KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-34
Para anggota Kim-liong-pang itu biasanya bersikap hormat kepada Bhe Kauwsu karena guru silat ini adalah calon besan dari ketua mereka. Tetapi sekarang mereka bersikap lain sama sekali. Mereka tetap berdiri tegak dan bertolak pinggang biar pun Bhe Gun Ek sudah muncul dan berdiri di depan mereka!
Melihat sikap ini, Bhe Kauwsu mengerutkan alisnya, namun dia menahan sabar karena maklum bahwa sikap mereka itu pasti ada sebabnya.
“Bukankah Cu-wi para anggota Kim-liong-pang? Ada keperluan apakah Cu-wi datang berkunjung? Apakah diutus oleh Ciok Pangcu (Ketua Pangcu)?” Bhe Kauwsu bertanya dengan suara ramah.
“Bhe Kauwsu, kami datang untuk menuntut balas atas kematian seorang sute kami yang tidak berdosa! Sute kami dibunuh oleh seorang murid dari Kauwsu, maka sebaiknya jika murid yang jahat itu diserahkan kepada kami!” kata seorang di antara mereka, mewakili teman-temannya, dengan nada suara penuh kemarahan.
Bhe Kauwsu mengerutkan alisnya lebih dalam lagi dan setelah menarik napas panjang dia berkata, “Aih, apa lagi ini? Terbunuhnya seorang murid perempuan dari perguruan kami belum juga diselesaikan, dan sekarang muncul tuduhan bahwa seorang anggota Kim-liong-pang terbunuh oleh seorang muridku?”
“Bhe Kauwsu! Kongcu kami sama sekali tak merasa melakukan pembunuhan terhadap murid perempuan perguruan sini. Kongcu berani bersumpah...“
“Sumpah palsu! Siapa pun juga dapat bersumpah palsu!” bentak Siang Cun. Gadis ini sekarang amat membenci tunangannya dan hal inilah yang membuat para murid dari Ngo-heng Bu-koan semakin bersemangat memusuhi pihak Kim-liong-pang.
“Sebaiknya jika Kauwsu menyelidiki yang benar. Bukan kongcu kami yang membunuh. Akan tetapi sekarang murid-muridmu telah membunuh seorang sute kami dengan amat kejamnya! Mungkin sute dikeroyok, melihat betapa tubuhnya hancur dicacah-cacah oleh bacokan senjata tajam. Sungguh-sungguh pembunuhan yang kejam dan sama sekali tidak mengenal peri kemanusiaan!”
“Huhh! Apakah pembunuhan terhadap sumoi Bong Siok Cin itu berperi kemanusiaan? Sebelum dibunuh diperkosa lebih dulu! Perbuatan itu biadab dan lebih kejam lagi. Kalau sampai ada seorang saudara seperguruanku membalas dendam dan membunuh salah seorang anggota Kim-liong-pang, hal itu sudah sepantasnya!”
“Hok Ci, diam kau! Dan Siang Cun, jangan kau mencampuri percakapan kami! Kalian dengarkan saja!” Bhe Kauwsu membentak karena suara para muridnya itu hanya akan memanaskan suasana saja.
Ia lalu menghadapi orang-orang Kim-liong-pang itu dan berkata, “Cuwi menuduh bahwa murid-murid kami sudah melakukan pengeroyokan dan pembunuhan terhadap seorang anggota Kim-liong-pang. Apa buktinya bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh murid dari perguruan kami?”
“Jenazah sute diketemukan di luar tembok kota Lu-jiang, tubuhnya hancur dan di dekat jenazahnya kami menemukan ini!” berkata anggota Kim-liong-pang sambil menyerahkan sebuah bungkusan kain kuning panjang.
Bhe Kauwsu menerima bungkusan itu yang berisi sebuah pedang panjang yang patah menjadi dua. Dan di gagang pedang patah itu, jelas dapat dilihatnya ukiran dua huruf berbunyi Ngo Heng, ukiran yang terdapat pada semua senjata di perguruannya, senjata-senjata yang disediakan di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) untuk latihan!
Jelas bahwa pedang itu adalah pedang milik Ngo-heng Bu-koan, dan siapa lagi yang mempergunakannya kalau bukan seorang di antara para muridnya. Pedang itu agaknya patah ketika dipakai berkelahi, maka dibuang begitu saja dan ditemukan sebagai tanda bukti bahwa pembunuh anggota Kim-liong-pang adalah orang Ngo-heng Bu-koan!
Bhe Kauwsu menoleh kepada para muridnya, wajahnya berubah merah. Dengan suara yang mengandung wibawa dia bertanya, “Siapa di antara kalian yang mempergunakan pedang ini? Hayo mengaku sebagai seorang gagah yang selalu siap mempertanggung jawabkan perbuatannya!”
Akan tetapi tak seorang pun di antara murid-muridnya yang menjawab atau mengaku. Semuanya berdiam diri. Kemudian Siang Cun berkata dengan suara mencela. “Ayah, apakah Ayah perlu mendengarkan fitnah yang mereka lontarkan kepada kita?”
Pimpinan anggota Kim-liong-pang berkata dengan nada suaranya mengejek, “Hemmm, Bhe Kauwsu, tiada muridmu yang berani mengaku. Mereka itu pengecut, sudah berani berbuat tidak berani bertanggung jawab.”
“Tutup mulutmu yang bau busuk!” Tiba-tiba Siang Cun meloncat ke depan, menghadapi anggota pimpinan Kim-liong-pang itu dengan marah sekali. “Tuan mudamu sudah jelas memperkosa dan membunuh saudara kami, dan ada bukti topinya yang ketinggalan, akan tetapi dia menyangkal. Dialah yang pengecut besar! Dan kini kalian membalikkan kenyataan? Lagi pula andai kata ada di antara kami yang membunuh sute-mu, hal itu sudah tepat, karena orang-orang macam kalian ini memang patut dibasmi!”
“Siang Cun...!” Ayahnya mencegah, akan tetapi percuma karena kedua pihak sudah saling terjang dan saling serang.
Terjadilah pertempuran antara belasan orang anggota Kim-liong-pang melawan para murid Ngo-heng Bu-koan yang jumlahnya jauh lebih banyak! Bhe Kauwsu tidak dapat mencegah lagi, maklum bahwa orang-orang muda kedua pihak itu sudah dibakar oleh kemarahan dan sakit hati. Dia merasa sedih sekali, akan tetapi mengambil keputusan untuk tidak campur tangan sendiri, maka dia lalu mengundurkan diri dan masuk ke dalam kamarnya.
Perkelahian keroyokan yang berat sebelah itu tentu saja berakhir dengan kekalahan pihak Kim-liong-pang yang jauh lebih sedikit jumlahnya. Apa lagi pada pihak Ngo-heng Bu-koan terdapat Siang Cun yang sungguh amat lihai. Akhirnya, belasan orang anggota Kim-liong-pang itu terpaksa melarikan diri sambil membawa lari teman-teman mereka yang terluka parah. Masih untung Siang Cun melarang teman-temannya yang hendak melakukan pengejaran.
“Biarkan mereka pergi!” teriaknya. “Ketika sebagian dari kalian datang ke sana, kalian dikalahkan akan tetapi tidak ada seorang pun di antara kalian yang terbunuh. Biarlah kali ini kita membalas kekalahan itu dan biarkan mereka pulang melapor kepada ketua mereka!”
Sin Hong dan Yo Han mendengarkan cerita dari Bhe Gun Ek dengan hati tertarik sekali. Bhe Gun Ek menarik napas panjang berulang kali, wajahnya nampak berduka dan dia pun melanjutkan.
“Demikianlah, Tan Taihiap. Sejak penyerbuan itu, terjadi permusuhan di antara Bu-koan kami dan Kim-liong-pang. Beberapa kali aku hendak menghubungi Ciok Pangcu, akan tetapi selalu para murid kedua pihak yang mencegah, mereka sudah dibakar emosi, bahkan sejak itu, sudah berulang kali terjadi perkelahian, bahkan sudah belasan orang dari masing-masing pihak jatuh tewas sebagai korban perkelahian terbuka mau pun pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan secara diam-diam karena dendam.”
“Hemmm, jadi itulah kiranya yang menyebabkan kesalah pahaman antara aku dan nona Bhe Siang Cun? Aku sudah disangka seorang dari Kim-liong-pang dan karenanya harus dibunuh?”
Wajah gadis itu menjadi kemerahan. “Ada berita bahwa pihak Kim-liong-pang sedang mengundang jagoan lihai untuk menghadapi kami, karena itulah aku mudah menaruh curiga kepada seorang asing.”
“Akan tetapi, Bhe Kauwsu, apakah semenjak peristiwa pertama, yaitu kematian murid perempuan dari perguruanmu itu, engkau tak pernah mengadakan hubungan langsung dengan Ciok Pangcu?”
Guru silat itu menarik napas panjang. “Itulah salahnya. Bagaimana pun harus kuakui bahwa ada rasa sakit di dasar hatiku akibat perkosaan dan pembunuhan terhadap salah seorang muridku, dan karena pelaku kejahatan itu ialah putera Ciok Pangcu, yang juga telah menjadi calon menantuku, tentu saja aku merasa amat tidak enak untuk menemui dan membicarakannya. Ditambah lagi dengan sikap bermusuhan yang berlarut-larut dari anggota dan murid kedua pihak, maka sekarang sudah tidak mungkin lagi bagiku untuk mengadakan pertemuan secara damai dengan Ciok Pangcu. Bahkan akhir-akhir ini ada berita bahwa pihak Kim-liong-pang hendak mengundang jagoan yang lihai, kemudian akan menantang kami untuk mengadakan pertempuran secara terbuka.” Guru silat itu kelihatan penasaran dan berduka.
Sin Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ah, jika keadaan sudah demikian parah, sukar untuk dicari jalan damai.”
Tiba-tiba Yo Han bangkit berdiri. “Suhu, ada kemungkinan ke tiga dalam urusan ini yang agaknya dilupakan orang...”
“Hushhh! Yo Han engkau anak kecil tahu apa? Jangan ikut campur!” bentak Sin Hong terkejut. Dia rikuh sekali melihat betapa muridnya demikian lancang untuk mencampuri urusan yang demikian besarnya.
Mendengar bentakan gurunya, Yo Han diam dan duduk kembali. Tetapi Bhe Kiauwsu merasa amat tertarik mendengar ucapan Yo Han tadi. Pemuda yang menjadi tamunya itu seorang yang berilmu tinggi, tentu muridnya juga bukan anak sembarangan. Sikap bocah itu saja sudah menunjukkan bahwa dia cerdas sekali.
“Aih, Tan Taihiap, agaknya muridmu mempunyai pandangan yang amat penting sekali. Biarkanlah dia bicara. Anak baik, apakah kemungkinan ke tiga yang agaknya telah kami lupakan itu? Katakanlah.”
Yo Han melirik ke arah suhu-nya. “Suhu, bolehkah teecu bicara?”
Sin Hong menahan senyumnya. Dia tahu bahwa muridnya itu, walau pun usianya baru sembilan tahun, namun mempunyai kecerdikan luar biasa, bahkan dapat mengikuti jalan pikiran orang dewasa. Dia tahu bahwa pandangan anak itu kadang-kadang tajam dan tidak ngawur. Kalau tadi dia terkejut dan rikuh adalah karena muridnya itu dianggapnya lancang mencampuri urusan orang lain, apa lagi urusan permusuhan yang demikian pentingnya, yang sudah mengorbankan banyak nyawa dan yang membuat tuan rumah berduka sekali.
“Yo Han, benarkah apa yang akan kau katakan itu penting sekali? Kalau tidak penting jangan bicara!”
“Suhu, teecu tidak berani main-main. Teecu tahu ada waktu untuk main-main dan ada waktu untuk bersungguh-sungguh, dan apa yang akan teecu katakan ini menurut teecu penting sekali,” kata Yo Han sambil bangkit berdiri lagi.
“Kalau begitu, bicaralah,” kata Sin Hong, percaya sepenuhnya kepada murid yang baru berusia sembilan tahun lebih itu.
Semua mata ditujukan kepada Yo Han dengan penuh perhatian, namun anak itu sama sekali tak nampak gugup walau pun yang memandangnya adalah orang-orang dewasa.
“Begini, Suhu dan para Paman yang terhormat, juga engkau, enci Siang Cun. Aku telah mendengarkan semua percakapan tadi dan aku membayangkan adanya hal-hal aneh dalam peristiwa ini. Menurut nalar, kalau Ngo-heng Bu-koan tadinya bersahabat erat dengan Kim-liong-pang, bahkan ada pengikatan perjodohan, hal itu dapat dianggap bahwa tentu Kim-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah pula, bukan perkumpulan penjahat. Maka, andai kata benar bahwa putera ketua Kim-liong-pang yang melakukan perkosaan dan pembunuhan itu, tidak mungkin orang tuanya dan juga perkumpulannya yang menjunjung tinggi kegagahan akan membelanya! Kalau mereka membela mati-matian sampai mengorbankan nyawa, tentu mereka merasa yakin bahwa mereka itu benar! Seperti halnya Ngo-heng Bu-koan sendiri yang menyangkal keras ketika dituduh telah membunuh seorang anggota Kim-liong-pang dan ada pedang Ngo-heng Bu-koan ditemukan di dekat mayat anggota Kim-liong-pang itu.”
“Tapi itu fitnah!” Siang Cun berseru.
“Akan tetapi ada bukti pedang...,“ Yo Han berkata dengan maksud memancing.
“Ahh, pedang itu bukan bukti mutlak. Bisa saja pedang kami dicuri orang dan dijadikan bukti palsu!” Gadis itu membantah lagi.
“Nah, justru ini yang menjadi maksudku, enci Siang Cun. Fitnah dan bukti palsu! Kalau pedang Ngo-heng Bu-koan dapat dicuri orang dan dijadikan bukti palsu, bukankah topi dari putera Kim-liong Pangcu itu pun dapat dicuri orang dan dijadikan bukti palsu pula? Nah, kemungkinan ke tiga yang kumaksudkan adalah fitnah dan bukti palsu itu! Siapa tahu, ada orang ke tiga yang bermain curang di sini, yaitu menjatuhkan fitnah kepada putera Ciok Pangcu, kemudian menjatuhkan fitnah sana dan fitnah sini untuk mengadu domba...“
“Tidak mungkin!” seorang murid Ngo-heng Bu-koan bangkit berdiri dan membantah dengan suara keras. “Siapa orang yang mau melakukan perbuatan gila itu dan apa maksudnya?”
“Itulah yang harus diselidiki,” kata Yo Han dengan sikap serius. “Aku tadi hanya mengatakan kemungkinan ke tiga, mungkin terjadi demikian mungkin juga tidak.”
“Luar biasa...!” Tiba-tiba Bhe Kauwsu berseru, matanya terbelalak memandang kepada Yo Han. “Tan Taihiap, muridmu ini sungguh seorang anak yang luar biasa cerdiknya! Kemungkinan itu memang ada! Bagaimana tak pernah terpikirkan oleh aku yang sudah setua ini?”
“Ah, Bhe Kauwsu terlalu memuji!” kata Sin Hong merendah walau pun di dalam hatinya dia merasa bangga dan juga kagum karena dia melihat adanya kemungkinan besar dalam ucapan muridnya tadi. “Yo Han hanya ngawur saja.”
“Tidak, tidak! Kemungkinan ke tiga itu memang ada! Ahh, kenapa aku tidak menduga akan hal itu dan siang-siang mengadakan perundingan dengan Kim-liong-pang? Harus segera diadakan perundingan itu untuk bersama-sama melakukan penyelidikan akan adanya kemungkinan ketiga itu!”
“Akan tetapi, Suhu. Keadaan sudah begini meruncing, kedua pihak sudah kehilangan banyak anggota yang roboh tewas, dan sakit hati telah semakin bertumpuk, bagaimana mungkin Suhu dapat mengadakan perundingan dengan pihak Kim-liong-pang? Teecu kira mereka tidak akan mau menerima uluran tangan Suhu.” kata pula murid Ngo-heng Bu-koan itu.
Bhe Kauwsu mengangguk-angguk. “Engkau benar juga, memang sekarang sudah amat terlambat. Sayang baru sekarang ada anak cerdik ini yang mengingatkan, kalau dulu sebelum jatuh banyak korban...“
“Bhe Kauwsu, dalam keadaan seperti ini, memang tidak baik bahkan berbahaya kalau engkau sendiri yang pergi ke sana, mungkin akan menambah panasnya suasana dan menimbulkan kesalah pahaman kedua pihak. Biarlah saya yang akan mewakilimu pergi menghadapi pimpinan Kim-liong-pang untuk membicarakan kemungkinan ke tiga itu, menawarkan perdamaian dan kerja sama untuk menyelidiki persoalan ini.”
“Ahh, kalau Taihiap suka, sungguh kami merasa beruntung dan berterima kasih sekali!” kata guru silat Bhe dengan girang.
“Akan tetapi, Suhu. Apakah hal itu tidak akan merendahkan nama dan kehormatan Suhu khususnya dan para murid Ngo-heng Bu-koan pada umumnya? Mereka yang lebih dahulu memulai permusuhan dan penghinaan yang teramat besar, memperkosa murid perguruan kita dan membunuhnya. Sudah patutkah kalau sekarang pihak kita yang melakukan pendekatan untuk berdamai? Kita akan dianggap takut!” yang bicara ini adalah seorang murid kepala lain dari Ngo-heng Bu-koan dan semua murid yang hadir dalam perjamuan makan itu mengangguk-angguk menyatakan setuju. Kini yang mereka bela bukan hanya kebenaran, melainkan juga nama dan kehormatan perguruan mereka.
Mendengar ucapan murid kepala ini, Bhe Kauwsu mengerutkan alisnya dan dia pun mengangguk-angguk. Dia menjadi ragu! Jika dipikirkan, yang memulai permusuhan itu memang adalah pihak Kim-liong-pang, maka kalau kini pihak Ngo-heng Bu-koan yang membuat langkah pertama ke arah perdamaian, seolah-olah pihak Ngo-heng Bu-koan merasa takut! Dia memandang kepada Sin Hong dengan sinar mata ragu-ragu.
“Ucapan murid kami itu memang benar, Tan Taihiap. Permusuhan antara perguruan kami dan Kim-liong-pang sudah terlampau berlarut-larut. Sudah banyak korban kedua pihak berjatuhan. Kalau sekarang tiba-tiba Taihiap muncul sebagai utusan kami untuk mengajak damai, sungguh, hal itu dapat disalah artikan, disangka bahwa kita takut atau lebih celaka, kita disangka benar-benar bersalah.”
Sin Hong mengangguk-angguk, di dalam hati bisa membenarkan pendapat itu. Memang serba salah. Didiamkan, maka permusuhan itu akan semakin menghebat, tapi kalau dia mendamaikan, maka akan tersinggung kehormatan dan nama Ngo-heng Bu-koan.
Tiba-tiba terdengar suara Yo Han, nyaring dan bersungguh-sungguh.
“Ada jalan yang baik!”
Kembali semua orang memandang kagum, hanya Sin Hong yang mengerutkan alisnya, menganggap muridnya itu terlalu lancang walau pun di dalam hati ia makin mengagumi muridnya itu yang ternyata diam-diam memperhatikan percakapan dan bahkan turut memikirkan dan mencari jalan keluar! Akan tetapi sebelum dia menegurnya, Bhe Gun Ek sudah menanggapi.
“Anak yang baik, ada akal apa lagikah di dalam kepalamu yang luar biasa cerdik itu? Katakanlah!”
Yo Han mengerling kepada suhu-nya dan memandang dengan sinar mata seolah-olah minta perkenan!
Sin Hong tersenyum melihat ini. Bagaimana pun juga, muridnya yang lancang ini sama sekali tidak bermaksud menyombongkan dirinya, bahkan selalu minta persetujuannya. Dia pun mengangguk dan berkata, “Kalau engkau memang ada pendapat yang baik, katakanlah.”
Yo Han lalu bangkit berdiri. Dengan wajah bersungguh-sungguh dia berkata, “Pendapat Bhe Kauwsu memang benar. Permusuhan itu sudah terlalu meruncing sehingga kalau yang mendamaikan itu anggota atau utusan dari salah satu pihak, tentu mendatangkan perasaan rendah diri. Akan tetapi jika Suhu bertindak atas nama sendiri, sebagai orang luar yang berusaha mendamaikan antara kedua sahabat yang kini bermusuhan, saya kira tidak akan mendatangkan perasaan tidak enak. Dan saya yakin kalau Suhu mau turun tangan mendamaikan, tentu akan membuat pihak Kim-liong-pang dapat menerima alasan dan juga mau bekerja sama untuk melakukan penyelidikan akan kemungkinan adanya pihak ketiga itu.”
Bhe Gun Ek bertepuk tangan dengan hati girang dan mereka yang hadir tersenyum dan mengangguk-angguk. Juga Bhe Siang Cun segera berkata, “Adik Yo Han memang luar biasa sekali, entah gurunya akan mau melaksanakan usulnya ataukah tidak,” berkata demikian, gadis itu melirik ke arah Sin Hong.
Wajah Sin Hong berubah kemerahan. Diam-diam ia mendongkol juga kepada muridnya sebab pendapat muridnya itu seolah-olah telah mendesak dan mendorongnya ke sudut. Sekali ini dia tidak mungkin mundur, karena kalau dia menolak, seolah-olah dia enggan untuk mendamaikan kedua pihak. Akan tetapi kalau dia maju, berarti dia bertindak atas nama sendiri dan hal ini mengandung bahaya bahwa dia akan diterima sebagai musuh oleh pihak Kim-liong-pang.
Yo Han agaknya dapat melihat isi hati gurunya melalui sinar mata dan wajah gurunya yang berubah kemerahan. Dengan suara takut-takut dia pun berkata kepada gurunya, “Suhu selalu mengajarkan kepada teecu bahwa seorang gagah pantang mundur untuk melakukan pekerjaan yang dianggap benar, adil dan baik. Dan teecu yakin sekali bahwa mendamaikan Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liongpang adalah pekerjaan yang benar dan adil.”
Mau tidak mau Sin Hong tersenyum. Muridnya ini memiliki kelihaian dalam bicara. Dia merasa seolah-olah sudah ditodong dan tidak mampu mengelak lagi. Secara halus anak kecil ini menyudutkannya dan menyerangnya dengan pelajaran yang telah diajarkannya sendiri kepada murid itu.
“Hemmm, Yo Han. Bagus engkau masih ingat akan pelajaran itu. Dengan demikian, bagaimana kalau sekarang aku menyuruh engkau yang menjadi orang yang berusaha mendamaikan kedua pihak yang bermusuhan itu? Maukah engkau menemui pimpinan Kim-liong-pang dan bicara dengan mereka, lalu berusaha mendamaikan permusuhan mereka dengan pihak Ngo-heng Bu-koan?”
Semua orang, termasuk Bhe Gun Ek dan puterinya, terkejut dan heran mendengar ini. Seorang anak kecil berusia sembilan tahun lebih disuruh menjadi juru damai antara Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang? Sungguh tidak mungkin! Mana mungkin pihak Kim-liong-pang akan sudi mendengarkan omongan seorang bocah? Ngo-heng Bu-koan sendiri tidak akan mau bicara mengenai permusuhan mereka dengan seorang bocah seperti Yo Han kalau dia bukan murid Tan Sin Hong!
Akan tetapi dengan suara lantang dan sikap gagah, Yo Han lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Tentu saja teecu mau, Suhu! Kalau Suhu memerintahkan, sekarang juga teecu akan suka menemui ketua Kim-liong-pang!”
Mendengar jawaban ini, Bhe Gun Ek, Bhe Siang Cun dan para murid-murid Ngo-heng Bu-koan tertegun, bahkan ada juga yang tersenyum geli dan menganggap jawaban itu merupakan suatu kesombongan kanak-kanak saja. Akan tetapi Sin Hong tahu benar bahwa muridnya itu tidak akan berlagak, melainkan akan sungguh-sungguh berangkat kalau dia memerintahkannya.
Diam-diam Sin Hong bersyukur. Muridnya ini bukan hanya mengemukakan pendapat, melainkan juga berani mempertanggung jawabkannya.
“Baiklah, Yo Han. Engkau pergi menemui Kim-liong-pang dan aku akan menemanimu.”
Yo Han bersorak girang. “Kalau Suhu menemani tecu, semua akan beres!”
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar dan beberapa orang murid yang dipimpin oleh Phoa Hok Ci masuk sambil menggotong sesosok mayat yang masih berlumuran darah! Ketika semua orang bangkit, Bhe Gun Ek meloncat dekat mayat itu dan berseru kaget.
“Ciang Lun...!” Dan dia menoleh kepada Phoa Hok Ci, bertanya dengan suara gemetar. “Apa yang telah terjadi dengan dia?”
Phoa Hok Ci menjatuhkan diri berlutut di depan kaki guru silat itu dan berkata dengan suara terkandung isak tangis, “Suhu ketika teecu keluar kampung, teecu melihat dari jauh sute Ciang Lun sedang berkelahi, dikeroyok oleh dua orang murid Kim-liong-pang. Teecu tidak dapat melihat jelas muka mereka, akan tetapi teecu mengenal baju yang ada lambang perkumpulan itu. Ketika melihat teecu lari menuju ke tempat itu, mereka lalu melarikan diri, meninggalkan sute Ciang Lun yang sudah terluka parah. Ketika teecu membawa sute pulang, di tengah perjalanan dia tewas. Ah, Suhu sendiri maklum betapa dekatnya teecu dengan sute Ciang Lun, dia seperti adik teecu sendiri dan kini... ahhh, terkutuk orang-orang Kim-liong-pang!”
Phoa Hok Ci bangkit berdiri, mukanya pucat dan basah air mata. Dia mengepal tinju dan matanya menjadi beringas. Agaknya, kalau di situ terdapat orang Kim-liong-pang, tidak akan ada yang mampu mencegahnya mengamuk dan menyerang musuh besar itu.
“Tidak ada damai dengan anjing-anjing Kim-liong-pang!” Tiba-tiba Phoa Hok Ci berteriak dan para murid Ngo-heng Bu-koan menyambut dengan teriakan setuju.
Pada waktu mengeluarkan teriakan itu, Phoa Hok Ci memandang ke arah Sin Hong dengan mata melotot, seolah-olah Sin Hong yang ingin mendamaikan permusuhan itu merupakan seorang anggota Kim-liong-pang yang harus dimusuhinya! Melihat ini guru silat Bhe segera berkata kepada muridnya itu.
“Sudahlah, lekas rawat baik-baik jenazah sute-mu ini. Carikan peti yang baik dan kita lakukan upacara sembahyang di ruangan depan.”
Phoa Hok Ci dan teman-temannya mengangkat jenazah itu keluar dari ruangan itu, dan Bhe Gun Ek berkata kepada Sin Hong, “Taihiap, sekarang urusan menjadi semakin kacau! Kau lihat sendiri betapa kejamnya orang-orang Kim-liong-pang. Aku tidak dapat menyalahkan Hok Ci atas kemarahannya karena Ciang Lun yang menjadi korban itu memang amat dekat dengan dia, seperti adik kandung saja. Dia kehilangan kekasihnya yang diperkosa dan dibunuh, kemudian sekarang kehilangan sute yang disayangnya, dan keduanya terbunuh oleh orang-orang Kim-liong-pang atau begitu menurut dugaan. Bahkan pembunuh sute-nya dilihatnya dari jauh sebagai dua orang yang mengenakan pakaian Kim-liong-pang. Tentu saja dia merasa sakit hati dan amat mendendam kepada Kim-liong-pang. Setelah peristiwa ini, agaknya… hemmm, rencana kita tadi terpaksa harus ditunda dulu, Taihiap.”
Sin Hong menarik napas panjang dan bangkit dari tempat duduknya.
“Aku mengerti, Bhe Kauwsu. Sebaiknya kami mohon diri untuk melanjutkan perjalanan. Kehadiran kami hanya mengganggu saja.”
“Ahhh, sama sekali tidak, Taihiap. Bahkan tadinya kami sangat mengharapkan bantuan Taihiap untuk mendamaikan urusan ini, tetapi kini para murid sedang marah-marahnya, dan saya sendiri tentu saja juga penasaran karena kembali kehilangan seorang murid yang baik.”
Sin Hong lalu menggandeng tangan Yo Han meninggalkan rumah perguruan silat yang besar itu, bahkan lalu keluar dari kota Lu-jiang. Setiba mereka di luar kota, hari telah mulai gelap, senja telah mendatang.
“Suhu, apa yang akan kita lakukan sekarang?” Yo Han bertanya.
Sin Hong menoleh dan memandang muridnya sambil tersenyum. “Apa yang akan kita lakukan? Melanjutkan perjalanan, apa lagi?"
“Tapi permusuhan antara Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang itu...“
“Ah, itu bukan urusan kita, Yo Han. Perlu apa kita mencampuri urusan orang lain?” Sin Hong mencela muridnya.
Hening sejenak dan kedua orang itu melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata. Yo Han berjalan dan sambil menundukkan mukanya, tiba-tiba dia bertanya, “Suhu, kalau teecu melihat dua orang berkelahi dan berusaha mati-matian untuk saling bunuh, apakah yang harus teecu lakukan?”
“Hemmm, tentu engkau harus melerai dan berusaha untuk mendamaikan mereka, atau kalau kau tahu bahwa seorang di antara mereka jahat dan hendak menekan, kau harus membantu yang lemah tertindas.”
“Suhu, bukankah kalau teecu mencampuri berarti teecu juga mencampuri urusan orang lain?”
Mendengar nada suara muridnya, Sin Hong menoleh. Ia pun tersenyum dan mengerti apa yang dimaksudkan oleh muridnya yang cerdik itu, lalu ia menarik napas panjang. “Baiklah, Yo Han. Aku pun sedang memikirkan bagaimana cara dapat menghentikan permusuhan antara Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang. Karena dua pihak berkeras kepala, maka aku tidak ingin lagi ikut mencampuri. Jangan-jangan malah akan dimusuhi kedua pihak.”
“Suhu telah berkenalan dengan pihak Bu-koan dan tahu akan isi hati Bhe-kauwsu, akan tetapi belum mengenal pihak Kim-liong-pang. Kalau Suhu juga berkunjung ke sana dan berkenalan, teecu kita tidak akan sukar mencari jalan tengah ke arah perdamaian.”
“Usulmu baik sekali. Baiklah, mari kita pergi ke bukit Kim-liong-san itu, setidaknya kita dapat menyelidiki bagaimana sesungguhnya keadaan pihak yang bermusuhan dengan Ngo-heng Bu-koan itu.”
Yo Han merasa girang sekali, tetapi dia hanya mengangguk dan mengikuti suhu-nya menuju ke bukit yang nampak dari situ walau pun cuaca sudah mulai remang-remang. Tiba-tiba Sin Hong menarik lengan muridnya dan menyelinap ke dalam semak-semak. Dia melihat bayangan orang.
Yo Han juga mengintai dari balik semak-semak dan dia pun melihat dua orang laki-laki sedang menggotong tubuh seorang laki-laki lain yang agaknya telah tewas. Oleh karena cuaca remang-remang, maka Sin Hong tidak dapat mengenal wajah kedua orang itu.
“Engkau tunggu saja di sini, aku akan membayangi mereka,” bisiknya kepada Yo Han.
Anak ini mengangguk, maklum bahwa kalau dia ikut, hanya akan merepotkan saja dan mungkin akan menggagalkan usaha gurunya yang akan melakukan penyelidikan. Sin Hong berkelebat dan lenyap dari depan muridnya, membuat Yo Han terbelalak kagum.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, mudah saja bagi Sin Hong untuk membayangi dua orang itu sampai dekat tanpa mereka melihat atau pun mendengar gerakannya. Dengan jantung berdebar Sin Hong dapat mengenal seorang di antara mereka, yaitu Phoa Hok Ci, murid kepala Ngo-heng Bu-koan yang paling mendendam kepada Kim-liong-pang itu.
Dari Bhe Kauwsu dia mendengar betapa korban pertama di pihak Ngo-heng Bu-koan adalah seorang murid perempuan dan gadis yang diperkosa lalu dibunuh itu adalah kekasih Hok Ci dan korban terakhlr adalah seorang sute yang paling dekat dengan Hok Ci.
Sekarang dua orang yang menggotong sesosok mayat itu masuk hutan kecil di lereng Kim-liong-pang dan mereka berhenti. Sin Hong cepat menyelinap ke belakang sebatang pohon terdekat. Ia mengintai dan mendengarkan dengan hati-hati karena merasa curiga akan sikap mereka.
“Suheng, kita apakan mayat itu? Kita kubur di sini?” Orang ke dua bertanya dan tahulah Sin Hong bahwa dia seorang murid Ngo-heng Bu-koan pula, adik seperguruannya Phoa Hok Ci.
“Kita kubur di sini? Huh, enaknya! Kita biarkan dia di sini agar besok pagi ada orang Kim-liong-pang yang melihatnya. Tinggalkan saja golokmu itu di tubuhnya, atau biarlah kutusukkan golok itu di tubuh mayat ini!”
Phoa Hok Ci menerima golok dari tangan sute-nya, dan sekali bergerak goloknya itu menancap sampai dalam di dada mayat. Tidak ada darah keluar, tanda bahwa mayat itu sudah sejak tadi tewas.
“Tapi... Suheng, golok itu ada tanda perguruan kita.”
“Bagus, memang itu yang kukehendaki. Biar mereka tahu bahwa putera ketua mereka dibunuh oleh orang-orang Ngo-heng Bu-koan!”
“Aihhh, bagaimana Suheng ini? Bukankah suhu sedang berusaha untuk mengadakan perdamaian dengan pihak Kim-liong-pang? Perbuatan Suheng kali ini akan menambah besar dendam dan permusuhan! Aku tadi sudah sangsi ketika Suheng mengajak aku mengeroyok Ciok Lim, walau pun aku juga tidak suka kepadanya, apa lagi mengingat bahwa dia tersangka utama dalam perkosaan dan pembunuhan sumoi kita.”
Phoa Hok Ci mengambil pedang milik Ciok Lim yang sudah menjadi mayat itu. Pedang itu tadinya masih terselip di sarung pedang yang tergantung di punggung, hal ini saja menunjukkan bahwa pemuda putera ketua Kim-liong-pang ini agaknya dibunuh secara mendadak sehingga dia tidak sempat membela diri.
“Aku memang menghendaki agar kedua belah pihak bermusuhan! Biarlah kedua pihak hancur, kecuali Bhe Siang Cun! Ia seorang yang harus hidup dan menjadi isteriku!”
“Suheng... apa... apa pula maksudmu...?” Orang kedua itu agaknya terkejut bukan main mendengar ucapan Phoa Hok Ci itu.
“Sudah sejak dulu kurindukan Siang Cun, dan kujelaskan niatku memperisteri gadis itu, akan tetapi suhu dengan halus menolak, bahkan lalu hendak menjodohkan aku dengan Cin-sumoi. Aku merasa sangat penasaran, dan lebih sakit hatiku ketika suhu menerima pinangan Ciok Lim ini! Tidak ada jalan lain bagiku kecuali menggagalkan perjodohan itu dan untuk itu, Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan harus menjadi musuh besar yang saling bermusuhan! Aku tidak mencinta Cin-sumoi, cintaku hanya untuk Bhe Siang Cun, maka biarlah Cin-sumoi menjadi korban pertama untuk membuka permusuhan antara kedua pihak, dan aku berhasil... ha-ha-ha, aku berhasil! Apa lagi malam ini, Ciok Lim, telah tewas dan untuk kematian ini, pihak Kim-liong-pang pasti akan membalas dendam dan tiada kekuatan lain di dunia ini yang akan mampu menghapus dendam di antara mereka!”
“Suheng...! Kau... kau gila...!”
“Ha-ha-ha, memang aku gila, tergila-gila kepada Siang Cun dan apa pun yang akan terjadi, ia harus menjadi milikku. Kau dengar, Sute? Ia harus menjadi milikku, aih, Siang Cun jantung hatiku...!”
“Suheng, jadi kalau begitu, Cin-sumoi bukan terbunuh oleh Ciok Lim, melainkan oleh Suheng sendiri? Dan Suheng yang memperkosanya lalu membunuhnya?”
“Hemmm, hanya orang tolol seperti engkau yang tidak mengerti! Aku memperkosa dan membunuhnya agar api kebencian dan permusuhan mulai bernyala...”
“Suheng mencuri topi milik Ciok Lim dan meninggalkannya di dekat mayat Cin-sumoi?”
“Benar!”
“Dan pembunuhan-pembunuhan yang lain itu... pembunuhan terhadap murid perguruan kita yang tidak diakui oleh pihak Kim-liong-pang, kemudian pembunuhan terhadap murid Kim-liong-pang yang tidak kita akui, semua itu adalah perbuatanmu pula?”
“Benar.”
“Dan kematian sute sore tadi... juga engkau yang membunuhnya?”
“Benar!”
“Suheng! Engkau telah gila, dan kenapa... kenapa kau ceritakan semua ini kepadaku? Mengapa engkau berani mengakui semua itu kepadaku?”
“Karena engkau takkan mampu membuka mulut lagi!”
Tiba-tiba pedang di tangan Hok Ci menyambar dan pedang itu telah menembus dada dan jantung murid Ngo-heng Bu-koan itu. Dia roboh terjengkang, matanya terbelalak, mulutnya mengeluarkan suara jerit tertahan dan ia pun tewas seketika, roboh terlentang dengan pedang masih menancap di dadanya dan agaknya memang dibiarkan tinggal di dada itu oleh Hok Ci.
Sin Hong terkejut bukan main dan merasa menyesal. Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa Phoa Hok Ci akan membunuh sute-nya sehingga dia pun tak menyangka sesuatu dan tidak keburu mencegah pembunuhan yang terjadi di depan matanya ini. Tak disangkanya pula bahwa permusuhan hebat antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan itu terjadi karena perbuatan Phoa Hok Ci yang agaknya sudah gila!
Orang ini tergila-gila kepada Bhe Siang Cun. Karena pinangannya ditolak, juga karena besarnya nafsu menguasai dirinya untuk dapat memiliki Siang Cun, dia tak segan-segan melakukan segala perbuatan yang amat kejam.
Dia memperkosa mendiang Bong Siok Cin, sumoi-nya sendiri, lalu membunuhnya, dan di dekat mayat sumoi-nya itu dia meninggalkan topi milik putera ketua Kim-liong-pang yang dicurinya. Ia pun masih memperbesar permusuhan dan dendam antara dua pihak dengan melakukan pembunuhan-pembunuhan lagi, baik terhadap murid Kim-liong-pang yang dibunuhnya, mau pun murid Ngo-heng Bu-koan sendiri!
Dan siang tadi dia membunuh sute-nya yang paling dekat dengan dia, mungkin selain untuk memperbesar dendam, juga karena sute-nya itu mengetahui atau mencium bau akibat perbuatannya yang jahat. Pembunuhan terhadap sute-nya ini dilakukan dengan dua tujuan, pertama supaya sute-nya ini tidak dapat menceritakan hal-hal yang kiranya mencurigakan, dan kedua agar ada bukti bahwa kematian putera ketua Kim-liong-pang adalah karena perbuatan sute itu, murid Ngo-heng Bu-koan! Dia membunuh sute-nya agar kelihatan bahwa mereka berdua itu tewas bersama dalam suatu perkelahian.
Bukan main kaget dan marahnya hati Sin Hong dan diam-diam dia kagum sekali kepada muridnya. Ternyata dugaan Yo Han benar dan tepat! Kemungkinan ketiga itu kini bukan kemungkinan lagi, melainkan sudah menjadi kenyataan! Ada orang ke tiga yang sengaja mengadu domba antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan demi kepentingan diri sendiri! Dan orang itu bukan laan adalah Phoa Hok Ci, murid utama yang dipercaya oleh Bhe Kauwsu.
Satu-satunya kebodohan dan kelemahan manusia adalah membiarkan si aku merajalela dalam diri kita masing-masing. Kalau si aku sudah merajalela dalam diri, menguasai diri sepenuhnya, maka celakalah hidup ini.
Segala mala petaka dan kesengsaraan, bersumber dari si aku ini yang mendorong kita untuk mengejar segala macam kesenangan dengan menggunakan segala macam cara untuk mencapai hasil pengejaran itu. Si aku ini yang mendatangkan loba, tamak, dengki, iri, marah, benci takut dan sebagainya. Si aku mengotori dan merusak batin.
Si aku bagaikan setan yang menjadi raja dalam batin kita masing-masing dan selama setan itu masih bertahta dalam batin maka hidup ini penuh konflik, penuh permusuhan, dendam, kebencian dan karenanya terciptalah rasa takut dan kesengsaraan. Jika setan ini tidak lagi bercokol di dalam batin, maka sinar cinta kasih akan menerangi batin, dan kekuasaan Tuhan sendiri akan memenuhi batin
.Sin Hong cepat meloncat keluar sambil membentak. “Phoa Hok Ci, kiranya engkaulah biang keladi semua permusuhan ini!”
Phoa Hok Ci terkejut bukan main, akan tetapi tangan kirinya bergerak ke arah Sin Hong. Pendekar ini cepat melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari sambaran pasir hitam yang mengandung racun itu! Akan tetapi tiba-tiba tangan kanan murid Ngo-heng Bu-koan itu bergerak dan segera asap hitam bergumpal-gumpal membuat penglihatan Sin Hong tertutup. Pada waktu pendekar ini meloncat lagi ke samping agak jauh dan memandang, ternyata Phoa Hok Ci telah lari jauh sekali!
Sin Hong terkejut. Dia mengenal ilmu dari golongan hitam dan biasanya hanya orang-orang seperti para tokoh Pek-lian-kauw yang memiliki senjata rahasia seperti itu. Bagai mana mungkin seorang murid Ngo-heng Bu-koan dapat menggunakan senjata rahasia dari golongan sesat? Tentu orang itu diam-diam sudah berguru kepada tokoh sesat, pikirnya. Akan tetapi Sin Hong cepat meloncat dan melakukan pengejaran.
Kembali dia terkejut. Kiranya Phoa Hok Ci memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mampu berlari cepat sekali! Sin Hong menemui kesulitan karena cuaca sudah mulai gelap dan ia tidak mengenal lapangan. Tidak seperti Phoa Hok Ci yang agaknya telah hafal benar akan keadaan di wilayah itu sehingga Sin Hong belum juga mampu menyusul orang yang melarikan diri, walau pun dia masih belum kehilangan jejaknya.
Phoa Hok Ci berlari cepat. Dia merasa jeri untuk melawan Sin Hong, karena dia tahu benar betapa lihainya pemuda yang pernah menjadi tamu di Ngo-heng Bu-koan itu. Dan yang amat mengecilkan hatinya adalah semua rahasianya. Ia harus bertindak cepat jika tidak ingin menemui kegagalan dalam akhir rencananya yang sudah berjalan demikian baiknya. Tanpa disadarinya, dia lari melalui dekat tempat di mana Yo Han bersembunyi menanti gurunya.
Yo Han terkejut melihat orang lari berkelebat di dekat tempat persembunyiannya. Dan dia mengenal orang itu sebagai Phoa Hok Ci! Selagi dia bangkit berdiri dan memandang keheranan ke arah larinya orang itu, tiba-tiba saja gurunya telah berada di dekatnya.
“Kau melihat orang yang lari tadi?” tanya gurunya.
“Phoa Hok Ci?”
“Benar! Kau melihat dia?”
“Dia lari ke sana, Suhu!” Yo Han menunjuk ke arah selatan.
“Kau tunggu di sini, aku akan mengejarnya! Dialah orang ke tiga itu!” Berkata demikian, Sin Hong berkelebat dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Yo Han berdiri termangu-mangu. Ternyata dugaannya benar. Dua pihak itu telah diadu domba oleh murid Ngo-heng Bu-koan sendiri. Dia tidak tahu apa sebabnya dan dia merasa menyesal mengapa dia tidak memiliki kepandaian sehingga tidak mampu ikut pula mengejar. Akan tetapi, menanti di situ seorang diri saja juga amat tidak enak, maka dia pun lalu melangkah meninggalkan tempat persembunyiannya, menuju ke selatan, ke arah larinya Phoa Hok Ci yang dikejar suhu-nya.
Oleh karena malam itu gelap, langit hanya dipenuhi bintang-bintang yang mengeluarkan cahaya remang-remang, dan dia sama sekali tak mengenal jalan. Yo Han harus berjalan dengan hati-hati agar jangan sampai terjeblos ke dalam jurang. Dia meraba-raba, akan tetapi terus menuju ke selatan.
Sementara itu, Sin Hong juga menghadapi kesukaran untuk dapat menangkap orang yang dikejarnya. Kegelapan malam dan asingnya tempat itu baginya membuat dia jauh kalah cepat bergerak dibandingkan Phoa Hok Ci, meski kalau mereka berdua berlomba lari cepat, tentu Sin Hong akan menang. Bahkan setelah memasuki sebuah hutan yang keadaannya lebih gelap lagi, dia kehilangan jejak murid Ngo-heng Bu-koan itu.
Akan tetapi tiba-tiba ia melihat dinding putih agak jauh di depan. Agaknya ada bangunan di depan dan kebetulan bangunan itu berada di tempat terbuka sehingga dindingnya dapat nampak keputihan di bawah sinar ribuan bintang di langit. Sin Hong cepat menuju ke dinding putih itu dan tak lama kemudian tibalah dia di depan sebuah kuil!
Sebuah kuil tua di tengah hutan. Siapa tahu orang yang dikejarnya bersembunyi di kuil itu, pikirnya dan dengan tenang namun hati-hati sekali Sin Hong menghampiri kuil dan masuk ke pekarangan kuil itu.
Sebelum ia masuk ke ruangan depan, ia memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sunyi saja di tempat itu, akan tetapi tiba-tiba ia berhenti dan pendengarannya yang amat tajam itu dapat menangkap gerakan lirih di sebelah dalam kuil tua. Kemudian, pada saat ia menunduk sambil mendengarkan, matanya dapat melihat pula beberapa batang kayu kering berserakan.
Ini hanya dapat terjadi, jika ada orang di dalam kuil itu yang mengumpulkan kayu kering dan membawanya ke dalam kuil karena di tempat dia berdiri, yaitu di pekarangan depan kuil itu, tidak ada pohon sehingga ranting kayu itu tentu dibawa orang ke situ.
Dia semakin waspada. Ada orang di dalam kuil, pikirnya, atau kalau suara tadi bukan gerakan orang melainkan tikus atau binatang setidaknya kuil itu pernah didatangi orang dan orang itu mengumpulkan kayu kering untuk membuat api unggun!
Sin Hong melangkah masuk ruangan depan dan hidungnya lalu berkembang kempis. Penciumannya juga sangat tajam dan dia mencium bau hangus, bau api unggun yang baru saja dipadamkan. Mungkin kalau cuaca tidak begitu gelap, akan dapat nampak asapnya.
Dia semakin waspada dan tiba-tiba saja dia melempar tubuh ke samping. Untung dia bergerak cepat karena dari depan dan belakangnya ada pedang dan tombak yang menyambar amat ganas dan cepatnya. Kalau dia tidak melempar tubuh ke samping, satu di antara dua buah senjata itu pasti akan mengenai tubuhnya. Dia menjatuhkan diri dan bergulingan, lalu melompat bangun.
Ketika dia bergulingan tadi, dia sengaja berguling ke luar sehingga kini dia berdiri di pekarangan kembali. Dan dari ruangan depan yang gelap itu berloncatan dua orang. Yang seorang memegang sebatang pedang dan dia itu bukan lain adalah Phoa Hok Ci! Ada pun orang yang memegang tombak adalah seorang kakek yang berumur enam puluh tahun, berambut riap-riapan panjang, mukanya seperti seekor singa, pakaiannya seperti jubah pertapa yang tebal dan matanya mencorong.
“Heh-heh-heh, inikah pendekar muda sombong yang mengancammu itu, Hok Ci?”
“Benar, Suhu, dia berbahaya sekali, dan dia bukan hanya mengancam aku, akan tetapi juga Suhu dan rencana kita akan gagal sama sekali kalau dia dibiarkan hidup lebih lama lagi.”
“Ha-ha-ha, jangan khawatir. Serahkan saja dia padaku, akan kuhabiskan dia sekarang juga!” Kakek bermuka singa itu tertawa sambil menancapkan tombaknya di salah satu dinding. “Kau pasang saja lampu penerangan agar lebih mudah aku membunuh dia!”
Agaknya kakek itu tinggi hati sekali dan dia sudah dapat memastikan bahwa dia akan mampu membunuh pemuda yang mengejar muridnya itu. Bahkan dia berlaku demikian sombongnya untuk menyimpan tombaknya dan menghadapi Sin Hong dengan tangan kosong! Akan tetapi begitu dia menyerang dengan kedua lengan dipentang dan tangan yang berbentuk cakar itu menerkam dari kanan kiri, maklumlah Sin Hong bahwa orang ini sombong bukan hanya lagak belaka, melainkan karena memang dia amat lihai.....
Komentar
Posting Komentar