KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-07


“Siancai..., kalau mereka semua dibiarkan pergi, tentu gerakan kita akan gagal sebelum dimulai!” berkata Thian Kek Sengjin, tokoh besar Pek-lian-kauw itu kepada Siangkoan Lohan.

Ketua Tiat-liong-pang itu mengangguk-angguk sambil mengerutkan alisnya, kemudian memberi tanda dengan tangan. Lima orang murid kepala cepat datang menghadap.

“Bawalah teman-teman dan saudara-saudara secukupnya, mereka tadi harus dibasmi. Kalian tahu apa yang harus dilakukan,” katanya dan lima orang murid itu mengangguk, lalu menyelinap pergi.

“Aihh, ini adalah tugas kita bersama,” kata Sin-kiam Mo-li. “Aku akan membantu anak buahmu, Lohan.”

“Aku akan membantumu pula, Sian-li,” berkata Toat-beng Kiam-ong sambil bangkit dan mengikuti wanita cantik itu.

Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-kauw, bersama dengan Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-kauw, juga cepat-cepat bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu, bersama beberapa orang tokoh lain yang sudah tahu apa yang harus mereka lakukan.

Sesudah mengalahkan Ciok Kim Bouw, Siangkoan Liong bersikap acuh tak acuh saja melihat kesibukan teman-teman ayahnya. Dia hanya mendekati ayahnya dan berkata lirih, “Ini akibat kekurang telitian Ayah sendiri yang mengundang orang-orang itu.”

Setelah berkata demikian, dengan suara mengandung penyesalan, dia pun pergi masuk ke dalam gedung, membiarkan ayahnya duduk kembali sambil mengerutkan alisnya.....

********************

Dengan hati penuh rasa penasaran dan kemarahan, Ciok Kim Bouw ketua Cin-sa-pang meninggalkan perkampungan Tiat-liong-pang di lereng bukit itu, menuruni bukit dengan langkah lebar. Hatinya penuh dengan perasaan marah dan malu, juga penasaran sekali. Jelaslah bahwa Tiat-long-pang mengambil jalan sesat, bukan hanya bergaul dengan penjahat, datuk sesat, bahkan juga dengan tokoh-tokoh pemberontak.

Akan tetapi, Tiat-liong-pang kuat sekali, dan melihat betapa puteranya saja sedemikian lihainya, sulit diukur bagaimana tingginya ilmu kepandaian Siangkoan Lohan. Ia bergidik kalau teringat akan kehebatan ilmu silat lawannya yang masih muda remaja tadi.

Dia merasa menyesal bukan main. Semua waktunya selama puluhan tahun digunakan untuk belajar silat, dan ternyata sekarang menghadapi seorang pemuda remaja saja dia kalah! Padahal dia menggunakan golok yang diandalkan, sedangkan pemuda itu hanya bertangan kosong.

Tiba-tiba dia menggaruk siku lengan kanannya yang mendadak terasa gatal-gatal. Saat dia menggaruknya, dia meringis karena begitu digaruk terasa panas bukan main. Dia berhenti melangkah dan menggulung lengan baju untuk melihat lengannya. Terkejutlah dia melihat betapa di lengan bawah, di bawah siku, terdapat tanda berwarna merah kebiruan sebesar jari tangan.

Itulah kiranya yang terasa gatal dan panas! Makin terkejutlah dia ketika teringat bahwa saat dia dikalahkan oleh pemuda tadi, bagian lengan itulah yang tertotok dan membuat lengannya lumpuh dan goloknya terlepas. Agaknya totokan itulah yang mendatangkan bekas yang gatal dan panas ini.

Selagi dia hendak melanjutkan perjalanan dekat dengan kaki bukit itu, tiba-tiba ada dua sosok bayangan orang berkelebat, kemudian terdengar suara seorang wanita tertawa mengejek. Dia mengangkat mukanya dan nampak Sin-kiam Mo-li bersama Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek telah berada di depannya, berdiri sambil tersenyum dan tertawa mengejek!

Ciok Kim Bouw tentu saja dapat menduga pula bahwa munculnya wanita ini pasti tidak mengandung niat baik, maka dia pun sudah mencabut golok besarnya dan menghardik. “Iblis betina, mau apa engkau menghadangku?”

“Hi-hi-hik, Cin-sa-pangcu! Selama ini aku tidak pernah tahu bahwa Cin-sa-pang sudah memiliki seorang ketua baru seperti engkau. Sekarang, setelah kau berani menghinaku di tempat umum, engkau masih bertanya lagi mau apa aku menghadangmu? Tentu saja untuk membunuhmu!”

“Bagus! Memang saat inilah yang kutunggu-tunggu, yaitu membunuhmu atau mati di tanganmu. Dan engkau, Toat-beng Kiam-ong, apakah jagoan seperti engkau hendak membantunya mengeroyok aku? Majulah, jangan kira aku takut menghadapi kalian!” tantangnya, mendahului lawan karena dia maklum bahwa tentu orang ini berpihak kepada Sin-kiam Mo-li.

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, engkau sungguh tak tahu diri. Melawan seorang pemuda remaja bertangan kosong saja engkau keok (kalah), perlu apa membantu Sian-li. Biar engkau memecah diri menjadi rangkap sepuluh, akan mampus satu demi satu di tangan Sian-li!”

“Iblis betina, bersiaplah untuk mampus!” bentak Ciok Kim Bouw lantang sambil langsung menyerang dengan goloknya.

Dia merasa betapa lengan di bagian dekat siku terasa nyeri, akan tetapi dia tidak peduli dan terus menyerang sekuat tenaga dan dengan kemarahan meluap-luap. Dia sudah nekat karena maklum bahwa sekali ini, akibat perkelahian itu hanya dua, yaitu kalah dan mati, atau menang dan hidup. Meski dia tahu bahwa untuk menang amatlah sukarnya, apa lagi di situ berdiri si Raja Pedang yang pasti akan membantu iblis betina itu, namun sedikitnya dia tidak merasa gentar dan menyerang dengan ganas dan dahsyat.

Sambil tersenyum mengejek, Sin-kiam Mo-li menggerakkan pedangnya menangkis dan membalas dengan serangan kebutannya yang bulu-bulunya mengandung racun jahat. Ciok Kim Bouw mengelak dan melakukan perlawanan mati-matian. Dia bahkan dengan nekatnya melancarkan gerakan-gerakan untuk mengadu nyawa.

Akan tetapi, lengannya kini terasa semakin nyeri dan ngilu sehingga jari-jari tangannya kurang kuat mencengkeram gagang goloknya. Terpaksa ia memindahkan gagang golok itu ke tangan kiri dan kini melakukan perlawanan mati-matian dengan golok di tangan kiri.

Dia memang sudah melatih diri menggunakan golok dengan tangan kiri karena dia pun ahli bermain sepasang golok. Akan tetapi bagaimana pun juga, tentu saja gerakannya tidaklah selincah kalau menggunakan golok itu di tangan kanannya. Maka, tentu saja dia semakin terdesak.

Belum juga lewat dua puluh jurus, sebuah tendangan kaki kiri Sin-kiam Mo-li mengenai pahanya. Ia pun terpelanting, dan untuk mencegah lawan menyusulkan serangan, ketua Cin-sa-pang itu terus bergulingan di atas tanah sambil melindungi tubuh dengan putaran goloknya.

Sambil tertawa-tawa mengejek Sin-kiam Mo-li melakukan pengejaran sambil melecut-lecutkan cambuknya, mengikuti ke mana tubuh lawan itu bergulingan. Sama sekali dia tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk melompat bangun kembali.

Dikejar seperti itu, Ciok Kim Bouw menjadi sibuk sekali. Bukan saja ia harus meiindungi tubuhnya, akan tetapi juga keadaannya berbahaya sekali karena kalau dia meloncat bangun, tentu dia akan terkena serangan pedang atau kebutan yang amat berbahaya itu. Kebutan yang dapat dipergunakan sebagai cambuk, juga menotok atau menusuk bagaikan pedang karena dengan kekuatan sinkang bulu-bulu kebutan itu dapat menjadi kaku seperti baja, sungguh amat berbahaya. Apa lagi tiap lembar bulunya mengandung racun berbahaya!

“Ha-ha-ha, Pangcu dari Cin-sa-pang, sekarang engkau seperti seekor tikus yang lari ke sana-sini dikejar kucing! Sian-li kenapa kau harus main-main dengan dia? Bunuh saja dengan cepat dan kita kembali ke sana!” Laki-laki yang sudah tidak sabar karena ingin segera berduaan dengan kekasihnya itu mendesak.

Mendengar ini, Sin-kiam Mo-li mengeluarkan suara mengejek dan ia pun menggerakkan pedangnya untuk melakukan serangan kilat yang amat hebat pada tubuh yang sedang bergulingan itu. Sukar agaknya bagi Ciok Kim Bouw untuk mampu menyelamatkan diri dari serangan itu.

Akan tetapi mendadak Sin-kiam Mo-li mengeluarkan jeritan halus, lalu cepat menarik pedangnya kembali. Cepat dia membalik ke kanan dan dia melihat seorang pemuda sudah berdiri tak jauh dari situ. Tahulah ia bahwa yang menyambitkan kerikil kecil dan mengenai pundak kanannya sehingga lengan kanannya menjadi kesemutan itu adalah pemuda ini! Dan ia pun terkejut ketika mengenal pemuda itu.

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek merasa sangat heran melihat kekasihnya tidak jadi menyerang, dan ia pun ikut memandang. Dilihatnya seorang pemuda yang mengenakan pakaian serba putih berdiri di bawah pohon, tak jauh dari situ. Juga Ciok Kim Bouw yang baru saja terlepas dari bahaya maut, sudah bergulingan menjauh kemudian melompat berdiri, ikut pula memandang.

Pemuda itu berpakaian serba putih, sederhana sekali. Sinar matanya lembut dan pada mulutnya terhias senyum ramah, sama sekali tidak menunjukkan kelebihan dan nampak seperti seorang pemuda petani biasa saja. Namun, Sin-kiam Mo-li kelihatan amat kaget dan kemudian marah ketika ia melangkah maju.

“Bocah setan, kiranya engkau? Bukankah kau... kau ini... yang dari gurun pasir itu?” tanyanya ragu.

Walau pun ia masih teringat benar akan wajah yang sudah pernah dibelai, dirangkul dan diciuminya itu, ia masih belum mau percaya. Pemuda yang pernah dirayunya sampai ia hampir gila karena dirangsang birahi dan pemuda itu selalu dingin saja dan tidak pernah tergairah, adalah seorang pemuda yang lemah dan sama sekali tidak mengenal ilmu silat. Waktunya baru berjalan setahun lebih sedikit, bagaimana mungkin kini pemuda itu mampu menyambitkan kerikil yang membuat lengannya hampir lumpuh?

Pemuda itu memang Tan Sin Hong! Seperti telah kita ketahui, Sin Hong meninggalkan kota Ban-goan untuk pergi ke kota raja. Ia hendak mencari hartawan she Lay, pengirim barang-barang berharga yang mengakibatkan hancurnya keluarga ayah ibunya. Ingin dia menemukan hartawan itu, untuk menyelidiki kematian ayahnya yang penuh rahasia, karena siapa tahu hartawan itu menyimpan rahasia dan dari dia maka rahasia kematian ayahnya akan dapat dibongkarnya.

Dan pada hari itu, dia tiba di kaki bukit di mana terdapat sarang Tiat-liong-pang, tanpa disengaja, melihat Ciok Kim Bouw yang terancam maut di tangan seorang wanita yang membuat darahnya berdenyut kencang dan jantungnya berdebar. Dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li, seorang di antara datuk sesat yang telah menyerbu Istana Gurun Pasir yang mengakibatkan kematian tiga orang gurunya.

Sin-kiam Mo-li yang pernah menggelutinya dan berusaha memperkosanya, kini tiba-tiba saja berada di kaki bukit itu, sedang berusaha keras membunuh seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang dengan susah payah membela diri. Walau pun dia tidak mengenal siapa pria bermuka hitam itu dan apa urusannya berkelahi dengan Sin-kiam Mo-li, tanpa ragu-ragu lagi Sin Hong menyelamatkan pria itu dari ancaman maut dengan menyambitkan sebuah kerikil kecil yang mengenai pundak kanan wanita iblis itu.

Sekarang dia menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan senyum, dan diam-diam dia bersyukur melihat kenyataan bahwa pertemuan dengan wanita iblis yang sudah menyebabkan kematian ketiga orang gurunya itu sama sekali tidak membangkitkan kemarahan atau kebencian dalam hatinya. Ini merupakan suatu kemajuan dalam dirinya, pikir Sin Hong. Dia lalu mengangguk untuk menjawab pertanyaan Sin-kiam Mo-li tadi, membuyarkan keraguan wanita iblis itu.

“Benar, Sin-kiam Mo-li, aku adalah pemuda gurun pasir itu, dan engkau ternyata masih saja mengumbar kejahatan dan menyebarkan perbuatan kejam di mana pun engkau berada. Kini engkau bahkan hendak membunuh orang yang sudah jelas-jelas tidak lagi mampu melawanmu,” Sin Hong menoleh ke arah Ciok Kim Bouw yang berdiri agak jauh sambil memijit-mijit lengan kanannya, sedangkan golok tadi sudah disarungkan kembali.

Ciok Kim Bouw maklum bahwa baru saja dia terbebas dari maut karena kemunculan pemuda berpakaian putih itu. Entah dengan cara bagaimana pemuda itu bisa membuat Sin-kiam Mo-li menghentikan serangannya yang membuat dia kewalahan tadi. Kini dia memandang penuh perhatian, siap untuk membantu pemuda itu. Bagaimana pun juga, kini muncul seorang yang agaknya dapat diharapkan akan membantunya menghadapi musuh-musuhnya yang terlalu lihai baginya itu.

Akan tetapi, terdapat keraguan pula di dalam hati ketua Cin-sa-pang ini. Pemuda yang berpakaian serba putih itu kelihatan demikian lemah lembut, dan sejak tadi pun belum mengeluarkan tanda bahwa dia pandai ilmu silat. Hanya sikapnya saja yang demikian tenang, bahkan menghadapi Sin-kiam Mo-li yang sudah dikenalnya, nampak demikian tenang dan berani pula mencela.

“Awass...!” Tiba-tiba Ciok Kim Bouw berteriak memperingatkan Sin Hong karena ketika pemuda itu sedang menoleh kepadanya, pada saat itu dia melihat Sin-kiam Mo-li telah menggerakkan pedangnya menusuk ke arah lambung pemuda berpakaian putih itu!

Akan tetapi, biar pun dia sedang menoleh ke arah Ciok Kim Bouw, tentu saja Sin Hong sudah tahu akan serangan gelap itu. Pada waktu itu, tingkat ilmu kepandaiannya telah mencapai titik yang tinggi sekali berkat penggabungan tenaga sinkang yang diterimanya dari tiga orang gurunya dan berkat gemblengan ilmu-ilmu yang sudah mendarah daging di tubuhnya.

Dia tahu akan tusukan yang datang menuju lambungnya dan tanpa menoleh, ketika tusukan tiba, tubuhnya sudah bergeser dan mengelak tanpa banyak kesulitan sehingga tusukan pedang Sin-kiam Mo-li mengenai tempat kosong!

Sin-kiam Mo-li yang merasa penasaran dan bangkit kebenciannya kepada pemuda yang membuatnya tergila-gila namun yang berani menolak cintanya itu, sudah melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi dengan kebutan dan pedangnya. Demikian cepat dan bersambungan datangnya serangan-serangan ini.

Akan tetapi semua itu dapat dihindarkan dengan amat mudahnya oleh Sin Hong, hanya dengan menggerakkan kedua tangannya ke depan seperti menolak. Setiap kali telapak tangannya mendorong, ada kekuatan dahsyat yang meniup pergi bulu-bulu kebutan, bahkan telapak tangan itu berani menampar pedang itu sehingga tertangkis.

Ciok Kim Bouw yang tadinya sudah siap untuk membantu dengan goloknya yang akan dimainkan dengan tangan kiri, tidak jadi bergerak dan kini dia berdiri melongo. Jika tadi ada seorang pemuda yang halus dan lembut gerak-geriknya menghadapinya dengan tangan kosong dan dia dikalahkan, kini ada lagi seorang pemuda lain yang juga dengan tangan kosong bahkan berani melawan kebutan dan pedang di tangan Sin-kiam Mo-li! Jika tidak melihat sendiri, tentu dia tidak akan percaya bahwa ada orang, apa lagi masih begitu muda, berani menghadapi Sin-kiam Mo-li hanya dengan kedua tangan kosong saja.

Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek juga merasa heran dan amat kagum melihat betapa pemuda berpakaian serba putih itu berani melawan Sin-kiam Mo-li dengan tangan kosong. Akan tetapi dia percaya sepenuhnya bahwa kekasihnya tentu akan menang dan dalam waktu singkat merobohkan pemuda itu. Dia pun tidak akan membunuh Ciok Kim Bouw, khawatir kalau kekasihnya merasa tersinggung dan marah. Biarlah Sin-kiam Mo-li yang melaksanakannya sendiri.

Tetapi, betapa kagetnya Kiam-ong ketika tiba-tiba Sin-kiam Mo-li mengeluarkan jeritan tertahan dan sebagian dari bulu kebutan itu rontok berhamburan ketika bertemu dengan jari-jari tangan Sin Hong yang mencengkeram! Melihat Sin-kiam Mo-li terhuyung ke belakang, tentu saja Giam San Ek cepat melompat maju dan lantas menyerang dengan pedangnya.

“Tranggg...!”

Pedang itu ditangkis oleh golok Ciok Kim Bouw. Si muka hitam ini menjadi gembira sekali dan timbul semangatnya melihat betapa pemuda berpakaian putih itu benar-benar mampu menahan Sin-kiam Mo-li, bahkan dalam belasan jurus saja sudah merontokkan bulu kebutannya. Maka, melihat majunya Toat-beng Kiam-ong, dia pun maju membantu Sin Hong.

“Mundurlah!” Sin Hong membentak sambil mendorongkan kedua tangan bergantian ke arah Giam San Ek.

Si Raja Pedang ini loncat meninggalkan Ciok Kim Bouw untuk menghadapi Sin Hong, namun dia bertemu dengan tenaga dorongan amat kuat, yang merupakan tenaga tidak nampak, seperti angin yang menahannya dan membuatnya terhuyung. Tentu saja dia terkejut bukan main dan pada saat itu Sin-kiam Mo-li berseru keras.

“Kiam-ong, mari kita pergi!” Wanita itu pun sudah meloncat dan melarikan diri!

Melihat ini, tentu saja Kiam-ong terkejut dan tanpa bertanya lagi dia pun membalik dan mengambil langkah seribu menyusul temannya. Melihat ini, Ciok Kim Bouw menjadi semakin kagum kepada Sin Hong. Dia cepat menghadapi pemuda itu dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk memberl hormat.

“Pendekar muda gagah perkasa sudah menyelamatkan nyawaku yang tidak berharga. Aku adalah Ciok Kim Bouw, ketua dari Cin-sa-pang. Tidak tahu siapakah nama Taihiap (Pendekar Besar) yang mulia?”

Sambil memandang wajah laki-laki tinggi besar itu. Sin Hong berkata, “Maaf, Pangcu. Pertemuan antara kita hanya kebetulan saja dan saya tidak ingin dikenal, yang paling penting adalah supaya Paman mengetahui bahwa Paman telah menderita luka pukulan beracun yang amat berbahaya.”

“Ahhh...!” Ciok Kim Bouw berseru kaget, lalu menyingkap lengan bajunya yang kanan, memperlihatkan tanda merah kehitaman sebesar jari di bawah sikunya. “Memang luka ini mendatangkan rasa gatal dan nyeri sekali...“

“Hemmm, itulah tanda bekas totokan jari beracun yang sangat keji, Pangcu,” kata Sin Hong. “Biar saya mencoba untuk mengobatinya.”

“Terima kasih, Taihiap, dan silakan,” berkata ketua Cin-sa-pang itu sambil menyodorkan lengan kanannya.

Sin Hong memegang lengan itu, kemudian menggunakan jari tangannya menotok jalan darah di atas siku, lalu mengurut luka itu. Terasa nyeri bukan main oleh Ciok Kim Bouw, namun ketua ini menahan rasa nyeri. Sin Hong kemudian mencengkeram bagian yang berwarna merah kehitaman, menggunakan hawa sakti di tubuhnya melalui tapak tangan untuk ‘membakar’ hawa beracun itu. Rasa nyeri dan panas membuat wajah ketua itu berpeluh, akan tetapi rasa panas itu semakin lama makin berkurang dan rasa nyeri pun lenyap. Setelah Sin Hong melepaskan tangannya, warna merah itu sudah lenyap dan rasa nyerinya pun lenyap.

“Sudah baik kembali, Pangcu, dan saya harus melanjutkan perjalanan saya,” berkata demikian, Sin Hong lalu meloncat dengan cepat.

Ciok Kim Bouw hendak memanggil, namun diurungkan niatnya karena pemuda itu telah berkelebat cepat dan sudah jauh sekali. Dia hanya berdiri mengikuti bayangan itu yang makin mengecil akhirnya lenyap, berulang kali menarik napas panjang, kemudian dia pun melarikan diri dari tempat berbahaya itu.

Sehari bertemu dengan dua orang muda yang demikian lihainya cukup bagi ketua ini membuka matanya bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh dari pada cukup untuk dipakai malang melintang di dunia kang-ouw. Dia merasa rendah diri dan semenjak itu, dia lebih sering tinggal di pusat perkumpulan Cin-sa-pang untuk giat melatih diri, serta memperdalam ilmu silatnya.....

********************

Sementara itu, di ruangan paling dalam yang terletak di belakang gedung perkumpulan Tiat-liong-pang, Siangkoan Lohan menjamu beberapa orang tamunya. Para tamu lain telah pulang dan sekarang hanya mereka yang menjadi sekutunya sajalah yang duduk semeja dengannya. Mereka adalah Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, Agakai kepala suku Mongol, Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai dan Thian Kek Sengjin tokoh besar Pek-lian-pai.

Masih ada beberapa orang lagi, di antaranya terdapat tiga orang berpakaian perwira yang agaknya baru datang karena mereka ini tidak nampak dalam pesta perayaan ulang tahun siang tadi. Ada pula terdapat seorang laki-laki, yang tentu akan membuat Sin Hong terheran heran kalau dia melihatnya. Laki-laki ini bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan bermata tajam sekali.

Kini mereka tengah bercakap-cakap dengan sikap yang serius, dipimpin oleh Siangkoan Lohan. Pada ketika itu, Siangkoan Lohan sedang menyatakan penyesalannya kepada Sin-kiam Mo-li.

“Sungguh sayang sekali engkau tidak dapat menemukan ketua Cin-sa-pang itu, Mo-li. Padahal semua orang yang lain telah dapat dibasmi. Akan tetapi sudahlah, kukira dia tidak akan banyak bercerita. Aku mengundang kalian hadir dalam pesta ulang tahun sebagai sesama kaum persilatan, tidak ada bukti apa-apa tentang gerakan kita.”

Sin-kiam Mo-li memang hanya menceritakan bahwa ia dan Toat-beng Kiam-ong tidak berhasil mengejar Ciok Kim Bouw. Ia merasa malu kalau harus menceritakan bahwa ia dan Raja Pedang itu lari ketakutan karena bertemu dengan seorang pemuda dari Istana Gurun Pasir.

Hanya kepada Toat-beng Kiam-ong dia terpaksa menceritakan siapa adanya pemuda berpakaian putih yang amat lihai itu. Pada saat mereka melarikan diri meninggalkan Sin Hong, Raja Pedang itu bertanya siapa adanya pemuda yang memiliki kepandaian hebat itu. Terpaksa Sin-kiam Mo-li kemudian menceritakan bahwa ia pernah bertemu dengan pemuda itu saat ia dan kawan-kawannya melakukan penyerbuan ke Istana Gurun Pasir sehingga akhirnya berhasil membunuh tiga orang tua sakti di istana itu, dan kemudian membakar istana kuno itu. Akan tetapi ketika itu, si pemuda masih merupakan pemuda lemah. Ia pun tidak tahu bagaimana pemuda itu muncul sebagai seorang yang demikian lihainya.

“Lain kali harap Siangkoan Pangcu lebih berhati-hati,” salah seorang di antara ketiga orang berpakaian perwira tinggi itu berkata. “Jangan sampai menimbulkan kecurigaan, terutama sekali kepada pemerintah sehingga kita akan terbentur dan mengalami banyak rintangan. Nah, sekarang harap Pangcu ceritakan dengan jelas segala hasil usaha yang telah dilakukan dan rencana selanjutnya.” Perwira ini nampaknya berwibawa dengan kumisnya yang tebal dan sikapnya yang agaknya sudah biasa memerintah dan ditaati.

“Harap Song-ciangkun jangan khawatir. Kami sengaja sudah mengundang tokoh-tokoh kang-ouw yang kenamaan dan memiliki kepandaian untuk bisa menarik mereka sebagai pembantu dan buktinya, sebagian besar dari mereka boleh diharapkan akan membantu kita. Ada pun mereka yang berani menentang telah kami singkirkan. Lolosnya seorang di antara mereka, yaitu ketua Cin-sa-pang itu tidak ada artinya. Hasil besar usaha kami terutama sekali pembasmian Istana Gurun Pasir dan penghuninya, walau pun untuk hasil itu kami kehilangan banyak sekali kawan dan untuk itu, biarlah diceritakan sendiri oleh ia yang telah berjasa, Sin-kiam Mo-li. Mo-li, ceritakanlah pengalamanmu di Gurun Pasir dua tahun yang lalu itu.”

Sin-kiam Mo-li tadi sudah diperkenalkan kepada tiga perwira itu dan ia maklum bahwa Song-ciangkun itu adalah utusan panglima perang Kerajaan Ceng yang berkuasa di perbatasan utara dan yang telah bersekutu dengan Siangkoan Lohan. Dua orang perwira lain adalah pembantu-pembantunya.

Memang usaha persekutuan yang dipimpin oleh Siangkoan Lohan untuk memberontak itu sudah direncanakan sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Penyerbuannya ke gurun pasir merupakan satu di antara usaha persekutuan itu untuk memperlicin jalan.

Istana Gurun Pasir dan para penghuninya dianggap sebagai suatu bahaya besar, sebab mereka semua maklum belaka bahwa keluarga Istana Gurun Pasir, seperti juga halnya keluarga Pulau Es, selalu menentang pemberontakan walau pun mereka bukan orang-orang yang menghambakan diri kepada pemerintah Mancu. Oleh karena itu, juga akibat terdorong oleh perasaan benci karena permusuhan semenjak dulu, Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai melakukan penyerbuan ke Istana Gurun Pasir.

“Penyerbuan kami yang berhasil baik namun mengorbankan banyak kawan itu terjadi kurang lebih dua tahun yang lalu. Kami kehilangan empat belas orang kawan, akan tetapi berhasil membunuh tiga orang penghuni istana yang amat lihai, juga kami telah membakar habis istana itu.”

Sin-kiam Mo-li kemudian menceritakan peristiwa yang terjadi dua tahun yang lalu itu, didengarkan dengan penuh perhatian oleh ketiga orang perwira tinggi itu, dan mereka mengangguk-angguk kagum dan juga senang. Lenyapnya Istana Gurun Pasir dan para penghuninya bagi mereka merupakan lenyapnya satu di antara bahaya yang mungkin akan menyusahkan mereka dan menghalangi rencana mereka.

Setelah Sin-kiam Mo-li selesai bercerita, Song-ciangkun lalu berkata kepada Siangkoan Lohan. “Bagus sekali dan jasa itu cukup besar, akan kami catat. Sekarang, bagaimana dengan usaha menghimpun kekuatan dari luar tembok? Sampai di mana hasilnya?”

“Hal itu ditangani sendiri oleh saudara Agakai yang juga hadir di sini dan yang akan dapat menceritakan dengan jelas,” jawab Siangkoan Lohan sambil memandang kepada kepala suku Mongol itu.

Kepala suku Mongol yang mengaku putera mendiang Tailucin dan keturunan Jenghis Khan itu, yang usianya sudah lima puluh tiga tahun, mengangkat dadanya yang bidang dan dengan sikap yang agung karena yakin akan kemampuan dirinya, dia kemudian menceritakan hasil usahanya yang telah dicapai. Dia menceritakan bahwa dia sudah mendapat banyak kemajuan dalam membangkitkan kembali kekuasaan dan kebesaran Mongol, untuk membangun kembali Kerajaan Mongol yang pernah menguasai seluruh daratan Cina dan negeri-negeri di sekitarnya.

“Jangan khawatir,” dia menutup ceritanya. “Biar pun suku terbesar belum dapat saya bujuk, tetapi kelompok-kelompok suku yang kecil-kecil, terutama mereka yang terdesak dan keadaan hidupnya kekurangan, telah menyatakan persetujuan mereka dan apa bila saatnya tiba, kami dapat mengerahkan tidak kurang dari seratus ribu orang.”

Song-ciangkun dan dua orang kawannya kelihatan gembira sekali mendengar laporan Agakai itu. Bagus, pikir Song-ciangkun yang sudah tahu akan siasat yang dipergunakan oleh atasannya, yaitu Panglima Coa yang berkuasa sebagai komandan pasukan yang bertugas jaga di perbatasan utara.

Panglima Coa memang berniat untuk melaksanakan pemberontakan setelah berhasil dibujuk dan dihasut oleh Siangkoan Lohan. Dan dia berpendapat bahwa tanpa bantuan dari pasukan lain yang besar dan kuat, akan sukarlah diharapkan untuk dapat berhasil menggempur pasukan pemerintah. Tetapi, kalau suku bangsa Mongol mau membantu, mengingat akan kemampuan tempur mereka, tentu akan lain jadinya.

Pula, pasukan yang dipimpin Panglima Coa dapat terus minta tambahan pasukan untuk memperkuat posisinya, dengan dalih bahwa bangsa-bangsa liar dari luar tembok terus mengadakan gangguan serta pemberontakan. Dan pihak pasukan pemberontak yang dipimpin Panglima Coa akan membiarkan Agakai bermimpi bahwa gerakan itu adalah demi kepentingan pembangkitan kembali kekuatan serta kekuasaan Mongol! Dengan demikian, kedua pihak diam-diam hanya akan saling mempergunakan demi keuntungan sendiri!

Dan Siangkoan Lohan tahu akan hal ini. Maka diam-diam dia pun ingin mempergunakan kesempatan itu untuk keuntungan diri sendiri atau lebih tepat, keuntungan dan masa depan puteranya! Kalau gerakan itu berhasil, kalau saja mereka berhasil menggulingkan pemerintah Mancu, Panglima Coa sudah setuju untuk mengangkat Siankoang Liong menjadi kaisar kerajaan baru yang mereka bangun, dan Coa-ciangkun tentu saja akan menjadi orang ke dua setelah kaisar!

“Dan bagaimana dengan pusat kedudukan di perbatasan untuk penyebaran mata-mata dan utusan melewati Tembok Besar seperti yang Pangcu pernah ceritakan kepada Coa Tai-ciangkun?” Tanya pula Song-ciangkun.

Siangkoan Lohan tersenyum gembira. “Itu sudah beres, Ciangkun! Rencana yang kita jalankan delapan tahun yang lalu kini telah matang. Piauwkiok di Ban-goan itu telah kita kuasai sepenuhnya sehingga dengan menyamar sebagai para piauwsu, maka utusan-utusan dan mata-mata kita bisa dengan mudah hilir mudik menyeberangi Tembok Besar tanpa menimbulkan kecurigaan sama sekali. Dan untuk pengurusan dalam keperluan itu, telah kami serahkan kepada murid-murid kami sendiri yang boleh dipercaya.”

Persekutuan ini lalu berunding sambil makan minum, dan agaknya tiga orang perwira utusan Coa-ciangkun itu merasa gembira sekali dengan hasil pertemuan malam itu. Apa lagi ketika pertemuan itu selesai. Mereka diantarkan ke dalam kamar masing-masing, sebuah kamar yang indah mewah dan bersih. Dan yang lebih hebat lagi, masing-masing disambut senyum manis dan gaya memikat dari seorang wanita muda yang siap sedia melakukan apa saja untuk menyenangkan hati para tamu agung itu.

Siangkoan Lohan memang pandai mengambil hati orang. Untuk itu dia tak segan-segan memerintahkan selir-selirnya untuk menghibur tamu agung!

Ambisi merupakan ladang subur pertumbuhan si aku. Kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang kita miliki, tidak pernah merasa senang dengan keadaan kita sendiri. Kita selalu memandang keadaan orang-orang lain, kemudian membanding-bandingkan.

Keadaan orang yang lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya, lebih pintar, lebih terhormat dan sebagainya membuat kita selalu merasa diri sendiri rendah, kurang dan serba tidak memuaskan! Dari sinilah timbul ambisi! Ingin yang lebih dari pada keadaan sekarang!

Dan mulailah kita melakukan pengejaran terhadap bayangan indah berupa cita-cita atau ambisi itu. Bagaikan bayangan, yang kita kejar itu tidak pernah berhenti, makin didapat, semakin kurang dan semakin haus. Sekali tidak mampu menikmati keadaan sekarang, sampai kapan pun tak akan pernah mampu menikmati keadaan diri sendiri karena mata selalu memandang keadaan orang lain yang serba lebih, dan mata selalu memandang untuk mengejar yang di depan.

Cita-cita atau ambisi ini makin dikejar makin membesar dan semakin menjauh sehingga tidak akan habisnya kita mengejar, sampai mati! Kita dibius oleh kata-kata yang indah seperti cita-cita, kemajuan, dan sebagainya lagi.

Lalu apakah kita kemudian menjadi layu, melempem, tak bergairah dan tak melangkah, statis dan acuh, mati kutu? Bukanlah demikian bagi orang yang bijaksana dan waspada akan keadaan diri pribadi setiap saat.

Kewaspadaan ini akan menuntun ke arah perbuatan dan langkah yang benar. Hati yang tak dibebani keinginan-keinginan, iri hati, membanding-bandingkan. Hati yang demikian itu bersih dan mampu menampung datangnya sinar bahagia, dapat menikmati keadaan yang bagaimana pun juga. Batin yang kosong dari segala macam nafsu sajalah yang mengenal apa artinya cinta kasih dan hidup penuh sinar cinta kasih adalah bahagia.

Ambisi atau pengejaran keinginan selalu mengakibatkan perbuatan yang menyeleweng! Segala cara dilakukan orang untuk mencapai tujuan. Tujuan menghalalkan segala cara karena tujuanlah yang terpenting bagi orang yang ambisius. Namun sebaliknya, caralah yang paling penting bagi orang yang waspada, karena cara inilah kehidupan sehari-hari, langkah-langkah hidup, sedangkan tujuan hanyalah bayangan, khayalan yang sedang dikejar-kejar.

Pengejaran akan sesuatu yang dianggap akan mendatangkan kebahagiaan membuat kita buta. Dalam mengejar itu kita tidak peduli lagi apakah kita melangkahi orang atau menendang orang yang kita anggap menghalangi di depan. Pengejaran kesenangan ini sesungguhnya yang menciptakan segala macam tindakan kemaksiatan!

Hal ini jelas nampak di sekeliling kita kalau saja kita mau membuka mata. Pengejaran kesenangan melalui uang menimbulkan perampokan, pencopetan, pencurian, penipuan, korupsi, penyuapan, penyelundupan dan sebagainya lagi. Banyak cara yang dihalalkan untuk mencapai tujuan, yaitu memperoleh uang secara mudah dan banyak, termasuk di antaranya perjudian. Pengejaran kesenangan sex menimbulkan perkosaan, perjinahan dan pelacuran. Pengejaran kesenangan melalui kedudukan mengakibatkan perebutan kekuasaan, pertentangan pemberontakan, dan perang!

Apakah kalau begitu kita tidak boleh menikmati kesenangan? Sebaliknya malah! Orang yang bebas akan pengejaran kesenangan akan menikmati setiap keadaan, sedangkan pengejaran kesenangan melenyapkan kenikmatan dari keadaan yang sudah ada! Tanpa keinginan memperoleh minuman lain, segelas air putih akan terasa nikmat, sedangkan hati yang dipenuhi keinginan minum bir, diberi limun sekali pun takkan dapat menikmati limun itu!

Ada yang berkata bahwa orang takkan menjadi kaya raya tanpa pengejaran! Benarkah ini? Boleh kita lihat buktinya di sekeliling kita! Kita semua ini adalah pengejar-pengejar uang sejak kecil, siapa di antara kita yang kaya raya? Semua masih merasa kurang dan tak seorang pun merasa dirinya kaya raya! Namun, lihatlah dia yang makan demikian lahap dan nikmatnya walau pun hanya dengan sayur asam dan sambal, lihatlah dia tidur demikian nyenyaknya walau di atas tikar, dia yang mampu tertawa lahir batin, dia yang menikmati keadaannya. Dia itulah orang kaya raya!

Cita-cita atau ambisi yang dimiliki Siangkoan Lohan adalah melihat putera tunggalnya, Siangkoan Liong, menjadi pengganti kaisar! Cita-cita yang tak kepalang besarnya, yang muncul dalam benaknya bukan tanpa sebab. Sebab itu terjadi kurang lebih sebelas atau dua belas tahun yang lalu. Ketika itu, Siangkoan Liong baru berusia delapan tahun lebih.

Anak ini memang berbakat sekali dan suka akan ilmu silat sehingga Siangkoan Lohan dengan penuh semangat menggembleng puteranya itu. Pada waktu itu, sedikit pun dia tak memiliki keinginan untuk memberontak. Dia adalah seorang yang dianggap keluarga oleh istana, bahkan isterinya yang telah meninggal, yaitu ibu kandung Siangkoan Liong, adalah seorang puteri dari istana yang dihadiahkan oleh kaisar kepadanya.

Siangkoan Lohan yang bernama Siangkoan Tek itu selalu merasa berterima kasih dan setia kepada Kerajaan Ceng. Di dalam hatinya, sedikit pun dia tidak pernah mempunyai hati untuk memberontak.

Pada suatu hari, selagi Siangkoan Lohan melatih ilmu silat kepada puteranya di kebun belakang yang sunyi, tiba-tiba saja terdengar seruan halus memuji, “Ilmu silat bagus...!”

Siangkoan Lohan cepat-cepat menghentikan gerakannya saat memberi contoh kepada puteranya, dan menengok. Kiranya yang mengeluarkan seruan pujian itu ialah seorang laki-laki berusia kurang lebih enam puluh tahun yang berdiri tegak di atas pagar tembok kebun itu. Diam-diam Siangkoan Lohan terkejut. Ada orang meloncat ke dalam pagar tembok demikian dekat dan dia sama sekali tidak tahu atau mendengarnya!

Tetapi laki-laki itu agaknya tidak mempedulikan padanya karena sedang memandang ke arah Siangkoan Liong dan kembali dia memuji.

“Anak yang memiliki bakat yang amat baik untuk menjadi kaisar sekali pun!”

Tentu saja ucapan ini membuat Siangkoan Lohan menjadi terkejut bukan main, apa lagi mendengar betapa kata-kata yang keluar dari mulut orang itu logatnya asing walau pun halus dan teratur rapi. Dia memandang penuh perhatian.

Seorang laki-laki yang tinggi kurus dan mengenakan pakaian bersih yang sangat rapi bagai pakaian seorang pelajar, seorang siucai. Rambutnya tersisir rapi dan segala yang nampak pada dirinya, meski pun tidak mewah namun bersih dan rapi. Siangkoan Lohan yang dapat menduga bahwa tentu orang ini bukan orang biasa, cepat memberi hormat dari bawah tembok.

“Sahabat yang baik terlalu memuji ilmu silat kami yang tak ada artinya dan memuji pula puteraku yang bodoh. Silakan turun dan menikmati secawan arak denganku.”

Orang itu tersenyum mengangguk, “Tidak salah pendengaranku. Ketua Tiat-liong-pang memang seorang laki-laki gagah perkasa dan peramah, dapat menghargai orang lain. Sayang kurang semangat!” Setelah berkata demikian, dia meloncat turun.

Cara dia meloncat turun ini yang mengejutkan hati Siangkoan Lohan karena tubuh itu sama sekali tidak membuat gerakan keseimbangan, melainkan meluncur begitu saja seperti balok jatuh. Akan tetapi ketika tiba di atas tanah, sama sekali tak mengeluarkan suara dan kedudukan kaki dan anggota tubuh lain masih seperti tadi.

Juga ia teringat betapa para anggota Tiat-liong-pang selalu melakukan penjagaan ketat diluar pagar tembok. Bagaimana orang ini bisa enak-enak begitu saja memasuki taman tanpa ada muridnya yang mengetahuinya?

“Harap maafkan jika kami belum mengenal nama besar sahabat yang baru datang dan sebaliknya engkau sudah mengenalku. Siapakah engkau, Sobat, dan dari mana engkau datang, ada keperluan apa pula datang berkunjung secara ini?”

Sikap orang itu terlalu halus sehingga Siangkoan Lohan juga tidak mempunyai alasan untuk marah. Apa lagi orang itu tadi memuji-muji puteranya, memuji ilmu silatnya, dan memuji dirinya sebagai ketua Tiat-liong-pang.

Kembali orang itu tersenyum, bahkan senyumnya saja senyum yang amat sopan!

“Semua orang menyebutku Ouwyang Sianseng (Tuan Ouwyang). Aku harus bercerita panjang lebar untuk dapat memberi tahu dari mana aku datang, dan sebetulnya aku tak mempunyai keperluan khusus, hanya kebetulan lewat dan karena mendengar kalian berlatih silat, aku lalu ingin menonton. Puteramu ini sungguh hebat. Jika dididik dengan benar, kelak akan menjadi orang besar, bahkan patut menjadi kaisar!”

Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya. Orang ini agak keterlaluan bicaranya, pikirnya. Bagaimana mungkin puteranya menjadi kaisar? Dan dia seorang yang setia terhadap kerajaan!

“Ouwyang Sianseng, harap jangan berlebihan memuji puteraku. Aku hanyalah seorang ketua perkumpulan, bagaimana mungkin puteraku menjadi kaisar?”

Ouwyang Sianseng tersenyum. “Semenjak kecil aku mempelajari kesusastraan dan ilmu perbintangan. Aku melihat bahwa puteramu ini memang pantas untuk menjadi kaisar, Pangcu. Bukankah dia memiliki darah bangsawan istana pula? Tidak percuma orang menjuluki aku Nam-san Sianjin (Manusia Dewa Gunung Selatan) kalau aku tidak dapat melihat arti garis-garis pada wajah anak ini,” katanya tanpa bernada menyombongkan diri, bahkan pandangan matanya terhadap Siangkoan Liong jelas membayangkan rasa kagum, “Namun tentu saja ia harus dididik sebaiknya, dan pendidikanmu hanya menjadi pendidikan dasar saja, Pangcu. Jika nanti aku yang melanjutkan pendidikannya, barulah kemungkinan dia menjadi kaisar semakin besar.”

Mendengar ucapan terakhir ini, tentu saja Siangkoan Lohan mengerutkan alis. Hatinya merasa tidak senang. Alangkah sombongnya orang ini, pikirnya, berani mengeluarkan ucapan yang sangat meremehkannya, seolah-olah kepandaiannya masih amat rendah tingkatnya dibandingkan tingkat kepandaian orang itu!

“Nanti dulu, Sobat!” katanya sambil tertawa, akan tetapi ketawanya agak masam karena biar pun orang ini datang memuji puteranya dan bermaksud untuk mendidik puteranya agar menjadi kaisar, namun nada suara orang ini amat memandang rendah. “Tidak ada orang lain boleh mendidik puteraku kecuali kalau orang itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku. Kelak dia menjadi orang besar atau tidak, hal itu terserah kepada nasibnya, akan tetapi untuk pendidikannya, ada aku di sini yang mendidiknya, bukan orang lain. Tentu saja boleh dia berguru kepadamu kalau memang ada buktinya bahwa kepandaianmu jauh lebih tinggi dari pada aku.”

Kembali kakek yang halus tutur sapanya itu tersenyum. “Siangkoan Pangcu, namamu sebagai ketua Tiat-liong-pang sudah terkenal di empat penjuru, dan semua orang tahu bahwa engkau memiliki ilmu silat yang hebat, tendangan maut dan tenaga luar dalam yang sukar dicari tandingannya! Akan tetapi untuk dapat mendidik murid seperti aku, engkau masih harus belajar lebih banyak. Tentu saja kepandaianku lebih tinggi darimu, Pangcu. Aku hanya bicara seadanya saja, bukan bermaksud menyombongkan diri.”

Memang demikian, ketua Tiat-liong-pang itu pun kini melihat betapa orang di depannya itu tidak menyombong, bicara dengan suara seakan-akan menerangkan sesuatu yang sudah pasti. Karena sikap orang itu tidak sombong dan tidak mengandung iktikad buruk terhadapnya, maka dia tidak marah, hanya merasa penasaran sekali.

Sementara itu, Siangkoan Liong yang semenjak tadi mendengarkan percakapan antara kedua orang tua itu, kini dia pun merasa penasaran.

“Ayah, buktikan bahwa Ayah tidak kalah olehnya, agar dia cepat-cepat pergi dan tidak mengganggu kita lagi.”

Orang yang mengaku bernama Ouwyang Sianseng atau berjuluk Nam-san Sianjin itu tersenyum gembira memandang Siangkoan Liong.

“Bagus, anak ini sudah memiliki sifat terbuka dan gagah. Majulah, Pangcu, dan mari kita sama membuktikan kebenaran omonganku tadi. Jika engkau tak mampu mengalahkan aku, kelak setelah engkau selesai mengajarkan ilmu-ilmu dasar kepada puteramu, aku akan melanjutkan pendidikannya. Sebaliknya, kalau engkau dapat mengalahkan aku, aku akan minta maaf dan langsung aku pergi dan tidak akan mengganggu kalian lagi.”

Tantangan ini diucapkan dengan suara halus dan sama sekali tidak mengandung nada permusuhan, maka Siangkoan Lohan lalu melangkah maju menghadapi kakek itu.

“Baik. Mari kita memulai perkenalan kita dengan saling menguji kepandaian, Ouwyang Sianseng. Dengan cara bagaimanakah engkau hendak mengadu kepandaian?” Sebagai seorang ketua yang berwibawa dan sadar akan kedudukannya, Siangkoan Lohan tentu saja bersikap mengalah dan mempersilakan calon lawan untuk menentukan cara.

Akan tetapi, kakek berpakaian rapi dan bersikap sopan, itu menjura dengan hormat dan tersenyum. “Senjata yang paling ampuh berada di dalam diri, bukan di luar diri. Hal ini tentu telah kau ketahui pula, Pangcu. Aku sudah mendengar akan kelihaian pukulan dan tendanganmu, dan bahwa dengan kaki tangan dan tenagamu saja, engkau lebih lihai dari pada puluhan orang bersenjata. Kebetulan aku sendiri pun seorang yang paling tidak suka melihat orang mempergunakan senjata dalam perang, membunuhi sesama manusia seperti orang membunuh binatang saja. Nah, bagaimana kalau kita main-main sebentar dengan mengandalkan kaki tangan saja, senjata-senjata pemberian Tuhan sejak kita lahir?”

Hati Siangkoan Lohan tertarik sekali. Tentu saja dia akan merasa beruntung sekali jika ternyata benar bahwa kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatnya darinya, untuk menjadi guru puteranya. Bagaimana pun juga, dia meragukan akan hal ini.

Dia mengenal tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, dan agaknya hanyalah keturunan para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir saja yang akan mampu menandinginya di antara para pendekar, dan hanya datuk-datuk sesat yang sudah terkenal seperti dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai saja yang setingkat dengan kepandaiannya. Akan tetapi orang ini sama sekali tidak terkenal biar pun mengaku berjuluk Manusia Dewa Gunung Selatan (Nam-san Sianjin)!

“Baiklah Ouwyang Sianseng. Aku mengharapkan petunjuk darimu,” berkata Siangkoan Lohan sambil menggerakkan dua lengannya, saling berputaran dengan jari-jari tangan membentuk cakar naga. Kedua lengan itu menggetar dan terdengar suara berkerotok ketika tenaga yang amat kuat mengalir ke dalam kedua tangan itu.

Melihat ini, Ouwyang Sianseng tersenyum mengangguk-angguk.

“Memang bukan nama kosong, hebat Ilmu Liong-jiauw-kang (Tenaga Cakar Naga) itu. Mulailah, Pangcu, aku siap menyambut seranganmu!”

“Awas pukulan!” tiba-tiba ketua Tiat-liong-pang itu membentak sebagai isyarat bahwa dia mulai menyerang.

Angin menyambar dahsyat ketika lengan kirinya meluncur dari samping dan mengirim cakaran ke arah telinga kanan lawan, sedangkan tangan kanan juga bergerak dalam detik berikutnya menyusul serangan pertama itu dengan cengkeraman ke arah perut.

Dua tangan dengan jari-jari tangan yang membentuk cakar naga ini luar biasa kuatnya. Jangankan bagian tubuh manusia, bahkan batu karang pun akan hancur bila terkena cengkeraman itu! Perlu diketahui bahwa tingkat kepandaian Siangkoan Tek yang sudah terkenal dengan sebutan Siangkoan Pangcu (Ketua Siangkoan) atau Siangkoan Lohan ini sudah amat tinggi.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah si Bangau Putih

KISAH SI BANGAU PUTIH (BAGIAN KE-13 SERIAL BU KEK SIANSU)