KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-37


Walau pun puteri mereka tidak mengaku terus terang, suami isteri itu dapat mengerti bahwa Hong Li mencinta Sin Hong dan selalu menanti datangnya pemuda yang masih terhitung susiok-nya itu. Dan karena cintanya itulah maka Hong Li masih belum mau menerima pinangan sekian banyaknya pemuda pilihan.

Dan pada pagi ini, tiba-tiba suami isteri itu menerima sepucuk surat dari Tan Sin Hong, mengabarkan bahwa pemuda itu telah menikah dengan puteri ketua Ngo-heng Bu-koan di kota Lu-jiang. Sesudah membaca surat ini, mereka bersepakat untuk membiarkan puteri mereka membacanya. Dan pada siang hari itu, di depan ayah bundanya, Hong Li membaca surat Sin Hong.

Sin Hong telah menikah dengan wanita lain! Begitu membaca surat itu, dunia rasanya gelap bagi Hong Li dan tanpa dapat ditahannya lagi, air matanya jatuh berderai di atas kedua pipinya setelah ia membaca surat itu. Surat itu terlepas dari tangannya dan ia menubruk ibunya sambil menangis!

Suma Hui lalu merangkul puterinya, juga berlinang air mata. Ia merasa kasihan sekali kepada puterinya. Tanpa sepatah pun kata, kedua orang wanita ini saling berangkulan dan sang ibu tahu benar apa yang dirasakan oleh batin puterinya.

“Sudahlah, anakku. Tenangkan hatimu, tabahkan hatimu. Ada tiga hal dalam hidup ini yang tidak dikuasai oleh manusia, melainkan diatur oleh Thian sendiri, yaitu kelahiran, pernikahan dan kematian. Jika dua orang telah berjodoh, dihalangi bagaimana pun juga akhirnya akan bertemu dan menjadi jodoh. Sebaliknya kalau memang tidak berjodoh, diusahakan bagaimana pun, akan gagal.”

“Akan tetapi... Ibu..., dia... kenapa dia menikah begitu saja... kenapa tidak memberi tahu lebih dulu kepadaku... padahal... dia tahu... bahwa aku... aku mengharapkan dia…”

“Sudahlah Hong Li, seorang gagah tidak membiarkan perasaannya hanyut dalam sesal, kecewa dan duka,” kata Kao Cin Liong dengan sikap tenang. “Agaknya Sin Hong sute merasa bahwa tidak mungkin dia berjodoh dengan murid keponakannya sendiri, maka dia menikah dengan gadis lain. Segala sesuatu sudah terjadi dan tidak perlu disesalkan lagi. Sekarang, kuharap engkau berani menghadapi kenyataan dan pilihlah seorang di antara para peminang yang masih menanti keputusan kita.”

Semangat Hong Li bangkit mendengar ucapan ayahnya. Ia menghapus sisa air matanya dengan ujung baju ibunya, lalu mundur memisahkan diri dari ibunya, duduk di atas kursi memandang kepada ayah bundanya, lalu berkata dengan suara yang tenang.

“Ayah dan Ibu ingin sekali agar aku menikah?”

Suami isteri itu saling pandang dan Suma Hui tersenyum. “Anakku, pertanyaanmu itu sungguh lucu. Engkau adalah anak kami satu-satunya. Engkau adalah seorang anak perempuan dan sekarang engkau telah lebih dari dewasa. Usiamu sudah dua puluh dua tahun. Ayah dan ibu mana yang tidak ingin melihat anak perempuannya menikah?”

“Bagaimana dengan Ayah?” tanya Hong Li sambil memandang ayahnya.

Kao Cin Liong batuk-batuk beberapa kali sebelum menjawab. “Aku setuju sekali dengan pendapat ibumu. Aku sudah ingin menjadi seorang kakek, menimang cucuku, Hong Li.”

Mendengar ucapan ayahnya ini, Hong Li merasa terharu sekali dan ia merasa betapa ia seorang anak yang tidak berbakti, tidak dapat menyenangkan hati orang tuanya.

“Baiklah, Ayah dan Ibu. Sekarang aku akan menurut, akan tetapi aku tak dapat memilih, Ayah, maka harap Ayah dan Ibu yang memilihkan untukku. Aku tidak akan menolak lagi...“ Setelah berkata demikian, Hong Li bangkit, meninggalkan mereka dan memasuki kamarnya lalu melempar tubuhnya di atas pembaringan, menyembunyikan mukanya di balik bantal.

Meski pun hati mereka diliputi keharuan dan iba terhadap puteri mereka, namun ada perasaan gembira bahwa kini Hong Li tidak menolak. Mereka berdua lalu melakukan pemilihan dan akhirnya memilih seorang pemuda bernama Thio Hui Kong, seorang putera jaksa yang tampan dan juga memiliki ilmu silat yang cukup kuat di samping ilmu sastra yang cukup baik.

Thio Hui Kong adalah putera tunggal dari Jaksa Thio dan pembesar ini terkenal sebagai seorang jaksa yang adil dan jujur. Thio Hui Kong itu pun terkenal pula sebagai seorang pemuda yang alim, dan tekun belajar. Kao Cin Liong dan isterinya merasa yakin bahwa mereka tidak salah pilih. Sudah lama Jaksa Thio meminang dan selalu mereka minta waktu dan kini dengan gembira mereka menerima pinangan itu.

Pada waktu diberi tahu oleh ayah ibunya bahwa telah ditemukan seorang calon suami untuknya, Hong Li hanya mengangguk dan tersenyum malu-malu, akan tetapi di dalam hatinya, dia merasa berduka sekali. Akan tetapi, dia menahan perasaannya karena dia harus berbakti kepada orang tuanya. Kalau menurut kehendak hatinya, rasanya ia tidak ingin menikah setelah harapannya terhadap Sin Hong gagal.

Akan tetapi, ia adalah anak tunggal. Jika ia tak dapat menyenangkan hati orang tuanya, berarti dia seorang anak yang tidak berbakti dan hal itu sungguh tidak diinginkannya. Biarlah ia menerima pilihan orang tuanya dan menyerahkan diri kepada nasib.

Pernikahan antara Hong Li dan Thio Hui Kong dirayakan secara meriah oleh keluarga Kao. Maklum, Hong Li adalah anak tunggal dan keadaan orang tuanya memungkinkan untuk merayakan pernikahan itu secara besar-besaran. Selain itu, juga Thio Hui Kong adalah putera dan anak tunggal Jaksa Thio yang terkenal. Tidak mengherankan kalau pesta pernikahan itu dirayakan secara besar-besaran dan banyak tamu diundang untuk menghadiri perayaan itu.

Di antara para tamu, datang pula Tan Sin Hong bersama isterinya. Yo Han tidak diajak walau pun di dalam hatinya, Yo Han ingin sekali menghadiri pesta pernikahan Hong Li yang sudah dikenalnya dengan baik itu.

Berdebar juga rasa jantung di dalam dada Sin Hong pada saat dia bersama isterinya memasuki ruangan pesta dengan para tamu lainnya, disambut oleh Kao Cin Liong dan isterinya yang duduk di panggung sebagai tuan rumah, tidak begitu jauh dengan tempat duduk sepasang mempelai yang berada di tengah panggung.

Kao Cin Liong dan isterinya hanya dapat menyambut Sin Hong dan isterinya dengan singkat saja karena banyaknya tamu yang berbondong-bondong datang bersamaan waktunya dengan Sin Hong. Mereka dipersilakan untuk duduk di ruangan tamu yang sudah disediakan, di depan panggung di mana terdapat ratusan buah kursi. Lebih dari separuh ruangan itu telah penuh tamu.

Akan tetapi, Sin Hong tidak langsung duduk di ruangan tamu, melainkan mengajak isterinya untuk menghampiri sepasang mempelai dan memberi selamat. Dia tak merasa kikuk karena bukankah dia masih termasuk keluarga, walau pun hanya sute dari tuan rumah? Dia sudah memberi penjelasan kepada isterinya siapa keluarga Kao dan tentu saja dia tak pernah menyinggung soal hubungan batin antara dia dan mempelai wanita kepada isterinya.

Dari jauh Sin Hong dapat melihat betapa Hong Li nampak cantik jelita dalam pakaian mempelai, namun wajah Hong Li kelihatan lesu dan tidak membayangkan kegembiraan. Di sampingnya duduk mempelai pria dan di dalam hatinya, Sin Hong bersyukur melihat betapa gagah dan tampannya mempelai pria itu. Syukurlah, Hong Li telah memperoleh seorang jodoh yang memang pantas untuk mendampinginya selama hidup, pikirnya sambil mengajak isterinya melangkah maju perlahan-lahan menghampiri tempat duduk sepasang mempelai.

“Nona Kao Hong Li, kami mengucapkan selamat atas pernikahanmu, semoga kalian mempelai berdua hidup berbahagia,” berkata Sin Hong yang mengajak isterinya untuk mengangkat tangan ke depan dada memberi hormat.

Hong Li memandang dan mata mempelai wanita itu terbelalak ketika ia mengenal Sin Hong. Bedak tebal yang menutupi wajahnya masih dapat menyembunyikan perubahan mukanya yang langsung berubah menjadi pucat sekali.

“Kau... kau… Susiok...,“ katanya berbisik. “Dan ini isteri Susiok...?”

Sin Hong mengangguk dan tersenyum. “Benar, ini adalah isteriku.”

Hong Li menoleh kepada suaminya dan memperkenalkan. “Ini Susiok Tan Sin Hong dan isterinya, dari kota Lu-jiang.”

Tadinya Thio Hui Kong mengerutkan alisnya, tetapi ketika mendengar bahwa sepasang orang muda yang memberi selamat kepada isterinya ini adalah susiok (paman guru) isterinya, kerut di alisnya lenyap dan dia pun cepat membalas pemberian selamat itu sambil tersenyum. Sin Hong kemudian menggandeng tangan isterinya, diajaknya pergi meninggalkan sepasang mempelai untuk turut duduk di ruangan yang sudah disediakan untuk para tamu.

Akan tetapi, baru beberapa langkah saja Sin Hong dan isterinya meninggalkan tempat itu, terdengar Hong Li mengeluh lalu disusul suara ribut-ribut dari para wanita yang mengerumuni sepasang pengantin untuk melayani mereka. Ternyata pengantin wanita telah roboh pingsan dalam kursinya!

Tentu saja keadaan menjadi agak sibuk. Kao Cin Liong dan isterinya cepat menghampiri puteri mereka dan setelah memeriksanya, Kao Cin Liong berkata kepada para tamu yang mendekat bahwa puterinya terlalu lelah, kurang tidur dan perutnya kosong selama dua hari ini sehingga masuk angin!

Pengantin wanita lalu dipondong masuk ke dalam oleh suaminya dan pesta dilanjutkan tanpa adanya sepasang mempelai. Keluarga tuan rumah tetap melayani tamu dan memang Kao Cin Liong dan isterinya tidak mengkhawatirkan keadaan puteri mereka walau pun mereka saling pandang dan maklum bahwa kehadiran Sin Hong itulah yang membuat puteri mereka mengalami guncangan batin dan menjadi pingsan!

Sementara itu, Sin Hong yang merasa berduka sekali melihat Hong Li roboh pingsan, hal yang menjadi pertanyaan besar di dalam hatinya, mengajak isterinya ke ruangan yang disediakan untuk para tamu. Diam-diam dia merasa khawatir sekali.

Hong Li adalah seorang gadis yang keras hati dan tabah, juga gagah perkasa sehingga tidak mudah sakit, apa lagi masuk angin! Tentu ada sesuatu yang menyebabkan gadis itu pingsan, dan dia merasa khawatir sekali karena gadis itu pingsan setelah bertemu dengan dia! Agaknya Bhe Siang Cun juga menduga akan hal ini dan isteri itu cemberut, alisnya berkerut dan terasa betapa tangan dan lengannya kaku ketika digandengnya menuju ke ruangan tamu.

“Hemmm, kiranya ada apa-apa antara paman dan keponakan! Bagus, ya?” kata Siang Cun dengan suara berbisik, namun dalam suara itu terkandung penyesalan besar.

“Hushhh, jangan menyangka yang bukan-bukan!” balas Sin Hong, juga berbisik, akan tetapi dia merasa betapa jurang antara dia dan isterinya menjadi semakin lebar dan kini agaknya tidak ditutupi lagi dengan kepura-puraan yang manis dan mesra. Isterinya jelas memperlihatkan kekurang senangan hatinya dengan muka merengut dan pandang mata marah, juga kini isterinya melepaskan tangannya yang digandeng!

“Cun Sumoi...!” Tiba-tiba terdengar seruan seorang pria di antara para tamu.

Siang Cun menoleh dan seketika wajah yang merengut tadi menjadi cerah, berseri dan senyumnya manis sekali ketika dia mengenal pria muda yang menegurnya itu. Pria itu adalah seorang di antara para suheng-nya, murid ayahnya yang sudah beberapa tahun meninggalkan perguruan.

Suheng-nya itu bernama Ciang Kun, dan ketika ia berusia lima belas tahun, antara ia dan suheng-nya itu terjalin semacam cinta monyet atau cinta antara dua orang remaja. Cinta itu terputus ketika Ciang Kun meninggalkan perguruan dan orang tuanya pindah dari kota Lu-jiang ke kota raja. Tak disangkanya di tempat ini ia akan berjumpa dengan suheng-nya yang pernah disayangnya dan pernah dirindukannya itu.

“Kun-suheng... ! Kau di sini? Mana isterimu?” tanya Siang Cun sambil memandang dan kedua pipinya berubah kemerahan.

Pemuda yang jangkung dan tampan itu tersenyum lalu menggelengkan kepalanya dan menggoyang tangan kanan, tanda bahwa dia belum menikah. Karena banyak di antara para tamu memandang kepada mereka, tentu saja mereka tidak dapat leluasa bicara.

“Kun-suheng, datanglah ke Lu-jiang, kami semua sudah rindu padamu!”

Ciang Kun mengangguk. “Baik, aku akan datang berkunjung.”

Percakapan itu hanya sampai di situ saja. Mereka harus berpisah sebab terpaksa Siang Cun bersama suaminya mencari tempat kosong di ruangan yang disediakan untuk para tamu yang berpasangan, yaitu suami isteri yang datang berdua. Ada tiga ruangan untuk para tamu, yaitu bagian pria, bagian wanita, dan bagian untuk para tamu yang datang bersama isteri atau suami mereka.

Siang Cun memilih meja yang masih kosong. Meja itu dikelilingi delapan buah bangku dan belum ada seorang pun tamu yang duduk di situ. Kesempatan duduk berdua ini digunakan oleh Siang Cun untuk melampiaskan kedongkolan hatinya.

Mereka saling berpandangan, duduk bersanding menghadapi meja bundar. Tak seorang pun di antara mereka bicara, hanya pandang mata mereka seperti saling menjenguk isi hati mereka.

Kemudian Siang Cun lebih dulu berkata, “Engkau tidak bertanya siapa pria muda yang menegurku tadi?” Ia sengaja memancing pertengkaran.

Akan tetapi Sin Hong merasa malu kalau harus bertengkar dengan isterinya di tempat pesta itu. Dia tersenyum dan menjawab halus, “Tanpa bertanya pun aku sudah dapat menduga bahwa dia tentulah salah seorang suheng-mu yang sudah lama tak bertemu denganmu.”

Mendengar suara suaminya yang lembut dan sikapnya yang tenang, agak berkurang kemarahan Siang Cun yang bangkit karena cemburu itu. “Dia seorang suheng-ku yang terpandai dan sudah empat atau lima tahun kami tidak saling berjumpa. Aku gembira sekali dapat bertemu dengan dia di sini! Ketika kita menikah, ayah tidak dapat mengirim undangan karena tidak tahu di mana dia tinggal.”

Sin Hong tetap tersenyum dan mengangguk. Bagi dia, pertemuan itu sudah sewajarnya kalau mendatangkan kegembiraan. Dia masih merasa terharu dan tegang mengenang Hong Li yang roboh pingsan tadi. Pikirannya penuh dengan itu sehingga dia hampir tak memperhatikan keadaan isterinya dan pertemuan antara isterinya dan suheng isterinya itu pun dilupakannya lagi.

Saat melihat suaminya termenung, Siang Cun segera berkata, “Sebaliknya, pertemuan dengan murid keponakanmu yang menjadi pengantin itu agaknya sudah menimbulkan kenangan pahit sehingga dia sampai roboh pingsan. Sebenarnya, ada apakah antara kalian?”

“Tidak ada apa-apa,” berkata Sin Hong sambil menggelengkan kepalanya dengan wajah diliputi kedukaan.

“Tidak mungkin! Tentu ada hubungan yang istimewa, kalau tidak begitu, tak mungkin ia jatuh pingsan begitu bertemu dan bicara denganmu!” kata Siang Cun yang meninggikan suaranya sehingga beberapa buah kepala menoleh ke arah mereka.

Sin Hong mengerutkan alisnya, berbisik, “Tenanglah, di sini bukan tempat untuk ribut-ribut. Nanti saja kita bicara tentang itu dan aku akan menerangkan segalanya.”

Siang Cun mengangguk, akan tetapi selanjutnya ia bersungut-sungut. Meja itu dipenuhi para tamu yang berdatangan dan mereka pun mulai pesta makan minum hidangan yang disuguhkan.

Setelah pesta berakhir, para tamu bubaran dan Sin Hong bersama isterinya juga lalu berpamit dari tuan rumah. Ketika mereka berkesempatan untuk minta diri dari Kao Cin Liong dan Suma Hui, Sin Hong merasa sepatutnya kalau dia bertanya tentang keadaan Hong Li.

“Suheng, bagaimana dengan kesehatan puterimu? Kuharap dia sudah sehat kembali, Suheng.”

Kao Cin Liong memandang pada sute-nya dengan alis berkerut. Ia tidak menyalahkan sute-nya ini, akan tetapi hanya menyesali pertemuan antara puterinya itu dengan Sin Hong yang mengakibatkan puterinya mengalami guncangan batin.

“Ia sudah sehat kembali, terima kasih, Sute.”

Dalam perjalanan pulang ke Lu-jiang, barulah Siang Cun mendapat kesempatan untuk menuntut agar suaminya suka bicara terus terang mengenai hubungannya dengan Kao Hong Li. Sin Hong menarik napas panjang.

Sebetulnya, urusannya dengan Hong Li adalah urusan yang hanya dia ketahui sendiri saja, mengenai perasaan batin antara mereka dan tidak akan diceritakan kepada siapa pun juga. Akan tetapi, tak disangkanya bahwa kehadirannya dalam pesta pernikahan Hong Li itu membuat Hong Li menderita dan isterinya menjadi curiga dan cemburu. Kalau dia tidak bicara terus terang, tentu hubungannya dengan isterinya akan menjadi semakin buruk.

“Sesungguhnya, sama sekali tidak ada apa-apa di antara kami yang perlu dicurigai,” katanya, mencoba untuk membantah.

“Tidak perlu berbohong. Aku adalah seorang wanita dan aku tahu apa yang telah terjadi. Begitu bertemu denganmu, ia menderita guncangan hebat. Biar pun mukanya tertutup bedak tebal sehingga tidak nampak, aku tahu bahwa dia menjadi terkejut, pucat dan matanya membayangkan kedukaan yang amat mendalam. Suaranya juga menjadi lain, menggetar penuh keharuan. Tidak perlu membohongi aku lagi, ada hubungan. istimewa apakah antara kalian?”

“Baiklah, Siang Cun, kalau memang engkau ingin sekali mengetahui, aku pun akan berterus terang saja. Memang tidak dapat kusangkal bahwa dahulu ada pertalian batin antara kami. Kami saling mencinta walau pun kami tidak pernah menyatakan hal itu dengan kata-kata. Ketahuilah bahwa Hong Li adalah putera suheng-ku, oleh karena itu kami mengetahui bahwa tidak mungkin menjadi suami isteri. Karena itu, maka aku lalu pergi meninggalkannya, merantau bersama muridku dan aku tiba di Lu-jiang, lalu terlibat dalam urusan antara Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang. Sungguh mati, tidak ada hubungan yang buruk dan cemar di antara kami.”

Siang Cun mendengarkan dengan muka yang berubah agak pucat. “Jadi... jadi itukah sebabnya?” katanya, seperti kepada diri sendiri.

“Apa maksudmu? Sebab apa?”

“Jadi selama ini, hatimu telah dimiliki orang lain, engkau selama ini tak pernah berhenti mencintanya? Ahhh, kalau saja aku tahu...,“ Siang Cun mulai menangis. “Pantas kau... kau yang menjadi suamiku tidak pernah mencintaku...!”

Sin Hong terkejut dan menyentuh lengan isterinya. “Jangan bicara seperti itu, isteriku. Apakah selama menjadi suamimu aku pernah menyakiti hatimu? Bukankan aku selalu berusaha untuk menjadi seorang suami yang baik? Aku selalu setia, aku membantu pekerjaan ayahmu, aku tidak pernah bersikap kasar padamu, aku...“

“Aku tahu! Akan tetapi semua itu palsu, hanya pura-pura. Keramahan dan kemesraan yang dibuat-buat. Palsu! Engkau tidak pernah cinta padaku!” Siang Cun menangis dan merebahkan kepalanya di atas meja dalam kamar hotel itu, menyembunyikan muka di dalam lingkaran lengannya.

Sin Hong memandang kepala isterinya itu dengan bingung. Dia seorang laki-laki yang belum berpengalaman sehingga dia tidak dapat menyelami hati wanita, tidak mengenal watak wanita pada umumnya.

Wanita selalu haus kasih sayang dari orang lain, terutama kasih sayang pria. Tidak ada kepedihan hati yang lebih hebat bagi seorang wanita dari pada merasa tidak dicinta pria! Apa lagi bagi seorang isteri! Yang didambakannya hanyalah kasih sayang suaminya, kasih sayang yang kadang-kadang harus diperlihatkan melalui pemanjaan!

“Jika memang tak pernah cinta kepadaku, kenapa engkau dulu suka menjadi suamiku? Ahh, engkau hanya ingin menyiksa hatiku, ingin membuat aku sengsara!” Kembali Siang Cun berkata sambil menangis. Sin Hong menjadi semakin penasaran ketika masa lalu itu diungkit-ungkit.

“Siang Cun, engkau sungguh bersikap tidak adil sama sekali!” katanya dan walau pun suaranya masih lembut dan tenang, namun hatinya mulai panas. “Lupakah engkau akan keadaanmu dulu? Engkau hendak membunuh diri jika tidak kuperisteri, karena merasa malu dan untuk menghapus aib aku harus menjadi suamimu. Aku kasihan kepadamu, kepada orang tuamu, dan aku melihat engkau adalah seorang calon isteri yang baik, aku melihat Ngo-heng Bu-koan sebuah tempat dan lingkungan yang baik untuk muridku. Karena itu aku menerima usul ayahmu dan aku menjadi suamimu. Aku sudah berusaha untuk memupuk cinta kasih antara kita. Akan tetapi bagaimana mungkin berhasil kalau dari pihakmu tidak ada bantuan? Engkau sendiri tidak cinta padaku, Siang Cun.”

Tiba-tiba wanita itu mengangkat mukanya dan muka itu basah air mata, kedua matanya merah. “Tidak cinta kau bilang? Aku sudah menyerahkan kehormatanku, seluruh diriku, melayanimu tanpa mengeluh, dan kau masih bilang aku tidak cinta kepadamu?” Siang Cun menangis lagi dan Sin Hong termenung.

Jadi begitukah pendapat isterinya? Karena sudah menyerahkan diri kepadanya, sudah melayaninya, itukah bukti bahwa isterinya mencintanya? Dia sama sekali tidak pernah merasakan kasih sayang isterinya melalui penyerahan diri itu.

Isterinya melakukan hal itu hanya untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri terhadap suami, lain tidak. Tak ada kasih sayang terkandung dalam pandang matanya, dalam suaranya, atau dalam sentuhan tangannya.

Agar tidak mendatangkan percekcokan dan pertengkaran yang lebih jauh, dia pun diam saja. Selanjutnya perjalanan pulang itu dilakukan tanpa kata-kata antara mereka, hanya bicara kalau perlu saja dan selebihnya hanya gelengan atau anggukan!

Setelah mereka berdua tiba di Lu-jiang, mulai saat itu terdapat suatu keretakan atau kerenggangan di antara mereka. Mulailah keduanya merasa tersiksa. Terjadi semacam perang dingin di antara mereka, tidak saling menegur dan hanya bicara seperlunya saja. Tidur pun mereka saling membelakangi, bahkan akhirnya karena tak tahan menghadapi keadaan seperti itu, Sin Hong tidur di atas lantai, membiarkan isterinya tidur sendiri di atas pembaringan mereka.

Akan tetapi di luar kamar, terutama di depan Bhe Gun Ek dan isterinya, suami isteri ini memaksa diri bersandiwara dan bersikap biasa saja. Biar pun demikian, Bhe Kauwsu dan isterinya dapat melihat perubahan sikap mereka dan menduga bahwa tentu ada sesuatu yang mengganggu keakraban puteri dan mantu mereka itu.

Kunjungan Ciang Kun, bekas murid Bhe Kauwsu, mendatangkan kegembiraan pada diri Siang Cun. Wanita muda ini menyambut suheng-nya dengan sikap gembira dan akrab sekali, dan sebaliknya Ciang Kun juga jelas memancarkan sinar kasih sayang dan birahi dalam pandang matanya terhadap sumoi-nya itu.

Hal ini nampak jelas oleh Sin Hong, akan tetapi dia diam saja dan pura-pura tidak tahu akan hal ini, bersikap wajar terhadap Ciang Kun. Akan tetapi, kunjungan Ciang Kun ini makin memperlebar jurang pemisah antara suami isteri muda yang belum ada setahun menjadi suami isteri itu, dan membuat Sin Hong makin sering melamun seorang diri.

“Suhu, kenapa Suhu kelihatan berduka selalu selama beberapa hari ini? Apa lagi sejak Suhu pulang dari menghadiri pernikahan enci Hong Li, Suhu nampak semakin berduka saja dan banyak melamun. Ada urusan apakah, Suhu?”

Sin Hong memaksa diri tersenyum. Ia tak heran melihat ketajaman mata muridnya dan keberanian muridnya bertanya kepadanya. Muridnya ini memang lebih pantas menjadi adiknya atau keluarga yang amat dekat, yang amat sayang kepadanya, juga amat setia dan berbakti.

“Tidak ada apa-apa, Yo Han. Ini urusan orang dewasa, keberi tahu pun engkau tidak akan mengerti.”

Anak itu mengamati wajah gurunya beberapa lamanya. Dia sangat hafal akan wajah gurunya yang selalu diterangi kelembutan itu, maka dia melihat perubahan yang amat besar pada wajah itu. Kini gurunya nampak seperti orang yang berduka, ada garis-garis di sekeliling kedua matanya dan kerut merut di antara kedua alisnya. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada gurunya.

“Suhu, apakah ada sesuatu yang buruk antara Suhu dan Subo?”

Sin Hong terkejut sekali dan dengan alis berkerut dia memandang muridnya. “Yo Han! Omongan apa yang kau keluarkan itu? Jangan sembarangan bicara kau! Berani kau mengatakan begitu tentang subo-mu (ibu gurumu)?” Biar pun berlawanan dengan suara hatinya, Sin Hong terpaksa membentak dan menegur muridnya karena sikapnya ini memang sudah sepatutnya dan Yo Han terlalu berani bicara.

“Suhu, teecu tidak bicara ngawur atau sembarangan saja, melainkan dengan alasan kuat, dan teecu bukan sekedar ingin tahu, melainkan teecu ingin sedapat mungkin membantu Suhu mengatasi kedukaan Suhu. Tadi Suhu mengatakan bahwa urusan itu adalah urusan orang dewasa, berarti Suhu mempunyai masalah dengan mertua atau dengan isteri. Tetapi mengingat bahwa Suhu baru saja pergi ke undangan pernikahan puteri supek di Pao-teng bersama Subo, dan mengingat pula akan hubungan cinta antara Suhu dan enci Hong Li dahulu, maka teecu menduga bahwa tentu ada sesuatu yang buruk terjadi antara Suhu dan Subo. Suhu adalah seorang yang bijaksana dan gagah, mengapa Suhu harus tenggelam dalam kedukaan dan tidak bertindak mengatasi semua masalah sehingga beres?”

Sin Hong diam-diam terkejut dan juga kagum. Muridnya ini memang memiliki kecerdikan yang luar biasa dan jalan pikirannya sudah demikian dewasa. Apakah hal ini karena gemblengan keadaan hidupnya yang penuh derita, ataukah memang pembawaan yang dibawa semenjak lahir, dia tidak tahu. Dia menarik napas panjang, tidak jadi marah mengingat bahwa kelancangan muridnya ini terdorong oleh rasa cintanya kepadanya, keinginannya untuk membantu.

“Sudahlah, Yo Han. Urusanku ini tidak dapat kuceritakan kepada siapa pun juga, apa lagi kepada engkau yang masih kecil. Engkau takkan dapat membantu, tak seorang pun di dunia ini akan dapat membantu. Hanya Thian saja yang akan dapat menjernihkan persoalan ini. Sudah, jangan ganggu aku lebih lama lagi. Pergilah berlatih, bukankah engkau mengalami kesulitan dengan jurus kedua belas dari Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) itu? Latihlah lagi dengan tekun, akan tetapi di dalam kamarmu, jangan perlihatkan kepada murid Ngo-heng Bu-koan yang lain.”

“Baik, Suhu, dan maafkan teecu. Akan tetapi ada satu pertanyaan lain mengenai latihan ini. Suhu mengajarkan Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun kepada teecu, akan tetapi kenapa tidak kepada para murid lain?”

Sin Hong tersenyum. “Yo Han, engkaulah satu-satunya muridku, oleh karena itu engkau berhak mempelajari ilmu-ilmu yang kudapatkan dari para penghuni Istana Gurun Pasir. Murid-murid Ngo-heng Bu-koan tentu saja hanya mempelajari ilmu silat yang diajarkan di perguruan ini oleh ayah mertuaku, dan aku hanya sekedar membantu mereka dalam memperbaiki gerakan mereka saja.”

“Terima kasih, Suhu, sekarang teecu mengerti. Dan maafkan kelancangan teecu tadi, sesungguhnya teecu hanya ikut merasa prihatin dan ingin sekali membantu.”

“Aku mengerti, sudahlah, kau berlatih sana Yo Han!” kata Sin Hong sambil mengangguk dan tersenyum.

Perih hati Yo Han melihat senyum suhu-nya itu. Tidak begitu senyum suhu-nya dahulu. Dulu suhu-nya kalau tersenyum, bebas lepas dan memancarkan kebahagiaan hatinya. Kini, senyum itu pahit dan seperti di luar saja, menutupi sesuatu yang menyedihkan, senyum hiburan saja.

Yo Han merasa penasaran sekali. Ia dapat menduga bahwa tentu ada ‘apa-apa’ antara suhu-nya dan subo-nya. Ia seorang anak yang cerdik sekali. Ia pun melihat kedatangan Ciang Kun yang disambut demikian gembira oleh subo-nya.

Sebagai seorang anak yang cerdik dan amat disukai oleh para murid lain di Ngo-heng Bu-koan, akhirnya Yo Han dapat mengorek keterangan bahwa Ciang Kun adalah murid Ngo-heng Bu-koan yang sudah beberapa tahun meninggalkan perguruan dan pindah ke kota raja, dan terutama sekali keterangan bahwa antara Ciang Kun dan subo-nya itu pernah terjalin hubungan cinta pada saat keduanya masih remaja! Inikah masalah yang menyedihkan hati gurunya?

Akan tetapi, gurunya itu sudah berduka dan berubah lama sebelum Ciang Kun muncul! Bagaimana pun juga, dia merasa amat penasaran dan karena dia merasa yakin bahwa kedukaan gurunya itu karena ada sesuatu dengan isteri gurunya, maka dia pun ingin menyelidiki keadaan subo-nya! Hanya itulah yang dapat dia lakukan dalam usahanya membantu gurunya. Dia akan menyelidiki subo-nya, mendekati subo-nya dan kalau mungkin memancing keterangan dari subo-nya!

Pada suatu malam yang sunyi. Sejak siang tadi, gurunya pergi dan kepada semua keluarga berpamit hendak pergi berburu ke dalam hutan di sebelah barat karena banyak penduduk di lembah Yang-ce sekitar hutan itu yang mengeluh akan adanya gangguan harimau yang mengganas sampai ke dusun-dusun. Mendengar ini, Sin Hong lalu pergi untuk berburu harimau yang mengganggu penduduk itu, yang kabarnya bahkan sudah membunuh tiga orang penduduk dusun.

Dia tidak mengajak Yo Han karena maklum bahwa dalam perburuan ini terdapat bahaya besar bagi orang yang belum memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Yo Han berlatih silat di kamarnya, kemudian setelah sunyi dia meninggalkan kamarnya dan berindap pergi ke dalam taman. Dia bermaksud untuk berlatih di dalam taman itu yang hawanya sejuk dan malam itu malam terang bulan.

Akan tetapi ia harus berhati-hati, keluar dari kamarnya dengan sembunyi-sembunyi agar jangan terlihat oleh murid lain. Tentu gurunya akan ditegur oleh para murid lain kalau mereka melihat dia berlatih dalam ilmu silat yang asing, dan mungkin para murid itu lalu menuntut kepada gurunya untuk mengajarkan ilmu silat itu pula.

Yo Han menyelinap di antara pohon-pohon sehingga akhirnya dia tiba di tengah taman di mana terdapat sepetak rumput yang amat enak untuk dipakai sebagai tempat berlatih silat. Akan tetapi, baru saja dia hendak mulai berlatih, tiba-tiba dia meloncat dan sekali bergerak dia sudah menyusup dan mendekam di balik semak-semak. Dia mendengar suara orang! Karena terkejut, takut kalau latihannya kepergok, maka dia menyusup dan bersembunyi ke balik semak-semak itu.

Muncullah dua orang yang membuat jantung dalam dada Yo Han berdebar tidak karuan saking tegangnya. Subo-nya jalan berdampingan dengan Ciang Kun, suheng-nya yang pernah dilihatnya beberapa hari yang lalu itu. Menurut keterangan yang diperolehnya, Ciang Kun yang telah sepekan berada di Lu-jiang, tinggal di rumah seorang pamannya. Sungguh janggal sekali melihat subo-nya berjalan-jalan di dalam taman bersama Ciang Kun, berdua saja pada saat suhu-nya tidak berada di rumah!

Keduanya tiba di tengah taman yang sunyi itu dan Yo Han melihat mereka duduk berdampingan di atas bangku panjang yang terdapat di situ, tidak jauh dari tempat dia bersembunyi sehingga bukan saja dia dapat melihat mereka di bawah sinar bulan, juga dapat mendengar percakapan mereka dengan jelas!

“Suheng, janganlah terlalu menyalahkan aku kalau aku menikah dengan orang lain. Bukan sekali-kali aku telah melupakanmu, Suheng, ahh, bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu. Aku menikah dengan dia hanya karena aku harus mencuci aib dan malu akibat perbuatan si jahanam Phoa Hok Ci.”

“Tapi, Sumoi, apakah engkau sekarang berbahagia dengan dia?”

Siang Cun menundukkan mukanya dan menggeleng, “Sama sekali tidak. Dia tidak cinta padaku, Suheng, dia mencinta wanita lain yang kini menikah dengan orang lain.”

“Ahh, mengapa begitu? Cun-sumoi, engkau tahu bahwa selama ini aku tidak pernah melupakanmu. Aku tetap cinta padamu, Sumoi...“

“Aku... aku juga, Suheng...“

Dengan mata terbelalak Yo Han yang mengintai melihat betapa subo-nya kini dirangkul oleh Ciang Kun dan mereka berpelukan, dan berciuman! Agaknya keduanya demikian bergelora dibakar oleh nafsu birahi sehingga gairah yang memuncak itu membuat kedua orang itu seperti terguling dari atas bangku dan mereka masih terus berpelukan di atas rumput!

Yo Han sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan menghampiri mereka yang masih bergelut di atas rumput.

“Subo...!”

Akan tetapi, dua orang yang sedang terbakar oleh nafsu birahi itu, tidak mendengar suara ini dan mereka masih saling berciuman dan bergulingan di atas rumput seperti dua ekor ular bergelut.

“Subo...!” Yo Han berteriak lebih nyaring lagi.

Sekali ini mereka berdua terkejut. Cepat keduanya meloncat bangkit dan berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Yo Han. Rambut Siang Cun kusut, pakaiannya juga lusuh dan mukanya agak pucat, napasnya masih terengah-engah.

“Yo Han...! Kau... kau… kenapa kau bisa ada di sini...?!” bentaknya untuk memulihkan ketenangannya karena ia merasa terkejut bukan main melihat anak itu tiba-tiba berada di situ dan jelas bahwa anak itu telah melihat perbuatannya bersama Ciang Kun tadi.

Akan tetapi, Yo Han tak gentar ketika dibentak oleh subo-nya. Dia terlalu marah melihat perbuatan subo-nya tadi. Meski dia masih kecil, namun dia tahu apa artinya perbuatan subo-nya tadi. Subo-nya telah menyeleweng! Subo-nya telah bermain cinta dengan pria lain, telah mengkhianati suami sendiri!

Tahulah dia kini mengapa suhu-nya selalu berduka. Kiranya subo-nya ini tidak cinta kepada suhu-nya, dan agaknya subo-nya tahu bahwa suhu-nya dahulu mencinta wanita lain, yaitu Kao Hong Li. Dan kini subo-nya dengan berani sekali telah mencemarkan kesucian rumah tangganya sendiri. Ini berarti suatu penghinaan besar bagi gurunya!

“Subo! Apa yang sedang Subo lakukan ini? Sungguh tidak tahu malu sekali! Subo telah mengkhianati suhu! Subo telah menghina suhu-ku!”

“Tutup mulut, keparat!” Siang Cun membentak marah, juga malu karena merasa dimaki oleh anak kecil itu.

Sementara itu, Ciang Kun melangkah maju dan menghardik Yo Han. “Engkau ini anak kecil tahu apa? Hayo pergi atau akan kupukul kepalamu!”

Melihat sikap ini, Yo Han menjadi semakin marah. “Ciang Kun, engkaulah yang perlu dipukul setengah mati! Engkau tahu, Subo adalah isteri suhu, dan engkau sudah berani mengganggunya, berani menggodanya! Engkau ini lelaki macam apa? Tidak tahu malu, merusak kerukunan rumah tangga orang! Engkau sudah menghina suhu dan engkau layak dihajar!”

“Keparat, bocah bermulut busuk!” Ciang Kun membentak.

Siang Cun yang khawatir kalau Yo Han akan membuat ribut, lalu melanjutkan, “Yo Han, sudahlah engkau anak kecil yang tidak tahu urusan. Ini adalah urusanku sendiri. Engkau jangan ribut dan jangan menceritakan kepada siapa saja, nanti kuberi hadiah.”

Yo Han menjadi semakin marah. Janji hadiah asal dia menutup mulut itu merupakan hinaan besar sekali baginya.

“Subo, aku tidak akan tinggal diam. Akan kuberi tahukan kepada Bhe Kauwsu. Akan kuberi tahukan kepada siapa saja perbuatan kalian yang tidak tahu malu ini!” Yo Han terengah-engah, dadanya naik turun saking marahnya. Kemarahan yang timbul karena duka dan prihatin melihat nasib gurunya yang dikhianati isteri sendiri!

“Bocah gila! Ketahuilah, kami sudah saling mencinta sebelum gurumu datang ke sini!” bentak Ciang Kun.

“Manusia tak tahu malu! Tapi Subo kini telah menjadi isteri orang, menjadi isteri suhu! Butakah matamu, tulikah telingamu?”

“Anak jahat, engkau bermulut busuk, layak dihajar!” kata Ciang Kun dan dia sudah melangkah maju dan mengirim tendangan ke arah Yo Han.

Tendangan itu cukup keras dan kalau mengenai tubuh Yo Han, tentu akan membuat anak itu terpelanting dan menderita luka yang cukup parah. Akan tetapi, tidak percuma selama ini Yo Han mempelajari ilmu silat dari gurunya dengan tekun. Sambaran kaki itu dapat dielakkannya dengan mudah, dengan miringkan tubuh dan menggeser kaki ke kanan.

Melihat ini, Ciang Kun menjadi semakin penasaran dan marah. Dia bukan saja murid tingkat pertama dari Bhe Kauwsu, akan tetapi juga selama beberapa tahun ini di kota raja, dia telah memperdalam ilmu silatnya dari guru-guru yang lebih pandai lagi. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, ia menyerang lagi, kini dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala Yo Han, sedangkan tangan kirinya mencengkeram pundak.

Serangan ini cepat dan kuat sekali. Namun, Yo Han sudah siap dengan gerakan ilmu silat Pat-mo Sin-kun yang sedang dipelajarinya. Karena setiap hari berlatih ilmu ini, otomatis ketika menghadapi serangan, dia pun langsung saja menggerakkan tubuhnya sesuai dengan ilmu silat yang dipelajarinya ini.

Kembali kedua kakinya bergeser sambil melangkah mundur dan ketika kedua tangan lawan sudah menyambar luput, dia pun maju dan membalas dengan pukulan ke arah perut orang! Menurut ilmu silat itu, pukulan ini ditujukan ke arah ulu hati lawan, akan tetapi karena tubuh lawan jauh lebih jangkung, Yo Han yang memukul dengan gerakan lurus ke depan itu menyerang perut.

Ciang Kun menggerakkan tangan hendak menangkap lengan anak yang memukul itu. Akan tetapi Yo Han sudah menarik kembali pukulannya dan ini sesuai dengan jurus itu, dan tiba-tiba sekali tubuhnya sudah membuat gerakan memutar ke sebelah kiri lawan dan begitu kakinya bergerak, dia sudah menendang ke arah sambungan lutut.

“Dukkk!”

Lutut Ciang Kun kena ditendang. Tetapi Ciang Kun memiliki kekebalan dan tendangan Yo Han tentu saja kurang kuat maka tendangan itu hanya membuat Ciang Kun meringis tanpa mampu menjatuhkannya. Ciang Kun menjadi malu dan marah sekali, dan dia menyerang kalang kabut, terus mendesak Yo Han sehingga anak ini terpaksa harus berloncatan dan mengelak ke sana-sini.

Sampai sepuluh kali Ciang Kun menyerang bertubi-tubi dan selalu dapat dielakkan oleh Yo Han. Hal ini membuat Ciang Kun marah bukan main, juga malu karena di depan kekasihnya dia seperti dipermainkan seorang bocah. Makin gencar dia menyerang dan ketika Yo Han mundur mengelak, kakinya terbentur akar pohon dan anak itu pun roboh terlentang! Melihat anak itu roboh, Ciang Kun tidak menghentikan serangannya, bahkan maju dan mengirim tendangan ke arah kepala dengan kuatnya!

“Suheng, jangan!” teriak Siang Cun khawatir melihat tendangan suheng-nya yang dapat membahayakan nyawa Yo Han kalau mengenai kepala.

Akan tetapi terlambat. Dalam kemarahannya karena merasa dipermainkan oleh seorang anak kecil, Ciang Kun sudah lupa diri dan biar pun dia tahu bahwa tendangannya itu berbahaya, dia sudah tidak mampu menarik kembali kakinya.

“Tukkk!”

Sebuah kerikil mengenai sepatu Ciang Kun, demikian kuatnya sehingga Ciang Kun berseru kaget dan tendangannya tertahan dan meleset sehingga tidak mengenai kepala Yo Han. Sesosok bayangan putih berkelebat dan Sin Hong sudah berdiri di situ. Dialah yang melempar kerikil tadi menyelamatkan muridnya.

“Pengecut, menyerang seorang anak kecil!” Sin Hong mencela.

Akan tetapi Ciang Kun yang sudah marah, kini melotot kepada Sin Hong, suami dari kekasihnya yang dianggapnya telah merebut kekasihnya dari tangannya itu. Dia sudah mendengar akan kelihaian Sin Hong, tetapi justru hal ini yang memanaskan perutnya dan dia ingin sekali menguji kepandaian suami kekasihnya. Sekarang ada alasan untuk menentangnya.

“Hemm, anak setan ini terlalu kurang ajar, agaknya tak pernah memperoleh pendidikan yang patut dari gurunya! Memang aku hendak menghajarnya karena gurunya tidak mampu mendidiknya. Kalau gurunya hendak membelanya, silakan!”

Sin Hong tersenyum pahit. Sebetulnya, sudah semenjak tadi ia pulang dan memergoki penyelewengan isterinya. Dia melihat pula isterinya bergumul dengan Ciang Kun di atas rumput tadi. Dia kagum melihat pembelaan muridnya yang begitu berani mati menegur subo-nya untuk membela gurunya.

Dia dapat menebak apa yang berkecamuk di dalam hati pria ini. Agaknya pria ini ingin memperlihatkan di depan kekasihnya bahwa dia tidak kalah oleh suami kekasihnya!

“Bagus! Kalau aku katakan bahwa bukan muridku yang kurang ajar, melainkan engkau yang tidak tahu diri, tidak tahu malu dan pengecut, engkau mau apa?”

Ciang Kun terbelalak dan marah sekali. “Keparat, engkau menantang?!” katanya.

Dia sudah menerjang ke depan dengan tangannya digetarkan, dan ketika dibuka maka nampaklah tangan itu tergetar dan warna telapak tangannya berubah agak kemerahan! Maklumlah Sin Hong bahwa dia berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu telapak tangan Ang-see-jiu (Telapak Tangan Pasir Merah), yaitu tangan itu telah dilatih dengan memukuli pasir merah panas yang direndam racun. Pukulan telapak tangan seperti itu mengandung racun panas yang dapat melumpuhkan otot yang membakar daging kulit!

Diam-diam dia marah. Ciang Kun ini adalah murid pertama Bhe Kauwsu dan tentu saja sudah tahu bahwa dia adalah mantu Bhe Kauwsu. Biar pun ada urusan cinta antara dia dan Siang Cun, namun tidak sepantutnya kalau sekarang menyerangnya dengan ilmu sekeji itu. Terlintas dalam otaknya untuk melumpuhkan ilmu itu dan memberi hajaran dengan mematahkan tulang lengan itu.

Akan tetapi dia segera teringat. Orang ini hendak memamerkan kepandaiannya kepada Siang Cun, dan belum tentu dia menggunakan Ang-see-jiu karena hatinya yang kejam. Mungkin dia sudah mendengar bahwa yang menjadi lawannya memiliki ilmu yang tinggi, maka agar jangan sampai kalah, kini begitu menyerang, dia menggunakan ilmu yang diandalkan. Ingatan ini menyabarkan pula hatinya dan dia pun mengelak ketika pukulan itu lewat.

Untuk menghadapi seorang lawan setingkat Ciang Kun ini, meski memiliki Ang-see-jiu, Sin Hong tidak mau mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Tangan Putih). Dia bahkan menyambut hantaman telapak tangan merah itu dengan telapak tangannya sendiri sambil menggunakan Tenaga Inti Bumi, hanya secukupnya saja untuk mengimbangi kekuatan lawan yang dapat diukurnya dari sambaran hawa pukulannya.

“Plakkk!”

Dua telapak tangan bertemu dan melekat! Ciang Kun terkejut. Dia memang bukan orang jahat dan sama sekali tak ingin mencelakai lawan, tetapi hanya untuk mengalahkannya atau mengimbanginya. Kini, lawannya itu menerima Ang-see-jiu dan telapak tangan mereka melekat. Dia tidak mampu lagi menarik kembali tangannya.

Akan tetapi, tiba-tiba dia terbelalak. Lawannya sama sekali tidak menderita oleh hawa beracun telapak tangannya, bahkan dia sendiri yang merasa ada hawa panas masuk dari telapak tangannya itu membuat lengannya seperti lumpuh.

“Pergilah!” Sin Hong mendorong dan tubuh Ciang Kun terjengkang.

Akan tetapi karena Sin Hong mengukur tenaganya, Ciang Kun tidak terluka dan pemuda ini marah sekali. Siang Cun menahan jeritnya, kemudian dia menghampiri Ciang Kun dan membantunya bangkit berdiri.

Ciang Kun merasa malu, wajahnya memerah dan dia menjadi nekat. Dalam beberapa gebrakan saja dia telah jatuh terjengkang, di depan kekasihnya lagi! Hati siapa yang tidak akan merasa malu? Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia sudah mencabut pedangnya dan kini dia menyerang Sin Hong dengan kemarahan memuncak.

“Suheng, jangan...!” Siang Cun berseru, akan tetapi suheng-nya yang sudah nekat itu tidak peduli.

Melihat hal ini, Sin Hong tersenyum mengejek dan dengan mudah saja dia mengelak sampai lima kali serangan.

“Ciang Kun, hentikan seranganmu, kalau tidak, terpaksa aku akan membuatmu malu dan merobohkanmu!” kata Sin Hong.

Akan tetapi, Ciang Kun tidak menjawab dan tidak pula menurut, bahkan memutar pedangnya semakin gencar melakukan serangan bertubi-tubi. Siang Cun yang maklum bahwa kalau dilanjutkan, suheng-nya yang menjadi kekasihnya itu tentu akan benar-benar roboh oleh suaminya yang ia tahu amat sakti, lalu maju pula sambil memegang pedangnya.

“Engkau tidak boleh merobohkannya!” bentaknya sambil maju mengeroyok Sin Hong! Melihat ini, Yo Han terbelalak.

“Sungguh penasaran! Penasaran...!” teriaknya dengan nyaring. Melihat betapa gurunya dikeroyok oleh isterinya sendiri dan kekasih isteri gurunya, dia sungguh marah bukan main.

Sin Hong sendiri menjadi serba salah. Tentu saja dia tidak gentar, dan biar ditambah beberapa orang lagi yang mengeroyoknya, dia yakin masih akan mampu mencapai kemenangan. Akan tetapi sungguh tidak mungkin kalau dia harus menjatuhkan isterinya sendiri, walau pun isterinya telah bersikap tidak patut, membantu kekasih gelapnya!

“Suhu! Kalau Suhu tak mau memperlihatkan kelihaian, teecu akan merasa malu sekali! Disangkanya Suhu takut!” berkali-kali Yo Han berseru dan suaranya ini berpengaruh juga.

Sin Hong tadinya hanya mengandalkan kegesitannya untuk mengelak ke sana sini. Tapi, mendengar seruan muridnya, dia teringat akan pedang Cui-beng-kiam yang selalu disimpan di balik jubahnya. Ada jalan untuk menghentikan serangan kedua orang itu tanpa melukai mereka, pikirnya.

Sekali tangannya bergerak, nampak sinar yang menyilaukan mata dan ada hawa yang amat menyeramkan menyambar. Sinar itu bergulung-gulung dan menyambar dua kali, terdengar bunyi nyaring dan dua batang pedang di tangan Siang Cun dan Ciang Kun yang kena disambar sinar itu menjadi buntung! Ketika mereka berdua memandang, pedang Cui-beng-kiam di tangan Sin Hong sudah masuk lagi ke dalam sarungnya di balik baju pemuda berpakaian putih itu!

Wajah Ciang Kun menjadi pucat sekali, akan tetapi dia masih sempat saling berpegang tangan dengan Siang Cun. Pada saat itu, terdengar suara gaduh dan muncullah Bhe Kauwsu dan para murid Ngo-heng Bu-koan.

“Apa yang telah terjadi di sini...?” katanya dengan mata terbelalak memandang kepada mantunya lalu kepada puterinya, kemudian kepada Ciang Kun, dan yang terakhir pada Yo Han, dan pada gagang pedang buntung di tangan puterinya dan Ciang Kun.

Sin Hong merasa tidak enak sekali. Sama sekali dia tidak ingin membuka rahasia yang akan mencemarkan nama baik isterinya, apa lagi di situ sedang terdapat banyak murid Ngo-heng Bu-koan yang mendengarkan.

“Hanya suatu kesalah pahaman saja, Ayah,” kata Sin Hong kepada mertuanya, “Salah paham antara Yo Han dan Suheng Ciang Kun yang kemudian melibatkan diriku. Tidak ada apa-apa...”

“Suhu! Mengapa Suhu berkata demikian? Inilah saatnya yang terbaik bagi Suhu untuk membebaskan diri dari sumber kedukaan! Bukankah Suhu mengajarkan teecu supaya selalu jujur dan tidak berbohong?”

“Yo Han...!” Sin Hong membentak, tetapi dia lalu memandang kepada ayah mertuanya. “Sebaiknya kalau kita bicara di dalam saja, ini urusan keluarga.”

Bhe Kauwsu memandang kepada puterinya yang menangis dan dia pun lalu mengerti, mengangguk dan membubarkan para murid, kemudian mengajak Sin Hong, Yo Han dan Siang Cun masuk ke dalam.

“Dia bersangkutan dengan perkara ini, hendaknya ikut bicara di dalam,” kata Yo Han sambil menunjuk kepada Ciang Kun.

Sin Hong diam saja. Bhe Kauwsu yang sudah mengenal Yo Han sebagai anak cerdik yang jalan pikirannya seperti orang dewasa, lalu menyuruh Ciang Kun ikut.

Pemuda ini ikut masuk ke dalam rumah sambil menundukkan mukanya, hatinya tegang dan khawatir karena sekarang dia baru sadar, betapa dia telah melakukan hal yang salah sama sekali. Juga dia merasa gentar kalau mengenang kembali betapa saktinya Sin Hong yang telah membuat dia dan Siang Cun tak berdaya hanya dalam segebrakan saja. Bahkan kalau Sin Hong menghendaki dia dan kekasihnya itu tentu sudah tewas di ujung pedangnya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH SI BANGAU PUTIH (BAGIAN KE-13 SERIAL BU KEK SIANSU)

Kisah si Bangau Putih