjuluk Suling Emas. (baca kisah Suling Emas Naga Siluman).

Ada pun nenek itu adalah isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang tinggi ilmunya, bernama Bu Ci Sian. Isterinya ini, yang belasan tahun lebih muda dari sang suami, juga masih sumoi dari suaminya itu, karena mereka berdualah yang telah menemukan kitab ilmu yang amat tinggi dan keduanya mempelajari ilmu itu. Disamping ilmu memainkan suling emas, juga nenek Bu Ci Sian ini memiliki ilmu menaklukkan ular, dan di samping itu, juga pernah menerima gemblengan ilmu gabungan sinkang Im dan Yang dari pendekar Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti Pulau Es.

Sudah puluhan tahun kedua suami isteri ini tak pernah terjun ke dunia persilatan, hidup aman tenteram di istana kuno yang dulu pernah menjadi pusat perkumpulan Khong-sim Kai-pang, yaitu di puncak bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, sebelah selatan kota Pao-teng. Bagaimana kini mendadak suami isteri tua yang sakti itu bisa berada di pegunungan utara dekat Tembok Besar?

Sebulan yang lalu, nenek Bu Ci Sian merasa rindu sekali kepada puterinya, yaitu Kam Bi Eng yang sudah menjadi isteri Suma Ceng Liong. Juga dia ingin sekali melihat dunia luar setelah bertahun-tahun berdiam di rumah saja.

Ia lalu mengajak suaminya untuk meninggalkan istana tua itu dan berkunjung ke tempat kediaman puteri mereka di dusun Hong-cun. Akan tetapi, setelah sampai di tempat itu, ternyata Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng tidak berada di rumahnya dan menurut keterangan para pembantu rumah tangga, suami isteri itu meninggalkan rumah untuk pergi mencari nona Suma Lian yang telah pergi lebih dahulu dari rumah. Para pembantu rumah tangga itu tidak dapat memberi keterangan ke mana majikan mereka pergi.

Kakek dan nenek itu tentu saja merasa kecewa dan mereka hanya tinggal semalam saja di rumah puteri mereka yang kosong. Mereka telah mendengar berita tentang gerakan Tiat-liong-pang yang dibantu oleh banyak tokoh sesat, maka kakek Kam Hong menduga bahwa tentu puteri, mantu dan cucu mereka itu pergi ke sana untuk menentang gerakan kaum sesat.

Maka, mereka berdua lalu pergi ke utara untuk melihat-lihat keadaan dan mencari puteri dan menantu mereka. Di sepanjang perjalanan mereka mencari keterangan dan makin kuat dugaan mereka bahwa puteri mereka tentu pergi ke utara setelah mendengar bahwa memang banyak pendekar yang melakukan perjalanan ke utara sehubungan dengan berita gerakan kaum sesat di utara yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang itu.

Demikianlah, pada pagi hari itu, kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian tiba di puncak bukit, menuruni bukit sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah, kadang-kadang berhenti dan memandang ke empat penjuru dengan penuh kagum.

“Eh, lihat di sana itu!” Tiba-tiba nenek itu berseru sambil menuding ke arah selatan, ke bawah. “Bukankah itu sebuah kereta?”

Kakek Kam Hong cepat memandang ke arah yang ditunjuk isterinya dan mengamati. “Benar, sebuah kereta dikawal oleh belasan orang.”

“Dan para pengawal itu mengenakan pakaian seragam!” sambung Bu Ci Sian.

“Juga di kereta itu ada benderanya, tidak jelas dari sini, akan tetapi seperti bendera tanda pangkat. Agaknya orang berpangkat yang duduk di dalam kereta itu.”

“He, lihat! Dari sebelah kanan itu! Dua orang itu seperti hendak menghadang kereta!”

“Siancai...! Benar katamu, dan lihat, mereka sudah bertempur!” kata kakek Kam Hong. “Ah, dua orang itu bukanlah lawan para pengawal, mari kita cepat ke sana untuk melihat apa yang telah terjadi!”

Kakek dan nenek itu bagaikan terbang cepatnya menuruni bukit dan berkat ilmu berlari cepat mereka yang tinggi, tak lama kemudian mereka tiba di tempat pertempuran.

Ketika mereka tiba di tempat itu, belasan orang berpakaian seragam telah rebah malang melintang tanpa nyawa lagi! Hanya tinggal empat orang berpakaian perwira yang masih terus melindungi kereta itu. Dengan pedang di tangan, keempat orang itu repot sekali melindungi dirinya di depan kereta, menahan serangan-serangan seorang pemuda yang juga memainkan pedang, tetapi permainan pedangnya sedemikian hebatnya sehingga empat orang perwira itu terdesak hebat dan agaknya takkan lama lagi mereka dapat bertahan.

Sementara itu, orang ke dua yang menghadang kereta, seorang kakek yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, berpakaian seperti seorang sastrawan, tinggi kurus, dengan gerakan ringan sekali meloncat ke dekat kereta dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar suara keras dan kereta itu pecah berantakan. Dua ekor kudanya yang terkejut meronta lepas dan melarikan diri.

Dari dalam kereta meloncat ke luar seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan, berpakaian sebagai seorang panglima besar dengan tanda pangkatnya di pundak dan dada. Dengan gerakan cukup sigap panglima ini meloncat turun sehingga dia tidak ikut terbanting dengan pecahnya kereta.

Melihat panglima itu, sastrawan tua tersenyum mengejek sambil mengeluarkan sebuah kipas dan mengipasi tubuhnya.

“Hemmm, kiranya engkau yang disebut Panglima Besar Liu, yang datang dari kota raja untuk menyelidiki keadaan di benteng utara? Jangan harap akan dapat menyelidiki apa pun, karena engkau akan mati di sini seperti yang dialami anak buahmu. Nah bersiaplah untuk mati!”

Panglima Besar yang bertubuh tinggi besar itu tidak kelihatan takut, bahkan mencabut pedangnya, bersiap untuk membela diri sedapat mungkin biar pun dia tahu bahwa bela dirinya tidak akan ada gunanya, melihat betapa para pengawalnya yang lihai saja kini nampak repot menghadapi penyerang muda itu.

“Bagus, kini aku mengerti mengapa terjadi geger di benteng utara dan banyak perwira kami yang kabarnya lenyap diculik orang. Kiranya ada musuh yang sengaja bersekutu dengan pengkhianat dan kalau aku tidak keliru, tentu engkau ini yang disebut Ouwyang Sianseng atau Nam San Sianjin seperti yang sudah dikabarkan oleh orang-orang kami. Engkau sudah bersekutu dengan Tiat-liong-pang untuk mengadakan pemberontakan, dan membujuk beberapa orang panglima dan perwira kami untuk berkhianat.”

Ouwyang Sianseng menudingkan kipasnya. “Tidak keliru, Liu Tai-ciangkun. Sekarang bahkan tiba giliranmu untuk mati di tanganku!”

“Tahan...!” Tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat.

Tahu-tahu di depan Ouwyang Sianseng telah berdiri seorang kakek tua yang bukan lain adalah Kam Hong sedangkan Bu Ci Sian berkelebat ke arah pemuda yang mendesak empat orang pengawal itu, mengelebatkan suling emasnya. Nampak sinar terang sekali dan disusul suara berdentang nyaring ketika pedang yang dipergunakan oleh Siangkoan Liong untuk mendesak empat orang lawannya itu bertemu dengan sinar kuning emas.

Siangkoan Liong terkejut dan meloncat mundur ketika merasa betapa benturan senjata itu membuat tangan kanannya tergetar hebat. Maklum bahwa ada lawan tangguh yang muncul, Siangkoan Liong cepat menghampiri gurunya.

Bu Ci Sian juga menghampiri suaminya dan kini suami isteri tua itu berdiri berhadapan dengan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah si Bangau Putih

KISAH SI BANGAU PUTIH (BAGIAN KE-13 SERIAL BU KEK SIANSU)