KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-12


“Tapi jangan engkau lengah dan memandang ringan lawan, Hong Li. Engkau tentu tahu betapa lihainya Sin-kiam Mo-li. Selain amat lihai ilmu silatnya, juga ia menguasai sihir. Meski kami telah menggemblengmu dengan kekuatan sinkang untuk menolak pengaruh sihir, namun dalam hal ilmu silat, kiranya engkau masih kalah pengalaman. Apa lagi jika dia dibantu oleh para tokoh Pek-lian-kauw yang rata-rata pandai sihir dan orang-orang Pat-kwa-pai yang juga amat tangguh. Engkau harus hati-hati, dan sebaiknya bergabung dengan para pendekar lainnya. Bagaimana kalau engkau mengunjungi dulu pamanmu Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun dekat Cin-an? Siapa tahu puterinya Suma Lian, sekarang sudah pulang dan tentu sudah sebaya denganmu dan tentu mempunyai ilmu kepandaian tinggi karena selain kedua orang tuanya amat sakti, juga ia digembleng oleh paman Gak Bun Beng.”

“Akan tetapi aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan jarang berkunjung ke rumah paman Suma Ceng Liong. Aku merasa malu kalau harus minta bantuan mereka Ayah.”

“Maksud ayahmu bukan minta bantuan, akan tetapi hanya untuk singgah di sana dan menyampaikan salam kami dan kabar selamat. Juga memberi tahu mengenai kematian kakek dan nenekmu di Istana Gurun Pasir. Dan dari percakapan itu, mungkin engkau akan dapat memperoleh petunjuk mereka,” kata ibunya.

“Kalau begitu lain lagi persoalannya, Ibu. Baiklah, aku akan singgah di Hong-cun untuk mengunjungi keluarga paman Suma Ceng Liong.”

Tentu saja di balik anjuran itu tersembunyi harapan dalam hati Kao Cin Liong dan Suma Hui agar puteri mereka itu bertemu dengan keluarga dan siapa tahu dari keluarga itu akan muncul seorang calon jodoh bagi puteri mereka yang sudah cukup dewasa itu.

Sudah lajim bagi orang-orang tua yang hatinya selalu dipenuhi harapan-harapan bagi anak-anak mereka. Di waktu berada dalam kandungan, orang tua sudah mengharapkan supaya anaknya lahir laki-laki atau perempuan, biasanya orang pada jaman dahulu lebih condong menghendaki agar kandungan itu lahir laki-laki. Kemudian kalau sudah lahir, mereka mengharapkan anak itu tumbuh menjadi seorang muda yang sehat dan pandai.

Kalau sudah tiba waktunya menikah, mereka juga berharap anak itu segera mendapat jodoh yang baik, kemudian harapan itu mulur terus. Mengharapkan agar mendapat cucu yang baik, agar keluarga anaknya itu menjadi keluarga bahagia, serba berkecukupan dan selalu dalam keadaan sehat. Semua ini akan menyenangkan hati orang tua, dan kalau terjadi sebaliknya, tentu saja mengecewakan dan mendatangkan duka!

Memang harapanlah yang mendatangkan kekecewaan! Mengharapkan suatu keadaan yang lain dari pada keadaan yang ada saat ini, suatu keadaan yang dibayangkan akan lebih baik dan lebih menyenangkan. Kalau harapan itu terlaksana, datanglah kepuasan, akan tetapi sebentar saja karena kepuasan ini akan pudar lagi, tertutup harapan baru yang mulur dan mengejar harapan itu yang lebih jauh lagi. Kalau harapan pertama tidak tercapai, timbullah kekecewaan!

Dan ini terjadi sejak manusia mulai mengerti sampai tiba ajalnya! Betapa menyedihkan hidup seperti itu, selalu dipermainkan harapan-harapan sendiri. Bukan berarti kita harus menjadi orang-orang yang putus asa, putus harapan dan mandeg, muram dan frustasi. Sama sekali tidak!

Akan tetapi, lakukan saja segala sesuatu dengan sepenuh hati, dengan perasaan cinta kasih terhadap apa yang kita lakukan dan terima saja hasilnya, apa pun juga, dengan wajar tanpa mengharapkan apa-apa. Hasil itu adalah kenyataan yang ada, yang nyata dalam hidup, dan itulah keindahan.

Terimalah anak yang lahir sebagai hasil dari pada perbuatan kita sendiri dengan pasrah, tanpa pilihan dan menikmati apa yang ada, baik laki-laki mau pun perempuan. Dengan demikian, maka tidak akan timbul kekecewaan apa-apa. Kemudian, dalam pendidikan berilah cinta kasih, karena pendidikan yang terbaik adalah kasih sayang, cinta kasih yang berarti ingin melihat SI ANAK itu bebas dan berbahagia hidupnya. Bukan sekedar menjejali otaknya dengan ilmu-ilmu agar kelak menjadi ORANG, yang tentu maksudnya menjadi orang yang berharta dan berkedudukan!

Kalau demikian harapannya, maka orang tua akan kecewa kelak, karena bukan harta dan kedudukan yang membahagiakan seseorang! Berilah anak kebebasan sebab dalam kebebasan itu terletak sinar kebahagiaan. Hal ini bukan pula berarti bebas semau gua. Orang tua hanyalah mengamati, mengawasi, mengingatkan tanpa terlalu mencampuri, mengarahkan tanpa terlalu mengikat.

Anak kita adalah manusia tersendiri, dengan alam pikiran, selera dan perasaan sendiri. Dia adalah mahluk yang hidup, bukan tanah liat yang boleh kita bentuk sekehendak hati kita sendiri. Bahkan, dia dilahirkan bukan atas kehendaknya sendiri, dan lebih condong menjadi korban atau akibat dari pada perbuatan kita!

Jadi, meski dia kita namakan anak kita, namun itu hanyalah pengakuan saja. Anak kita akan tetapi bukan milik kita! Sekali batin kita memiliki, maka anak itu akan kita anggap sama dengan semua benda lain yang mengikat batin kita, yang menjadi milik kita. Ingin kita jadikan begini begitu menurut keinginan kita, kita jaga dan pelihara dengan pamrih agar menyenangkan kita. Jika begitu, apa bedanya dengan memelihara seekor binatang peliharaan?

Kita pilihkan agamanya, sekolahnya, bahkan jodohnya, dan kita gariskan bagaimana dia harus hidup! Dan semua itu dengan dasar bahwa kita melakukannya demi kebahagiaan dia! Kalau dikaji benar, bukankah dasarnya sesungguhnya adalah demi kebahagiaan kita, demi kesenangan kita karena tercapai sudah harapan dan keinginan kita?

Kewajiban kita untuk membimbing anak yang masih belum dewasa, yang masih belum dapat memilih sendiri, dengan cinta kasih, dengan waspada akan minat dan seleranya. Akan tetapi kalau dia sudah dewasa, sudah sepatutnya kalau kita membebaskan dia dan hanya mengamati dari jauh, dari belakang yang bukan berarti acuh. Kalau toh ada pamrih, maka pamrih itu hanya satu, yaitu kita ingin melihat DIA berbahagia, tanpa memperhitungkan selera dan perasaan hati sendiri yang kemungkinan sekali bertolak belakang dengan selera dan perasaan hatinya. Bukankah cinta itu hanya memberi dan bukan meminta? Bukankah cinta itu berarti meniadakan diri yang berarti meniadakan nafsu pribadi?

Setelah mendapat banyak petuah dari ayah ibunya, dan membawa bekal secukupnya, baik pakaian mau pun uang, berangkatlah Kao Hong Li meninggalkan rumah orang tuanya, diantar oleh ayah ibunya sampai di pintu pekarangan depan.

Setelah gadis itu tidak nampak lagi, dengan lesu Suma Hui dan suaminya masuk lagi ke dalam rumah. Melihat betapa isterinya nampak lesu dan bersedih ditinggalkan oleh puterinya, Kao Cin Liong membimbingnya dan diajaknya duduk di ruangan dalam.

“Mudah-mudah ia akan memperoleh pengalaman dan terutama sekali dapat bertemu jodoh dalam perjalanannya,” kata Kao Cin Liong.

“Setelah melihat Tan Sin Hong, aku merasa bahwa dia pun merupakan seorang calon mantu yang baik di samping Gu Hong Beng,” kata Suma Hui melamun.

Kao Cin Liong tersenyum. “Biarkanlah dia memilih sendiri. Kalau memang Tuhan sudah menghendaki, tentu ia akan bertemu dengan jodohnya. Lahir, jodoh dan mati agaknya sudah ada garisnya.”

Memang, lahir, jodoh dan mati dalam cerita ini sudah digariskan oleh pengarang.....

********************

Ada lagi pasangan suami isteri pendekar sakti yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Si suami adalah Suma Ceng Liong, keturunan langsung dari keluarga para pendekar Pulau Es, cucu dari Pendekar Super Sakti. Usia Suma Ceng Liong telah empat puluh satu tahun dan dia bersama isterinya, Kam Bi Eng tinggal di dusun Hong-cun, di sebelah luar kota Cin-an di Propinsi Shantung.

Pendekar Suma Ceng Liong ini, berbeda dengan cucu-cucu penghuni istana Pulau Es yang lain, dahulu adalah seorang yang ugal-ugalan, nakal dan gembira, tetapi memiliki kegagahan yang luar biasa. Tubuhnya tinggi besar. Dalam usia empat puluh satu tahun, dia kelihatan gagah dan berwibawa sekali, namun, wajahnya selalu cerah dan banyak senyum. Di antara cucu Pendekar Super Sakti penghuni Pulau Es, agaknya Suma Ceng Liong inilah yang paling lihai ilmu silatnya. Dia tidak saja mewarisi ilmu-ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi juga mewarisi ilmu sihir dari mendiang ibunya. Bahkan dia pernah berguru kepada seorang datuk sesat yang amat lihai, yaitu Hek I Mo-ong.

Isterinya yang bernama Kam Bi Eng juga bukanlah orang sembarangan. Ia adalah puteri dari pendekar sakti yang terkenal sekali di waktu dahulu sebagai seorang pendekar suling emas dan dalam hal ilmu silat, kiranya tidak begitu jauh tertinggal dari suaminya.
Kini, dua orang suami isteri itu tinggal di dusun Hong-cun dan hidup sebagai petani yang cukup kaya dan memiliki tanah pertanian yang luas. Hidup tenteram, bahkan hampir tak pernah lagi mereka berkecimpung di dunia kangouw.

Memang agak mengherankan bahwa suami isteri yang demikian lihainya, dan hanya memiliki seorang saja anak perempuan, yaitu Suma Lian, bisa membiarkan puterinya itu digembleng oleh Bu Beng Lokai yang dahulu bernama Gak Bun Beng, masih terhitung paman sendiri dari Suma Ceng Liong. Hal ini adalah karena ketika masih kecil, dalam usia kurang dari tiga belas tahun, Suma Lian diculik datuk-datuk sesat dan kemudian ditolong dan dirampas kembali dari tangan para datuk sesat oleh Bu Beng Lokai.

Suma Lian suka kepada kakek itu dan kedua orang tuanya tidak berkeberatan ketika puterinya menyatakan hendak ikut kakek itu merantau dan menjadi muridnya. Memang pendirian orang-orang kang-ouw seperti sepasang suami isteri ini agak berbeda dengan pasangan-pasangan biasa. Mereka merelakan puteri mereka di dalam asuhan paman yang mereka tahu memiliki kesaktian itu.

Akan tetapi, delapan tahun kemudian, tetap saja mereka berdua merasa rindu bukan main terhadap puteri mereka. Suma Lian telah berusia dua puluh tahun lebih, sudah dewasa dan tentu sudah menjadi seorang gadis cantik yang sudah tiba saatnya untuk menikah!

Maka, dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati mereka ketika pada suatu pagi, secara tiba-tiba saja seorang gadis cantik muncul di depan mereka! Gadis itu, dengan sepasang matanya yang kocak, pakaiannya yang nyentrik, sikapnya yang lincah jenaka, dan ketika itu memandang kepada mereka dengan mulut tersenyum yang menciptakan lesung pipit di kanan kiri ujung mulutnya, segera mereka kenal dengan baik.

“Lian-ji...!” teriak suami isteri itu hampir berbareng.

Suma Lian segera menubruk ibunya.

“Aihh, anakku...!” Kam Bi Eng menjerit dan merangkul gadis itu, menciuminya dengan penuh kerinduan dan kedua orang wanita itu pun menangis, menangis penuh keharuan dan kebahagiaan.

“Ayah...!” Suma Lian lalu melepaskan ibunya dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki ayahnya. Akan tetapi Suma Ceng Liong menangkapnya dan menariknya berdiri, lalu memegang kedua pundaknya.

“Biarkan aku melihat wajah anakku...!” katanya dengan suara gemetar karena dia pun gembira dan terharu bukan main. Ayah dan anak itu saling pandang, kedua mata Suma Lian basah air mata, akan tetapi mulutnya tersenyum sehingga nampak deretan giginya yang putih dan rapi seperti mutiara berbaris.

“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba Suma Ceng Liong tertawa. “Engkau... engkau persis ibumu di waktu masih gadis, ha-ha-ha! Engkau cantik manis dan gagah!”

“Dan engkau pun masih sama seperti dulu, Ayah. Malah semakin gagah saja!” kata pula Suma Lian yang juga tertawa.

Ayah yang merasa amat gembira itu segera berangkulan dengan puterinya. Kam Bi Eng juga merangkulnya dan tiga orang itu saling berangkulan sambil memasuki rumah.

Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar dirasakan dalam hubungan antara manusia yang melebihi pertemuan dari orang-orang yang saling merindukan dan berpisah dalam waktu yang amat lama. Apa lagi bagi suami isteri itu, yang seolah-olah kehilangan puteri mereka, tidak tahu di mana adanya puteri mereka itu selama tujuh delapan tahun!

Dan kini, tanpa kabar berita, puteri mereka itu muncul begitu saja, bukan hanya dalam keadaan sehat selamat, tetapi lebih dari pada itu, telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik manis mengagumkan, dengan ilmu kepandaian yang amat tinggi pula.

Tentu saja Suma Lian ditagih untuk menceritakan segala pengalamannya selama pergi merantau dan menjadi murid paman mereka Bu Beng Lokai. Suma Lian, si gadis lincah dan pandai bicara, membuat cerita yang menarik sekali. Ia menceritakan dengan gaya dan gerak lincah semua pengalamannya ketika merantau mengikuti kakeknya sebagai pengemis-pengemis nyentrik! Pengemis yang hanya sebatas pakaian tambal-tambalan saja, tetapi tidak pernah meminta-minta, bahkan terlalu sering memberi sedekah kepada orang lain, baik dengan perbuatan atau pun dengan barang dan uang.

Diceritakannya pula tentang sumoi-nya, Pouw Li Sian, dan tentang mereka berdua saat mempelajari ilmu silat tinggi, digembleng oleh guru dan kakeknya itu. Akhirnya Suma Lian bercerita pula tentang pamannya, Gak kembar yang datang menengok orang tua itu bersama isteri mereka yang seorang dan putera mereka. Betapa ia terpaksa harus membantu keluarga Gak mengusir nenek iblis Hek-sim Kuibo dan Hok Yang Cu, tokoh Pat-kwa-pai yang ingin menculik putera mereka. Kemudian sekali, dengan wajah amat berduka ia menceritakan tentang kematian kakek Gak Bun Beng.

Ketika ayah dan ibunya mendengar akan kematian kakek itu, mereka terkejut dan wajah mereka pun diliputi kedukaan.

“Ahhh, tak kusangka paman Gak Bun Beng sudah meninggal dunia!” kata Kam Bi Eng yang merasa terharu mendengar akan kematian kakek itu setelah bertemu dengan dua orang anak kembarnya.

Suma Ceng Liong menarik napas panjang, “Bagaimanapun juga, usia paman Gak Bun Beng sudah tua sekali, sudah lebih dari sembilan puluh tahun. Memang kasihan sekali. Aku mendengar bahwa sejak ditinggal mati isterinya, bibi Milana, dia hidup menderita kesepian, apa lagi karena merasa kecewa akan keadaan dua orang putera kembarnya. Karena itulah, dulu ketika anak kita diajak pergi untuk dididiknya, aku menyetujuinya karena aku merasa kasihan kepadanya.”

“Ayah dan Ibu, kulihat bahwa kehidupan kedua paman Gak kembar itu cukup bahagia dengan seorang isteri dan seorang putera mereka. Kenapa mendiang kongkong tadinya merasa kecewa melihat kedua orang putera kembarnya menikah dengan seorang wanita?”

“Aih, Lian-ji, hal itu hanya karena menyimpang dari kebiasaan saja. Biasanya, seorang pria menikah dengan seorang wanita. Kalau pun ada pria menikah dengan dua orang wanita, hal itu masih dianggap lumrah. Akan tetapi seorang wanita menikah dengan dua orang pria? Memang tidak lumrah.”

“Tapi mereka itu saling mencinta dan rukun sekali, dan aku melihat kedua orang paman Gak kembar itu amat serupa, bukan hanya sama wajah, tubuh dan gerak-geriknya, bahkan sikap, dan bicaranya, bahkan jalan pikirannya, serupa benar, seperti satu orang dengan dua badan saja. Kalau memang mereka sudah menghendaki, mereka berdua saling mencinta bibi Souw Hui Lian, mau apa lagi? Sebelum meninggal dunia, kongkong sering bicara akan hal itu dan dia menyatakan kesadarannya bahwa dialah yang keliru kalau merasa kecewa dalam urusan itu. Yang penting dalam pernikahan adalah mereka yang langsung terkena dan yang mengalaminya, bukan pandangan orang lain, demikian dia pernah berkata.”

“Sudahlah, kita memang tak berhak untuk membicarakan dan menilai akan hal itu,” kata Suma Ceng Liong. “Sekarang ceritakan saja tentang ilmu-ilmu apa saja yang pernah kau dapatkan dari mendiang paman Gak Bun Beng. Kami ingin sekali melihatnya.”

Untuk melegakan dan memuaskan hati ayah ibunya, Suma Lian lalu memperlihatkan ilmu-ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari kakek Bu Beng Lokai. Dari kakek itu, Suma Lian menerima banyak sekali ilmu silat, terutama sekali ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat Siauw-lim-pai, juga Ilmu Pukulan Pengacau Lautan (Lo-thian Sin-kun) beserta ilmu pedangnya, ilmu-ilmu dari Pulau Es, dan di samping tenaga sakti Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang, juga mempelajari ilmu tenaga sakti yang disebut Tenaga Inti Bumi.

Melihat gerakan lincah puteri mereka, dan menyaksikan kekuatan sinkang yang cukup dahsyat, Suma Ceng Liong dan isterinya merasa gembira sekali dan puas. Ternyata puteri mereka itu tidak percuma meninggalkan rumah sampai tujuh delapan tahun.

Akan tetapi, tentu saja mereka tidak merasa puas kalau belum menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka. Karena itu, Suma Ceng Liong lalu mengajarkan Ilmu Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang dipelajarinya dahulu dari Hek I Mo-ong, juga mengajarkan ilmu sihir dari ibunya. Sementara itu, Kam Bi Eng juga mengajarkan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling atau dapat juga dengan ranting pohon, yaitu penggabungan ilmu pedang Koai-liong-kiam dan Kim-sim Kiam-sut.....

********************

Kita tinggalkan dulu Suma Lian yang kini sudah berada di rumah orang tuanya, saling melepas rindu dan juga gadis ini tekun memperdalam ilmu silatnya dengan tambahan ilmu-ilmu tinggi dari ayah bundanya, dan mari kita mengikuti perjalanan sumoi-nya, yaitu Pouw Li Sian.

Setelah meninggalkan lereng bukit di mana untuk beberapa tahun dia tinggal bersama gurunya dan suci-nya, kemudian berpisah dari suci-nya, hati Li Sian terasa berat sekali. Baru ia merasa kehilangan sekali. Selama hampir delapan tahun ia seperti mengalami suatu kehidupan baru.

Sebelum itu dia adalah puteri bangsawan yang hidup dalam gedung yang mewah dan besar, hidup terhormat dan mulia, berenang di dalam kemewahan. Kemudian secara mendadak sekali, timbul mala petaka menghantam keluarganya. Dia lalu hidup terlunta lunta, seperti seorang pengemis, bersama kakek Bu Beng Lokai dan suci-nya, Suma Lian.

Namun, akhirnya ia menemukan suatu kehidupan yang berbahagia bersama mereka, menganggap mereka berdua seperti keluarganya sendiri, pengganti keluarganya yang telah binasa. Ia hampir melupakan keadaannya semula dan sudah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru itu. Akan tetapi kembali kini terjadi perubahan. Ia harus meninggalkan lagi keadaan itu, memasuki keadaan lain yang mencemaskan hatinya.

Ia seorang diri! Kehilangan gurunya yang sangat disayangnya, kemudian berpisah dari suci-nya yang dianggapnya seperti enci sendiri. Ingin rasanya dia menangis ketika Li Sian melakukan perjalanan seorang diri di antara pohon-pohon di tempat sunyi itu.

Keadaan yang bagaimana pun juga dalam kehidupan ini tidaklah abadi. Sewaktu-waktu sudah pasti akan terjadi perubahan. Hal seperti inilah yang menimbulkan kesengsaraan. Orang diharuskan terpisah dari apa yang disayanginya, dan orang dipaksa bertemu dengan keadaan-keadaan baru yang asing dan dianggap tidak menyenangkan.

Semua ini terjadi karena adanya ikatan-ikatan dengan masa lalu dan harapan-harapan untuk masa depan. Ikatan dengan benda, dengan orang, atau dengan gagasan. Selalu menimbulkan rasa nyeri kalau ikatan itu dipaksa lepas dari kita. Dan harapan-harapan di masa depan, hanya mendatangkan kekecewaan saja kalau tidak terlaksana seperti yang kita harapkan. Hanya orang bijaksana saja, yang hidup dari saat ke saat, yang tidak terikat oleh masa lalu dan tidak menjangkau masa depan, dia saja yang akan tetap kokoh kuat dan tak tergoyahkan angin ribut yang terjadi karena suatu perubahan!

Hidup dari saat ke saat bukan berarti penyesuaian diri, karena penyesuaian diri juga hanyalah suatu pemaksaan belaka. Hidup dari saat ke saat berarti menghadapi apa pun yang terjadi SAAT INI seperti apa adanya, penuh kewajaran, tanpa menolak, tanpa menentang, tanpa menilai baik buruknya. Kewaspadaan setiap saat dalam menghadapi segala peristiwa hidup yang menimpa diri ini menimbulkan kebijaksanaan seketika, tidak lagi dituntun oleh perhitungan pikiran yang selalu ingin merangkul kesenangan dan menolak kesusahan

.

Li Sian menuju ke kota raja, di mana dulu ayahnya, Pouw Tong Ki, Menteri Pendapatan, tinggal dan menjadi seorang di antara bangsawan tinggi, seorang menteri! Oleh karena permusuhannya dengan thai-kam (orang kebiri) Hou Seng yang menjadi kekasih kaisar, maka Menteri Pouw sekeluarganya terbasmi, dan Li Sian tertolong oleh Bu Beng Lokai. Ada pun empat orang kakaknya, semuanya laki-laki, ditawan dan dimasukkan penjara.

Li Sian memasuki kota raja dan mulai melakukan penyelidikan tentang nasib keluarga orang tuanya. Dia sudah tahu bahwa keluarga ayahnya sebagian besar tewas dalam penyergapan kaki tangan Hou Seng seperti ayah dan ibunya, akan tetapi ia mendengar bahwa empat orang kakaknya telah ditawan dan dijebloskan ke penjara.

Dia lalu menyelidiki tentang empat orang kakaknya itu dan mendapat berita yang amat menyedihkan hatinya. Tiga di antara mereka dibuang dan kemungkinan besar sudah tewas. Akan tetapi seorang di antara mereka, kakaknya yang sulung, bernama Pouw Cian Hin, telah diampuni oleh kaisar dan sekarang telah menjadi seorang perwira yang bertugas di perbatasan utara. Mendengar ini, hati Li Sian menjadi girang. Segera dia pergi meninggalkan kota raja dan melakukan perjalanan ke utara, ke perbatasan dekat Tembok Besar.

Akan tetapi, tentu saja sebagai seorang gadis yang selama hidupnya belum pernah melakukan perjalanan ke utara, ke daerah yang amat sukar dan berbahaya itu, amatlah sukar bagi Li Sian untuk dapat menemukan kakaknya itu. Daerah utara ini luas sekali. Tembok Besar itu panjang ribuan li, melalui gunung dan jurang, dan tak terhitung pula banyaknya pasukan yang berjaga di sepanjang Tembok Besar, sedangkan ia tidak tahu kakaknya itu bertugas di pasukan yang mana.

Kemudian teringatlah ia kepada Tiat-liong-pang! Ketua Tiat-liong-pang, Siangkoan Tek, dahulu adalah seorang sahabat baik ayahnya. Pernah ketua Tiat-liong-pang itu datang berkunjung kepada ayahnya dan sempat berjumpa dengannya. Ia teringat betapa ketua Tiat-liong-pang itu amat baik dengan ayahnya, seorang yang amat ramah. Teringat ini, ia pun menjadi girang dan timbul harapannya.

Kalau ia berkunjung ke Tiat-liong-pang dan minta bantuan ketuanya, tentu akan lebih mudah baginya untuk menemukan kakaknya yang menjadi perwira itu. Dengan penuh harapan, mulailah Li Sian menyelidiki di mana adanya Tiat-liong-pang dan ternyata tidak banyak kesukaran ia memperoleh keterangan bahwa perkumpulan itu berada di lereng bukit di luar kota Sang-cia-kou. Maka, dia pun segera melakukan perjalanan menuju ke sana.....

********************

Gadis hitam manis itu dengan langkah lebar menuju ke lereng bukit yang mendaki. Dia adalah seorang gadis yang baru tumbuh dewasa, berusia delapan belas tahun, bagai setangkai bunga mulai mekar. Tubuhnya yang sedikit jangkung dengan sepasang kaki panjang itu nampak segar dan tegap berisi. Langkahnya lebar dan kuat, pinggangnya ramping dan ketika ia melangkah mendaki bukit, pinggulnya menari-nari.

Gadis itu manis sekali, terutama sekali mulutnya yang bibirnya selalu basah kemerahan. Bibir yang penuh dan membuat dirinya kelihatan berwajah cerah, ramah dan bergairah. Namun, sinar matanya lembut, membayangkan kehalusan dan kesabaran meski sinar matanya yang tajam membayangkan keberanian dan kegagahan.

Dia adalah Kwee Ci Hwa, puteri tunggal Kwee Tay Seng yang tinggal di Ban-goan. Perjalanan dari Ban-goan ke Sangcia-kou tidaklah begitu jauh, akan tetapi menempuh perjalanan melalui pegunungan dan tanah tandus, di antara Tembok Besar yang liar. Namun Ci Hwa adalah seorang gadis yang sejak kecil sudah digembleng oleh ayahnya dengan ilmu silat sehingga dia sudah cukup kuat untuk membela diri kalau ada bahaya mengancamnya.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa dunia ramai di luar pekarangan rumahnya penuh dengan orang-orang jahat yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, dan bahwa tingkat kepandaiannya itu, kalau digunakan untuk berjaga diri terhadap ancaman orang-orang jahat, sungguh masih jauh dari pada mencukupi.

Memang, bila menghadapi gangguan pemuda-pemuda atau pria-pria hidung belang dan mata keranjang biasa saja yang berani mengganggunya, Ci Hwa sudah cukup mampu membela diri dan menghajar mereka. Akan tetapi, dia belum pernah bertemu dengan penjahat yang berilmu tinggi.

Dengan langkah lebar dan gagah ia mendaki bukit itu. Tiat-liong-pang berada di lereng bukit itu dan sudah nampak pagar temboknya yang tinggi dari bawah. Akan tetapi untuk mencapai lereng itu, ia masih harus melalui beberapa daerah berhutan, dan naik turun beberapa anak bukit. Keadaan di situ sunyi sekali, tak nampak seorang pun manusia.

Dia harus mendatangi Tiat-liong-pang. Dia akan menemui pengurus Tiat-liong-pang dan bertanya secara terang-terangan mengenai urusan Tiat-liong-pang dengan perusahaan piauwkiok yang dimiliki oleh Tan Piauwsu, ingin bertanya apa hubungan Tiat-liong-pang dengan kematian dan pembunuhan-pembunuhan itu. Dia ingin mencuci nama ayahnya yang tadinya dituduh sebagai pembunuh Tan Piauwsu, dan yang terakhir sekali orang she Lay si gendut itu. Ia harus membersihkan nama ayahnya dari Sin Hong! Pemuda itu amat menarik dan mengagumkan hatinya, dan dia merasa kasihan atas nasib pemuda itu, merasa ikut bertanggung jawab setelah ayahnya dicurigai.

Ketika ia melangkah memasuki hutan pertama yang tidak begitu besar, tiba-tiba saja muncul lima orang laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Melihat pakaian mereka yang ringkas, dan mereka semua membawa busur dan anak panah, mudah diduga bahwa mereka adalah lima orang pemburu binatang.

Lima orang itu memang merupakan pemburu binatang di daerah itu, dan mereka tentu saja bukanlah orang-orang yang biasa melakukan kejahatan. Akan tetapi, agaknya di dunia ini memang ada suatu kelemahan pada diri semua pria. Pria yang lajim, kalau berada seorang diri saja, memang tidak mempunyai keberanian untuk mengganggu seorang wanita, kecuali kalau memang pria itu berwatak mata keranjang dan memiliki kecondongan sebagai pengganggu wanita yang nekat.

Akan tetapi, biar pun pria yang tak suka mengganggu wanita kalau berada seorang diri, akan timbul kecondongan itu kalau mereka didampingi teman! Kekurang ajarannya akan menonjol dan akan timbul keberaniannya untuk melakukan gangguan, mungkin karena hati mereka menjadi besar dengan adanya teman-teman, mungkin pula karena mereka ingin menonjol dan agar dianggap cukup ‘jantan’.

Demikian pula dengan lima orang itu. Begitu melihat bahwa di tempat sunyi itu muncul seorang gadis yang amat manis seorang diri saja, mereka segera menyeringai dan siap untuk menggoda. Kesunyian tempat itu membuat mereka iseng dan sifat kurang ajar pria terhadap wanita pun menonjol sepenuhnya, tak terbendung lagi oleh perasaan malu dan segan seperti kalau seorang diri saja.

“He, di sini tidak menemukan harimau, yang muncul malah seekor kijang betina muda yang amat cantik!”

“Wah, seekor domba muda yang indah sekali!”

“Tentu lunak sekali dagingnya!”

“Ha-ha-ha, jangan-jangan ia seorang dewi penunggu hutan bukit!”

“Wahai nona manis, dari mana hendak ke mana dan siapa namamu?”

Ci Hwa mengerutkan alisnya ketika lima orang laki-laki itu sudah berdiri menghadang di depannya sambil menyeringai. Jelas sekali betapa pandang mata mereka yang sedang menjelajahi tubuhnya itu amat kurang ajar, seolah-olah hendak menelanjanginya. Tetapi dia masih dapat menahan kemarahannya, dan dengan sikap halus dia pun menunduk.

“Aku adalah seorang yang sedang lewat di jalan ini untuk mencari dan mengunjungi Tiat-liong-pang, harap Cu-wi (Tuan sekalian) suka memberi jalan,” katanya halus dan ia pun hendak melangkah maju, mengharapkan lima orang itu akan membuka jalan.

Tetapi, lima orang itu sudah melihat betapa gadis ini manis sekali, tubuhnya demikian padat dan ranum, dan terutama mulutnya demikian indah penuh gairah, menjanjikan hal-hal yang amat menyenangkan bagi mereka. Maka sedikit pun mereka tidak mau membuka jalan, bahkan tertawa-tawa dan menyeringai dengan pandang mata cabul.

“Aih, mengapa tergesa-gesa, Nona?”

“Mari kita berkenalan lebih dulu.”

“Siapakah nama nona manis?”

“Apakah engkau sudah menikah dengan seorang anggota Tiat-liong-pang?”

“Hai, nona manis, tahun ini berapa sih usiamu? Tentu kurang lebih tujuh belas tahun, ya?”

Ci Hwa mengerutkah alis, maklum bahwa ia tengah berhadapan dengan segerombolan orang yang kurang ajar.

“Aku tidak mengenal kalian, dan tidak mempunyai urusan dengan kalian, kecuali kalau kalian ini anggota-anggota Tiat-liong-pang. Apakah kalian anggota perkumpulan itu?”

Lima orang itu saling pandang dan tertawa-tawa ha-ha-he-he, menggelengkan kepala. Seorang di antara mereka, yang mukanya penuh cambang bauk, menyeramkan sekali, agaknya menjadi kepala di antara mereka, lalu bertanya,

“Nona manis, apakah engkau isteri seorang di antara orang Tiat-liong-pang?”

“Bukan, akan tetapi aku mempunyai urusan dengan Tiat-liong-pang dan sedang mencari perkumpulan itu.”

“Ha-ha-ha, kalau begitu, mengapa mencari mereka? Sudah ada kami di sini, dan kami tidak kalah gagah oleh mereka, bukan? Nah, engkau agaknya belum ada yang punya, Nona. Mari kau ikut saja dengan kami, kita bersenang-senang!” Si brewok itu mengulur tangannya hendak meraba dagu Ci Hwa.

Gadis itu cepat melangkah mundur mengelak dan ia pun menjadi marah sekali.

“Kalian ini orang-orang kurang ajar! Aku tak mempunyai urusan dengan kalian!” Setelah berkata demikian Ci Hwa lalu melangkah lebar, mengambil jalan mengitari mereka untuk melanjutkan pendakiannya naik ke bukit itu.

Akan tetapi salah seorang di antara mereka telah meloncat dan menghadangnya sambil menyeringai lebar, memperlihatkan gigi yang hitam-hitam menguning karena rusak dan tak pernah dibersihkan.

“He-he-he, jangan pergi dulu, nona manis. Sedikitnya harus memberi tinggalan cium dulu padaku, he-he-he!” Dan dia pun menubruk hendak merangkul dan mencium gadis yang menggiurkan hatinya itu.

Namun, Ci Hwa yang sudah bangkit kemarahannya itu menyambut dengan tendangan yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh penyerang yang bertubuh tinggi kurus itu.

“Dukkkk!” Ujung sepatu Ci Hwa mengenai perut orang itu.

“Aughhh...!”

Orang itu membungkuk, memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa mulas itu. Mungkin usus buntunya tertendang dan dia pun mengaduh-aduh sambil memegangi perut dan berloncatan seperti seekor monyet menari-nari.

Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju untuk menangkap Ci Hwa.

“Wah, galak juga perempuan ini!” kata yang seorang.

“Makin liar semakin menyenangkan, seperti seekor kuda betina yang masih belum jinak, ha-ha-ha!” kata orang kedua.

Ditubruk oleh dua orang dari kanan kiri, Ci Hwa tidak menjadi gentar. Bagaimana pun juga, sejak kecil ia sudah belajar silat dari ayahnya, maka sekali melompat ke belakang, tubrukan itu pun luput dan dari samping kembali kakinya menendang. Akan tetapi sekali ini tendangannya dapat ditangkis, bahkan orang itu bermaksud menangkap kakinya. Ci Hwa telah menarik kembali kakinya dan kini ia mendoyongkan tubuh ke kiri dan tangan kirinya diayun keras sekali, menampar orang ke dua.

“Plakkk!” Tamparan itu keras sekali.

“Aduhhh...!” Orang yang menjadi korban kedua itu mendekap mulutnya yang berdarah kembali meludahkan dua buah giginya yang copot akibat tamparan itu.

“Bedebah!” Dia membentak dan kini dia pun maju lagi dengan amat marah.

Orang yang tadi kena tendang juga sudah bangkit, dan kini lima orang itu bagaikan lima ekor kucing yang kelaparan, mengurung Ci Hwa dengan sikap mengancam.

“Perempuan liar!” bentak si brewok. “Kita tangkap dia dan kita gilir dia sampai dia minta ampun!”

Kini Ci Hwa terpaksa harus melindungi tubuhnya dengan mengelak, menangkis dan berusaha membalas dengan tendangan dan pukulan. Namun, lima orang itu ternyata bukan orang lemah sehingga baju Ci Hwa dapat dicengkeram dan sekali tarik, terdengar suara kain robek dan terbukalah bagian dada Ci Hwa, memperlihatkan sedikit bukit dadanya yang masih tertutup pakaian dalam.

“Hemmm, mulus !” Mereka berteriak-teriak.

Kini Ci Hwa cepat melolos senjatanya, yaitu sebuah sabuk rantai terbuat dari perak. Senjata ini merupakan andalan ayahnya dan dia pun sudah pernah berlatih dengan senjata ini. Begitu dia menggerakkan tangannya, sabuk terlepas dan menyambar ke depan menjadi gulungan sinar putih. Seorang di antara mereka kurang cepat mengelak.

“Tukkk!”

Ujung sabuk perak yang keras mengenai batok kepalanya dan orang itu pun menjerit kesakitan dan terpelanting, memegangi kepalanya yang mendadak bocor mengeluarkan darah itu sambil mengaduh-aduh dan menyumpah-nyumpah. Melihat ini, empat orang temannya menjadi marah.

“Gadis liar!” bentak si brewok.

Mereka lalu mengeluarkan jaring dari punggung masing-masing. Itulah senjata mereka untuk menangkap binatang buruan di samping busur dan anak panah. Jaring itu kuat sekali, terbuat dari pada tali-tali sutera yang tidak mudah putus. Kini mereka mengepung Ci Hwa dengan jaring siap di tangan, bibir mereka menyeringai dengan napas memburu penuh ketegangan. karena mereka merasa seakan-akan mereka sedang mengepung seekor harimau betina yang hendak mereka tangkap hidup-hidup!

Ci Hwa menjadi bingung. Selama hidupnya baru sekali ini ia berkelahi dikeroyok banyak orang, dan ia tidak tahu bagaimana harus menghadapi orang-orang yang memegang jaring seperti itu.

Tiba-tiba si brewok membentak, memberi isyarat kepada teman-temannya dan seorang yang berdiri di belakang, sudah melempar jaringnya ke arah Ci Hwa. Melihat ada jaring menyambar ke atas kepalanya dari belakang, Ci Hwa hendak menyambar pula jaring lain yang tahu-tahu telah menutupi tubuhnya!

Ia meronta dan berusaha melepaskan diri, namun sia-sia karena kini jaring-jaring yang lain sudah menyelimutinya. Ia meronta semakin keras, namun makin keras ia meronta, makin terlibat-libatlah tubuhnya dan akhirnya ia pun roboh. Ia merasa menyesal kenapa senjatanya itu bukan golok atau pedang yang tajam untuk dapat membikin putus tali-tali jala itu. Sebatang sabuk rantai yang tidak tajam, tentu saja tidak ada gunanya.

Lima orang itu kini tertawa-tawa mengitarinya dan menggunakan tali-tali jaring untuk mengikat tubuhnya. Ci Hwa yang sudah terlibat jaring-jaring itu tak mampu berkutik lagi kecuali memaki-maki.

“Lepaskan aku! Kalian ini manusia-manusia kurang ajar! Aku tidak bersalah terhadap kalian, mengapa kalian hendak menggangguku? Lepaskan!” Dia berteriak dan meronta, namun hanya dapat bergerak sedikit saja setelah tali itu membelit-belit tubuhnya.

“Ha-ha-ha, merontalah, Manis. Ha-ha-ha, engkau menjadi santapan sedap kami malam ini, ha-ha-ha!” Lima orang itu tertawa-tawa bahkan mereka yang tadi terkena tendangan, kena gampar dan terkena hantaman ujung sabuk rantai, sudah melupakan nyerinya dan mereka tertawa-tawa karena membayangkan betapa nanti mereka akan kebagian dan mendapat kesempatan untuk membalas perbuatan gadis itu dengan kesenangan yang berlipat ganda.

Si brewok lalu mengangkat tubuh yang sudah terbelit-belit jaring itu, dan memanggulnya di atas pundak. Dia membawa Ci Hwa masuk ke dalam hutan, diikuti oleh empat orang kawannya yang tertawa-tawa. Ci Hwa nampak seperti seekor kijang yang tertangkap dalam jaringan, hanya dapat meronta-ronta sedikit.

Tiba-tiba saja, dari balik semak belukar, muncullah dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar. Di pinggang mereka tergantung golok besar dan keduanya mengenakan pakaian seperti jagoan silat dan sikap mereka garang sekali. Mereka tiba-tiba muncul dan berdiri menghadang di depan lima orang itu yang memandang dengan kaget.

Si brewok, pemimpin lima orang pemburu itu merasa rikuh juga bertemu orang selagi dia dan teman-temannya bukan menangkap binatang buruan, tapi seorang perempuan dalam jaringnya, maka dia yang dapat mengenal orang kang-ouw itu segera tersenyum ramah.

“Selamat pagi, dua orang sahabat yang gagah! Hendak ke manakah kalian?”

Akan tetapi dua orang laki-laki tinggi besar itu hanya memandang dengan alis berkerut, memandangi wajah mereka satu demi satu, kemudian memandang kepada gadis dalam jaring yang tidak dapat terlihat jelas mukanya karena tali-tali jaring yang rapat.

“Hemmm, kalian berlima ini siapakah?” tanya seorang di antara mereka, yang mukanya hitam, sikapnya garang. “Pakaian kalian menunjukkan bahwa kalian adalah pemburu-pemburu binatang hutan!”

Si brewok masih memperlihatkan senyumnya. Di antara para pemburu binatang dan kaum kang-ouw, para perampok, memang tidak pernah terjadi permusuhan karena jalan hidup mereka memang bersimpangan. Kalau para pemburu memburu binatang untuk dijual kulit dan dagingnya, maka para perampok memburu manusia yang berharta untuk dirampok hartanya.

“Tidak keliru dugaan Ji-wi (Kalian berdua). Kami memang pemburu-pemburu yang hendak mengadu untung di daerah pegunungan ini untuk memburu binatang hutan.”

“Dan binatang hutan macam apakah yang kalian tangkap dalam jaring kalian itu?” Tiba tiba si muka hitam bertanya, matanya yang lebar memandang kepada tubuh gadis yang dibelit jaring.

“Aih, ini? Ia… ia adalah ehh... tawanan kami, karena berani melawan kami, dan ia... ia menjadi milik kami...,” kata si brewok agak gagap karena merasa rikuh, akan tetapi mengingat bahwa dia berlima sedangkan di depannya hanya terdiri dua orang, maka dia pun menjadi berani. “Kami kira urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ji-wi, harap Ji-wi memaklumi kami berlima yang sedang kesepian dan membutuhkan hiburan.” Dia lalu tertawa.

“Diam!” bentak si muka hitam marah yang mengejutkan si brewok. “Atas ijin siapakah kalian berani berkeliaran di sini, menangkap binatang mau pun perempuan? Katakan, atas ijin siapa?!”

“Kami...kami memburu di tempat bebas...“

“Butakah matamu? Tulikah telingamu? Ini adalah wilayah kekuasaan Tiat-liong-pang, dan kalian berani memburu binatang dan perempuan di daerah kami tanpa ijin? Kalian sudah bosan hidup rupanya!” Si muka hitam sudah menerjang, mengirim pukulan dan tendangan.

Serangannya demikian hebat dan cepatnya sehingga si brewok menjadi kalang kabut. Untuk dapat menangkis dan mengelak, terpaksa dia melepaskan tubuh Ci Hwa yang dipanggulnya sehingga tubuh gadis dalam selimutan jaring itu pun terbanting ke atas tanah. Kini lima orang pemburu itu sudah berkelahi mengeroyok dua orang anggota Tiat-liong-pang yang sudah mencabut golok mereka.

Lima orang pemburu itu mencabut pisau pemburu mereka dan melawan dengan pisau dan jaring. Untuk menggunakan anak panah, mereka tidak sempat lagi karena mereka berkelahi dari jarak dekat. Akan tetapi sekali ini, mereka kecelik. Dua orang anggota Tiat-liong-pang itu lihai bukan main dengan golok mereka sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, seorang demi seorang dari lima orang pemburu itu pun roboh mandi darah dan tewas di bawah bacokan dua batang golok dua orang tinggi besar itu!

Setelah lima orang lawannya tewas semua, dua orang itu tertawa dan membersihkan darah di golok mereka pada pakaian para korban. Setelah menyimpan golok mereka, keduanya lalu menghampiri Ci Hwa yang masih rebah dan menonton perkelahian itu dari antara tali-tali jaring. Si muka hitam kini membuka jaring dan membebaskan Ci Hwa.

Gadis ini merasa betapa seluruh tubuhnya pegal-pegal dan dia pun bangkit berdiri dengan susah, agak terhuyung, lalu memandang kepada dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya tiga puluh tahun lebih. Dia lalu memberi hormat.

“Terima kasih atas pertolongan Jiwi (Anda berdua),” katanya, tanpa merasa betapa dua orang laki-laki itu sekarang memandang kepadanya dengan sinar mata yang tidak ada bedanya dengan cara lima orang pemburu tadi memandangnya, bahkan kini pandang mata mereka tidak pernah melepaskan bagian baju yang robek terbuka sehingga sedikit memperlihatkan bukit dadanya.

Si muka bopeng, orang ke dua, terkekeh. “Ha-ha-heh-heh-heh, nona yang baik, pantas saja mereka berlima itu tergila-gila. Kiranya engkau memang seorang gadis yang manis sekali!”

Si muka hitam menyambung, “Kami telah menyelamatkanmu, nona manis, bagaimana lalu engkau hendak membalas budi kami?”

Ci Hwa terkejut. Baik isi ucapan mau pun nada suara kedua orang ini sama sekali tak menyenangkan hatinya, bernada kurang ajar pula. Ketika ia melihat betapa mereka itu memandang ke arah dadanya, cepat ia berusaha menutupi bagian yang robek itu dan melangkah mundur dua langkah, alisnya berkerut dan wajahnya penuh kekhawatiran.

“Aku berterima kasih atas pertolongan Ji-wi, dan aku ingin melanjutkan perjalanan. Ehh, bukankah Ji-wi adalah dua orang anggota Tiat-liong-pang?”

“Benar,” kata si muka hitam. “Ada urusan apa Nona dengan Tiat-liong-pang?”

“Aku aku ingin bertemu dengan ketuanya.“

Dua orang itu terkejut dan saling pandang, khawatir kalau-kalau gadis yang menarik hati mereka ini kenal dengan ketua mereka. Kalau begitu halnya, jelas bahwa mereka sama sekali takkan berani mengganggunya.

“Apakah Nona mengenal ketua kami?”

Ci Hwa menggeleng kepalanya, “Sama sekali tidak mengenalnya. Akan tetapi aku ingin bertemu dengan dia dan bertanya tentang suatu urusan yang menyangkut perusahaan piauwkiok di Ban-goan, yaitu tentang kematian piauwsu Tan Hok beberapa tahun yang lalu.”

Kembali kedua orang itu saling pandang, “Ehhh? Jadi Nona ini adalah dari Ban-goan?”

“Benar aku adalah puteri dari Kwee Piauwsu, kepala Ban-goan Piauwkiok dan aku ingin menyelidiki tentang beberapa pembunuhan yang dilakukan orang terhadap beberapa orang piauwsu di sana.”

Kembali kedua orang ini saling pandang, akan tetapi kini mulut mereka menyeringai senang.

“Aha, kiranya Nona ini adalah seorang penyelidik! Tetapi tadi engkau belum menjawab pertanyaan kami, Nona. Kami telah menyelamatkanmu dari tangan lima orang pemburu ini, lalu dengan cara bagaimana Nona hendak berterima kasih dan membalas budi kepada kami?” Berkata demikian, si muka hitam mendekat, diikuti oleh si muka bopeng yang menyeringai.

Ci Hwa mundur lagi dan alisnya berkerut semakin mendalam.

“Aku... aku berterima kasih, kalian mau apa lagi? Aku tidak mempunyai apa-apa!”

“Heh-heh-heh, engkau memiliki segalanya, nona manis!” kata si bopeng yang tiba-tiba menubruk.

Ci Hwa menahan jeritnya dan mengelak, lalu menendang dari samping. Akan tetapi, si bopeng cukup gesit dan dia menangkis tendangan itu dengan kerasnya sehingga tubuh Ci Hwa terputar. Akan tetapi, gadis ini pun bukan orang lemah. Ia sudah meloncat lagi dengan elakannya ketika si muka hitam mencoba untuk menangkapnya dari samping dengan tubrukannya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah si Bangau Putih

KISAH SI BANGAU PUTIH (BAGIAN KE-13 SERIAL BU KEK SIANSU)