KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-13


“Brettttt!!”

Tiba-tiba cengkeraman tangan si muka hitam dapat menangkap baju Ci Hwa dan baju itu berikut baju dalamnya terlepas dari tubuhnya sehingga tubuh bagian atasnya terbuka dan buah dadanya pun nampak. Hal ini membuat kedua orang itu menjadi semakin gila dan penuh nafsu. Sebaliknya, Ci Hwa dibuat malu dan canggung karena tubuh atasnya telanjang sehingga gerakannya menjadi kacau. Akhirnya, sebuah tendangan mengenai lututnya dan tubuh Ci Hwa terpelanting. Kedua orang itu menubruknya seperti dua ekor harimau menubruk kambing. Ci Hwa berteriak-teriak pada saat mereka menggumulinya, mencoba untuk melepaskan semua pakaiannya.

“Tahan!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus.

Kedua orang itu kelihatan terkejut, cepat melepaskan Ci Hwa dan meloncat berdiri. Kini mereka berdiri berjajar, berhadapan dengan seorang pemuda dengan muka pucat dan ditundukkan, kelihatan takut sekali.

“Kiranya Kongcu yang datang...!” kata mereka dan selanjutnya mereka mengambil sikap seperti orang menunggu perintah.

Ci Hwa merasa seluruh tubuhnya nyeri-nyeri karena kedua orang tadi dengan kasar menggumulinya. Pakaiannya sudah tidak karuan lagi letaknya, baju atasnya robek. Dia mengeluh, kemudian bangkit duduk sambil berusaha keras menutupi dadanya dengan robekan bajunya, lalu memandang.

Kiranya yang muncul adalah seorang pemuda berwajah tampan. Pakaiannya seperti seorang pemuda terpelajar tinggi, pakaian yang bersih dan rapi. Wajahnya yang tampan itu pesolek dan gerak-geriknya halus, bahkan dia tidak mau terlalu lama memandang keadaan gadis yang setengah telanjang itu. Sepasang matanya ditujukan kepada lima buah mayat para pemburu, kemudian menatap dua orang anggota Tiat-liong-pang yang berdiri di depannya. Suaranya tetap halus, namun penuh teguran dan dari alis matanya yang berkerut itu dapat diduga bahwa hatinya tidak senang.

“Apa yang telah terjadi di sini?” tanyanya, suaranya halus namun kereng.

Si muka hitam yang galak tadi kini menjawab dan Ci Hwa merasa heran mendengar betapa suara orang itu terdengar gemetar. “Begini, Kongcu... mereka itu adalah lima orang pemburu yang tanpa seijin kita berani melakukan perburuan di hutan ini. Mereka menangkap gadis ini dan menculiknya, maka kami lalu turun tangan membunuh mereka berlima.”

“Hemmm, akan tetapi apa yang kalian lakukan tadi terhadap Nona ini?”

Kedua orang kasar itu saling pandang dan untuk menyembunyikan rasa takut, mereka tersenyum menyeringai. “Hemm, Kongcu, setelah tadi kami menolongnya, ia berterima kasih dan hendak membalas budi kami berdua...”

Pemuda itu bukan lain adalah Siangkoan Liong. Meski pun pemuda ini selalu bersikap halus dan jarang mendekati para anggota Tiat-liong-pang, namun dia lebih ditakuti oleh para anggota itu dari pada terhadap Siangkoan Lohan sendiri karena pemuda ini dapat bertindak tegas dan tidak mengenal ampun kepada mereka yang bersalah. Sekarang, mendengar laporan si muka hitam, pemuda itu menoleh ke arah Ci Hwa, hanya melirik saja.

Ci Hwa tidak tahu siapa pemuda itu, akan tetapi melihat betapa dua orang itu bersikap takut-takut, ia pun dapat menduga bahwa pemuda tampan ini tentulah seorang yang amat berpengaruh di Tiat-liong-pang.

“Mereka bohong!” katanya membantah keterangan si muka hitam. “Memang dia benar bahwa tadi aku diganggu dan ditawan lima orang pemburu, dan mereka berdua muncul menolongku dan membunuh lima orang itu, dan aku memang berterima kasih, akan tetapi mereka berdua itu tidak ada bedanya dengan lima orang pemburu itu. Mereka hendak memaksaku, menggangguku. Aku terlepas dari cengkeraman lima ekor serigala akan tetapi terjatuh ke cengkeraman dua ekor harimau!” Gadis yang biasanya berwatak pendiam dan halus ini sekarang bicara berapi-api, penuh kemarahan.

Siangkoan Liong memandang dua orang anak buahnya. “Benarkah itu?”

Dua orang itu saling lirik, tak berani berbohong lagi, tetapi mereka masih menyeringai. “Ehh... begini, Kongcu... ehh, kami melihat ia begitu cantik manis wajarlah kalau kami tertarik dan hanya ingin main-main sedikit, bukan mengganggunya.“

“Cukup!” Siangkoan Liong membentak. “Cepat kalian bunuh diri sendiri!”

Tentu saja ucapan ini amat mengejutkan. Dua orang itu seketika terbelalak dan wajah mereka pucat sekali. Bahkan Ci Hwa juga kaget bukan main. Begitu mudahnya pemuda ini menjatuhkan hukuman yang luar biasa, menyuruh dua orang itu membunuh diri!

Keduanya saling pandang dengan mata liar dan jelas bahwa mereka amat ketakutan, seperti dua ekor kelinci bertemu harimau.

“Tapi...tapi...,“ kata yang seorang.

“Kita lapor Pangcu (ketua)!” kata yang lain dalam usahanya untuk menyelamatkan diri. Keduanya seperti dikomando tiba-tiba, segera membalikkan tubuh dan melarikan diri.

Akan tetapi, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu sudah meloncat, kedua tangannya bergerak dan tanpa ada suara keluhan apa pun, tubuh dua orang itu pun terjungkal dan tewas seketika! Melihat ini, Ci Hwa merasa ngeri, juga kagum, juga agak takut.

Pemuda tampan itu demikian lihainya. Gerakannya ketika merobohkan orang itu sama sekali tidak dapat diikuti dengan pandang matanya, demikian cepat sehingga dia tidak tahu bagaimana dua orang itu roboh terus mati. Pemuda ini memiliki pembawaan yang demikian agung dan berwibawa, halus gerak-gerik serta tutur sapanya, dan demikian tampan memikat, seperti seorang tokoh bangsawan dalam dongeng saja!

Sementara itu, dengan sikap acuh, Siangkoan Liong menghampiri tujuh buah mayat itu dan setiap kali kakinya bergerak, sesosok mayat terlempar ke dalam jurang di samping jalan, jurang yang dalam seperti mulut raksasa terpentang lebar menelan mayat-mayat itu sampai tidak nampak lagi dari atas.

Setelah menendangi tujuh buah mayat itu masuk jurang, Siangkoan Liong melangkah pergi meninggalkan Ci Hwa tanpa menoleh satu kali pun. Ci Hwa cepat mengejarnya.

“Kongcu... nanti dulu...!” katanya dan sekaligus bingung juga apa yang harus dikatakan dan mengapa pula ia mengejar pemuda itu.

Siangkoan Liong dengan sikapnya yang halus lembut dan anggun itu menahan langkah dan membalikkan tubuhnya menghadapi Ci Hwa, kemudian agaknya baru sekarang dia memperhatikan gadis itu, dari ujung rambut sampai ke alas kaki dan agaknya dia harus membenarkan pendapat dua orang anak buahnya bahwa gadis ini memang hitam manis dan cantik menarik.

“Ada apa lagikah, Nona? Sudah kusingkirkan para pengganggumu.”

Ci Hwa agak gugup dan mukanya menjadi merah. “Aku... aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu, Kongcu.”

Siangkoan Liong tersenyum dan Ci Hwa merasa betapa jantungnya seolah berjungkir balik. Betapa tampannya pemuda itu ketika tersenyum seperti itu. Sepasang matanya yang indah tajam itu bagaikan menyalakan api, wajahnya nampak ramah dan tampan bukan main.

“Tidak perlu berterima kasih, Nona, dan engkau boleh melanjutkan perjalanan dengan hati tenang sekarang.”

“Akan tetapi... aku memang sengaja datang hendak berkunjung ke Tiat-liong-pang dan melihat sikap kedua orang Tiat-liong-pang tadi kepadamu, agaknya Kongcu juga dari Tiat-liong-pang. Benarkah itu?”

Siangkoan Liong jadi tertarik dan mengamati lebih tajam. Apa maunya gadis muda ini, pikirnya. “Siapakah engkau, Nona? Apa pula keperluanmu datang berkunjung kepada Tiat-long-pang?”

Ci Hwa mengangkat muka memandang. Sampai lama mereka kini saling pandang dan hati Ci Hwa makin tertarik. Selama hidupnya, baru sekali ini ia bertemu dengan seorang pemuda yang begini hebat. Wajahnya demikian tampan, anggun dan juga agung, penuh wibawa namun tidak nampak galak, melainkan halus sikapnya lembut dan ramah gerak geriknya.

Ketampanan itu mengandung kegagahan tersembunyi, sedang pakaiannya yang seperti seorang terpelajar tinggi itu rapi, bagaikan pakaian seorang pemuda bangsawan saja. Ketika ditanya tentang keperluannya hendak mengunjungi Tiat-liong-pang, tentu saja ia merasa rikuh untuk memberi tahukan, sebelum ia mengenal benar siapa pemuda ini dan apa hubungannya dengan Tiat-liong-pang.

Akan tetapi karena orang ini telah menyelamatkannya dan bersikap baik juga ramah, ia pun segera memberi hormat dan menjawab dengan sikap halus pula.

“Nama saya Kwee Ci Hwa, Kongcu, dan saya datang dari dusun Ban-goan. Ayah saya adalah Kwee Tay Seng atau Kwee Pangcu, ketua dari perusahaan Ban-goan Piauwkiok di kota kami. Ada pun keperluan saya mencari Tiat-liong-pang adalah... akan tetapi aku harus mengetahui dulu siapa Kongcu ini sebelum kuberi tahukan kepentinganku.”

Pemuda itu setelah lama saling berpandangan, cara memandangnya tidak acuh lagi seperti tadi, menemukan sesuatu yang amat menarik dalam diri Ci Hwa. Seorang gadis yang memang manis sekali, dengan bentuk tubuh yang sangat menggairahkan, dengan sinar mata yang memancarkan semangat dan keberanian, dengan sebuah mulut yang teramat menarik, mulut yang agaknya memang diciptakan sebagai alat menyampaikan kemesraan yang penuh gairah.

Mulailah sinar mata pemuda itu mencorong dan dia pun sudah mengambil keputusan bahwa dia tidak boleh melewatkan seorang gadis semanis ini begitu saja! Siangkoan Liong bukan seorang pemuda yang terlalu mudah jatuh menghadapi kecantikan wanita. Akan tetapi, matanya tajam sekali untuk bisa menangkap keindahan yang khas seorang wanita. Terutama sekali setelah di antara semua orang yang bersekutu dengan ayahnya terdapat Sin-kiam Mo-li.

Wanita itu, biar usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun masih cantik dan lemah lembut, dan tentu saja amat berpengalaman dalam ilmu menundukkan hati pria. Dengan keahliannya, ia pun pernah berhasil menundukkan pemuda yang luar biasa itu dan tentu saja dalam hal satu ini, Sin-kiam Mo-li menjadi seorang guru yang teramat pandai dan berpengalaman.

Peristiwa yang terjadi dengan Sin-kiam Mo-li sudah membangkitkan naga yang tadinya masih tertidur dalam diri Siangkoan Liong, dan sekali naga nafsu itu bangkit maka selalu hendak mencari korban. Dan dalam pandangan pemuda itu, Ci Hwa merupakan calon korban yang amat menarik.

“Aihhh, kiranya engkau puteri seorang piauwsu, nona Kwee Ci Hwa. Aku heran sekali, kenapa ada puteri seorang piauwsu mencari Tiat-liong-pang. Ketahuilah, bahwa ketua Tiat-liong-pang, yaitu Siangkoan Pangcu, adalah ayah kandungku. Ibuku seorang puteri dari istana dan aku masih disebut orang pangeran karena aku putera ibuku. Namaku Siangkoan Liong.”

Ci Hwa semakin kagum. Seorang pangeran? Pantas, pemuda ini begini tampan gagah dan berwibawa. Dan tentang kepandaian silatnya, dia tidak meragukannya lagi, walau pun dia juga bergidik ngeri melihat betapa mudahnya pangeran ini membunuh orang, anak buahnya sendiri malah!

“Aihh, kalau begitu aku telah bersikap kurang hormat, Pangeran...“

“Hushhh, jangan sebut pangeran. Kita bukan di istana. Semua orang memanggil aku Siangkoan Kongcu. Nah, nona Ci Hwa, katakan mengapa seorang gadis yang begini muda dan manis seperti engkau ini, puteri seorang piauwsu, jauh-jauh datang untuk mencari Tiat-liong-pang. Ada urusan apakah?”

Hati Ci Hwa sudah jatuh benar sekarang. Siangkoan Liong memperlihatkan sikap manis, pada waktu berbicara dibarengi senyum dan pancaran matanya tidak menyembunyikan kekagumannya, maka gadis itu pun merasa betapa jantungnya berdebar tidak karuan.

Dia pun lalu menceritakan apa maksud kedatangannya itu. Diceritakannya betapa di Ban-goan terjadi pembunuhan-pembunuhan, sejak delapan tahun yang lalu ketika Tan Piauwsu dibunuh orang, kemudian juga Tang Piauwsu, dan yang terakhir adalah orang she Lay terbunuh pula oleh orang berkedok.

“Keluarga Tan menuduh ayahku sebagai pembunuh itu, Kongcu, dengan alasan bahwa mungkin ayahku membenci karena persaingan di dalam perusahaan. Akan tetapi, ayah sama sekali tidak melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dan aku merasa penasaran. Aku harus mencari pembunuh itu untuk mencuci nama baik ayahku. Sebelum orang she Lay itu tewas oleh orang berkedok, dia menyebutkan nama perkumpulan Tiat-liong-pang dan karena itu maka aku meninggalkan rumah dan pergi mengunjungi Tiat-liong-pang untuk mencari keterangan. Tapi di hutan tadi aku bertemu dengan lima orang pemburu yang menawanku, kemudian muncul pula dua orang anggota Tiat-liong-pang. Untung ada engkau, Kongcu, yang telah menyelamatkan aku.”

Siangkoan Liong tersenyum lebar dan pandang matanya ramah sekali. “Aih, nona yang baik, kenapa engkau bercuriga kepada Tiat-liong-pang? Perkumpulan kami terlalu besar untuk berurusan dengan segala macam pembunuhan seperti yang terjadi di Ban-goan itu. Perkumpulan kami dekat dengan istana, dan ayahku adalah keluarga istana, mana mungkin memusuhi segala macam perusahaan Piauwkiok? Akan tetapi agar engkau merasa puas, marilah ikut denganku, dan kau lihat sendiri keadaan perkumpulan kami. Kami sudah cukup kaya dan tak membutuhkan barang orang lain untuk dirampok. Nah, marilah, Nona. Engkau menjadi seorang tamuku, tamu terhormat.”

Tentu saja Ci Hwa merasa girang dan terhormat sekali. Semangatnya untuk menyelidiki Tiat-liong-pang seperti awan tipis tersapu angin, lenyap sudah. Dan kini, ia berjalan di sebelah pemuda itu bukan lagi seperti seorang yang ingin menyelidiki, tetapi sebagai seorang tamu yang merasa gembira bukan main telah dapat menjadi tamu seorang tuan rumah seperti pemuda ini. Jika saja para gadis lain melihatnya, berjalan berdampingan dengan seorang pangeran yang demikian tampan dan demikian gagah perkasa, tentu mereka akan merasa iri hati!

Siangkoan Liong membawa Ci Hwa ke rumah gedung keluarganya, akan tetapi ia tidak mengajaknya berjumpa dengan ayahnya. Juga tak memperkenalkannya kepada semua orang yang terdapat di gedung itu, dan karena dia diam saja, tak seorang pun di antara para anggota mau pun tamu di rumah itu berani bertanya kepadanya siapa gerangan gadis manis yang datang bersamanya itu.

Sedangkan Ci Hwa, melihat betapa semua orang memberi hormat kepada pemuda itu, merasa semakin bangga! Apa lagi ketika ia melihat betapa rumah gedung itu memang penuh dengan perabot rumah yang indah, bagaikan sebuah istana seorang pembesar saja. Tidak salah. Pemuda yang berdarah pangeran ini memang kaya raya dan tentu saja tidak perlu harus melakukan perampokan terhadap Tan Piauwsu.

Ia dibawa ke ruangan-ruangan yang amat indah, dan akhirnya pemuda itu mengajaknya duduk di dalam sebuah ruangan makan yang tidak seberapa luas, namun ruangan ini terhias indah dengan lukisan-lukisan, juga amat bersih dan berbau harum. Sebuah pintu menembus ke sebuah kamar, yaitu kamar pemuda itu, dihiasi tirai sutera dan dua pot bunga tumbuh subur di kanan kiri pintu. Inilah ruangan makan pribadi dari Siangkoan Kongcu.

Pemuda ini memang merasa derajatnya lebih tinggi dari pada para sahabat dan anak buah ayahnya, maka dia jarang sekali mau makan bersama teman-teman ayahnya yang dianggapnya orang-orang kasar itu. Dia lebih suka makan seorang diri saja di ruangan khusus itu, hanya ayahnya saja yang kadang menemaninya jika tidak sedang menjamu tamu.

“Duduklah, nona Kwee. Hari sudah siang dan aku sudah lapar. Apakah engkau tidak merasa lapar juga?”

Ditanya demikian, Ci Hwa yang berwatak pendiam dan halus itu merasa sungkan dan hanya menggelengkan kepalanya.

“Ah, sekali waktu orang harus menanggalkan rasa rikuh dan bersikap jujur, Nona. Tadi pernah aku mendengar keruyuk perutmu ketika kita jalan bersama, itu tandanya engkau pun lapar seperti aku. Kenapa harus malu mengakuinya?”

Ditegur seperti itu, mau tidak mau Ci Hwa tersenyum dengan kedua pipinya berubah merah dan tidak dapat menjawab.

“Nah, engkau sebagai tamuku, tamu agung, harap tidak menolak kalau kuajak makan bersama sebelum kita bercakap-cakap lebih lanjut.”

Tanpa menanti persetujuan gadis itu, Siangkoan Liong bertepuk tangan tiga kali dan muncullah dua orang pelayan wanita, gadis-gadis muda yang mulus dan cantik. Mereka memberi hormat dengan sikap lembut.

“Cepat kalian keluarkan hidangan makan siang berikut minumannya yang lengkap untuk menghormati tamu agungku!” perintahnya. Dua orang gadis pelayan itu membungkuk lalu mengundurkan diri dengan cepat.

“Silakan duduk, nona Kwee Ci Hwa.”

Terpaksa Ci Hwa mengambil tempat duduk, berhadapan dengan pemuda itu, terhalang sebuah meja yang lebarnya satu meter. Mereka kembali saling pandang. Melihat betapa sinar mata pemuda itu mengamatinya dengan kagum, debar jantung Ci Hwa mengeras dan ia pun menunduk malu-malu.

Tak dibayangkannya semula bahwa ia akan dapat duduk semeja dan menjadi tamu agung putera ketua Tiat-long-pang yang hendak diselidikinya. Ia merasa malu kepada diri sendiri. Bagaimana mungkin ia mencurigai seorang seperti pemuda ini, perkumpulan besar yang kaya raya ini? Tentu orang she Lay itu sudah dengan sengaja menyebut nama Tiat-liong-pang untuk menjebak Sin Hong.

“Aih, celaka...!” Tiba-tiba ia menggumam, suaranya yang timbul dari kekagetan hatinya. Hal ini diketahui oleh Siangkoan Liong yang memandang heran.

“Ehh, ada apakah nona Ci Hwa?”

Ci Hwa merasa terkejut dan menyesal sekali mengapa ia tidak mampu menahan gejolak batinnya tadi. Tentu saja ia terkejut teringat akan hal itu karena sudah pasti Sin Hong akan datang pula menyelidiki ke sini dan kalau sampai bentrok dengan orang-orang Tiat-liong-pang yang tidak bersalah, pemuda itu bisa celaka! Padahal dia kagum dan suka sekali kepada Tan Sin Hong!

Sekarang, karena sudah terlanjur bicara dan diketahui Siangkoan Kongcu, terpaksa ia pun menjawab. “Kongcu, aku teringat akan putera mendiang Tan Piauwsu. Dialah orang yang tadinya menjatuhkan tuduhan kepada keluarga kami sebagai pembunuh ayahnya. Dan dia pun sudah mendengar dari orang she Lay itu bahwa yang berdiri di belakang pembunuhan itu adalah Tiat-liong-pang. Tentu dia akan menyerbu ke sini!”

Siangkoan Kongcu hanya tersenyum. “Biarkanlah kalau dia akan menyerbu. Kami tidak bersalah dan kami tidak takut akan serbuan siapa pun juga.”

“Bukan begitu maksudku, Kongcu. Akan tetapi dia... Tan Sin Hong itu, dia akan salah serbu dan bahkan tentu akan celaka di sini...“

Sepasang alis yang berbentuk golok dan hitam itu agak berkerut dan sepasang mata yang tajam itu memandang penuh selidik ke arah wajah manis itu.

“Kalau begitu mengapa? Kalau dia menyerbu ke sini dan celaka, bukankah itu salahnya sendiri? Apa hubungannya dengan engkau, Nona? Mengapa engkau mengkhawatirkan dia padahal dia sudah menuduh ayahmu sebagai seorang bersalah?”

Sepasang pipi itu semakin merah. Tentu saja ia tidak dapat menyatakan bahwa ia tertarik dan kagum, bahkan suka sekali kepada Sin Hong!

“Ahhh, tidak ada hubungan apa pun. Hanya aku kasihan kepadanya karena dia telah kehilangan ayah ibunya, kehilangan perusahaannya, kehilangan segalanya.”

“Jadi karena itu engkau membantunya dan menyelidiki kami? Apakah engkau jatuh cinta padanya, Nona?”

“Ihh...! Kenapa engkau bertanya begitu, Kongcu? Aku menyelidiki untuk menebus nama baik ayahku, bukan untuk membantunya, dan tentang cinta... ahh... tidak sama sekali!” Tentu saja dia menyangkal walau pun hatinya penuh tanda tanya dan keraguan karena selama ini dia sendiri pun belum pernah bertanya kepada dirinya sendiri apakah rasa tertariknya kepada Sin Hong ini karena cinta.

Siangkoan Liong menarik napas lega dan sementara itu hidangan pun tiba.

“Sudahlah, kita bicarakan hal lain saja, Nona. Kalau sampai orang yang bernama Tan Sin Hong itu datang menyerbu, mengingat bahwa dia itu kenalanmu, tentu akan kujaga agar dia jangan sampai celaka.”

“Terima kasih, Kongcu. Engkau memang orang yang baik sekali.”

“Ha-ha-ha, bukan baik, Nona. Tapi menghadapi seorang gadis yang begini cantik manis, begini ramah dan halus budi, juga gagah perkasa seperti engkau, siapa orangnya yang tidak akan menjadi baik?”

Sudah semenjak sejarah dicatat orang, wanita merupakan makhluk yang amat lemah terhadap cumbu rayu dan bujukan. Pujian-pujian merupakan hal yang menyenangkan hati, bahkan didambakan setiap wanita. Hanya wanita yang tidak normal saja kiranya yang tidak haus akan pujian dan rayuan.

Hal ini kiranya bukan karena suara kelemahan batin atau juga karena kekurangannya, melainkan sudah menjadi pembawaan, naluri yang ada pada setiap makhluk betina, termasuk wanita. Sudah sejak mulanya, wanita atau semua makhluk betina memiliki daya tarik yang amat besar bagi makhluk jantan, seperti juga wanita memiliki segalanya yang amat menarik hati pria. Suaranya yang lembut, rambut panjang halus, kulit mulus, raut wajah yang indah, lekuk lengkung tubuh menggairahkan, pandang mata yang penuh romantika, senyum memadu, leher jenjang, pinggang ramping, dada dan pinggul membukit, kaki yang mungil, pendeknya segala sesuatu pada diri wanita mengandung daya tarik bagi pria.

Wanita menyadari akan hal ini, karena itu berupaya menonjolkan daya tarik itu dan jika sampai terlontar pujian dari mulut atau mata pria, maka berhasillah ia dan banggalah ia. Sebaliknya, pria yang pandai, yang mengerti akan kelemahan wanita ini sengaja akan mempergunakan kelemahan itu sebagai umpan untuk memancing dan mendapatkan wanita yang diidamkannya. Daya tarik kedua pihak, yang menarik satu kepada yang lain, memang pembawaan semenjak lahir, mungkin hal itu diperlukan sekali agar ada pendekatan antara keduanya sebagai sarana perkembang biakan. Tanpa saling tertarik, mana mungkin ada hasrat pendekatan, dan tanpa pendekatan, bagaimana mungkin terjadi perkembang biakan?

Di pihak pria, memang ada pula perasaan suka dipuji itu, akan tetapi biasanya, berbeda dengan wanita, pria suka dipuji akan kejantanannya, bukan karena keelokan parasnya. Siangkoan Liong, biar pun sejak kecil digembleng dengan ilmu silat dan sastra, sebelum Sin-kiam Mo-li menjadi sekutu ayahnya, memang sama sekali tidak berpengalaman dengan wanita. Setelah dia terpikat oleh Sin-kiam Mo-li dan mendapatkan seorang guru baru dalam permainan asmara, dia pun berubah. Walau pun dia masih jual mahal dan tidak sembarangan mau mendekati wanita seperti para gadis pelayannya sendiri, tapi dia mulai memperhatikan wanita dan sekali dia menaruh minat, jangan harap wanita itu akan mampu terlepas dari pikatannya yang lihai.

Ci Hwa berkali-kali memerah muka karena pujian-pujian yang dilontarkan tidak secara kasar atau langsung itu. Sambaran-sambaran sinar mata penuh kagum dari pemuda itu lebih membingungkannya dari pada kalau dirinya dirayu. Andai kata Siangkoan Kongcu merayunya dengan kata-kata, apa lagi kalau agak kasar, kiranya belum tentu ia akan terpikat. Ci Hwa bukanlah wanita yang mudah jatuh hati oleh ketampanan. Akan tetapi, menghadapi sikap yang demikian lembut, halus dan ramah, serta pandai membawa diri, bahkan kata-katanya kini mulai indah seperti sajak, dengan kata-kata pilihan, luluhlah hati Ci Hwa.

Melihat betapa calon korbannya itu sudah mulai terpikat, yang dapat diketahuinya dari senyum dikulum, lirikan mata mengandung kegenitan, kedua pipi kemerahan, dada naik turun dan mata yang seperti mengantuk itu, Siangkoan Kongcu lalu memesan anggur merah dari pelayan. Sebuah guci berlapis emas dengan ukiran-ukiran sepasang burung Hong sedang bermain asmara kemudian disuguhkan dan diletakan di atas meja. Ketika Siangkoan Liong menuangkan anggurnya, ternyata anggurnya warna merah dan berbau harum sekali.

Diisinya penuh cawan mereka dan Siangkoan Liong mengangkat cawannya yang penuh arak merah itu sambil diacungkannya kepada Ci Hwa sambil berkata dengan senyum ramah dan manis.

“Marilah kita minum anggur ini, Nona!”

Biar pun Ci Hwa tidak asing dengan minuman arak dan anggur karena ayahnya juga seorang peminum yang kuat, namun tadi sambil makan dia telah minum arak cukup banyak. Ia tidak mabuk, akan tetapi ia harus waspada karena berada di tempat asing, apa lagi sebagai seorang tamu wanita. Alangkah akan memalukan kalau sampai dia mabuk dan mengeluarkan kata-kata di luar kesadarannya, maka dia pun menggeleng kepala sambil tersenyum.

“Sudah cukup, Kongcu. Sungguh aku sudah kenyang sekali dan sudah banyak minum, rasanya tidak ada tempat lagi untuk ditambah minum anggur. Kebaikanmu sebagai tuan rumah sudah berlimpahan, membuat aku merasa tidak enak saja, dan sebaiknya kalau aku minta diri sebelum berhutang budi terlalu banyak.”

Ci Hwa adalah seorang gadis pendiam dan jarang bicara, akan tetapi sekali ini ia pandai bicara. Hal ini mungkin disebabkan oleh keadaan tempat yang indah itu, mungkin juga oleh kegembiraan berdua dengan Siangkoan Kongcu, atau juga lidahnya agak terlepas karena pengaruh minuman arak yang tua dan baik tadi.

“Ha-ha-ha, nona Ci Hwa yang mulia! Ketahuilah bahwa anggur ini merupakan anggur simpananku yang kuberi nama Anggur Emas. Tidak keras seperti arak, melainkan lezat, manis dan harum, juga mengandung khasiat menyehatkan tubuh dan membangkitkan hawa sakti dalam tubuh. Jika bukan tamu agung, jangan harap bisa merasakan anggur suguhanku ini. Anggur ini adalah minuman para puteri dan pangeran di istana, Nona. Oleh karena itu, mari kita minum untuk pertemuan kita yang berbahagia ini!”

Betapa Ci Hwa dapat menolak penawaran seperti itu? Tentu saja akan tidak enak sekali dan nampak tidak dapat menerima budi orang jika ia menolak. Maka sambil tersenyum ia pun mengangkat cawan araknya. Kini senyumnya agak lebar, lebih lepas dan dengan sinar mata kagum Siangkoan Liong melihat deretan gigi yang putih cemerlang seperti mutiara, rapi berjajar dan samar-samar nampak rongga mulut yang merah dengan ujung lidah jambon yang sehat.

Keduanya mengangkat cawan, kemudian saling mengacungkan cawan sambil berkata lirih, “Selamat!” dan keduanya minum anggur merah dari cawan itu.

Begitu anggur memasuki mulut, Ci Hwa terkejut, heran dan juga kagum! Belum pernah selama hidup ia minum minuman selezat itu! Bagaikan sari buah anggur tulen. Mungkin anggur dengan mutu terbaik diperas dan entah dicampur apa maka dapat sedemikian manisnya dan harumnya.

Tentu tidak memabukkan sama sekali, pikirnya. Dia pun menuangkan seluruh isi cawan itu ke dalam tenggorokannya. Terasa manis dan hangat memasuki tenggorokan dan perut. Memang ada rasa hangat, akan tetapi tidak panas menyentak seperti jika minum arak.

Mereka saling berpandangan dan pemuda itu tersenyum. Wajah pemuda itu nampak lebih cerah dan lebih tampan saja.

“Bagaimana, nona Ci Hwa? Enak tidak?”

“Bukan main!” Ci Hwa memuji. “Engkau sungguh pandai sekali, Kongcu. Selama hidup baru sekarang aku merasakan minuman yang begini lezatnya.”

“Ha-ha-ha, pujian seperti itu harus diberi hadiah secawan lagi.” Dia cepat mengisi pula dua cawan arak mereka. “Sekarang mari kita minum untuk persahabatan kita, bukan hanya karena pertemuan antara kita!”

Karena minuman itu bukan arak dan tidak akan memabukkan, Ci Hwa tanpa ragu-ragu minum lagi anggur itu sampai habis. Dan untuk ke tiga kalinya Siangkoan Liong kembali menuangkan isi guci ke dalam cawan mereka.

Ci Hwa merasa sungkan juga, takut dianggap gembul dan murka. “Cukup, Kongcu. Minuman seperti itu amat berharga dan jangan terlalu banyak dihamburkan untukku!”

“Sama sekali bukan begitu. Memang amat mahal harganya, akan tetapi seguci hanya terisi enam cawan. Dan kiranya tidak ada orang yang lebih patut untuk mendapatkan setengah guci. Engkau tiga cawan dan aku tiga cawan baru puaslah hatiku. Sekali ini kita minum untuk menghormati perasaan suka dan tertarik di antara kita!”

Ci Hwa terkejut dan mukanya menjadi semakin merah, jantung berdebar kuat sekali. Akan tetapi dia tidak marah. Bagaimana dia dapat marah terhadap seorang pemuda seperti ini? Dalam pandangan matanya, pemuda itu nampak terlalu tampan, terlalu halus dan sopan dan memang harus diakuinya bahwa timbul perasaan tertarik dan suka di dalam hatinya. Biar pun agak malu-malu, dia minum juga cawan ke tiga berisi anggur merah yang penuh.

Sekarang barulah terasa olehnya. Ia merasa seperti melayang ke atas, terapung-apung tanpa bobot, dibuai dan ditimang. Tubuhnya seperti tak merasakan apa-apa lagi kecuali kenikmatan yang aneh. Ia membuka matanya dan mendapatkan dirinya masih duduk di depan meja, dan di seberangnya, wajah tampan itu nampak tersenyum ramah.

Ia merasa aneh akan tetapi tidak heran, tidak merasa mabuk, akan tetapi masih agak sadar bahwa terjadi suatu keanehan yang selamanya tak pernah dirasakannya. Lukisan di dinding itu, sebuah lukisan gunung dan awan, nampak demikian indah seolah-olah bukan lukisan, melainkan jendela terbuka dari mana ia dapat melihat gunung dan awan yang sungguh-sungguh.

Dan lukisan burung merak itu, bukankah burung itu menggerak-gerakkan sayap dan kepalanya? Dan warna sutera yang menjadi tirai depan pintu kamar itu, warnanya bagai pelangi, akan tetapi dalam keadaan yang luar biasa indahnya. Bukan sekedar warna biasa, melainkan warna yang demikian jelas. Seperti ia bisa mendengar suara beraneka macam, dengan suara berbeda, seperti nyanyian, membawakan irama yang demikian halus dan enak sehingga tanpa terasa lagi Ci Hwa menggerak-gerakkan kepalanya menurutkan irama itu!

Suara ketawa halus dari Siangkoan Liong memasuki telinganya, seperti suara bisikan dari jauh sekali, namun juga jelas sekali. “Aih, nona Kwee Ci Hwa yang manis, agaknya engkau... engkau lelah dan mengantuk. Benarkah itu?”

Ci Hwa menggeleng kepala dan menahan ketawanya. Aneh, mengapa dia ingin sekali tertawa, tertawa sepuasnya dan sebebasnya? Tidak ada lagi ikatan malu atau apa saja, yang ada hanya keinginan hati untuk senang!

“Aku tidak lelah, tidak mengantuk, akan tetapi wah… enaknya rasanya...“

“Kalau dipakai beristirahat tentu lebih enak. Mari, Nona, marilah engkau beristirahat...“ Dan tiba-tiba tangan pemuda itu sudah menyentuh tangannya.

Sejenak Ci Hwa seperti orang kaget, tetapi lalu tersenyum. Tangan pemuda itu hangat dan halus, dan apa salahnya berpegang tangan? Wajar saja, bukan?

“Ya-ya-ya, istirahat…, aku seperti melayang-layang...,“ katanya seperti dalam mimpi.

Ia pun sama sekali tidak memiliki daya lawan atau sama sekali tidak ingin menentang ketika Siangkoan Liong memutari meja, menghampirinya, kemudian memegang kedua pundaknya, bahkan lalu membantunya bangkit berdiri.

Pada waktu Ci Hwa berdiri, ia limbung dan tentu bisa jatuh kalau tidak segera dirangkul Siangkoan Liong pundaknya. Tubuhnya rasanya begitu ringan seperti bola karet penuh angin, kedua kakinya seperti agar-agar saja, dan pikirannya tidak ada! Yang ada hanya perasaan senang, perasaan enak, perasaan bebas dari segala persoalan hidup. Dia bahkan terkekeh sedikit ketika pemuda itu menuntunnya masuk ke dalam kamar yang bertiraikan kain sutera pelangi tadi.

Ci Hwa sama sekali tidak memiliki niat apa-apa, apa lagi membantah ketika pemuda itu memondong dan merebahkannya di atas sebuah pembaringan yang tebal, lunak, harum dan indah. Bahkan ia pun tidak membantah ketika pemuda itu melepaskan sepatunya. Ia terlentang dan memandang langit-langit kelambu, lalu menarik napas panjang, penuh kelegaan.

“Aaaahhh... alangkah senangnya… alangkah enaknya...“

Dia tidak tahu bahwa gelung rambutnya terlepas dan rambutnya yang hitam panjang itu terurai di atas bantal. Juga dia tidak peduli ketika pemuda itu menutupkan daun pintu, bahkan tidak merasa heran atau aneh ketika pemuda itu pun membuka baju luar dan rebah di sampingnya!

Siangkoan Liong yang maklum bahwa calon korbannya sudah terbius oleh obat luar biasa yang terkandung dalam anggur tadi, juga maklum bahwa pada dasarnya gadis itu memang sudah terpikat dan tertarik kepadanya, lalu mulai mencumbunya. Hanya sekali kali saja kesadaran seperti hendak menyeret kembali Ci Hwa ke dalam keadaan normal, namun pemuda itu pandai sekali merayu, dengan bisikan-bisikan, dengan sentuhan sentuhan, dengan dekapan dan ciuman.

Dan akhirnya, api birahi yang ada dalam diri setiap manusia, juga dalam diri Ci Hwa, tersulut dan berkobar. Ia pun membalas belaian dan pelampiasan kemesraan pemuda itu dengan menggebu-gebu, lupa akan segala, yang ada hanya keinginan memuaskan hasrat yang berkobar membakar seluruh keadaan dirinya, lahir batin.

Tanpa ada paksaan semua itu terjadi, walau pun Ci Hwa melakukannya dalam keadaan seperempat sadar saja. Berkali-kali ia menyerahkan diri, penuh kerelaan dan keduanya berada di dalam kamar itu sampai keesokan harinya!

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Ci Hwa terbangun dari tidurnya. Begitu terbangun, dia merasa betapa seluruh tubuhnya pegal-pegal dan lelah sekali, seolah-olah telah dilolosi semua urat di tubuhnya. Ingin ia memejamkan mata kembali, tidur kembali, akan tetapi ketika tangannya bergerak, ia mendapatkan dirinya tanpa pakaian!

Ia terkejut, memiringkan tubuhnya. Ia pun melihat Siangkoan Liong rebah di sampingnya dalam keadan yang sama! Teringat ia akan semuanya itu seperti ada kilat menyambar menerangi benaknya. Kini, semua pengaruh obat telah lenyap dan ia sadar seutuhnya!

“Ihhh...!” Ia menahan jeritnya, bangkit duduk dan menarik selimut menutupi tubuhnya.

Rambutnya terurai lepas menutupi kulit pundak dan dada yang mulus, kedua matanya terbelalak memandang kepada Siangkoan Liong. Siangkoan Liong juga terbangun oleh jerit ditahan dan gerakan gadis itu. Dia memandang dan tersenyum, lalu bangkit duduk juga. Dadanya yang bidang nampak berkeringat dan biar pun rambutnya kusut dan dia baru bangun tidur, tetap saja dia merupakan seorang pria yang jantan dan menarik.

“Selamat pagi, Hwa-moi, kekasihku!” katanya dan tangannya meraih, hendak merangkul dan mencium.

Akan tetapi Ci Hwa menggeser pinggulnya, menjauh dan matanya terbelalak. “Kongcu! Engkau... kita...?” bisiknya, seolah-olah baru melihat kenyataan yang sungguh teramat mengejutkan hatinya.

Melihat ini Siangkoan Kongcu tidak menjadi gugup, bahkan dia menyentuh lengan gadis itu sambil tersenyum. Begitu merasa lengannya disentuh tangan pria, Ci Hwa merasa bulu tengkuknya meremang dan ia cepat menarik lengannya dan menjauh.

“Tenanglah, Hwa-moi, tenanglah kekasihku. Lupakah engkau? Sejak kemarin siang kita sudah tidur di sini. Kita memang telah berkasih-kasihan, dan kita... kita sudah saling mencurahkan kasih sayang. Engkau memang seorang wanita hebat...!”

“Tidak! Oohhhh... tidak...!” Ci Hwa menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dari celah-celah antara jari-jari tangannya mengalir air mata.

“Ci Hwa, tenangkan dirimu. Kita memang telah melakukan hubungan dengan suka rela, karena kita saling menyayang, saling menyukai. Apa salahnya itu? Dan aku merasa berbahagia sekali.”

“Tidak...! Engkau... engkau tentu telah menjebakku...“

“Hwa-moi, apakah engkau mimpi? Lihat ini dadaku, leherku, masih merah-merah bekas gigitanmu. Gigitan manja! Ingat, Hwa-moi, aku tidak memaksamu dan engkau tidak memaksaku. Kita melakukan dengan suka rela, karena saling mencinta. Beberapa kali engkau membisikkan kata cinta kepadaku, kenapa sekarang tiba-tiba engkau menangis dan menyesal dan menuduh yang bukan-bukan?”

Ci Hwa menurunkan kedua tangannya. Air matanya masih mengalir turun dan matanya basah. Sejenak dia memandang wajah pemuda itu melalui air matanya dan dia pun teringatlah semuanya. Ia merasa malu sekali, akan tetapi segalanya telah terjadi.

“Aku... aku agaknya sudah gila,” ratapnya. “Aku... tergila-gila kepadamu, Kongcu. Akan tetapi, apakah engkau cinta padaku?”

Siangkoan Liong merangkul dan mencium bibir itu dengan mesra dan Ci Hwa hanya setengah meronta saja.

“Cinta padamu? Kalau tidak cinta padamu, untuk apa aku melakukan ini? Aku bukan pria yang kegilaan perempuan! Aku tentu saja cinta padamu, Hwa-moi.”

Sinar terang memenuhi batin Ci Hwa dan ia pun balas merangkul. “Aihh, Kongcu, terima kasih. Kalau begitu, sekarang juga, hari ini juga, engkau harus ikut bersamaku pergi ke Ban-goan.”

“Ehhh?” Siangkoan Kongcu mengerutkan alis dan memandang heran. “Ikut denganmu ke Ban-goan?” tanyanya ragu. “Mau apa?”

Kini Ci Hwa yang terbelalak. “Mau apa lagi? Bukankah engkau sudah menggauli diriku, bukankah aku telah menyerahkan diriku padamu dan kita seperti sudah menjadi suami isteri? Tentu saja untuk menghadap ayahku dan untuk melamarku menjadi isterimu. Apa lagi!”

“Ahhh, ini tidak mungkin!”

Seketika pucat wajah Ci Hwa. Kemudian mukanya merah sekali dan ia pun menyambar pakaiannya dan mengenakan pakaiannya sejadinya. Hal ini diturut pula oleh Siangkoan Kongcu dan kini mereka berdiri di kamar itu, berdiri saling berhadapan.

“Siangkoan Kongcu, setelah apa yang kau lakukan semalam...“

“Engkau juga, bukan aku sendiri!”

“Benar, setelah apa yang kita lakukan bersama semalam, apakah engkau masih berani mengatakan bahwa engkau tak akan melamarku dan mengambil aku sebagai isterimu?”

Pemuda itu memandang tajam, lalu menarik napas panjang. Dalam keadaan seolah olah dia terdesak itu, dia masih bersikap tenang dan halus.

“Kwee Ci Hwa, dengarlah baik-baik. Engkau datang ke sini tanpa diundang. Aku sudah menyambutmu dengan baik, bahkan untuk keselamatanmu dan harga dirimu, aku telah membunuh dua orang anggota perkumpulan kami. Kemudian kita saling mencinta, dan saling menumpahkan perasaan cinta dan kasih sayang, tanpa paksaan dan dengan suka rela. Akan tetapi sekarang engkau menuntut aku agar mengambil engkau sebagai isteri!”

“Bukankah itu sudah pantasnya dan seharusnya?” Ci Hwa membantah dengan suara mendesak.

Siangkoan Liong menggeleng kepala. “Tak ada paksaan dalam hubungan kita. Engkau tahu bahwa aku seorang pangeran, seorang keturunan bangsawan dan tidak mudah mengikatkan diri menikah begitu saja. Kita saling suka, dan aku pun cinta padamu. Mengapa kita tidak tetap seperti sekarang saling mencinta dan melakukan hubungan setiap kali kita inginkan? Apa perlunya ikatan pernikahan? Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu itu, Ci Hwa.”

Wajah gadis itu berubah pucat, matanya terbelalak dan kembali air mata bercucuran keluar. “Kongcu, setelah apa yang kau lakukan, setelah engkau meniduriku, merenggut keperawananku... ah, bagimu sebagai pria memang mungkin tidak apa-apa, akan tetapi aku seorang wanita! Seorang wanita, seorang gadis! Tahukah engkau akibatnya? Aku akan dikejar aib, namaku akan rusak dan hina, lebih hebat dari pada kematian!”

Siangkoan Liong menggeleng kepala dan tersenyum. “Bodoh kau! Tetap saja menjadi kekasihku seperti sekarang, dan aku akan melindungimu.”

“Tidak! Engkau harus melamarku, harus mengambilku sebagai isterimu, kalau tidak...“

“Hemmm, kalau tidak mengapa?” Siangkoan Liong kini bertanya dengan alis berkerut dan pandang matanya mencorong marah.

“Kalau tidak, engkau atau aku harus mati!” Dan tiba-tiba Ci Hwa yang sudah merasa putus asa itu lalu menyerang dengan hebatnya, menghantam ke arah dada pria yang pernah membahagiakannya selama sehari semalam itu.

Serangannya dilakukan dengan sepenuh tenaga karena kini, perasaan cintanya sudah berubah seketika menjadi kebencian yang bernyala-nyala. Kini baru terbuka matanya orang macam apa adanya pemuda yang tampan, halus dan perkasa itu. Ia telah terjebak dan tahulah ia bahwa semua sikap baik, kehalusan, bahkan pertolongan itu, ditambah dengan makan minum dan terutama sekali minuman anggur merah itu, hanya merupakan perangkap saja untuknya. Ia telah terperangkap, telah menjadi korban.

Pemuda ini sama sekali tidak mencintanya, tidak menginginkan dirinya menjadi isteri, melainkan mempermainkannya saja! Oleh karena kesadaran ini, dia pun menyerang dengan sekuatnya, serangan dahsyat walau pun tubuhnya masih terasa lemas karena malam tadi menghabiskan tenaga dan kurang tidur.

Akan tetapi, tingkat kepandaian Siangkoan Liong jauh lebih tinggi dibandingkan Ci Hwa, maka serangan itu dengan mudah dihadapinya dan begitu pemuda itu menggerakkan kedua tangannya, bukan dia yang terserang, bahkan Ci Hwa sudah dapat ditangkap dan ditelikungnya. Kedua lengan gadis itu dipuntir ke belakang, lalu dipegang dengan satu tangan dan tangan lain merangkul.

Ci Hwa hendak meronta, namun sekali jari tangan pemuda itu menekan, tubuh Ci Hwa menjadi lemas dan ia pun terkulai dalam pelukannya tanpa dapat melawan lagi kecuali menangis.

“Sayang, jangan menangis. Bukankah kita saling mencinta? Ingatlah betapa mesra dan bahagianya kita semalam, dan aku masih saja rindu padamu, belum juga puas aku minum madu darimu.” Siangkoan Liong memondongnya dan membawanya kembali ke pembaringan.

Ci Hwa menangis. Menangis dalam batin. Kini, biar pun dibelai dan dihujani pernyataan dan pencurahan cinta kasih yang sangat mesra, sama sekali dia tidak merasa senang. Sebaliknya dia merasa tersiksa, tanpa mampu menolak dan tanpa mampu meronta. Ia merasa diperkosa, dihina sampai sehebat-hebatnya oleh pria yang kini amat dibencinya itu. Seperti bumi dan langit bedanya dengan hubungan antara mereka mulai kemarin siang sampai semalam, begitu penuh dengan kemesraan dan perasaan cinta kedua pihak. Kini ia merasa diperkosa dan ditekan, dihancurkan dan dipatah-patahkan.

Hubungan sex antara pria dan wanita sesungguhnya merupakan hubungan puncak kemesraan yang indah dan suci apa bila dilakukan oleh kedua pihak karena dorongan cinta kasih. Hubungan sex merupakan puncak kemesraan pernyataan sayang, saling mengisi, saling membahagiakan melalui perasaan yang paling halus dan paling dalam, di mana masing-masing sudah bebas dari keakuan masing-masing, melebur menjadi satu dan tidaklah mengherankan kalau saat yang amat suci dan indah itu menjadi sarana penciptaan seorang manusia baru!

Sex adalah suatu hubungan antara dua jenis makhluk berlawanan kelamin yang indah, suci dan nikmat. Tetapi, betapa kenikmatan itu selalu berubah menjadi kesenangan! Kenikmatan adalah suatu pengalaman perasaan pada saat itu, detik itu, dan jika sudah disimpan dalam ingatan, dijadikan kenangan, lalu diharapkan dan dikejar sebagai suatu kesenangan!

Alangkah jauh beda antara kenikmatan dan kesenangan! Kenikmatan datang seketika, pada saat itu juga, tanpa adanya aku yang mengecamnya, dan tanpa adanya aku yang mencatatnya. Sebaliknya, kesenangan ialah suatu bayangan yang digambarkan oleh si aku yang selalu mengejar-ngejarnya. Jika sudah begini, maka terjadilah penyelewengan yang timbul dari pengejaran itu!

Cinta kasih bukanlah sex semata, walau pun sex merupakan sebagian dari cinta kasih, merupakan kembangnya yang indah. Jika sex telah menjadi alat bersenang diri, dikejar, maka ia berubah menjadi nafsu yang akan membakar diri lahir batin. Sex merupakan suatu hubungan yang suci di mana terdapat cinta kasih. Tanpa cinta kasih, sex hanya merupakan suatu permainan untuk memuaskan nafsu yang tak kunjung padam, tak kunjung habis, dan nafsu ini kalau dituruti akhirnya akan membakar diri sampai hangus!

Bagi seorang wanita yang lebih halus perasaan ketimbang pria, sikap cinta kasih jauh lebih berkesan di dalam hati sanubarinya dari pada sekedar hubungan sex yang baik saja. Pada umumnya, wanita mendambakan kasih sayang dalam sikap, pandang mata, tutur kata, dan perbuatan yang pada puncaknya akan menuju kepada hubungan sex. Sebaliknya, pria kurang peka terhadap sikap ini, dan biasanya, pria lebih condong minta bukti melalui hubungan sex dan kepatuhan, dan kesetiaan. Hmmm.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah si Bangau Putih

KISAH SI BANGAU PUTIH (BAGIAN KE-13 SERIAL BU KEK SIANSU)