KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-08
Menghadapi cengkeraman ke arah kepala dan perutnya sekaligus, Ouwyang Sianseng tidak nampak gugup. Kakinya melangkah ke belakang dan dua tangannya, dengan jari tengah dan jari telunjuk tegak, menyambut kedua tangan lawan dengan totokan ke arah telapak tangan!
Melihat ini Siangkoan Lohan terkejut. Kalau orang itu berani menotok telapak tangannya yang penuh dengan tenaga Liong-jiauw-kang, berarti bahwa orang itu tentu mempunyai sinkang yang amat kuat. Dia tidak berani mencoba mengadu tenaganya, karena kalau hal itu terjadi, telapak tangannya menyambut totokan jari tangan lawan, tentu seorang di antara mereka akan dapat terluka parah.
Maka dia pun cepat menarik kembali kedua tangannya dan tiba-tiba saja kedua kakinya melakukan tendangan, mula-mula yang kanan lalu disusul yang kiri, kemudian kanan lagi. Tendangan bertubi-tubi itu selain amat cepat, juga tenaganya bahkan lebih dahsyat dari pada cengkeraman tadi sehingga debu dan tanah mengebul tinggi seolah kedua batang kaki itu menjadi kitiran yang mendatangkan angin besar menerbangkan debu dan daun kering.
Melihat betapa tendangan itu semakin lama semakin kuat, Ouwyang Sianseng yang mengelak ke kanan kiri dan ke belakang itu mengeluarkan suara pujian.
“Ilmu tendangan yang berbahaya!” katanya.
Kini selain mengelak, kedua tangannya yang dimiringkan juga beberapa kali menyambut tendangan dengan tangkisan. Terdengar suara berdebuk-debuk ketika tangan bertemu kaki, dan keduanya terdorong mundur.
Kembali Siangkoan Lohan terkejut. Tangan itu mampu menahan tendangannya! Bukan main, kakek ini benar-benar memiliki sinkang yang amat hebat. Dia pun lalu menyerang dengan desakan, mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Ilmu Silat Tiat-wi Liong-kun. Tubuh ketua ini lalu bergerak cepat bagaikan seekor naga sakti, dengan kedua tangan membentuk cakar dan dua kakinya menyabet-nyabet seperti seekor naga yang sedang mengamuk.
Namun, Ouwyang Sianseng mengimbangi kecepatannya dengan gerakan-gerakan aneh dan lincah sekali. Kadang-kadang kakek ini berloncatan, atau seperti merak terbang, kedua tangannya digerakkan seperti sayap, kedua kakinya itu berloncatan dan sambil meloncat, kakinya itu menendang, atau jari tangannya membentuk kerucut atau paruh burung untuk menotok dari atas. Gerakannya mirip seekor merak dan memang ilmu silat yang dimainkan adalah ilmu silat merak yang aneh dan indah, juga lihai sekali. Memang ilmu silat yang aneh dan tidak pernah dikenal oleh Siangkoan Lohan, dan ilmu silat dari selatan ini disebut Kong-ciak Sin-kun (Ilmu Silat Merak).
Karena sampai puluhan jurus dia tak mampu mendesak lawan, bahkan kadang-kadang gerakannya menjadi kacau oleh keanehan gerakan lawan. Siangkoan Lohan menjadi makin penasaran. Dia menggereng keras dan tiba-tiba cengkeraman tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan.
Selagi dia hendak menggunakan ilmu gulat untuk membanting, tiba-tiba saja kakek itu mendekat, memutar tubuhnya dan siku lengan dari tangan yang tertangkap itu sudah menyerang ke arah dada Siangkoan Lohan. Cepat dan hebat serangan ini, sehingga terpaksa pegangannya dilepaskan dan pada saat itu, kedua tangan lawan dengan jari tangannya yang lihai telah menghujankan totokan kearah jalan darah di bagian tubuh depan sebanyak tujuh kali!
Tentu saja dia terkejut dan menjadi repot untuk mengelak dan menangkis, dan terpaksa harus loncat ke belakang karena dia merasa terdesak. Rasa penasaran membuat ketua Tiat-liong-pang ini mengerahkan sinkang, kemudian mengirim serangan dari jarak jauh dengan mendorong kedua tangan dengan telapak tangan terbuka ke arah lawan.
Melihat ini, Ouwyang Sianseng tersenyum. Ia pun menyambut dengan dorongan kedua telapak tangannya. Segera dua tenaga dahsyat yang tidak nampak bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Siangkoan Lohan terdorong ke belakang sampai terhuyung.
Tahulah Siangkoan Lohan bahwa lawannya itu benar-benar lebih tangguh darinya. Jika lawan itu menghendaki, ia tentu telah roboh dan kalah! Hal ini di samping menimbulkan keheranan dan kekaguman, juga membuat dia merasa girang bukan main dan mulailah dia percaya akan omongan orang ini bahwa puteranya berbakat untuk menjadi kaisar! Dia pun menghentikan gerakannya dan menjura dengan sikap hormat.
“Nam-san Sianjin, sungguh baru sekarang saya harus mengakui keunggulan seseorang yang ternyata lebih pandai dari pada saya. Saya persilakan Sianjin untuk menjadi tamu kami agar perkenalan kita menjadi lebih akrab dan saya ingin minta petunjuk tentang putera kami kepada Sianjin.”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Baiklah, Pangcu. Terima kasih atas kepercayaanmu.”
Sementara itu, Siangkoan Liong yang mendengar pengakuan ayahnya bahwa kakek itu lebih lihai dari pada ayahnya, menjadi bengong. Kemudian anak yang cerdik ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Ouwyang Sianseng atau Namsan Sianjin.
“Locianpwe berjanji akan mengambil teecu (murid) sebagai murid, oleh karena itu mulai sekarang, Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah Suhu (Guru) bagi teecu.” Dan dia pun memberi hormat sebanyak delapan kali sambil menyebut ‘suhu’.
Kakek itu tersenyum gembira, kemudian membangunkan anak itu, meraba-raba pundak, lengan dan kakinya sambil mengangguk-angguk.
“Sudah kuduga, bertulang baik sekali. Pantas menjadi muridku, pantas menjadi seorang calon kaisar!”
Mendengar ini, hati Siangkoan Lohan menjadi girang bukan main. Ia pun lalu mengajak tamunya masuk ke dalam, dan mengadakan pesta untuk menyambut dan menghormati tamunya. Dalam kesempatan ini, Siangkoan Lohan lebih banyak mengenal tamunya dan kakek itu pun dengan singkat menceritakan siapa dia sebenarnya.
Nam-san Sianjin adalah seorang bekas pembesar tinggi di negara Birma! Dia seorang bangsa Han yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sejak muda dia suka merantau untuk memperdalam ilmunya. Perantauannya membawanya ke Birma dan di sana dia, berkat kelihaiannya, memperoleh kepercayaan dari raja, diberi kedudukan dan karena jasa-jasanya, dia bahkan kemudian diangkat menjadi penasehat raja.
Dialah yang berjasa besar dalam menghadapi penyerbuan bala tentara Mancu yang berkali-kali menyerbu ke selatan, namun tidak pernah dapat menguasai Birma berkat pertahanan Birma yang kokoh kuat, di bawah pimpinan Nam-san Sianjin! Dia amat setia kepada Birma, apa lagi karena oleh raja, dia telah dihadiahi seorang puteri istana untuk menjadi isterinya. Juga dia menentang keras pasukan Mancu karena dia tahu bahwa bangsa Mancu adalah bangsa yang menjajah Cina, dari mana dia berasal.
Akan tetapi, terjadi mala petaka menimpa keluarganya ketika berkobar perang melawan bala tentara Mancu. Dalam suatu penyerbuan, ada pasukan yang berhasil menerjang kota dan menyerbu gedungnya, dan isteri bersama tiga orang anaknya tewas dibantai mereka!
Wajah yang tadinya halus lembut dan gembira itu berubah menjadi pucat dan matanya memancarkan sinar berapi ketika dia bercerita sampai di bagian itu. Dia mengepal tinju. “Mereka sudah membasmi anak isteriku. Keparat Mancu! Aku kemudian mengamuk, membunuh sebanyak mungkin orang-orang yang sudah menyerbu rumah kami itu, dan akhirnya aku terpaksa lari dari Birma...“
Siangkoan Lohan mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia pun ikut merasa prihatin. “Tapi... mengapa engkau harus lari dari sana, Sianjin?” tanyanya hati-hati melihat orang itu seperti marah-marah.
“Aku dikatakan gila! Yang mengatakan adalah salah seorang menteri. Kubunuh dia dan setelah melakukan pembunuhan terhadap seorang menteri, aku menjadi buronan dan terpaksa melarikan diri dari Birma. Pula, aku sudah tidak mempunyai sanak keluarga di sana, untuk apa lebih lama tinggal di sana? Aku lalu membawa simpanan hartaku dan melarikan diri, dan kini tinggal di bukit selatan menjadi pertapa. Orang-orang di sekitar daerah itu menyebut aku Nam-san Sianjin.”
Siangkoan Lohan merasa kagum sekali mendengar riwayat hidup kakek yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi itu. Tentu saja Nam-san Sianjin tidak menceritakan apa yang menjadi cita-citanya.
Dia mendendam kepada Kerajaan Mancu yang dianggap telah membasmi keluarganya dan merusak kebahagiaan hidupnya. Oleh karena itu, dia bersumpah untuk membalas dendam, untuk menghancurkan Kerajaan Mancu. Inilah yang menjadi cita-cita terakhir dari hidupnya.
Inilah sebabnya, saat melihat Siangkoan Lohan dan puteranya, ia merasa tertarik sekali. Melalui perkumpulan Tiat-liong-pang yang dia tahu amat berpengaruh dan kuat ini dia akan dapat mengumpulkan kekuatan untuk menentang Kerajaan Mancu. Dan dia dapat menggerakkan hati Siangkoan Lohan dengan memuji-muji puteranya yang dikatakan berbakat besar untuk menjadi calon kaisar. Tentu saja dia sudah menyelidiki keadaan keluarga Siangkoan Lohan ini dan tahu bahwa mendiang ibu anak itu adalah seorang bangsawan tinggi dan masih anggota keluarga Kerajaan Mancu.
Dan dia pun berhasil menggerakkan hati Siangkoan Lohan, seperti ternyata kemudian betapa Siangkoan Lohan yang kini mempunyai ambisi agar puteranya menjadi kaisar, mulai mengadakan persekutuan untuk memberontak dan menjatuhkan Kerajaan Mancu supaya puteranya mendapat kesempatan menjadi kaisar seperti yang diramalkan oleh Nam-san Sianjin!
Selama beberapa tahun, kadang-kadang Nam-san Sianjin datang berkunjung. Dalam percakapan mereka, kakek ini menanam dan menyebar bibit-bibit pemberontakan dalam hati Siangkoan Lohan demi masa depan puteranya sehingga ketua Tiat-liong-pang yang tadinya terkenal sebagai seorang yang amat setia kepada Kerajaan Ceng, kini berubah dan ingin mengadakan persekutuan untuk memberontak!
Sementara itu, Siangkoan Liong digemblengnya dengan sangat keras sehingga setelah dia berusia delapan belas tahun, pemuda itu telah berhasil mewarisi dan menguasai ilmu-ilmu silat dari ayahnya. Juga, menurut nasehat Nam-san Sianjin, Siangkoan Lohan lalu mengundang guru-guru sastra untuk mengajar puteranya, karena menurut nasehat Nam-san Sianjin, seorang calon kaisar haruslah menguasai ilmu tentang sastra dengan baik.
Pada waktu Siangkoan Liong berusia delapan belas tahun, pada suatu pagi muncullah Ouwyang Sianseng atau Nam-san Sianjin. Dia pun mengatakan bahwa kini tiba saatnya bagi Siangkoan Liong untuk digemblengnya.
“Dia akan kuajak ke tempat tinggalku di Nam-san. Aku mengundang Siangkoan Pangcu untuk datang berkunjung pula agar hatinya menjadi tenteram karena dia tahu bahwa puteranya berada di suatu tempat yang dikenalnya.”
Giranglah hati Siangkoan Lohan. Biar pun sekarang dia sudah menjadi kenalan baik Si Manusia Dewa, namun belum pernah dia mengetahui di mana tempat tinggal pertapa itu sehingga tentu saja hatinya akan selalu diliputi kesangsian dan kekhawatiran melepas puteranya untuk mengikuti gurunya ke tempat tinggalnya. Dan kini ia diajak berkunjung, maka tentu saja dia merasa girang dan pada hari itu, berangkatlah dia dan puteranya mengikuti kakek sakti itu.
Pegunungan di daerah selatan tidak setinggi pegunungan di bagian utara, akan tetapi hutan-hutannya lebih lebat dan pohon-pohonnya lebih beraneka ragam. Di atas sebuah puncak di antara bukit-bukit itu terdapat sebuah hutan lebat dan di tempat inilah tinggal Nam-san Sianjin.
Selama ini, Siangkoan Lohan sudah menyuruh beberapa orang anggotanya menyelidiki keadaan kakek pertapa yang menjadi guru puteranya. Dia mendengar hasil penyelidikan orang-orangnya bahwa kakek itu sering mengulurkan tangan menolong para penghuni dusun di sekitar pegunungan itu. Bukan hanya menolong dengan pengobatan, akan tetapi juga sering kali menolong mereka yang kekurangan dan kelaparan dengan bahan makanan, pakaian atau bahkan uang secara royal sekali.
Tidaklah mengherankan kalau kakek itu dinamakan Manusia Dewa oleh para penghuni dusun. Bukan hanya karena dermawan sekali dan pandai mengobati, akan tetapi juga karena kakek itu datang dan pergi seperti menghilang saja. Tak pernah ada yang dapat berhubungan langsung dengan kakek pertapa itu, tetapi melalui para pelayan kakek itu yang kabarnya juga memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, semua murid dan anggota Tiat-liong-pang gagal ketika berusaha mencari tempat tinggal Nam-san Sianjin!
Setelah mereka tiba di tengah hutan di puncak bukit itu, Siangkoan Lohan sendiri lalu terheran-heran. Tidak nampak ada sebuah pun rumah di puncak itu, akan tetapi guru puteranya itu mengatakan bahwa dia tinggal di puncak bukit yang penuh hutan itu! Dan mengertilah dia mengapa anak buahnya gagal semua menemukan tempat tinggal Si Manusia Dewa, karena tempat tinggalnya amat rahasia dan tidak nampak!
“Kita sudah sampai,” kata Nam-san Sianjin seperti dapat membaca kesangsian dalam hati Siangkoan Lohan.
Tiba-tiba saja nampak berlompatan tiga orang lelaki berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, kesemuanya berpakaian indah seperti pelayan-pelayan pembesar dan mereka segera memberi hormat kepada Nam-san Sianjin sambil berlutut!
“Siapkan hidangan untuk menyambut para tamu kita,” kata Nam-san Sianjin kepada tiga orang pelayannya itu. “Siangkoan Pangcu menjadi tamu kita hari ini dan Siangkoan Kongcu (Tuan Muda Siangkoan) ini mulai hari ini tinggal di sini sebagai muridku, jadi sediakan kamar untuknya.”
“Baik,Taijin (Orang Besar),” kata mereka dan mereka lalu menyelinap di antara semak belukar di tepi jurang dan lenyap! Terkejutlah Siangkoan Lohan melihat cara mereka menghilang itu.
“Pangcu, jangan heran. Semak-semak dan jurang itulah pintu gerbang menuju tempat tinggalku. Mari, silakan,” kata Nam-san Sianjin dan dia pun mendahului ayah dan anak itu, menyelinap di antara semak belukar, diikuti oleh Siangkoan Lohan dan puteranya.
Ketika mereka menyusup di antara semak belukar, ternyata di balik semak-semak itu terdapat anak tangga yang menuruni jurang! Pantas tidak ada di antara anak buahnya yang dapat menemukan tempat tinggal kakek ini! Siapa yang menduga bahwa di balik semak belukar, di dalam jurang, merupakan tempat tinggal kakek itu?
Anak tangga itu tidak terus menuju ke dasar jurang, melainkan berhenti hanya sampai di pertengahan dinding jurang dan kiranya di situ terdapat sebuah goa yang tersembunyi dan tidak dapat kelihatan dari atas. Akan tetapi mulut goa yang berada di dinding jurang ini menghadap ke timur sehingga memperoleh penerangan sinar matahari yang cukup.
“Di sinilah tempat tinggalku, pangcu. Silakan masuk,” berkata Nam-San Sianjin sambil melangkah masuk ke dalam goa.
Siangkoan Lohan mengerutkan alisnya dan ikut masuk bersama puteranya. Diam-diam dia merasa kecewa. Puteranya harus tinggal di tempat seperti ini?
Akan tetapi, setelah memasuki goa itu, ia terbelalak dan menjadi bengong! Goa itu lebar dan nampak biasa saja ketika dia mulai memasukinya, akan tetapi setelah masuk ke sebelah dalam, dia jadi terpesona. Di dalam goa itu ternyata amat luas, seperti rumah gedung besar, dan keadaan di dalamnya tidak kalah dengan gedung tempat tinggalnya sendiri, bahkan jauh lebih mewah. Keadaan goa ini sungguh tiada ubahnya keadaan di dalam gedung istana!
Terdapat banyak kamar, dan setiap ruangan dihias gambar-gambar dan tulisan-tulisan indah. Setiap perabot rumah amat indah dan halus buatannya, dan keadaan di dalam goa itu luar biasa sekali. Sedemikian luasnya, dengan sebagian atasnya berlubang dan terbuka sehingga nampak sinar matahari. Bahkan di tengah-tengah ruangan itu terdapat pula sebuah taman kecil penuh bunga!
Tak nampak pelayan wanita di situ. Agaknya kakek Ouwyang hanya hidup bersama tiga orang pelayan laki-laki yang tadi menyambut. Mereka itulah yang membersihkan tempat tinggal mewah itu, memasak, dan melayani Nam-san Sianjin serta melakukan pekerjaan lainnya.
Setelah membiarkan tamunya mengagumi isi goa itu, Nam-san Sianjin mempersilakan mereka memasuki sebuah ruangan yang paling luas, yang berada di sebelah dalam.
“Ruangan itu kujadikan sebagai ruangan tamu, juga ruang duduk dan sekaligus ruangan untuk berlatih silat. Dan kadang-kadang, seperti sekarang ini, bisa juga menjadi ruangan makan, walau pun baru sekarang aku menjamu seorang tamu.”
Siangkoan Lohan merasa terhormat sekali dan segera bermunculan tiga orang pelayan tadi yang datang membawa hidangan yang lalu mereka atur di atas meja. Akan tetapi perhatian Siangkoan Lohan tertarik kepada hiasan aneh yang terdapat di dekat dinding, di sebelah rak senjata.
Di situ terdapat sebuah rak panjang dengan tombak-tombak yang berdiri berjajar. Akan tetapi, di atas tombak itu tertancap masing-masing sebuah kepala manusia, ada belasan buah banyaknya! Yang mengerikan sekali, kepala manusia itu seperti dalam keadaan hidup. Matanya terbuka dan hanya mukanya yang nampak pucat, namun segalanya masih utuh seperti hidup.
“Itu... itu... apa maksudnya?” tanya Siangkoan Lohan sambil menuding dan Siangkoan Liong juga terkejut melihat kepala yang berjajar itu.
“Aahhh, itu?” berkata tuan rumah sambil menarik napas panjang dan alisnya berkerut, seolah-olah dia teringat akan hal yang tidak menyenangkan. “Itulah kepala beberapa orang yang memimpin penyerbuan. Mereka yang menyebabkan matinya semua anak isteriku. Aku berhasil mencari dan membunuh mereka, kepalanya kuawetkan dengan ramuan obat dan kupasang di sini agar mendinginkan hatiku setiap kali teringat kepada anak isteriku.”
Siangkoan Lohan diam-diam bergidik. Orang yang amat lihai ini ternyata dapat berlaku amat sadis dalam pembalasan dendamnya. Dia tidak tahu sama sekali bahwa memang dendam telah membuat Ouwyang Sianseng menjadi seperti gila, dan karena dianggap gila itulah maka dia dipecat dari kedudukannya dalam istana raja Birma! Dia dianggap berbahaya dan bahkan kemudian dia membunuh seorang menteri dan menjadi buronan pemerintah Birma.
Sebaliknya dari ayahnya, Siangkoan Liong merasa kagum sekali kepada gurunya, yang dianggapnya telah menebus kematian yang membuat penasaran dari keluarganya dan telah membuktikan kesetiaannya kepada keluarganya.
Setelah dijamu dengan masakan yang cukup lezat dan lengkap sehingga terlihat aneh masakan seperti itu bisa dihidangkan di tempat itu, Siangkoan Lohan lalu meninggalkan puteranya di situ dan kembali ke perkampungan Tiat-liong-pang. Dia harus berjanji tak akan memberi tahukan pada siapa pun juga tentang tempat tinggal Ouwyang Sianseng atau Nam-san Sianjin ini. Dan kemudian ternyata bahwa kakek ini pun tidak pernah berhubungan dengan orang lain kecuali Siangkoan Lohan dan puteranya.
Siangkoan Liong lalu menerima gemblengan di tempat rahasia itu oleh kakek bekas penasehat Raja Birma sehingga dalam waktu dua tahun ia telah memperoleh kemajuan yang amat pesat. Setelah lewat dua tahun dan kembali ke rumah orang tuanya, dia melihat betapa ayahnya kini telah mengadakan persekutuan dengan tokoh-tokoh lihai.
Karena girang melihat puteranya telah tamat belajar dan mempunyai kepandaian yang tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari tingkatnya sendiri, Siangkoan Lohan kemudian mengadakan pesta, sekalian untuk merayakan hari ulang tahunnya yang keenam puluh tahun. Dia lalu mengundang tokoh-tokoh, baik dari golongan hitam mau pun putih dan seperti kita ketahui, di dalam pesta itu terjadilah keributan.
Siangkoan Liong maklum bahwa ayahnya sedang bersekutu dengan kekuatan-kekuatan yang ingin menggulingkan pemerintah Mancu. Meski dia sendiri, dalam keangkuhannya merasa diri jauh lebih tinggi, tak suka bergaul dengan orang-orang kang-ouw itu, namun dia tidak menghalangi usaha ayahnya karena dia maklum bahwa usaha pemberontakan itu cocok dengan apa yang dicita-citakan oleh gurunya, yaitu menggulingkan pemerintah Ceng dan dialah yang kelak dicalonkan menjadi kaisar kalau usaha itu berhasil.....
********************
Setelah menyelamatkan Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang yang hampir saja tewas di tangan Sin-kiam Mo-li, dan mengobati luka beracun di tangan ketua itu, Tan Sin Hong segera pergi dengan cepat tanpa memperkenalkan diri lagi. Dia tidak ingin terlibat dalam urusan orang lain dan dia juga tidak mengenal siapa orang yang nyaris tewas di tangan Sin-kiam Mo-li itu. Kalau dia turun tangan membantu orang itu hanyalah karena orang itu terancam maut di tangan Sin-kiam Mo-li yang sudah dia ketahui kejahatannya.
Sin Hong melanjutkan perjalanannya dengan secepatnya menuju ke kota raja. Dia harus menemukan orang kaya yang disebut Lay Wangwe (Hartawan Lay) itu, karena agaknya hanya kalau dia menemukan Lay Wangwe, maka dia akan melanjutkan penyelidikannya tentang kematian ayahnya yang penuh rahasia itu. Dia percaya bahwa tidak akan sukar mencari orang itu karena ciri-cirinya. Pertama, nama keturunannya Lay, kaya raya dan kepalanya botak perutnya gendut. Tentu tidak banyak orang yang sekaligus memiliki ciri-ciri itu.
Akan tetapi, setelah kurang lebih sepekan dia melakukan penyelidikan di kota raja, dia tidak berhasil menemukan orang yang dicari-carinya. Ada hartawan Lay, bahkan ada beberapa orang yang kaya dan she Lay di kota raja, akan tetapi kepalanya tidak botak walau pun ada yang gendut. Kalau ada yang kepalanya botak dan gendut, namanya bukan Lay, juga tidak kaya raya. Namun, tetap saja dia menyelidiki orang kaya yang she Lay, botak atau tidak. Namun tidak ada seorang pun di antara mereka yang pernah mengirim seratus kati emas dari Ban-goan ke Tuo-lun.
Akhirnya Sin Hong mengambil kesimpulan bahwa nama Lay Wangwe itu mungkin sekali palsu, hanya untuk pancingan saja. Bahkan mungkin peti yang katanya berisi seratus tail emas itu pun bohong dan sengaja digunakan untuk selain membunuh Tan-piauwsu, juga menyita perusahaannya untuk mengganti rugi!
Dan siapa lagi yang membutuhkan kejatuhan Peng An Piauwkiok kecuali saingannya? Saingan terbesar dari Peng An Piauwkiok adalah Ban-goan Piauwkiok yang dikepalai Kwee Tay Seng! Selain saingan dalam urusan perusahaan, juga saingan dalam urusan wanita! Siapa yang tahu kalau Ciu-piauwsu ternyata benar dalam tuduhannya bahwa Kwee-piauwsu yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, baik terhadap ayahnya mau pun terhadap Tang-piauwsu.
Pertama karena dendam atas kekalahannya memperebutkan wanita, dan ke dua karena persaingan dalam urusan perusahaan. Memang kini, setelah penyelidikannya terhadap orang bernama Lay Wangwe gagal, satu-satunya orang yang dapat dicurigai adalah Kwee-piauwsu.
Maka dia pun memutuskan untuk segera kembali ke kota Ban-goan untuk melakukan penyelidikan terhadap Kwee-piauwsu dan menunda niatnya berkunjung kepada Kao Cin Liong, suheng-nya yang tinggal di Pao-teng, di sebelah selatan kota raja.....
********************
Malam itu bulan purnama. Langit amat bersih, hanya ada awan putih tipis yang amat mengganggu sinar bulan sehingga cuaca amat bersih dan cukup terang. Suasana amat menggembirakan.
Tapi bersama dengan sinar bulan yang indah datang pula angin dingin yang memaksa orang-orang yang tadinya menikmati keindahan sinar bulan di luar rumah, memasuki rumah yang lebih hangat. Hawa yang sangat dingin membuat orang sore-sore sudah memasuki kamar tidur dan menjelang tengah malam suasana di kota Ban-goan sudah amat sunyi. Sebagian besar penduduknya sudah tidur nyenyak.
Ban-goan Piauwkiok juga nampak sunyi, walau pun setiap malam ada saja anggota piauwkiok yang melakukan penjagaan secara bergilir di dalam gardu penjagaan di sudut luar. Perusahaan itu berkantor di depan, sedangkan rumah tinggal Kwee-piauwsu ada di bagian belakang.
Pekerjaan sebagai pimpinan suatu piauwkiok (perusahaan pengawal barang) tentu saja memiliki banyak musuh, yaitu para penjahat, para perampok yang suka mengganggu pengawalan barang. Oleh karena itulah maka semua pimpinan perusahaan piauwkiok selalu berhati-hati dan kantor bersama tempat tinggal mereka selalu dijaga oleh anak buah secara bergilir.
Malam itu terlampau dingin bagi empat orang piauwsu yang bergilir jaga di dalam gardu penjagaan. Tadinya mereka masih berusaha melewatkan waktu dengan bermain kartu, akan tetapi hawa dingin membuat mereka mengantuk sekali dan kini keempat orang itu duduk berhimpit di dalam gardu jaga, menghangatkan tubuh dengan membuat unggun di luar gardu.
Apalagi dalam keadaan kedinginan dan bersembunyi di dalam gardu, andai kata mereka itu berada di luar gardu, berjaga dengan waspada sekali pun, tak mungkin mereka akan dapat melihat bayangan orang yang berkelebat dengan amat cepatnya, hanya nampak berkelebat bagai bayangan burung yang terbang di udara. Dengan kecepatan luar biasa bayangan itu telah melompati pagar tembok yang mengelilingi rumah besar itu dan telah menyelinap-nyelinap ke dalam taman di sebelah kanan rumah. Setelah melihat dengan teliti dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada penjaga di situ, juga di atas genteng nampak sunyi saja, bayangan itu kemudian melayang naik ke atas genteng rumah.
Bayangan itu adalah Tan Sin Hong yang sedang melakukan penyelidikan di rumah keluarga Kwee, tidak tahu dengan jelas apa yang akan dilakukan dan bagaimana harus memulai dengan penyelidikannya itu. Dia merasa yakin bahwa dalam hawa sedingin itu, tidak mungkin ada orang berjaga di atas genteng dan mau menentang hembusan angin malam yang amat dinginnya. Bulan masih tampak cemerlang di atas, dan suasana sunyi sekali.
Sejenak Sin Hong termenung. Dia mengingat kembali ketika Ciu-piauwsu mendatangi rumah ini kemudian menantang Kwee-piauwsu. Teringat betapa gagah dan tenangnya Kwee-piauwsu dan betapa piauwsu itu sudah menyangkal bahwa dia telah membunuh Tan-piauwsu, atau pun Tang-piauwsu. Dia menjadi ragu-ragu. Apa yang harus dicarinya dan bagaimana dia harus memulai penyelidikannya?
Ahhh, siapa tahu Tuhan akan membantunya dan mungkin saja dia akan melihat atau mendengar sesuatu yang akan dapat membantu penyelidikannya. Maka dari itu, setelah mempelajari keadaan dalam gedung itu dari atas, dia pun lalu melayang turun lagi, kini ke sebelah dalam dan dia turun dekat lapangan terbuka, di antara deretan kamar dan lorong menuju ke ruangan besar.
Dengan penuh keyakinan bahwa semua penghuni rumah itu telah tidur pulas, dia pun melangkah dengan hati-hati memasuki ruangan yang nampak gelap sekali karena tidak memperoleh sinar bulan, sedangkan dalam ruangan itu tidak ada lampunya.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melangkah masuk, tiba-tiba saja terdengar bentakan suara wanita, “Pencuri jahat, berani engkau mencuri ke sini?”
Dari angin yang menyambar di tempat gelap, tahulah Sin Hong bahwa ada sebatang pedang menyambar ke arah dadanya! Cepat dia meloncat keluar kembali dan membuka pintu kamar. Kalau dia mau meloncat dan melarikan diri pada saat itu, kiranya tidak akan terlambat. Akan tetapi Sin Hong tidak melakukan hal ini.
Dia maklum bahwa dia telah ketahuan orang dan disangka pencuri. Kalau dia melarikan diri dan ketahuan siapa dirinya, tentu hal ini amat tidak baik bagi namanya dan dia akan disangka sebagai penjahat. Mengapa tidak menghadapi saja mereka dengan secara terang-terangan dan mengajak Kwee-piauwsu bicara tentang kematian ayahnya dan Tang-piauwsu? Dari sikap dan kata-kata Kwee-piauwsu dalam percakapan itu, dia akan dapat menduga apa sebenarnya peran piauwsu itu dalam urusan ini.
Maka, dia pun tidak mau meloncat pergi, melainkan menanti saja di luar ruangan itu dan wajahnya dapat kelihatan jelas karena selain cahaya lentera dan lampu yang tergantung di situ menerangi wajahnya, juga sinar bulan membuat tempat itu cukup terang.
Orang pertama yang melompat keluar dari dalam ruangan itu adalah seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun yang manis sekali. Gadis ini bertubuh sedang, dengan sepasang kaki nampak panjang, tubuh yang padat dan ranum, tubuh seorang dara yang mulai dewasa. Rambutnya hitam lebat dan panjang sekali, dikuncir menjadi dua diikat dengan pita merah. Dua kuncir itu bergantungan sampai ke pinggulnya.
Pinggangnya ramping ketika ia bergerak meloncat ke luar dengan pedang di tangan kanan dan sebuah lentera besar dan baru saja dinyalakan di tangan kiri. Dari cahaya lampu ini, nampak jelas oleh Sin Hong wajah gadis itu.
Kulitnya agak hitam, namun manis bukan main, terutama sekali mulutnya. Sepasang bibirnya berbentuk indah seperti gendewa terpentang, dengan garis yang jelas dan bibir itu penuh dan merah basah, sedikit terbuka memperlihatkan kilauan gigi putih seperti mutiara dan sepasang matanya tajam memandang Sin Hong penuh selidik.
Agaknya gadis itu tertegun dan agak heran melihat betapa ‘maling’ yang mampu mengelak dari serangannya tadi tidak melarikan diri, melainkan berdiri di situ menanti. Dan tak disangkanya bahwa penjahat itu seorang laki-laki muda yang berpakaian serba putih, wajahnya biasa saja, akan tetapi sinar matanya demikian lembut dan mulutnya terhias senyum ramah dan menarik! Sama sekali bukan wajah seorang pencuri atau penjahat yang kejam dan ganas, melainkan wajah seorang pemuda yang ramah dan baik hati.
Akan tetapi karena ia merasa curiga melihat munculnya pemuda tak di kenal, di tengah malam, memasuki ruangan gelap di mana ia tadi berlatih semedhi, ia pun kini mendekati dan menodongkan pedangnya dengan sikap mengancam.
“Menyerahlah sebelum pedangku yang bicara!” Pedangnya menodong dada dan lampu di tangannya diangkat menerangi muka Sin Hong.
“Tahan, jangan serang dia!” Tiba-tiba terdengar suara memerintah.
Mendengar suara ayahnya, gadis itu melangkah mundur dan menurunkan pedangnya, namun sikapnya masih mengancam.
“Ayah, dia sudah memasuki ruangan lian-bu (latihan silat). Lagaknya seperti seorang pencuri!” bantahnya.
Kwee Tay Seng atau Kwee-piauwsu tidak menjawab, hanya melangkah menghampiri Sin Hong. Sejak tadi dia menatap wajah itu dan kini dia sudah berhadapan dengan Sin Hong, matanya masih terus mengamati wajah pemuda berpakaian putih yang berdiri di situ dengan sikap tenang dan juga sedang memandangnya.
“Kau... kau seperti pernah melihatmu... ah, engkau mirip sekali dengannya...! Bukankah engkau ini putera mendiang Tan-piauwsu?”
Sin Hong merasa heran mendengar ini, akan tetapi dia pun teringat akan hubungan pria yang gagah ini dengan mendiang ibunya, dan dia tahu bahwa wajahnya memang mirip dengan wajah ibunya.
“Ayah, kalau dia benar putera Tan-piauwsu, jelas bahwa dia datang bukan dengan niat baik. Tadi dia meloncat turun dari atas genteng dan menyelinap masuk seperti pencuri. Aku yang tadi berada di dalam ruangan gelap dapat melihat dengan jelas. Begitu dia melangkah masuk, aku sudah menyerangnya, akan tetapi dia meloncat keluar lagi,” Kwee Ci Hwa, puteri Kwee-piauwsu itu, berkata lagi.
“Orang muda, aku mengenal mendiang ayahmu sebagai seorang gagah, dan engkau tentu seorang pemuda yang gagah pula. Marilah kita bicara secara jantan dan terbuka, dari pada engkau harus datang secara gelap begini. Silakan masuk dan mari kita bicara di dalam.”
Sin Hong merasa malu sendiri dan dia pun mengangguk, lalu mengikuti tuan rumah itu memasuki ruangan tadi, diikuti oleh Ci Hwa yang membawa lampu. Ternyata ruangan itu luas dan bersih, hanya terdapat beberapa buah bangku di dekat dinding dan sisanya kosong karena ruangan itu adalah sebuah tempat berlatih silat.
Ci Hwa menaruh lampu itu di atas meja kecil, dan dinyalakan lagi tiga buah lentera lain yang digantungkan di dinding sehingga kini ruangan itu menjadi terang. Kwee-piauwsu mempersilakan Sin Hong duduk di atas bangku, kemudian dia sendiri beserta puterinya duduk menghadapinya.
“Orang muda, katakanlah siapa engkau sebenarnya,” kata Kwee-piauwsu.
“Tidak salah dugaanmu tadi, Paman Kwee. Aku adalah Tan Sin Hong, putera dari Tan Piauwsu, dan yang menyebabkan aku malam ini datang menyelundup seperti seorang pencuri adalah karena aku hendak menyelidiki tentang kematian ayahku dan kematian paman Tang Lun.”
“Sungguh aneh,” kata Ci Hwa yang sejak tadi diam saja. “Menyelidiki kematian mereka, kenapa harus mencari di sini? Apakah pembunuh mereka berada di sini?”
Kwee-piauwsu mengeluh panjang. Pada saat itu terdengar suara berisik dan ternyata ada beberapa orang anggota piauwkiok yang meronda dan agaknya mereka merasa heran dan curiga melihat betapa ada suara orang tengah bicara di lian-bu-thia yang juga nampak terang.
“Ci Hwa, engkau keluarlah dan tenangkan mereka. Aku hendak bicara berdua dengan Tan Sin Hong.”
Biar pun gadis itu memandang kecewa karena ia pun ingin sekali mengetahui kelanjutan dari munculnya pemuda itu, namun dia tidak membantah ayahnya, dan dia pun segera keluar dan tak lama kemudian, para anggota piauwkiok pergi meninggalkan tempat itu, melanjutkan perondaan.
“Sin Hong, sudah dua kali ini orang mencurigai aku sebagai pembunuh ayahmu dan Tang-piauwsu. Padahal, aku sama sekali tidak tahu menahu tentang peristiwa itu. Ketahuilah, bahwa dahulu persaingan yang terjadi antara aku dengan ayahmu adalah persaingan sehat dua orang yang memiliki perusahaan yang sama. Kami sama-sama bersaing untuk mendapat kepercayaan langganan dengan pelayanan sebaiknya, bukan persaingan dengan cara saling menjatuhkan. Pernah Ciu Hok Kwi, piauwsu muda yang belum lama menjadi piauwsu itu pun menuduh aku yang membunuh Tang-piauwsu sehingga dia datang ke sini dan mendatangkan keributan. Dan sekarang engkau sendiri, putera Tan-piauwsu datang ke sini tentu mempunyai dugaan pula bahwa aku yang telah membunuh ayahmu dan Tang-piauwsu. Sungguh membuat aku merasa penasaran sekali!” Kakek itu mengeluh dan mengepal tinju.
“Tidak kusangkal bahwa aku dan ayahmu bersaingan dalam memajukan perusahaan masing-masing, akan tetapi aku, Kwee Tay Seng, selama hidupku belumlah demikian rendah untuk menggunakan cara-cara kotor, apa lagi sampai melakukan pembunuhan dengan curang!”
Sejak tadi Sin Hong menatap wajah kakek itu dengan penuh perhatian dan melihat sikap dan suara Kwee-piauwsu, memang sukar dipercaya orang segagah ini melakukan kecurangan seperti itu, membunuh dengan sembunyi-sembunyi. Akan tetapi masih ada sesuatu yang membuat Sin Hong penasaran, maka dengan terus terang dia berkata, “Paman Kwee, selain persaingan dalam perusahaan, aku juga pernah mendengar dari Tang-piauwsu bahwa dahulu, antara mendiang ibuku dan engkau...“
“Aihh...!” Kwee Tay Seng menghela napas panjang dan mengangguk-angguk, mukanya berubah lesu. “Inilah sebabnya mengapa aku menyuruh Ci Hwa pergi meninggalkan kita. Aku memang hendak membicarakan hal ini, karena aku sudah menduga bahwa tentu ini merupakan satu di antara sebab mengapa aku yang dicurigai. Tadi pun, ketika melihatmu, aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentulah putera Bwee Hwa. Wajahmu demikian mirip dengannya. Sin Hong, tidak perlu kusangkal lagi. Memang di waktu kami muda, terdapat pertalian cinta antara aku dan ibumu, akan tetapi sungguh sayang, orang tua kedua pihak tidak setuju sehingga kami terpaksa saling berpisah. Namun, kemudian aku melihat betapa ia, ibumu yang dulu pernah menjadi kekasihku itu, hidup dengan bahagia bersama Tan Hok, ayahmu. Aku cinta kepada ibumu, maka, lebih tak masuk di akal lagi kalau aku ingin membikin ia sengsara dengan membunuh suaminya! Aku belumlah gila, dan cintaku adalah cinta suci, bukan cinta nafsu belaka yang menimbulkan iri. Tidak, Sin Hong, aku tak akan mengganggunya, seujung rambut pun, tetapi aku mendengar bahwa ketika menyusul suaminya ke utara, rombongannya dihadang perampok dan ia meninggal...“
Sunyi sejenak dan Sin Hong termangu-mangu. Sedikit pun ia tak meragukan kebenaran Kwee-piauwsu. Yang melakukan penghadangan terhadap rombongan ibunya, kemudian mencelakakan dia dan ibunya, juga orang-orang berkedok. Tak mungkin Kwee-piauwsu yang memimpin penghadangan itu dan membikin celaka ibunya, wanita yang dicintanya.
Keterangan dan perasaannya itu melegakan hatinya, akan tetapi juga mendatangkan rasa kecewa dan penasaran. Hatinya lega karena dia yakin orang tua gagah ini bukan pembunuh ayahnya dan Tang-piauwsu, akan tetapi dia penasaran dan kecewa karena kini putuslah sudah jalur penyelidikannya. Setelah Kwee-piauwsu terlepas dari daftar orang yang dicurigai, maka tidak ada lagi orang yang dapat dicurigainya! Pada saat itu terdengar suara Ci Hwa dari luar.
“Ayah, bolehkah aku masuk?” Gadis itu masih ingin melihat bagaimana kelanjutan dari urusan dengan pemuda she Tan itu.
Karena cerita tentang Bwee Hwa, ibu Sin Hong, sudah mereka bicarakan dan tidak akan diulang lagi, maka Kwee Tay Seng lalu menjawab.
“Masuklah, Ci Hwa.”
Gadis itu masuk dan duduk di dekat ayahnya. “Bagaimana urusannya dengan dia ini, Ayah?”
Sin Hong memandang kepada gadis itu dan membungkuk. “Nona, akulah yang salah. Ayahmu tidak tahu apa-apa tentang kematian ayahku dan Paman Tang, dan karena itu maafkan aku. Paman Kwee, maafkan aku...“
Melihat sikap pemuda itu yang nampak kecewa, Kwee-piauwsu berkata, “Sin Hong, aku dapat merasakan kekecewaanmu. Engkau kehilangan ayah ibu, tentu saja engkau ingin membalas dendam kepada mereka yang telah membunuhnya.”
“Ibu bukan dibunuh orang, melainkan meninggal karena badai di gurun pasir, Paman.”
Dengan singkat dia pun lalu menceritakan betapa rombongan ibunya yang dikawal oleh mendiang Tang-piauwsu diserang oleh orang-orang berkedok. Dia bersama ibunya lalu menunggang onta dan melarikan diri memasuki gurun pasir sampai akhirnya ibunya meninggal di gurun pasir.
Sampai di sini dia menghentikan ceritanya karena dia tidak ingin bercerita tentang guru gurunya, hanya menyambung dengan kata-kata yang tegas. “Dan aku sama sekali tidak ditekan dendam, Paman. Kalau aku mencari pembunuh-pembunuh itu, bukan terdorong dendam pribadi, tetapi karena perbuatan yang sedemikian jahatnya itu harus kuselidiki. Apa sebabnya ayah dibunuh, dan kalau pembunuhnya memang melakukannya karena kejahatan, maka kejahatan itu harus ditentang dan dihukum, Paman.”
Kwee-piauwsu mengangguk-angguk. “Tapi, sampai sejauh mana penyelidikanmu? Aku ingin membantumu, orang muda, karena aku pun merasa penasaran sekarang, apa lagi karena akulah yang dituduh melakukan perbuatan kejam itu.”
Suara Kwee-piauwsu terdengar penuh kesedihan. Memang dia merasa berduka sekali mendengar tentang kematian Bwee Hwa, bekas kekasihnya. Dan biar pun Bwee Hwa tidak mati dibunuh, namun sama saja, ada orang yang menyebabkan ia sampai lari ke gurun pasir dan menemui kematiannya di sana.
Dengan singkat Sin Hong lalu bercerita tentang penyelidikannya terhadap Lay-wangwe, orang yang dia curigai karena hartawan itulah yang mula-mula menemui ayahnya dan mengirim barang berharga itu.
“Kurasa hanya ialah satu-satunya orang yang mengetahui persoalan ini, Paman, karena ia yang mengirim emas itu, dan ia pula yang menuntut ganti rugi sehingga perusahaan ayah berikut rumah dan seisinya disita. Akan tetapi, penyelidikanku gagal. Di kota raja tak pernah ada seorang Lay-wangwe yang berkepala botak dan berperut gendut seperti itu.”
Kwee-piauwsu mengangguk-angguk. “Aku juga sudah mendengar tentang penyitaan itu dan menurut anak buahku, kini Peng An Piauwkiok telah menjadi perusahaan pengawal yang baru, dengan rumah dan kantornya sudah dibetulkan menjadi cukup megah. Dan kabarnya, Ciu-piauwsu yang kini menjadi pengurusnya.”
Sin Hong mengangguk. “Memang benar, Paman. Paman Ciu telah mencarikan seorang sahabat, atau keluarganya yang kaya untuk memberi pinjaman uang untuk membayar sebagian kerugian itu, dan kini karena perusahaan mundur dan tak mampu membayar pinjaman, semua rumah dan kantor terjatuh ke tangan orang yang memberi pinjaman uang. Agaknya perusahaan itu diperbarui, dilanjutkan dan Ciu-piauwsu yang menjadi pemimpinnya, mengingat bahwa majikannya adalah keluarganya.”
“Orang yang kau sebutkan tadi, Lay-wangwe itu, pernah datang ke sini...“
“Ah, benarkah, Paman? Harap Paman ceritakan...!” Sin Hong memotong, mendapatkan harapan baru.
“Hal itu terjadi beberupa hari sebelum dia menyerahkan angkutan barang berharga yang harus dikawal ke Tuo-lun itu kepada ayahmu. Dia datang dan membawa peti besar yang tertutup rapat, minta kepadaku untuk mengawal ke Tuo-lun dengan janji upah besar. Aku menerimanya dengan syarat bahwa isi peti itu harus dibuka dan dihitung lebih dulu. Dia menolak dan marah-marah karena aku dianggap tak percaya kepadanya. Akhirnya aku mendengar dia mengirim barangnya itu melalui pengawalan Peng An Piauwkiok.”
“Akan tetapi, apakah Paman mengetahui di mana dia tinggal?”
Seperti yang telah dikhawatirkannya, piauwsu itu menggeleng kepala. “Kami semua tak ada yang tahu, akan tetapi karena ada beberapa orang anak buahku pernah melihatnya, biarlah aku membantumu dengan menyebar mereka agar suka mencarinya. Seorang di antara mereka, baru dua hari yang lalu pernah mengatakan kepadaku bahwa si gendut botak itu nampak berkeliaran di kota ini.”
Sin Hong merasa girang sekali dan anak buah itu segera dipanggil.
“Memang saya melihatnya dua hari yang lalu. Lagaknya masih seperti dahulu, seperti seorang hartawan besar, dengan pakaian mewah dan royal dengan uangnya.”
“Sekarang juga, engkau ajak teman-temanmu yang pernah melihatnya untuk melakukan pencarian secara berpencar dan kalau menemukannya, cepat memberi kabar ke sini!”
Setelah orang itu pergi, Kwee Ci Hwa juga bangkit berdiri. “Aku dulu juga melihatnya, biar aku juga membantu mencarinya!”
Tanpa menanti jawaban, gadis itu sudah meloncat keluar. Sin Hong merasa tidak enak sekali.
“Ah, aku ternyata selain membikin ribut di sini, juga membikin repot saja, Paman Kwee.”
“Jangan berkata begitu, Sin Hong. Sudah semestinya dalam hal seperti ini kita saling bantu.”
“Akan tetapi sampai nona...ehhh, adik Kwee sendiri ikut repot...“
“Aku mengerti isi hatinya. Tentu ia merasa tidak enak karena tadinya aku yang disangka sehingga ia ingin sekali membantu untuk membersihkan nama ayahnya. Engkau tunggu saja di sini malam ini sampai ada berita dari mereka tentang hasil penyelidikan mereka.”
“Terima kasih, Paman. Akan tetapi aku tidak berani mengganggu lebih lama lagi malam ini. Biarlah besok pagi saja aku datang ke mari lagi untuk mendengar keterangan hasil penyelidikan itu. Sekarang saya lebih baik pergi saja dulu.”
“Tidak ada yang terganggu, Sin Hong. Setelah terjadinya peristiwa ini, aku pun tidak akan dapat tidur lagi. Biarlah kita bercakap-cakap di sini sambil menanti mereka. Karena kota ini kecil saja kiranya tidak akan lama mereka mencari.”
Karena ditahan-tahan, Sin Hong merasa tidak enak juga kalau tidak mau menerimanya dan ketika mereka bercakap-cakap, dia mendengar kenyataan bahwa orang she Kwee ini memang memiliki sikap yang amat menyenangkan. Dia gagah dan jujur dan Sin Hong merasa tertarik sekali, juga semakin percaya karena orang seperti ini tak mungkin melakukan kejahatan yang keji dan curang.
Juga Kwee Tay Seng mempunyai pengalaman yang luas di dunia kang-ouw, mengenal tokoh-tokoh kang-ouw yang pandai. Dalam ilmu kepandaian, pernah dia melihat ketika Kwee-piauwsu menghadapi amukan Ciu Hok Kwi dan dia tahu bahwa dalam hal ilmu silat, agaknya sukar mencari orang di daerah Ban-goan yang akan mampu menandingi piauwsu ini.
Karena mereka asyik bercakap-cakap, tak terasa waktu berlalu dengan cepatnya dan menjelang pagi, muncullah Kwee Ci Hwa dan dua orang anak buah piauwkiok.
“Ayah, kami telah menemukan dia!” kata gadis itu.
Sin Hong merasa berterima kasih sekali, apa lagi sesudah melihat betapa gadis itu nampak kedinginan dan lelah.
“Ahh, terima kasih! Dia berada di mana, Nona?”
“Sin Hong, anakku yang hanya satu ini bernama Kwee Ci Hwa, harap engkau jangan sungkan-sungkan dan menyebut nona kepadanya,” kata Kwee-piauwsu yang diam-diam merasa suka kepada pemuda yang sederhana itu.
“Maaf, adik Ci Hwa, akan tetapi aku ingin sekali tahu di mana adanya si gendut botak she Lay itu.”
“Dia... dia... Gu-toako, engkau saja yang menerangkan,” kata gadis itu dan mukanya berubah merah.
Anak buah piauwkiok itu lalu menerangkan dengan jelas. “Orang she Lay yang gendut botak itu sudah beberapa hari berada di Ban-goan dan agaknya memang hanya kalau malam saja dia baru berkeliaran keluar, kalau siang entah bersembunyi di mana. Kami menemukan jejaknya dan kini dia berada di rumah pelesir di ujung timur kota. Selama beberapa hari ini memang dia langganan di situ dan menurut penyelidikan kami, dia amat royal dengan uangnya, dan di sana pun dia dipanggil Lay-wangwe (Hartawan Lay) yang royal memberi hadiah kepada para pelacur.”
Kini mengertilah Sin Hong mengapa gadis itu malu untuk menceritakan, dan dia sendiri sungguh pun kelahiran kota itu, namun tidak tahu di mana letaknya rumah pelesir atau rumah pelacuran itu.....
Komentar
Posting Komentar