KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-29


Kiranya inilah yang bernama Gu Hong Beng, pikir Sin Hong. Tunangan dari Suma Lian! Seorang pria yang tampan dan gagah, pakaiannya biru sederhana dan bicaranya halus. Juga memiliki ilmu kepandaian tinggi, pantas jika menjadi suami Suma Lian. Akan tetapi dia teringat akan pengakuan Gu Hong Beng tadi. Utusan Siangkoan Pangcu, membawa tugas rahasia yang amat penting! Oleh karena itu, timbul kecurigaannya dan sebelum Suma Lian menjawab, dia sudah mendahului.

"Lian-moi, hati-hati, bagaimana pun juga dia adalah utusan dari Siangkoan Lohan, yang sedang membawa tugas rahasia yang penting!"

Ucapan Sin Hong ini mengejutkan hati Suma Lian dan ia memandang kepada pria yang dicalonkan sebagai suaminya itu dengan pandang mata penuh selidik dan kecurigaan. "Apa? Suheng, benarkah bahwa engkau kini sudah menjadi kaki tangan pemberontak yang bergabung dengan para tokoh sesat itu?"

Hong Beng menghela napas panjang, lalu memperhatikan sekeliling tempat itu. "Mari kita bicara," bisiknya, "akan tetapi harus berhati-hati agar tidak terdengar orang lain."

"Mari ikut denganku," berkata Sin Hong yang lalu mengajak Hong Beng dan Suma Lian memasuki hutan di mana dia dan gadis itu tadi sudah membuat api unggun. Tempat ini memang terlindung pohon-pohon, dan berada di tempat yang agak tinggi sehingga bisa melihat kalau ada orang datang ke tempat itu.

"Nah, di sini kita bisa bicara dengan aman," katanya.

Hong Beng lalu memandang Suma Lian dan kembali sinar kagum terbayang di matanya melihat gadis ini. Betapa cantik jelitanya Suma Lian sekarang dan jantungnya berdebar tegang, bukan hanya tegang karena girang membayangkan gadis ini telah ditunangkan dengan dia, akan tetapi juga tegang melihat betapa gadis ini sekarang berdua dengan seorang pemuda yang lihai! Biar pun pemuda itu tidak dapat dikatakan berwajah tampan sekali, namun dia tidak buruk, dan wajahnya cerah, ramah dan menarik.

"Sumoi, apa yang kulakukan ini memang benar, yaitu bahwa aku tengah menjadi utusan Siangkoan Lohan membawa tugas rahasia yang penting sekali. Tetapi, hal ini kulakukan dengan terpaksa karena aku sedang bersandiwara untuk menyelamatkan nyawa dua orang sandera. Engkau mengenal baik seorang di antara mereka, karena ia bukan lain adalah nona Pouw Li Sian...”

“Aihh...!" Tentu saja Suma Lian amat kaget mendengar nama saudara seperguruannya itu. "Apa yang telah terjadi? Bagaimana Sian-sumoi sekarang dapat menjadi sandera di Tiat-liong-pang?"

Hong Beng kemudian menceritakan semua yang sudah terjadi, betapa tadinya mereka berempat, dia, Cu Kun Tek, Pouw Li Sian, dan juga Kwee Ci Hwa menjadi tawanan dan terancam nyawa mereka. Diceritakannya pula betapa Ci Hwa berhasil membebaskan mereka, entah dengan cara bagaimana, akan tetapi gadis itu lalu lenyap.

"Setelah membebaskan kami, ia pergi entah ke mana..."

"Ia telah tewas!" kata Sin Hong cepat, sengaja untuk memberi kesan kepada Suma Lian bahwa dia berduka atas kematian gadis yang dicintanya. Lalu diceritakannya kepada Gu Hong Beng tentang peristiwa itu, ketika dia dan Suma Lian membantu Ci Hwa melarikan diri akan tetapi gadis itu tewas karena luka-lukanya.

Mendengar ini, Gu Hong Beng menarik napas panjang. "Ahh, sungguh kasihan sekali gadis bernasib malang itu..."

Dia lalu melanjutkan ceritanya, betapa mereka bertiga tertangkap lagi karena dikeroyok dan dimasukkan tahanan. "Ouwyang Sianseng yang menjadi pelopor pemberontakan itu bersama Siangkoan Lohan, lalu menyuruh kami bertiga mengambil keputusan, memilih satu di antara dua. Membantu pemberontakan mereka atau dibunuh! Kami tidak takut mati, akan tetapi juga enggan mati konyol. Oleh karena itu, aku bersandiwara, pura-pura menakluk dan aku diuji dengan tugas ini, tugas khusus menyampaikan surat penting kepada Panglima Coa yang bersekutu dengan pemberontak. Aku sedang mencari jalan bagaimana sebaiknya untuk dapat menyelamatkan kedua orang kawan yang dijadikan sandera, dan tiba-tiba saudara ini menyusul dan menyerangku."

"Gu-suheng, saudara ini adalah Tan Sin Hong. Kami berdua juga sedang melakukan penyelidikan untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang dan yang bersekutu dengan para tokoh sesat itu. Kami tidak tahu bahwa engkau dan bahkan juga Sian-sumoi ditawan di sana."

Mendadak Sin Hong berkata, "Lian-moi, harap kau suka membantu saudara Gu Hong Beng menyampaikan surat dan mencari akal, sedangkan aku sendiri akan menyelundup ke sarang Tiat-liong-pang untuk mencoba kalau-kalau aku akan dapat membebaskan saudara Cu Kun Tek dan nona Pouw Li Sian itu!" Tanpa menanti jawaban, Sin Hong berkelebat dan lenyap dari tempat itu.

"Hong-ko...!" Suma Lian memanggil, tetapi pemuda itu telah lenyap ditelan kegelapan malam. Diam-diam Gu Hong Beng kagum bukan main.

"Dia amat lihai...," katanya.

"Tentu saja, Suheng. Dia adalah murid terakhir dari para locianpwe di Istana Gurun Pasir."

"Ahhh...!" Hong Beng terkejut dan kagum sekali, "Pantas saja dia tadi dapat mengenal Swat-im Sinkang begitu aku mempergunakan ilmu itu."

"Kasihan, dia berduka karena kehilangan kekasihnya, yaitu gadis yang kami tolong dari dalam sarang Tiat-liong-pang itu."

"Kwee Ci Hwa...?"

"Benar. Sudahlah, Suheng. Bagaimana sekarang? Apakah aku dapat membantumu?"

Hong Beng menjawab ragu. "Aku sendiri masih bingung, Sumoi. Kalau tugas ini tidak kulaksanakan, nyawa Kun Tek dan nona Li Sian terancam bahaya maut. Mereka tentu akan dibunuh kalau aku tidak kembali ke sana membawa balasan dari Panglima Coa. Akan tetapi kalau aku melanjutkan tugas ini, berarti aku membantu pemberontakan itu. Isi surat itu amat penting."

Sambil berjalan menuju ke perbentengan, Hong Beng lalu memberi penjelasan kepada Suma Lian agar gadis itu dapat membantunya mencari akal yang baik.

"Sebaiknya kau lanjutkan itu. Biar aku menanti di luar benteng, siap membantumu jika engkau terancam bahaya kegagalan. Kalau di dalam surat hanya disebutkan engkau seorang sebagai utusan, tentu akan menimbulkan kecurigaan kalau aku ikut masuk ke dalam benteng."

Hong Beng membenarkan pendapat itu. Akan tetapi, selagi mereka berjalan sambil bercakap-cakap, tiba-tiba saja bermunculan tiga belas orang berpakaian serba merah, dipimpin oleh seseorang yang berpakaian hijau! Mereka ini segera membuat gerakan mengepung Hong Beng dan Suma Lian, dan orang berpakaian hijau yang bertubuh kurus sekali itu, dengan suaranya yang parau menudingkan pedangnya ke arah Hong Beng.

"Hemm, sudah kami duga, tentu engkau akan berkhianat! Baiknya Mo-li menyuruh aku melakukan penghadangan di sini! Ternyata benar saja, engkau menemui kawanmu ini dan hendak berkhianat kepada Tiat-liong-pang!"

Hong Beng tidak mengenal orang itu, akan tetapi Suma Lian segera mengenalnya.

"Hei bukankah engkau Tok-ciang Hui-moko Liok Cit, tikus busuk itu?" bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka si kurus berpakaian hijau.

Orang itu memang Liok Cit, tangan kanan Sin-kiam Mo-li yang sedang bertugas di situ memimpin tiga belas orang anggota Ang-I Mo-pang atas perintah Sin-kiam Mo-li yang cerdik dan yang meragukan kejujuran Hong Beng. Kini dia pun mengenal Suma Lian, dan wajahnya berubah agak pucat.

Celaka, pikirnya. Gadis liar yang amat lihai itu kiranya teman Gu Hong Beng ini! Makin yakinlah dia bahwa Hong Beng memang bersekutu dengan pihak musuh.

"Tangkap mereka berdua, hidup atau mati!" Perintahnya dengan suara lantang.

Perintah ini berarti bahwa orang-orang Ang-I Mo-pang itu boleh membunuh pemuda dan gadis itu. Maka ketiga belas orang itu langsung mencabut pedang masing-masing dan membuat lingkaran, membentuk barisan aneh yang berlari-lari mengelilingi Hong Beng dan Suma Lian.

Gadis ini sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan marah sekali. Dicabutnya suling emas dari balik bajunya, dan ia berkata kepada Hong Beng dengan sikap tenang sekali. "Suheng, kau hadapi barisan siluman ini dan aku akan menghajar si cacing kurus itu. Biarkan aku menggempur barisan untuk berhadapan dengan tikus itu!"

Mendengar betapa gadis yang lihai itu menyebut Hong Beng sebagai suheng, makin khawatirlah hati Liok Cit.

"Hayo gempur mereka!" bentaknya dari luar barisan.

Tiga belas orang anggota Ang-I Mo-pang ini memang ahli dalam pembentukan barisan yang aneh-aneh. Walau pun tingkat kepandaian mereka itu kalau maju seorang demi seorang tidak akan ada artinya bagi para pendekar seperti Hong Beng dan Suma Lian, akan tetapi kalau sudah membentuk barisan, mereka menjadi kekuatan yang dahsyat, yang bisa bekerja sama dengan baik sekali sehingga seolah-olah dikendalikan oleh satu pikiran, dengan tiga belas pasang kaki dan tangan, dengan tiga belas batang pedang!

Barisan itu mulai menyerang sambil tetap berlari mengelilingi gadis dan pemuda itu, bertubi-tubi dan saling melindungi, susul menyusul, ke arah tubuh Hong Beng dan Suma Lian. Namun Hong Beng yang ketika berangkat melaksanakan tugas telah memperoleh kembali pedangnya, yaitu sepasang pedang, kini sudah siap dengan sepasang senjata itu, memutarnya dengan ilmu pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang hebat. Sedangkan Suma Lian telah menerjang ke depan, memutar suling emasnya dengan Ilmu Suling Naga Siluman yang mengeluarkan suara melengking-lengking dan membentuk gulungan sinar kuning emas yang menyilaukan mata.

Hong Beng yang maklum bahwa gadis itu lihai sekali, bahkan dia tahu bahwa gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi darinya, kini memutar sepasang pedang untuk membendung serangan tiga belas anggota barisan Ang-I Mo-pang itu, memberi kesempatan kepada Suma Lian untuk menerjang keluar.

Kesempatan ini memang dipergunakan oleh gadis itu. Dia memutar sulingnya semakin dahsyat sambil menerjang ke arah kiri. Anggota barisan yang berlari di sebelah kiri cepat-cepat menangkis dengan pedangnya ketika ada sinar emas mencuat ke arahnya, dibantu pula oleh teman di kanan kirinya yang menahan serangan Suma Lian dengan tusukan pedang mereka ke arah gadis itu.

Namun Suma Lian memutar sulingnya, menangkis pedang-pedang itu sambil tangan kirinya mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang mendorong ke arah mereka. Hawa dingin menyambar dahsyat ke arah tiga orang anggota barisan itu, dan mereka mengeluarkan teriakan kaget sambil terhuyung ke belakang, namun tempat mereka segera diisi oleh tiga orang teman lainnya sehingga jalan keluar bagi Suma Lian tertutup lagi.

Melihat ini, Gu Hong Beng menerjang pula ke bagian itu. Sepasang pedangnya lantas menyambar-nyambar, akan tetapi segera sepasang pedang itu disambut pula oleh tidak kurang dari enam batang pedang lawan.

Tiba-tiba Suma Lian mengeluarkan bentakan melengking dan tubuhnya lalu berkelebat meloncat tinggi melampaui atas kepala para pengepungnya! Ketika barisan itu hendak menghalanginya, ia kembali mendorong tangan kirinya yang kini mengandung tenaga sakti Hui-yang Sinkang yang panas dan mereka yang berusaha menghalanginya itu pun terdorong mundur dan berteriak kaget karena merasa betapa hawa panas menyambar ke arah mereka. Barisan itu menjadi kacau dan Suma Lian sudah tiba di luar barisan. Tanpa membuang waktu lagi, Suma Lian langsung menyerang Liok Cit dengan suling emasnya.

"Tikus pengecut, sekarang kuantar kau ke neraka!" bentak Suma Lian.

Liok Cit yang menjadi ketakutan cepat menyambut dengan pedangnya. Ia mengerahkan segenap tenaga dan kepandaiannya untuk membendung serangan suling emas yang sinarnya menyilaukan mata itu.

Sementara itu, Hong Beng juga mengamuk dengan pedangnya. Barisan itu telah kacau karena enam orang di antara mereka sudah dibikin terhuyung oleh pukulan Swat-im Sinkang dan Hui-yang Sinkang dari Suma Lian tadi. Kini Hong Beng memainkan ilmu pedangnya dengan dahsyat, mengerahkan tenaganya sehingga tubuh dan pedangnya bagaikan bola api yang menggelinding ke sana ke mari, dan barisan itu pun menjadi semakin kacau dan tidak dapat mempertahankan lagi keutuhan atau kerapian gerakan mereka.

Sementara itu, perkelahian antara Suma Lian melawan Liok Cit terjadi berat sebelah. Liok Cit yang berjuluk Tok-ciang Hui-moko (Iblis Terbang Tangan Beracun) itu ternyata bukan tandingan Suma Lian. Ia pun tidak berani mencoba-coba untuk mempergunakan sihirnya, karena hal ini hanya berarti menggugah harimau tidur.

Gadis itu memiliki kekuatan sihir yang jauh lebih kuat darinya, maka akan percuma saja jika dia menggunakan sihir. Satu-satunya jalan bagi Liok Cit hanyalah mempertahankan diri dan sedapat mungkin mencari kesempatan untuk dapat melarikan diri.

Akan tetapi, agaknya Suma Lian tidak mau melepaskan lagi musuhnya ini. Ia teringat akan perbuatan Liok Cit yang lalu, mencoba untuk menyihirnya, dan menculik Yo Han sehingga mengakibatkan tewasnya ayah dan ibu anak itu, bahkan dirinya sendiri hampir celaka kalau saja tidak ada Sin Hong yang menolongnya. Maka, Suma Lian mendesak dengan suling emasnya dan tidak memberi jalan keluar sama sekali.

Liok Cit melawan mati-matian sambil terus mundur. Akhirnya, tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung suling gadis itu menyentuh pelipis kirinya. Tubuh Liok Cit terjungkal dan dia tewas seketika tanpa mengeluarkan suara lagi!

Setelah merobohkan Liok Cit, Suma Lian lalu membalikkan tubuhnya dan terjun ke dalam pertempuran membantu Hong Beng yang dikeroyok oleh barisan Ang-I Mo-pang. Barisan itu memang sudah kacau balau, bahkan telah kehilangan tiga orang anggota barisan yang tadi roboh terkena pedang di tangan Hong Beng. Maka, begitu Suma Lian masuk, sisa pasukan menjadi semakin kacau dan gentar.

Namun, sepasang pendekar itu agaknya tak mau melepaskan mereka. Hal ini memang sudah semestinya, karena kalau ada seorang saja di antara mereka lolos dan melapor kepada pimpinan Tiat-liong-pang, tentu rahasia Hong Beng segera diketahui dan akan celakalah Li Sian dan Kun Tek yang menjadi sandera.

Maka, mereka mengamuk dan sisa barisan yang berusaha menyelamatkan diri itu sia-sia belaka. Akhirnya mereka roboh seorang demi seorang dan setelah perkelahian itu berhenti, ketiga belas orang anggota Ang-I Mo-pang dan Liok Cit sudah tewas semua, tubuh mereka malang melintang di antara darah yang membasahi tanah.

"Bagus, bagus! Orang-orang muda mempergunakan ilmu kepandaian untuk melakukan pembunuhan terhadap banyak orang, sungguh menyedihkan!"

Hong Beng dan Suma Lian cepat membalikkan tubuh mereka, siap siaga menghadapi lawan baru. Juga mereka terkejut karena kehadiran orang yang mengeluarkan suara itu sama sekali tidak mereka ketahui, hal ini saja menunjukkan betapa lihainya orang itu. Dan ketika mereka membalik, mereka melihat dua orang kakek dan nenek sudah berdiri di situ sikap mereka tenang dan berwibawa.

Kakek itu sudah tua, usianya antara tujuh puluh tahun berpakaian sastrawan sederhana, sikapnya lembut namun berwibawa, wajahnya masih memperlihatkan ketampanan dan kegagahan. Ada pun nenek itu belasan tahun lebih muda, usianya sekitar lima puluh empat tahun. Wajahnya masih nampak cantik dan sepasang matanya bergerak lincah dan penuh semangat.

"Kongkong dan Bobo (Kakek dan Nenek)...!" Suma Lian berseru ketika ia mengenal kedua orang itu.

Mereka berdua itu memang kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian yang baru saja meninggalkan benteng pasukan pemerintah setelah mereka menolong Panglima Liu, utusan dari kota raja. Kalau Suma Lian langsung mengenal mereka, kedua orang tua itu tertegun sejenak, akan tetapi mereka pun teringat bahwa gadis cantik dan gagah yang memegang sebatang suling emas itu bukan lain adalah Suma Lian, cucu mereka sendiri!

"Hemmm, kiranya engkau, Lian?" Nenek Bu Ci Sian meloncat dekat dan memegang pundak cucunya. "Sudah begini dewasa, sampai tidak dapat mengenalmu tadi!"

"Dan kini menjadi seorang yang begitu ganas, membunuhi orang seperti membunuh semut saja!" kata pula Kam Hong dengan alis berkerut karena hatinya merasa tidak puas melihat betapa cucunya tadi membunuh semua lawannya.

Suma Lian lari menghampiri kakeknya, memegang tangan kakeknya kemudian berkata dengan lagak manja, "Aih, Kakek ini! Bertahun-tahun tidak saling jumpa, begitu bertemu langsung memarahi aku, bukannya memberi hadiah! Ketahuilah, Kongkong, terpaksa sekali kami harus membunuh semua orang ini. Kalau seorang saja kami biarkan lolos, maka nyawa sumoi-ku dan nyawa seorang pendekar lain yang menjadi sandera tentu akan melayang!"

"Ehhh? Apa maksudmu? Dan siapakah orang muda ini?"

"Kakek dan Nenek, dia ini adalah suheng-ku sendiri, namanya Gu Hong Beng. Ia murid dari paman Suma Ciang Bun."

Kakek dan nenek itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Hong Beng dengan kagum. Seorang pemuda yang perkasa, pikir mereka.

"Bagus, kalau begitu bukan orang lain," kata Bu Ci Sian.

Gu Hong Beng lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada mereka. "Harap Ji-wi Locianpwe memaafkan kalau saya bersikap kurang hormat," katanya.

"Lian-ji, sebenarnya apakah yang telah terjadi dan apa artinya kata-katamu tadi bahwa kalau kalian tidak membunuh semua orang ini maka nyawa sumoi-mu dan seorang pendekar lain akan melayang?"

Suma Lian, dibantu oleh Hong Beng, kemudian menceritakan semua yang telah terjadi. Tentang Hong Beng yang menjadi utusan Siangkoan Lohan untuk menyerahkan surat kepada Coa Tai-ciangkun, tentang Li Sian dan Kun Tek yang masih menjadi sandera dan betapa mereka tadi diserang oleh orang-orang Ang-I Mo-pang yang menjadi sekutu Tiat-liong-pang. Hong Beng menceritakan pula akan isi surat rahasia yang telah sempat dibacanya.

Mendengar cerita mereka, Kam Hong mengerutkan alisnya, "Wah, kalau begitu gawat sekali. Surat itu harus diperlihatkan kepada Liu Tai-ciangkun secepatnya!"

"Maaf Locianpwe, yang harus menerima adalah panglima she Coa, bukannya she Liu," bantah Hong Beng.

Kakek itu tersenyum, "Engkau belum tahu apa yang terjadi di dalam benteng itu, orang muda. Beruntunglah bahwa engkau bertemu dengan kami, jika tidak, begitu memasuki benteng tentu engkau akan ditangkap dan dianggap mata-mata yang sesungguhnya dari kaum pemberontak." Kakek itu lalu menceritakan apa yang telah terjadi, betapa Coa Tai-ciangkun dan antek-anteknya telah ditangkap dan kekuasaan di benteng itu telah dipegang oleh pemerintah.

Hong Beng terkejut mendengar keterangan itu. "Wah, jika sudah begini, lalu bagaimana baiknya, Locianpwe?"

"Kami mengenal Liu-ciangkun dengan baik, mari kalian kami ajak masuk ke benteng menemuinya dan berunding. Peristiwa yang terjadi di dalam benteng itu dirahasiakan sehingga orang luar tiada yang tahu, maka pihak pemberontak juga tidak tahu bahwa sekutu mereka yang berada di dalam benteng telah ditangkap semua."

Mereka berempat lalu kembali ke banteng. Karena para penjaga mengenal baik kakek dan nenek yang pernah berjasa besar dalam menggulung komplotan yang berkhianat, maka keempat orang ini dapat memasuki benteng tanpa banyak susah, bahkan segera mereka malam itu juga disambut sendiri oleh Panglima Liu yang dibangunkan dari tidur dan diberi laporan.

"...Ah, Jiwi Locianpwe datang kembali tentu membawa berita penting," kata panglima itu dengan ramah. Dia mengamati Hong Beng dan Suma Lian penuh perhatian. "Siapakah Ji-wi yang gagah perkasa ini?"

Kam Hong segera menjawab. "Mereka ini adalah dua orang cucu kami, Tai-ciangkun, dan memang betul bahwa kedatangan kami membawa berita yang amat penting. Orang muda bernama Gu Hong Beng ini, bersama dua orang kawannya yang juga pendekar-pendekar yang menentang gerakan Tiat-liong-pang dan para tokoh sesat, telah tertawan oleh Siangkoan Lohan. Dua orang dijadikan sandera dan dia ini dipaksa untuk menjadi utusan, mengirim surat untuk Coa-ciangkun. Dia bersedia melakukannya hanya untuk menyelamatkan dua orang kawannya dan kebetulan sekali dia bertemu dengan kami, maka kami bawa ke sini."

Hong Beng lalu menceritakan kembali semua yang terjadi di Tiat-liong-pang, kemudian dia menyerahkan pula surat yang ditulis oleh Siangkoan Lohan untuk diberikan kepada Coa-ciangkun itu kepada Panglima Liu. Panglima itu membacanya dan dia pun lantas mengerutkan alisnya, lalu memanggil semua perwira pembantunya.

Malam itu juga mereka mengadakan rapat, dihadiri pula oleh Kam Hong, Bu Ci Sian, Gu Hong Beng dan Suma Lian. Dalam rapat itu lalu diambil keputusan bahwa Gu Hong Beng akan membawa pasukan yang dianggap ‘sekutu’ pemberontak untuk bergabung. Kesempatan ini akan digunakan oleh pasukan untuk mengepung Tiat-liong-pang tanpa menimbulkan kecurigaan sehingga akan memudahkan serangan mereka kalau saatnya tiba. Sedangkan kakek Kam Hong, nenek Bu Ci Sian dan cucu mereka, Suma Lian, akan menyelinap ke dalam sarang gerombolan pemberontak dan membantu gerakan pasukan itu dari dalam.

"Jangan khawatirkan nasib adik Li Sian," kata Suma Lian kepada Hong Beng. "Aku akan berusaha sedapat mungkin untuk menyelamatkan ia dan kawannya lebih dulu!"

Gu Hong Beng menyetujui. Memang itu satu-satunya jalan terbaik. Dia akan kembali dan membawa pasukan, tentu pihak pemberontak takkan mencurigainya dan pasukan itu akan dapat mengepung pemberontak dengan leluasa dan tanpa dicurigai. Dia sendiri kalau sudah tiba di dalam akan segera berusaha membebaskan dua orang kawannya itu, bergabung dengan Suma Lian.

Hatinya lega jika mengingat bahwa Suma Lian ditemani oleh kakek dan neneknya, dua orang yang dia tahu amat sakti, maka hatinya tak perlu mengkhawatirkan ‘tunangannya’ yang kali ini benar-benar menjatuhkan hatinya itu! Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada tunangannya sendiri, setelah bertemu dengan Suma Lian yang sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik menarik.

Setelah berunding masak-masak, Suma Lian bersama kakek dan neneknya lalu pergi meninggalkan benteng karena mereka akan bergerak terpisah, bahkan kalau mungkin mendahului menyelundup ke dalam sarang pemberontak dan membantu pasukan dari sebelah dalam.....

********************

Kao Hong Li terus melakukan pengejaran dan mencari jejak Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Tapi, sampai di pegunungan dekat dengan sarang gerombolan pemberontak Tiat-liong-pang, gadis ini kehilangan jejak mereka. Ia pun memasuki hutan, mengambil keputusan untuk menyelidiki Tiat-liong-pang karena ia tahu bahwa musuh besarnya itu, Sin-kiam Mo-li yang dahulu memimpin rombongan penyerbu ke Istana Gurun Pasir dan membunuh kakek beserta neneknya, tentu bersekutu dengan para pemberontak seperti yang telah didengarnya. Pemberontak Tiat-liong-pang itu kabarnya telah mengumpulkan banyak tokoh sesat sehingga keadaan mereka kuat sekali.

Karena belum mengenal keadaan daerah itu, Kao Hong Li bersikap hati-hati sekali. Ia tidak berani melakukan perjalanan di waktu malam, maka ia lalu melewatkan malam di dalam hutan, di atas pohon besar. Ia mengisi perutnya dengan roti dan daging kering yang dibawanya sebagai bekal, minum air putih jernih yang dibawanya dalam botol.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kao Hong Li sudah membersihkan tubuhnya di sebuah sumber air kecil di tengan hutan. Ia merasa segar dan tenaganya pulih kembali. Setelah berganti pakaian yang ringkas, ia melanjutkan penyelidikannya. Dengan hati-hati ia hendak keluar dari dalam hutan itu, menuju ke bukit di mana sore kemarin dia sudah melihat perkampungan Tiat-liong-pang.

Ketika ia tiba di pinggir hutan, tiba-tiba nampak bayangan beberapa orang berkelebat dan tahu-tahu ia telah dikepung lima orang laki-laki yang nampaknya gagah.

"Hemm, engkau tentu kaki tangan pemberontak!" seorang di antara mereka membentak dengan sikap mengancam. "Hayo menyerah untuk kami tawan dari pada kami harus menggunakan kekerasan!"

"Lebih baik menyerah sajalah, Nona. Kami adalah orang-orang gagah yang segan untuk menggunakan kekerasan terhadap seorang wanita lemah!" kata orang ke dua.

Kao Hong Li adalah seorang gadis yang galak, cerdik dan pandai bicara. Dari sikap dan ucapan mereka, ia dapat menduga bahwa mereka ini bukanlah penjahat, bukan pula anak buah pemberontak. Kalau bukan mata-mata pasukan pemerintah, tentu mereka ini pendekar-pendekar yang menentang gerakan pemberontakan Tiat-liong-pang.

Akan tetapi, ucapan mereka yang memandang rendah padanya memanaskan perutnya dan mendorongnya untuk menguji kepandaian mereka. Maka ia lalu tersenyum sindir, menghadapi mereka yang mengepungnya itu dengan sikap tenang saja.

"Hemmm, andai kata, benar aku ini kaki tangan pemberontak dan tidak mau menyerah, lalu kalian ini mau apakah? Kalian ini mirip lima ekor anjing hutan yang menggonggong mengancam seekor kucing hutan, akan tetapi tidak berani menyerang!"

Kucing hutan adalah harimau, maka dengan menyebut dirinya kucing hutan dan mereka itu anjing hutan, berarti Hong Li meninggikan dirinya dan merendahkan mereka. Salah seorang di antara mereka, yang berkumis tebal, mengerutkan alisnya.

"Nona, jangan disangka kami hanya menggertak saja. Kami adalah para pendekar yang siap menggempur para pemberontak, dan kalau engkau mata-mata pemberontak, kami tidak segan-segan menggunakan kekerasan kalau engkau tidak mau menyerah dengan baik-baik."

Hong Li tersenyum mengejek dan melirik kepadanya, "Hemmm, ingin sekali aku melihat kekerasan yang bagaimana yang hendak kalian lakukan? Apakah kalian ini lima orang laki-laki hendak mengeroyok aku? Pendekar macam apa kalau beraninya hanya main keroyokan?"

Muka si kumis tebal menjadi merah. "Kawan-kawan, mundurlah dan biarkan aku yang menangkap wanita yang sombong ini!"

Teman-temannya yang sudah maklum akan kelihaian jagoan muda murid Kun-lun-pai ini, mundur dan membiarkan si kumis tebal untuk menghadapi Hong Li. Namun, sebagai seorang pendekar, agaknya si kumis tebal masih saja sungkan untuk melawan seorang wanita muda.

Dia lalu memasang kuda-kuda dengan gagahnya, kuda-kuda dari silat Kun-lun-pai yang terkenal indah gerakannya itu, akan tetapi tidak segera menyerang, melainkan berkata kepada Hong Li. "Nona, silakan mulai menyerang!"

Hong Li tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri santai saja, bahkan mentertawakan lawannya. "Ehh, kenapa? Bukankah yang hendak menggunakan kekerasan itu engkau? Kenapa aku yang disuruh menyerang? Aku tidak bisa menggunakan kekerasan!"

Teman-temannya tertawa sehingga si kumis tebal menjadi semakin kikuk. "Kalau begitu, biarlah aku yang mulai dulu. Awas, Nona, aku akan bergerak menangkapmu, maaf!"

Dan orang itu, dengan kedua lengan bergerak cepat, menubruk ke depan, maksudnya hendak menangkap kedua pergelangan tangan Hong Li supaya dia dapat menangkap gadis itu tanpa banyak pergulatan.

"Ihhh...!" Hong Li berseru dan dengan gerakan kaku yang disengaja, ia mengelak, akan tetapi cukup untuk membuat tubrukan lawan itu mengenai tempat kosong belaka!

"Wah, sayang luput, ya?" Hong Li mentertawakannya sambil melenggang-lenggokkan tubuhnya yang ramping padat. Kembali terdengar suara ketawa teman-teman si kumis tebal.

"Awas, aku akan menotok dan membuat engkau tidak mampu bergerak, Nona. Maaf!"

Kini si kumis tebal kembali menyerang, bukan sembarangan lagi menubruk, melainkan mengirimkan totokan dengan dua jari tangan kanan kiri, yang kanan menotok pundak kiri, yang kiri menotok pinggang. Hong Li yang melihat bahwa tingkat kepandaian lawan ini masih jauh berada di bawah tingkatnya, menyambut totokan-totokan itu dengan dua pasang jari tangannya pula, jari telunjuk dan jari tengah dipergunakan untuk menangkap atau menjepit totokan lawan.

"Cuppp! Cappp!"

Si kumis tebal itu terbelalak melihat betapa totokannya itu disambut jepitan jari tangan lawan. Dia berusaha menarik kembali jarinya, namun sia-sia dan terasa nyeri, seolah-olah jari tangannya telah terjapit oleh jepitan besi! Tentu saja nampaknya lucu sekali perkelahian itu dan teman-teman si kumis kembali tertawa. Kaki Hong Li bergerak dan tubuh si kumis tebal itu terpelanting, tidak begitu keras karena Hong Li memang tidak mempergunakan tenaga besar.

Empat orang kawan si kumis tebal kini menghentikan suara ketawa mereka dan baru mereka sadar bahwa gadis cantik itu ternyata bukan orang sembarangan, buktinya si kumis tebal yang mereka kenal sebagai murid Kun-lun-pai yang cukup kuat, dalam satu gebrakan saja roboh secara aneh! Kini mereka berempat berloncatan menghadapi Hong Li dan seorang di antara mereka membentak.

"Nona, siapakah engkau? Harap jangan main-main dengan kami dan mengaku terus terang, apakah engkau seorang mata-mata pemberontak?" Mereka sudah mendengar bahwa gerombolan pemberontak sudah bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat yang tinggi ilmunya.

"Siapakah main-main dengan kalian?" Hong Li menjawab. "Siapa adanya aku tidak ada hubungannya dengan kalian. Aku berjalan seorang diri tanpa mengganggu siapa pun juga. Adalah kalian yang menghadang perjalananku dan andai kata aku benar mata-mata pemberontak, habis kalian mau apa?"

"Tangkap mata-mata ini!" bentak si kumis tebal yang sudah meloncat bangun kembali dan kini lima orang itu sudah menerjang untuk menangkap Hong Li.

Gadis ini dengan lincah sekali lalu berloncatan mengelak. Gadis ini adalah cucu dalam dari Naga Sakti Gurun Pasir, juga cucu luar dari Pendekar Super Sakti Pulau Es. Dari ayahnya ia mewarisi ilmu-ilmu dari Gurun Pasir, dan dari ibunya ia mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es, tentu saja ia lihai bukan main.

Diserang oleh lima orang pendekar yang tingkatnya masih tengah-tengah tentu saja ia seperti menghadapi pengeroyokan lima orang anak kecil saja. Dengan mudah dia dapat menghindarkan setiap serangan dengan elakan dan setiap kali tangannya menangkis, orang yang ditangkisnya tentu terpelanting!

Sungguh mereka itu seperti sekumpulan semut yang mengeroyok jangkrik, beberapa kali terpelanting dan bangkit kembali. Kalau saja Hong Li menghendaki, tentu dengan mudah ia akan membuat mereka roboh untuk tidak dapat bangun kembali. Akan tetapi gadis ini pun tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang baik-baik, dan dia pun hanya ingin main-main saja, menghajar mereka karena mereka memandang rendah padanya!

Pada saat itu tampak berkelebat bayangan orang, bayangan putih dan seorang pemuda berpakaian serba putih tiba di situ.

"Tahan...!" serunya kepada kelima orang itu yang segera menghentikan pengeroyokan mereka.

Mereka terengah-engah, dengan tubuh basah oleh keringat dan babak belur. Sedikitnya setiap orang sudah terpelanting dua kali dalam pengeroyokan itu.

Melihat kehadiran si baju putih, si kumis tebal cepat berseru girang, "Tan Taihiap, cepat bantu kami menangkap mata-mata musuh yang lihai ini!"

Akan tetapi lima orang itu tertegun ketika melihat betapa orang yang mereka harapkan akan membantu mereka itu kini berdiri berhadapan dengan gadis itu, saling pandang dan akhirnya pemuda berpakaian putih itu berseru girang.

"Nona Kao Hong Li...!"

"Ehhh, engkau... ehhh… Susiok...!”

Pemuda berpakaian putih itu bukan lain adalah Tan Sin Hong. Baru kemarin ia bertemu dengan para pendekar, ketika para pendekar yang jumlahnya kurang lebih lima belas orang itu dikepung dan dikeroyok, bahkan terancam oleh orang-orang Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai yang bersekutu dengan para pemberontak. Sin Hong lantas turun tangan membantu mereka sehingga mereka berhasil mengusir musuh dari dalam hutan. Dan semua pendekar mengagumi Tan Sin Hong yang mereka sebut Tan Taihiap (Pendekar Besar Tan).

Para pendekar itu adalah mereka yang berdatangan karena merasa penasaran ketika mendengar bahwa Tiat-liong-pang melakukan pemberontakan dan bersekutu dengan kaum sesat. Pada waktu itu masih banyak lagi para pendekar yang berpencaran di sekitar daerah yang dijadikan sarang Tiat-liong-pang, bersiap untuk menggempur kaum sesat yang berkumpul di atas apa bila saatnya tiba.

Mendengar betapa gadis itu menyebut susiok (paman guru) kepada Sin Hong, tentu saja para pendekar itu terkejut dan melongo. Sin Hong lalu menoleh kepada mereka. “Aihh, sobat-sobat sungguh kurang cermat. Nona ini adalah nona Kao Hong Li, seorang pendekar wanita yang tinggi ilmunya, bagaimana kalian sangka ia seorang mata-mata pemberontak?"

Kao Hong Li mengerling ke arah si kumis tebal dan kawan-kawannya sambil tersenyum. "Habis, kalian tidak memberi kesempatan kepadaku, datang-datang kalian menuduh aku mata-mata musuh sih, jadi aku menjadi marah dan ingin menguji kalian!"

Si kumis tebal dan teman-temannya menjadi malu, dan dengan muka merah mereka memberi hormat, dipimpin oleh si kumis tebal yang berkata. "Maaf, maaf, karena tidak mengenal Lihiap (Pendekar Wanita) maka kami berlaku kurang hormat. Maklumlah, baru kemarin kami diserang oleh gerombolan pemberontak, maka tadi kami menyangka Lihiap seorang di antara mereka. Maaf!"

"Sudahlah," berkata Hong Li. "Aku yang minta maaf. Susiok, bagaimara engkau bisa berada di sini?"

Sin Hong memandang kepada lima orang itu dan berkata. "Harap kalian suka memberi kesempatan kepada kami untuk bicara berdua."

Lima orang itu mengangguk maklum. Mereka pun berloncatan masuk ke dalam hutan dan menghilang di balik batang-batang pohon. Sin Hong lalu menghampiri Hong Li.

"Bagaimana, Nona, apakah selama ini engkau baik-baik saja? Aku harap kedua orang tuamu juga berada dalam keadaan selamat dan sehat," katanya dengan sikap sopan.

Kao Hong Li cemberut. "Susiok, bagaimana sih engkau ini? Bukankah engkau ini murid kongkong, jadi engkau adalah sute dari ayahku dan karena itu, engkau ini susiok-ku dan aku masih terhitung keponakanmu sendiri, murid keponakan! Mengapa engkau masih menyebut aku nona-nona segala? Lupakah engkau bahwa namaku Hong Li? Kao Hong Li?"

Menghadapi berondongan serangan ini, Sin Hong jadi tersipu. Bagaimana pun juga, ia seorang pemuda yang tidak biasa berhadapan dengan wanita, apa lagi yang galak dan lincah seperti Hong Li ini. Dalam hal kelincahan, kejenakaan dan kegalakan, gadis ini rupanya menjadi saingan berat dari Suma Lian!

"Habis, aku harus menyebut apa kalau bukan nona?"

"Memangnya seorang susiok hendak dijadikan bujang maka menyebut nona kepadaku? Sebut saja namaku!"

"Mana aku berani?"

"Kalau tidak berani, sudahlah. Kita tidak usah bicara. Aku tidak sudi kau sebut nona!" Gadis itu membalikkan tubuhnya dan cemberut.

Melihat ini, Sin Hong cepat meloncat ke depan gadis itu. "Baiklah, Hong Li. Sebenarnya, aku sendiri pun merasa tidak enak kalau kau sebut susiok. Usia kita sebaya, dan paling banyak aku lebih tua satu dua tahun darimu, akan tetapi kau sebut paman guru!"

"Itu kan keharusan! Kalau aku tidak menyebut susiok padamu, tentu ayah akan marah. Sudahlah. Susiok, engkau belum menjawab. Bagaimana engkau bisa berada di sini?"

"Aku pun heran menjumpaimu di sini, Hong Li. Bukankah engkau berada di rumah orang tuamu ketika aku pergi dari sana?"

"Kau dulu bercerita, baru aku akan menceritakan pengalamanku," kata Hong Li sambil duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari dalam tanah.

Sin Hong lalu mengambil tempat duduk di atas batu besar. Keduanya berhadapan dan saling pandang.

Sin Hong lalu menceritakan pengalamannya secara singkat, dan pertemuannya yang terakhir dengan Suma Lian. Betapa dia dan gadis itu sudah pernah memasuki sarang Tiat-liong-pang dan berhasil menolong Kwee Ci Hwa, akan tetapi gadis itu tewas oleh luka-lukanya. Dia pun menceritakan tentang kemunculan Gu Hong Beng yang kemudian dibantu oleh Suma Lian untuk menyampaikan tugas dari pimpinan pemberontakan yang terpaksa harus dilakukannya demi menyelamatkan dua orang kawannya yang menjadi sandera.

"Aku sendiri ingin menyelundup ke dalam sarang gerombolan itu. Aku hendak mencoba menyelamatkan dua orang sandera itu. Di tengah hutan ini, kemarin, aku melihat para pendekar diserbu para anggota gerombolan yang dibantu oleh banyak tokoh sesat yang pandai. Kami berhasil mengusir mereka dan aku lalu bergabung dengan para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat yang membantu pemberontakan. Nah, demikianlah pengalamanku sampai aku melihat engkau sedang mempermainkan beberapa orang teman pendekar itu."

Hong Li menarik napas panjang. "Ah, kiranya semua telah berada di sini! Gu Hong Beng masih suheng-ku sendiri karena gurunya, paman Suma Ciang Bun adalah adik ibuku. Suma Lian adalah adik misanku sendiri. Akan ramai nanti di sini kalau begitu dan aku gembira sekali mendengar mereka semua turun tangan hendak menentang kaum sesat yang bersekutu dengan pemberontak. Aku sendiri, setelah engkau pergi, Susiok, masih merasa penasaran. Aku lalu pergi dari rumah dengan maksud mencari para penyerbu Istana Gurun Pasir seperti yang Paman ceritakan itu, terutama Sin-kiam Mo-li. Jejaknya menuju ke sarang Tiat-liong-pang ini, maka aku sampai pula di tempat ini."

“Memang benar dia merupakan seorang di antara tokoh sesat yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang."

Sin Hong lalu menceritakan keadaan Tiat-liong-pang yang sangat kuat, terutama sekali karena ternyata gerombolan pemberontak itu telah bersekutu dengan panglima pasukan pemerintah yang bertugas jaga di benteng utara tidak jauh dari situ.

"Ahhh, kalau begitu kebetulan sekali. Aku dapat membantu para pendekar menentang kaum sesat yang membantu pemberontakan, juga sekalian dapat menuntut balas atas kematian kakek dan nenekku dari Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya!" kata Hong Li penuh semangat sambil mengepal tinju.

Sin Hong menarik napas panjang. "Hong Li, jangan engkau mengira bahwa aku tidak berduka karena kematian ketiga orang guruku, akan tetapi justru dari merekalah aku menerima pelajaran, bukan hanya ilmu silat, akan tetapi gemblengan batin sehingga aku berhasil melenyapkan dendam dari hatiku. Kalau sekarang aku menentang Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya, bukan karena aku mendendam kepada mereka, melainkan karena mereka adalah orang-orang jahat yang sudah selayaknya ditentang agar tidak banyak jatuh korban keganasan mereka. Dan juga aku harus dapat merampas kembali Cui-beng-kiam dan Ban-tok-kiam, dua buah pedang pusaka milik Istana Gurun Pasir yang dirampas mereka, karena selama pedang-pedang itu berada di tangan mereka, maka kejahatan mereka akan meningkat dan dua buah pusaka itu tentu hanya akan dipergunakan untuk kejahatan."

Hong Li mengangguk. "Tadinya aku memang merasa penasaran sekali, Susiok. Kedua orang kakek dan nenekku, juga kakek Wan Tek Hoat tewas di Gurun Pasir, akan tetapi Susiok sebagai murid tunggal dan terakhir mereka, tetap hidup dan agaknya tidak hendak membalas dendam. Akan tetapi sekarang aku mengerti, dan aku setuju dengan pendirianmu. Memang aku pun sudah sering kali mendengar dari ayah dan ibu betapa buruknya membiarkan dendam meracuni batin kita sendiri. Akan tetapi bagi aku, kalau mengingat betapa jahatnya mereka dan betapa kakek dan nenek yang sudah tua itu mereka serbu dan mereka bunuh, betapa sukarnya untuk tidak menjadi sakit hati dan membebaskan hati dari dendam."

Sin Hong mengangguk pula. "Aku tidak menyalahkanmu, Hong Li. Memang kelemahan seperti itu adalah manusiawi, akan tetapi jika kita sudah tahu bahwa hal itu merupakan suatu kelemahan dan kekeliruan, maka sudah selayaknya kalau kita menghilangkannya, bukan? Aku sendiri kehilangan orang tuaku yang menjadi korban kejahatan orang lain, dan ternyata pembunuh ayahku juga berada di sini karena pembunuhan itu dilakukan sebagai akibat dari usaha pemberontakan Tiat-liong-pang pula."

Sin Hong kemudian menceritakan tentang keterangan terakhir Kwee Ci Hwa yang telah dapat membongkar rahasia pembunuhan Tan-piauwsu. Dua orang muda itu terus saja bercakap-cakap dengan asyik sekali, seperti dua orang sahabat lama yang baru saja saling bertemu setelah lama berpisah. Barulah mereka terkejut ketika ada dua orang gagah berlari-larian dari dalam hutan dengan wajah agak pucat dan napas mereka yang memburu.

"Celaka, Tan Taihiap! Kami diserbu dari arah selatan. Musuh kami lihai bukan main sehingga ada beberapa orang saudara kita yang sudah roboh! Cepat, harap bantu kami, Tan Taihiap dan Lihiap, kalau tidak, kami semua akan celaka!"

Tanpa menanti keterangan lainnya lagi, tubuh Sin Hong berkelebat diikuti oleh Hong Li. Keduanya berlari cepat sekali memasuki hutan dan Hong Li hanya mengikuti Sin Hong karena dia masih belum mengenal jalan sama sekali. Sin Hong berlari cepat menuju ke perkampungan darurat yang dibuat oleh para pendekar di dalam hutan itu.

Banyak para pendekar dari berbagai kalangan yang berdatangan ke arah daerah utara, tempat pemberontakan Tiat-liong-pang terjadi. Mereka tertarik bukan untuk mencampuri pemberontakan itu, karena bagaimana pun juga, tak ada pendekar yang dalam hatinya membela pemerintah penjajah. Mereka berdatangan untuk menentang kaum sesat yang kabarnya memimpin pemberontakan, karena mereka semua maklum bahwa jika kaum sesat yang memberontak dan berhasil berkuasa, maka rakyat akan lebih celaka lagi, lebih sengsara dari pada kalau kekuasaan dipegang penjajah Mancu.

Bukan hanya di hutan itu saja terdapat para pendekar yang membuka perkampungan darurat. Di situ hanya berkumpul belasan orang pendekar. Di tempat-tempat lain bahkan terdapat lebih banyak persembunyian para pendekar yang juga saling menggabung dan siap menghadapi para tokoh sesat.

Ketika Sin Hong dan Hong Li yang jauh mendahului kedua orang pendekar itu tiba di perkampungan di dalam hutan, mereka melihat bahwa belasan orang pendekar sedang dikepung dan dikeroyok oleh dua puluh lebih orang yang dilihat dari pakaian mereka adalah orang-orang Mongol yang tinggi besar, dan mereka di pimpin oleh seorang tosu dan seorang nenek bongkok. Kedua orang inilah yang amat lihai.

Tosu itu bertubuh pendek berkepala botak, usianya sudah enam puluh tahun lebih dan dia memainkan sehelai sabuk kain yang ujungnya dipasangi pisau. Ada pun nenek itu bertubuh bongkok kurus, kulitnya hitam dengan muka buruk berkeriputan. Usianya juga enam puluh tahun lebih, tangannya memegang sebuah tongkat hitam butut. Nenek ini tak kalah lihainya dibandingkan tosu itu, dan sepak terjangnya ganas sekali, membuat para pendekar kocar-kacir dan terdesak hebat.

Sin Hong dan Hong Li tidak mengenal siapa mereka, akan tetapi maklum bahwa kedua orang itu memang lihai sekali, dan agaknya, melihat bahwa mereka memimpin orang-orang Mongol yang ganas dan kasar menyerang para pendekar, mudah diduga bahwa mereka tentulah kaki tangan pemberontak. Memang dugaan mereka sungguh tepat karena mereka adalah orang-orang yang menjadi pembantu Tiat-liong-pang, sedangkan pasukan kecil Mongol itu adalah sebagian dari lima ratus lebih orang pasukan Mongol yang dipimpin oleh Agakai dan sudah berkumpul di sarang Tiat-liong-pang.

Kakek itu bernama Hok Yang Cu, seorang tokoh Pat-kwa-pai yang banyak melakukan kejahatan, satu di antara para tokoh Pat-kwa-pai yang membantu pemberontakan itu. Ada pun nenek itu adalah Hek-sim Kui-bo, seorang datuk sesat yang lihai pula. Dua orang ini memang bersahabat dan pernah kita jumpai mereka ketika mereka melakukan serangan terhadap keluarga Beng-san Siang-eng di puncak Telaga Warna Pegunungan Beng-san.

Untunglah pada waktu itu muncul Suma Lian yang lalu membantu keluarga pendekar itu mengusir dua orang kakek dan nenek ini. Pada waktu itu mereka berdua menyerang keluarga Beng-san Siang-eng bukan saja untuk mengganggu keturunan keluarga Pulau Es itu, juga karena Hek-sim Kui-bo hendak menculik Gak Ciang Hun, putera Beng-san Siang-eng yang baru berusia sepuluh tahun.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah si Bangau Putih

KISAH SI BANGAU PUTIH (BAGIAN KE-13 SERIAL BU KEK SIANSU)