KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-14


Setelah merasa puas, Siangkoan Liong membebaskan totokan pada tubuh Ci Hwa. Gadis itu terisak dan mengenakan pakaiannya, kepalanya pening dan dia tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.

“Kwee Ci Hwa, engkau sungguh seorang gadis yang tidak tahu diri dan tidak mengenal budi. Gadis-gadis lain akan saling berebutan agar dapat tidur dengan aku. Aku bukan hanya tidur bersamamu, bahkan telah menyelamatkanmu. Aku suka dan cinta padamu, akan tetapi engkau tidak mau menerimanya. Nah, sekarang tinggal kau pilih, tinggal di sini sebagai kekasihku, bukan isteri, atau engkau boleh pergi.”

Ci Hwa sudah selesai mengenakan sepatunya. Kini ia mengangkat mukanya yang pucat dan matanya yang merah itu seperti hendak membakar wajah Siangkoan Liong. Kedua tangannya dikepal.

“Kalau aku mampu, tentu aku akan membunuhmu, keparat! Biar Tuhan mengutukmu!” Setelah berkata demikian, Ci Hwa lalu meloncat keluar dari dalam kamar itu, langsung melarikan diri keluar.

Masih ia mendengar suara tawa pemuda itu mengikutinya sampai ia jauh meninggalkan perumahan Tiat-liong-pang. Ia berlari sambil menangis, tanpa suara, hanya terisak dan air matanya terus berjatuhan di sepanjang jalan. Dia tidak tahu harus pergi ke mana, kini satu-satunya keinginannya hanyalah menjauhi tempat laknat itu sejauh dan secepat mungkin. Tubuhnya terasa nyeri semua, terutama karena perbuatan Siangkoan Liong tadi yang diterimanya dengan batin yang meronta.

Ci Hwa memasuki sebuah hutan yang penuh dengan semak belukar dan pohon-pohon liar dan akhirnya kakinya terantuk akar pohon dan tubuhnya pun terpelanting jatuh ke atas rumput. Dia tidak bangun dan sekaranglah baru ia menangis sesenggukan seperti anak kecil, menangis sampai mengguguk sambil menelungkup di atas tanah itu. Kedua tangannya dikepal dan ia memukuli tanah, juga kakinya menendang-nendang tanah.

Penyesalan demi penyesalan datang bagai gelombang samudera yang maha dahsyat melanda dirinya, menyeretnya sehingga dia gelagapan di dalam tangisnya, kehilangan pegangan. Ia merasa menyesal sekali mengapa telah bertindak demikian bodoh, kurang waspada, mudah sekali terbujuk rayu sampai-sampai mengorbankan keperawanannya, kehormatannya, bahkan ia telah diilas-ilas, dihina tanpa daya sama sekali.

Andai kata ia diperkosa saja, kiranya penyesalannya tak sehebat ini. Akan tetapi tidak, ia sama sekali tidak diperkosa untuk pertama kalinya. Dia menyerah dengan suka rela, bahkan menikmatinya, meneguk minuman beracun. Betapa memalukan! Betapa rendah dirinya.

“Aku layak mampus! Aku tidak berharga lagi untuk hidup!” teriaknya ketika teringat akan itu semua.

Dia meninggalkan rumah dengan cita-cita untuk mencuci nama ayahnya yang ternoda karena dituduh membunuh. Tapi ia sendiri, apa yang dilakukannya? Menjadi perempuan hina, bahkan lebih hina dari pelacur. Seorang pelacur menyerahkan diri dengan harapan imbalan. Akan tetapi dia? Menyerah secara membuta, tak tahu bahwa dia dipermainkan orang!

“Aku harus mampus…! Aku harus mampus…!” Dan gadis itu pun menanggalkan ikat pinggangnya, memasangnya di atas cabang sebatang pohon, lalu mengalungkan ujung yang lain di lehernya dan ia pun meloncat turun dari cabang itu. Tali itu mengikat dan menjerat lehernya yang berkulit halus mulus, dan tubuhnya tergantung!

Ci Hwa merasa betapa kulit lehernya nyeri dan perih, napasnya terhenti, akan tetapi ia tidak meronta dan bersiap menerima kematian dengan tenang. Matanya yang terpejam nampak cahaya kuning, lalu merah api, lalu kabur agak kelabu, mulai menghitam.

“Anak bodoh!”

Tiba-tiba saja tubuhnya terlepas dan ia tidak tergantung lagi! Ci Hwa yang sudah hampir pingsan itu merintih, lehernya tidak terikat lagi dan ia roboh di atas tanah, merasakan ada jari tangan menekan pundak dan tengkuknya, pernapasannya yang terengah itu kembali normal.

Ia lalu membuka mata dan melihat seorang pemuda sudah berlutut di dekatnya! Hampir ia memaki karena mengira bahwa pemuda itu Siangkoan Liong, akan tetapi setelah pandang matanya dapat melihat jelas, ia melihat bahwa pemuda itu sama sekali bukan Siangkoan Liong! Pemuda itu jelas lebih tua dari pada Siangkoan Liong, usianya tentu sedikitnya dua puluh enam tahun. Ia mengerutkan alis, mengingat-ingat dan merasa tak pernah bertemu dengan pemuda ini.

Dia seorang pemuda yang mengenakan pakaian kebiruan sederhana. Mukanya berkulit bersih, cerah dan dapat dibilang tampan. Matanya bersinar lembut, seperti sinar mata Siangkoan Liong, tetapi terdapat kejujuran pada sinar mata dan mulut yang tersenyum lembut itu.

Sepasang mata itu sekarang mengamati wajahnya seperti orang yang menyesal dan menyalahkannya. Alis itu agak berkerut, dan pada pandang matanya yang lembut itu, jelas nampak penasaran dan juga keheranan. Siapa orangnya tak akan heran melihat seorang gadis semuda ia berada dalam hutan sedang berusaha membunuh diri dengan menggantung?

Akan tetapi, perasaan hati Ci Hwa yang sudah dipenuhi perasaan dendam kebencian kepada pria, segera membuat dia memandang pria ini sebagai seorang musuh, seperti setan yang tentu juga berniat jahat terhadap dirinya!

Pertama kali dia terjatuh ke tangan lima orang pemburu, semuanya laki-laki yang berniat buruk akan memperkosa dirinya. Kemudian berganti jatuh ke tangan dua orang anggota Tiat-liong-pang, sama saja, mereka juga hendak memperkosa dirinya. Dan terakhir kali terjatuh ke tangan Siangkoan Liong, yang disangkanya sebaik-baiknya orang, ternyata juga ia malah terperangkap.

Sekarang, ketika ia sudah di ambang pintu maut, ia diselamatkan seorang laki-laki muda pula. Orang macam apa lagi ini kalau bukan seorang calon pemerkosa berikutnya?

“Engkau sama busuknya dengan mereka!” teriak Ci Hwa.

Tiba-tiba saja dia pun sudah meloncat dan langsung saja menyerang dengan pukulan tangannya ke arah dada laki-laki yang sedang berlutut di dekatnya itu. Pemuda itu sama sekali tak pernah menyangkanya dan dari jarak sedemikian dekat, tanpa menduga akan diserang, maka tentu saja pukulan tangan Ci Hwa tepat mengenai dadanya.

“Dukkk...!”

Tubuh laki-laki itu terjengkang dan bergulingan, akan tetapi dia meloncat bangun dan tak terluka, hanya memandang dengan mata terbelalak dan agaknya bingung, mengira bahwa gadis yang malang yang ditolongnya itu mungkin sudah menjadi gila!
“Eih, Nona... kenapa... kenapa kau memukulku?” tanyanya, suaranya tetap tenang dan pandang matanya jelas memancarkan belas kasihan karena dia menduga bahwa gadis ini tentu gila atau tergoncang jiwanya.

“Engkau menolongku, mencegah aku mati, tentu hanya dengan satu niat yang keji dan buruk! Karena itu, akan kubunuh engkau lebih dulu sebelum aku membunuh diri!” Ci Hwa berteriak-teriak dan ia pun sudah lari maju dan menerjang kalang kabut!

Akan tetapi sekali ini, pemuda, itu sudah siap siaga. Dari pukulan gadis itu tadi, dia pun tahu bahwa gadis itu bukanlah seorang wanita sembarangan, bukan wanita lemah dan pukulannya tadi merupakan pukulan gaya ilmu silat dan mengandung tenaga dalam yang cukup ampuh. Dia pun tertarik sekali dan kini, menghadapi serangan bertubi-tubi itu dia pun mengelak dan berloncatan ke kanan kiri sambil memperhatikan gerakan silat penyerangnya itu.

Setelah lewat dua puluh jurus, dia mendapat kenyataan bahwa gadis ini dapat bersilat dengan baik sekali, dan cukuplah kepandaian itu untuk membela diri dalam perjalanan, sehingga tidak aneh jika gadis itu berani melakukan perjalanan seorang diri. Akan tetapi mengapa di sini hendak bergantung diri? Dan pakaian atasnya itu terobek, rambutnya kusut, matanya merah, jelas bahwa gadis itu menderita kedukaan dan penekanan batin yang amat hebat.

Sementara itu, Ci Hwa semakin terkejut, dan semakin marah karena kembali ia bertemu dengan seorang pemuda yang jauh lebih lihai darinya. Semua serangan yang dilakukan sepenuh hati terdorong dendam dan kemarahan, sama sekali tidak pernah menyentuh tubuh pemuda itu, padahal pemuda itu sama sekali tidak pernah menangkis, hanya mengelak saja dengan gerakan aneh dan amat lincahnya. Timbul dugaan bahwa tentu ia akan ditangkap lagi, dipermainkan lagi dan mengingat ini, ia merasa khawatir sekali.

Lebih baik mati kalau ia harus mengalami lagi penderitaan diperkosa orang seperti tadi! Pikiran ini membuat ia putus asa. Tak mungkin ia menang dan ketika ia melihat batang pohon di mana tadi ia bergantung diri, tiba-tiba ia mendapat akal dan ia pun melompat untuk membenturkan kepalanya pada batang pohon itu, sekuat tenaganya.

“Bukkk!”

Kepalanya tidak membentur benda keras, bahkan tidak membentur apa-apa karena tubuhnya tertahan ketika dua buah tangan yang menerima kedua pundaknya dengan lembut. Saat Ci Hwa melihat, ternyata pemuda itu telah mendahuluinya berdiri di depan batang pohon dan menerima tubuhnya tadi! Dengan sendirinya ia semakin marah dan penasaran.

“Kau... kau berani menghalangiku!” bentaknya.

Kini ia memukul, mencakar, menendang kalang kabut, tidak memakai gerakan silat lagi melainkan gerakan seekor harimau betina yang lagi marah. Terdengar bunyi kain robek ketika cakarannya mengenai baju pemuda itu.

Pemuda itu cepat menotok pundaknya dan Ci Hwa terkulai lemas. Dengan sopan dan hati-hati, pemuda itu membaringkan tubuh Ci Hwa di bawah pohon dan kembali ia berlutut seperti tadi. Diusapnya kulit dada yang agak berdarah terkena cakaran kuku Ci Hwa.

“Nona, tadi engkau telah bersikap keliru sama sekali. Mengapa engkau bertekad untuk membunuh diri? Sudah demikian burukkah hidup ini sehingga seorang gadis semuda engkau sudah putus asa dan lebih memilih mati saja?”

Ci Hwa hanya tertotok tak mampu bergerak, akan tetapi masih dapat bicara sehingga ia membentak ketus, “Apa urusannya denganmu? Apa pedulimu kalau aku mau hidup atau mampus?”

“Nona, agaknya hatimu sudah penuh prasangka buruk terhadap manusia lain. Agaknya hatimu sudah disakitkan orang, maka setiap kali bertemu orang lain, engkau langsung menyangka buruk. Memang tidak ada hubungannya mati hidupmu dengan diriku, akan tetapi manusia mana yang dapat membiarkan orang lain membunuh diri begitu saja? Nona, dengar baik-baik. Ketika engkau dilahirkan oleh ibumu, apakah ada engkau minta kepadanya atau kepada Tuhan agar engkau dilahirkan?”

Mendengar pertanyaan seperti itu, Ci Hwa terbelalak. Kaget dan heran. Gilakah orang ini, bertanya seperti itu? Memikirkannya tentang hal itu saja belum pernah ia lakukan!

“Ibuku sudah tidak ada.”

“Ahh, maaf, engkau tidak mempunyai ibu lagi? Akan tetapi, kuulangi pertanyaanku tadi, pada saat engkau dikandung dan dilahirkan, apakah hal itu terjadi atas permohonanmu kepada Tuhan atau kepada mendiang ibumu atau ayahmu?”

Ci Hwa mengerutkan alisnya. “Tentu saja tidak! Mana bisa! Apa engkau ini orang gila, bertanya seperti itu?”

Pemuda itu tersenyum lembut dan tidak ada sedikit pun tanda bahwa dia terpikat oleh kewanitaan Ci Hwa. “Kalau engkau tidak pernah minta dilahirkan, tidak pernah minta dihidupkan, berarti engkau tidak berhak pula untuk memaksa kehidupan terhenti dengan cara bunuh diri! Rasakan saja, bukankah detak jantungmu bekerja tanpa kau rasakan? Bukankah pernapasanmu juga berjalan sendiri tanpa kau sengaja? Dan setiap anggota tubuhmu, rambut, kuku, bulu badan, semuanya tumbuh tanpa kau sengaja? Semua itu bukan milikmu, bukan milik pikiranmu, dan engkau berani hendak melenyapkan semua itu yang sesungguhnya bukan hakmu? Seperti juga hidupmu, matimu pun bukan berada dalam kekuasaanmu, bukan menjadi milikmu. Kalau yang berkuasa akan hidup matimu menghendaki, biar kau usahakan bagaimana pun, engkau takkan mati, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya engkau harus mati, biar ada seribu orang dewa sekali pun takkan mampu menghidupkanmu!”

Ci Hwa termenung. Belum pernah selama hidupnya ia mendengar ucapan seperti itu, dan ia kini menjadi bingung.

“Apakah kau kira kalau menghadapi kesulitan maka kesulitan itu akan berakhir dengan kematian, Nona? Ingat, yang kesulitan itu bukanlah badannya, melainkan batinnya, dan apakah kau kira kalau sudah mati, batinmu tidak akan terus berkelanjutan menjadi setan penasaran?”

Ci Hwa semakin terpukul dan kini air matanya mengalir, tubuhnya terkulai lemas “...aku tidak tahu... ahhh, aku tidak tahu...“

Melihat keadaan gadis ini, pemuda itu lalu mengurut pundaknya dan terbebaslah Ci Hwa dari totokannya. Akan tetapi, begitu dapat bergerak, Ci Hwa lantas teringat akan nasibnya dan dia pun menangis, meraung-raung seperti anak kecil sambil duduk dan menutupi mukanya. Ia megap-megap seperti ikan dilempar ke daratan.

Pemuda itu tiba-tiba memegang kedua pundak Ci Hwa, beberapa kali mengguncangnya keras-keras sampai kepala Ci Hwa pun terguncang ke kanan kiri, kemudian pemuda itu melayangkan tangannya ke arah pipi Ci Hwa, dua kali.

“Plak! Plakkk!”

Tentu saja Ci Hwa terkejut bukan main. Seperti ia diseret kembali ke dunia kenyataan oleh dua kali tamparan yang membuat kedua pipinya terasa panas, perih dan nyeri itu. Ia memandang terbelalak.

“Kau... kau jahanam, berani memukulku!” katanya dan dia pun membalas dengan dua kali tamparan ke arah pipi pemuda itu.

“Plak! Plakkk!”

Pemuda itu tidak mengelak, membiarkan pipinya ditampar dan Ci Hwa melihat bekas tangannya nampak jelas di kedua pipi itu, bekas tangan yang membuat tanda merah di situ. Ia terbelalak dan terheran memandang pemuda aneh itu. Akan tetapi pemuda itu tersenyum girang.

“Nah, kini engkau sudah waras kembali. Ditampar balas menampar. Baru ditampar saja membalas, kenapa bodoh amat membunuh diri? Tidak ada persoalan di dunia ini yang tak dapat diatasi! Iba diri terlalu besar membuat orang kehilangan kesadaran. Dan ingat, di dunia ini tidak semua orang jahat, Nona. Aku tidak berani mengaku bahwa aku ini orang baik, akan tetapi setidaknya aku selalu berjaga-jaga di dalam hidupku agar tidak melakukan kejahatan. Oleh karena itu, jangan kau takut kepadaku, Nona. Aku tak akan mengganggumu, dan dalam keadaan seperti ini engkau membutuhkan seorang kawan yang jujur dan beriktikad baik. Bagaimana kalau engkau anggap aku ini kakakmu saja?”

Sejak tadi Ci Hwa memandang dengan mata terbelalak, mata yang masih basah, akan tetapi sinar matanya penuh selidik, seolah-olah melalui matanya hendak menjenguk isi hati orang ini.

Orang itu kembali tersenyum sambil mengembangkan kedua lengannya. “Namaku Gu Hong Beng dan selama hidupku, aku tidak pernah mau mengganggu orang lain.”

Sikap ini diterima oleh Ci Hwa dan ia pun tiba-tiba menangis dan menubruk pemuda itu, merangkul lehernya dan gadis itu menangis di atas pundak Hong Beng, merasa seperti menangis di dada ayahnya sendiri atau seorang kakaknya sendiri.

Pemuda itu tersenyum, mengelus rambut itu penuh belas kasihan.

“Menangislah, menangislah sepuas hatimu, itulah cara terbaik untuk mencairkan segala yang membeku dalam hatimu,” katanya lirih dan kata-kata ini seperti mendorong Ci Hwa untuk menangis lebih hebat lagi sampai sesenggukan.

Para pembaca SULING NAGA tentu masih ingat siapa adanya Gu Hong Beng ini. Dia seorang pemuda sederhana, putera seorang tukang kayu sederhana pula, yang dahulu tinggal di kota Siang-nam di Propinsi Hunan. Dia sudah kehilangan ayah bundanya dan hidup sebatang kara, kemudian ia beruntung diambil murid oleh seorang pendekar sakti keluarga Pulau Es, yaitu Suma Ciang Bun!

Banyak sudah dialami oleh Gu Hong Beng sebagai seorang pendekar muda, bekerja sama dengan para pendekar lainnya untuk menentang kejahatan. Dia pernah jatuh cinta kepada seorang pendekar wanita Can Bi Lan, akan tetapi cintanya bertepuk sebelah tangan karena pendekar wanita Can Bi Lan itu memilih Sim Houw sebagai suaminya. Sim Houw yang terkenal sebagai Pendekar Suling Naga. Namun Gu Hong Beng dapat menerima kenyataan pahit ini dan sudah lama dia dapat melupakan kepahitan itu.

Juga dia pernah diikat perjanjian ketika dia membantu nenek Teng Siang In, yaitu ibu kandung pendekar Suma Ceng Liong yang bertempur melawan seorang datuk jahat, Sai-cu Lama. Nenek sakti itu tewas dan cucunya, yaitu puteri Suma Ceng Liong yang bernama Suma Lian, dilarikan Sai-cu Lama. Dalam keadaan menghadapi maut inilah nenek Teng Siang In mengikat janji agar Hong Beng kelak memperisteri Suma Lian!

Karena dia menghadapi pesan seorang nenek yang menjelang mati, terpaksa Hong Beng menyanggupi. Hal ini sangat mengganggu hatinya dan akhirnya, melalui gurunya, Suma Ciang Bun yang masih saudara sepupu Suma Ceng Liong, disampaikanlah pesan itu. Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng menyerahkan keputusan itu kepada yang bersangkutan kelak, yaitu puteri mereka kalau sudah dewasa. Semua kejadian ini diceritakan dalam kisah SULING NAGA!

Hong Beng sudah hampir melupakan semua itu. Melupakan wanita yang dahulu pernah dicintanya, yang kini telah menjadi isteri orang lain, dan juga dia berusaha melupakan janjinya kepada mendiang nenek Teng Siang In. Dia hanyalah seorang pemuda miskin, tidak punya apa-apa, keturunan tukang kayu, bahkan tidak lagi memiliki ayah bunda. Bagaimana mungkin dia berjodoh dengan puteri seorang pendekar seperti Suma Ceng Liong?

Suma Lian adalah cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Dan dia hanyalah cucu murid saja! Pula dia belum pernah bertemu lagi dengan Suma Lian selama bertahun-tahun ini. Yang pernah ditemuinya adalah Suma Lian yang baru berusia tiga belas tahun. Bagai mana dia dapat menentukan jodohnya dengan gadis itu? Andai kata pun dia mau, bagai mana dengan gadis itu? Dia pun sama sekali tak pernah memikirkan soal jodoh, sampai kini berusia dua puluh enam tahun!

Gu Hong Beng meninggalkan gurunya yang kini menjadi seorang pertapa. Sudah dua tahun dia meninggalkan gurunya, Suma Ciang Bun yang kini lebih suka bersembunyi di dalam sebuah gubuk kecil di lereng Pegunungan Tapa-san, tak jauh dari situ di antara sumber air Sungai Han-sui di Propinsi Shen-si.

Kalau orang mengenal Gu Hong Beng beberapa tahun yang lalu, kini dia akan terheran melihat Hong Beng telah menjadi seorang pemuda yang matang, tenang dan sabar, berpikiran luas dan mendalam. Tidak lagi seperti dulu di mana dia mudah tersinggung dan amat pencemburu! Tubuhnya agak kurus, namun sepasang matanya memancarkan kelembutan seorang yang berjiwa besar.

Pada saat Ci Hwa menangis di dadanya, diam-diam keharuan menyelinap di dalam hati Hong Beng. Keharuan dan kelegaan. Gadis ini telah tertolong, pikirnya, tertolong secara batiniah karena telah mampu melepaskan semua duka yang menghimpit kalbu. Dan dia terharu karena dia sendiri dulu pernah merasakan hal seperti yang dirasakan gadis itu. Kosong, berduka, merana, kecewa dan kesepian, di mana sudah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat diharapkan, ditengok, merasa seperti sepotong batang pohon kering di tengah gurun yang kering.

Dia mendekap kepala itu, mengelus rambutnya, merasa seperti mendapatkan sesuatu, merasa dirinya berguna karena dia sudah dapat menjadi tempat seorang menumpahkan kesedihannya.

“Menangislah... menangislah sampai terkuras habis semua kedukaan itu...,“ bisiknya, lebih ditujukan kepada hatinya sendiri dari pada gadis yang tidak dikenalnya itu.

Duka selalu timbul dari iba diri. Tanpa adanya pikiran yang mengenang keadaan dirinya sendiri yang dianggap sengsara, tidak akan timbul rasa iba diri dan takkan timbul duka. Iba diri adalah pembengkakan dari pada gambaran si aku, dan si aku ini memang selalu ingin meraih yang menyenangkan dan menghindarkan yang tidak menyenangkan.

Selain iba diri, si aku ini pun menjadi sumber dari segala iri hati, cemburu, kemarahan, kebencian dan selanjutnya. Si aku memang diperlukan untuk kehidupan lahiriah, dimana diatur ketentuan dan norma kehidupan bermasyarakat. Ada hakku dan hakmu, punyaku dan punyamu, akan tetapi seyogianya cukup sampai di situ saja. Lahiriah! Kalau sampai menyusup ke dalam, menjadi batiniah, maka si aku selalu mengadakan ikatan-ikatan sebanyaknya.

Ikatan inilah yang menimbulkan iba diri, menimbulkan duka. Senang jika mendapatkan, dan susah jika kehilangan. Senang jika merasa diuntungkan, dan susah jika dirugikan, demikian seterusnya. Dapatkah kita hidup tanpa bayangan si aku secara batiniah? Dan dapatkah batin ini bebas dari pada kepemilikan? Lahiriah mempunyai namun batin tidak memiliki? Mungkinkah itu? Tidak akan terjawab melalui teori dan pendapat yang masih bersumber dari akal si aku, yaitu pikiran yang selalu mempertimbangkan untung rugi. Jawabannya hanya terdapat dalam penghayatan, penelitian, dan pengamatan secara waspada, mawas diri lahir batin tanpa pendapat

.

Ci Hwa menemukan hiburan bagi kesedihannya yang tadi hampir tak tertahankan lagi. Hidup bukan hanya urusan hilang atau tidaknya keperawanan! Hidup ini masih panjang, dan beraneka ragam isinya! Orang ini benar! Tidak ada kesulitan yang tak dapat diatasi.

Ia memang sudah diperkosa orang, sudah tidak perawan lagi, akan tetapi apakah hal itu harus berarti bahwa hidupnya tidak penting lagi, dia tidak berhak lagi untuk hidup dan menikmati hidup ini? Betapa bodohnya. Enak saja kalau ia mati tanpa hukuman bagi orang yang menjadikan dia begini! Enak, terlalu enak bagi Siangkoan Liong! Tidak, dia bahkan harus hidup, dan satu di antara tujuan hidupnya adalah membalas penghinaan ini kepada Siangkoan Liong!

Air matanya sudah habis. Tangisnya pun terhenti dan ia pun sadar bahwa secara tidak pantas dia telah bersandar di dada orang sekian lamanya, sampai baju biru itu basah kuyup oleh air matanya. Ci Hwa menarik kepalanya ke belakang, melepaskan dirinya dan mundur tiga langkah, lalu mengangkat muka memandang.

Mukanya pucat sekali. Pipinya masih basah, namun matanya yang membendul merah itu tidak menitikkan air mata lagi. Sinar matanya memandang penuh selidik dan karena Hong Beng juga memandang kepadanya, mereka saling pandang dan barulah tampak oleh Ci Hwa bahwa wajah pemuda di depannya ini sama sekali berbeda dengan wajah Siangkoan Liong.

Bukan hanya bentuknya yang berbeda, tapi bayangan yang terkandung dalam pandang mata itu, senyum itu sama sekali berbeda. Pandang mata dan senyum Siangkoan Liong penuh daya tarik memabukkan, kelembutannya seperti besi sembrani yang dingin dan membetot. Akan tetapi kelembutan pada wajah pemuda ini seperti kelembutan langit biru. Dan ia pun merasa malu kepada diri sendiri.

“Maafkan aku... sekali lagi maafkan aku. Aku tadi telah gila barangkali. Engkau benar, aku telah gila dan aku hanya menuruti dorongan hati saja. Maafkan aku.” katanya.

Hong Beng tersenyum. “Namaku Gu Hong Beng, seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalku. Boleh aku mengetahui namamu?”

“Namaku Kwee Ci Hwa, aku datang dari Ban-goan.”

Jawaban Ci Hwa yang singkat membuat Hong Beng maklum bahwa gadis ini tentu ingin menyembunyikan persoalan dirinya, maka dia pun tidak mendesak.

“Aku tak ingin minta kepadamu untuk menceritakan segala urusanmu, nona Kwee akan tetapi...“

“Nanti dulu, kalau aku tidak salah ingat, engkau tadi menyuruh aku menganggap engkau seorang kakak sendiri. Benarkah?”

“Benar, lalu kenapa?” Hong Beng memandang, tersenyum ramah. “Aku memang belum pernah mempunyai seorang adik perempuan.”

“Aku belum pula mempunyai seorang kakak laki-laki, bahkan tidak mempunyai saudara. Boleh aku memanggilmu Beng-ko (kakak Beng)?”

“Tentu saja, Hwa-moi (adik Hwa), tentu saja dan aku merasa terhormat sekali!” berkata Hong Beng.

“Nah, sekarang legalah hatiku. Aku memiliki seorang kakak dan pelindung, akan tetapi maaf, aku tidak mungkin dapat menceritakan mengapa aku tadi hendak membunuh diri.”

“Jangan khawatir aku selalu menghargai rahasia seseorang. Akan tetapi, tentu boleh aku mengetahui keadaan dirimu, keluargamu, ke mana dan apa maksud perjalananmu, bukan?”

Gadis itu mengangguk. Keduanya duduk di atas akar pohon besar, saling berhadapan. Ci Hwa mulai menceritakan keadaan dirinya. Dia menceritakan bahwa ayahnya, Kwee Tay Seng atau Kwee Piauwsu, seorang duda, sudah tertuduh melakukan pembunuhan terhadap seorang rekannya, seorang piauwsu lain, dan segala yang terjadi kemudian di Ban-goan.

“Oleh karena aku merasa penasaran, nama baik ayah ternoda, maka aku pun kemudian pergi hendak melakukan penyelidikan kepada perkumpulan Tiat-liong-pang yang pernah disebut-sebut oleh orang she Lay itu. Itulah sebabnya aku berada di sini.”

Gu Hong Beng mengangguk-angguk, sama sekali tidak mau menduga-duga mengapa hal itu menyebabkan Ci Hwa hendak membunuh diri tadi.

“Dan engkau sudah melakukan penyelidikan?”

“Sudah. Tiat-liong-pang terletak di atas bukit sana itu, akan tetapi perkumpulan itu amat besar, amat berpengaruh dan sangat kuat, juga dekat dengan keluarga istana sehingga rasanya sedikit kemungkinan mengapa perkumpulan itu sampai membunuh piauwsu di Ban-goan. Tidak ada hubungan dan kepentingannya sama sekali.”

“Hemmm, siapa tahu ada rahasia yang lain. Kadang-kadang kebakaran besar dimulai dari bunga api kecil, peristiwa besar dimulai dari urusan sepele.”

“Mungkin benar, akan tetapi seorang seperti aku bagaimana mungkin dapat menyelidiki perkumpulan besar itu lebih mendalam lagi? Di sana adalah gudangnya orang pandai sedangkan ilmu silatku hanya terbatas sekali. Dan engkau sendiri, Koko, ceritakanlah keadaan dirimu dan bagaimana engkau dapat berada di sini.”

Hong Beng tersenyum. Kalau hendak menceritakan pengalamannya, tentu tidak cukup sehari, maka dia pun hanya menceritakan keadaan dirinya secara singkat saja.

“Aku seorang yang sebatang kara, sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi, dan selama bertahun-tahun ini aku hidup bersama guruku. Akan tetapi, semenjak dua tiga tahun ini guruku bertapa, tidak mau diganggu dan tidak mau mencampuri urusan dunia. Karena itulah aku diijinkan untuk mengembara, tanpa tujuan, ikut saja keinginan hati dan kaki meluaskan pengalaman dan pengetahuan. Dan di dalam perjalanan itu, aku mendengar akan kebangkitan para datuk sesat yang katanya membuat persekutuan di utara ini. Karena semenjak dahulu guruku selalu membawaku menentang para datuk kaum sesat, maka aku tertarik sekali dan aku pun mendengar bahwa Tiat-liong-pang yang menjadi pusat persekutuan itu. Dan di sinilah aku, kebetulan bertemu denganmu tadi.”

Wajah Ci Hwa agak berseri. “Ahh, jadi engkau pun hendak menyelidiki Tiat-liong-pang?”

Hong Beng mengangguk. “Apakah barangkali dari engkau aku bisa mendengar sesuatu tentang Tiat-liong-pang? Bukankah engkau sudah menyelidiki ke sana?”

Ci Hwa mencabut sebatang kembang rumput, menggigit-gigit ujung tangkai kembang rumput itu. Manis sekali gadis ini kalau sedang begitu asyik dan juga memiliki daya tarik besar. Dia berpikir-pikir, mengingat apa yang pernah dialaminya dan apa yang pernah didengarnya dari Siangkoan Lohan.

“Memang aku pernah ke sana, akan tetapi tidak banyak yang kuketahui. Aku hanya tahu bahwa penjagaan di sana ketat bukan main. Pernah aku melihat betapa ada lima orang pemburu binatang yang memasuki wilayah itu, lalu dibunuh begitu saja oleh dua orang anggota Tiat-liong-pang. Dan mereka berdua itu lihai bukan main, dalam waktu sebentar saja kelima orang pemburu itu tewas. Kemudian aku mendengar bahwa Tiat-liong-pang selain besar dan memiliki banyak anak buah yang pandai, juga dekat dengan istana. Kabarnya, ketuanya yang bernama Siangkoan Tek atau disebut Siangkoan Lohan, dulu beristeri seorang puteri istana...“

Ci Hwa teringat akan Siangkoan Liong dan menghentikan ceritanya, lalu disambungnya, “…selain itu, aku tidak tahu apa-apa lagi.”

Hong Beng bukanlah seorang bodoh. Gadis ini hendak melakukan penyelidikan tentang Tiat-liong-pang untuk membersihkan nama baik ayahnya. Setelah tiba di situ dan sudah melakukan penyelidikan, mendadak saja dia hendak membunuh diri. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat menimpa dirinya. Akan tetapi dia tidak berani bertanya tentang hal itu.

“Ceritamu tentang perkumpulan itu semakin menarik hatiku, Hwa-moi. Biarlah aku akan melakukan penyelidikan yang mendalam, dan kalau benar berita yang kuterima bahwa Tiat-liong-pang menghimpun persekutuan kaum sesat, aku harus menentang mereka. Bahkan kabarnya, seorang iblis betina yang berjuluk Sin-kiam Mo-li bergabung pula di situ, padahal iblis betina itu adalah musuh besarku semenjak bertahun-tahun yang lalu, bersama dengan para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Selama mereka itu masih berkeliaran, sepak terjang mereka selalu hanya membikin kekacauan dan mengganggu keamanan rakyat belaka.”

Ci Hwa memandang kagum. Pemuda ini kelihatannya demikian sederhana. Dia sudah membuktikannya sendiri tadi. Semua serangannya yang dilakukan dengan marah, tidak pernah dapat menyentuh ujung bajunya sedikit pun. Dan kini pemuda itu menyatakan sebagai musuh datuk-datuk sesat yang lihai.

“Beng-koko, engkau tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Bolehkah aku mengetahui, siapa gerangan gurumu?”

Hong Beng tidak pernah menyembunyikan sesuatu, akan tetapi dia pun bukan orang yang suka menyombongkan diri dan gurunya. Akan tetapi, mendengar pertanyaan yang polos itu, dia pun menjawab sederhana, “Suhu-ku bernama Suma Ciang Bun, seorang pendekar keluarga Pulau Es.”

“Aihhh...!”

“Kenapa?”

“Ayahku pernah mendongeng tentang keluarga pendekar Pulau Es yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa saja! Engkau tentu lihai sekali, Koko!” pandang mata itu sekali ini tidak menyembunyikan kekaguman mendalam sehingga wajah Hong Beng menjadi kemerahan.

“Sudahlah, Hwa-moi, tidak perlu memuji. Pertemuan kita ini kebetulan saja, akan tetapi agaknya Tuhan telah mempertemukan kita sehingga kita dapat saling bantu dan seperti telah menjadi kakak beradik. Akan tetapi, aku hendak melanjutkan penyelidikanku, dan bagaimana dengan engkau, Hwa-moi?”

“Biar pun aku hanya seorang gadis lemah, akan tetapi aku pun masih ingin mencuci nama baik ayahku. Kalau boleh, aku akan membantumu, Beng-ko.”

“Baiklah, asal engkau berhati-hati dan melaksanakan semua petunjukku. Yang pertama, engkau lebih dulu harus sudah dapat mengusir jauh-jauh kenekatan dan kebodohanmu tadi. Engkau berjanji?”

Ada perasaan perih menusuk ulu hati Ci Hwa, akan tetapi dia harus membantu Hong Beng menyelidiki dan menentang Tiat-liong-pang. Bukan sekedar untuk mencuci nama baik ayahnya, tetapi yang lebih penting juga mencuci noda pada dirinya dengan darah dan nyawa Siangkoan Liong!

“Aku berjanji dan bersumpah tidak akan melakukan lagi kebodohan itu, Koko.”

Keduanya lalu meninggalkan tempat itu, menyusup di antara hutan-hutan lebat untuk menyelidiki keadaan Tiat-liong-pang.

Setiap orang manusia hidup takkan terluput dari pada peristiwa yang menimpa dirinya, baik peristiwa itu biasa saja, agak hebat, hebat atau bahkan sangat hebat seperti yang sudah dialami Ci Hwa. Peristiwa hebat yang diterima sebagai suatu mala petaka dapat menghancurkan perasaan, melenyapkan harapan, bahkan juga dapat membuat orang menjadi mata gelap. Ada pula yang ingin menghentikan semua derita dan siksa batin dengan jalan membunuh diri!

Akan tetapi, sesungguhnya bunuh diri bukanlah jalan pemecahan yang tepat, melainkan hanya merupakan suatu pelarian yang mata gelap. Peristiwa yang telah terjadi pun terjadilah, merupakan sesuatu yang telah lalu. Kalau peristiwa itu terus dikeram di dalam sanubari, maka tentu saja hanya akan menjadi siksaan yang timbul dari kenangan.

Kenangan ini menimbulkan iba diri, dendam, dan duka. Mengapa kita suka menyimpan suatu peristiwa sebagai kenangan? Mengapa tidak kita biarkan saja peristiwa itu lenyap, seperti sebuah mimpi buruk? Hidup adalah saat ini, bukan kemarin! Kemarin itu sudah mati, baik mau pun buruk.

Kenangan akan masa lalu hanya mendatangkan dua hal, yaitu penyesalan dan duka, juga kerinduan dan harapan akan mengulang pengalaman lalu yang menyenangkan. Hanya kalau kita mampu menghapus semua kenangan peristiwa masa lalu, baik mau pun buruk, maka batin kita akan menjadi bersih, bebas dan siap menghadapi peristiwa yang terjadi di saat ini, dalam keadaan sehat, tanpa dendam, tanpa prasangka, tanpa kebencian.

Peristiwa adalah kejadian yang telah terjadi, sesuatu fakta yang tak dapat diubah pula, karena sudah terjadi. Baik buruknya hanya tergantung dari pada penilaian kita sendiri. Di dalam menghadapi setiap peristiwa yang terjadi, yang terpenting bukanlah penilaian, melainkan kewaspadaan. Kewaspadaan mendatangkan kebijaksanaan dan kesadaran, sehingga kita dengan sepenuhnya dapat menghadapi dan menanggulanginya, sepenuh akal budi yang ada pada kita. Perbuatan menghadapi sesuatu yang diliputi penilaian selalu mengandung pamrih, dan tentu tidak bijaksana lagi

.....

********************

Cin-sa-pang ialah perkumpulan orang gagah yang bermarkas di lembah Sungai Cin-sa. Kita telah mengenal ketuanya, yaitu Ciok Kim Bouw, seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih yang gagah perkasa dan bersemangat baja.

Perkumpulan ini sekarang memiliki anggota tidak kurang dari seratus orang banyaknya. Mereka bekerja sebagai nelayan, juga sebagai pengawal perahu-perahu para pedagang yang melakukan pelayaran di sungai itu dengan berupa imbalan sekedarnya.

Seperti banyak perkumpulan orang gagah di jaman itu, mereka merasa tidak suka akan penjajahan yang dilakukan bangsa Mancu sejak ratusan tahun, akan tetapi mereka pun tidak berdaya. Mereka tidak memberontak terhadap pemerintah yang teramat kuat, tapi mereka pun enggan menjadi kaki tangan penjajah, dan hidup sebagai kelompok orang gagah yang suka membela kepentingan rakyat dari penindasan atau kejahatan.

Seperti telah diceritakan di bagian depan. Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang, ikut pula diundang dan menjadi tamu dari perkumpulan Tiat-liong-pang dengan para datuk sesat sehingga hampir saja dia menjadi korban. Sejak lama dia memang telah bermusuhan dengan Sin-kiam Mo-li, maka melihat betapa Tiat-liong-pang bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li dan segala pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw segera dia menentang dan akibatnya, hampir saja dia terbunuh ketika dalam perjalanan pulang dia dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya.

Untung ketika itu muncul seorang pemuda sakti yang tak dikenalnya akan tetapi berhasil menyelamatkannya dari ancaman maut di tangan musuh-musuhnya. Dia merasa sangat menyesal mengapa tidak sempat mengenal nama pemuda itu yang begitu menolongnya dan mengobati lukanya, terus pergi begitu saja. Ciok Kim Bouw tidak tahu bahwa di antara semua tamu yang tidak menyetujui persekutuan itu, hanya dia seoranglah yang selamat!

Ciok Kim Bouw adalah seorang yang gagah, dengan tubuh tinggi besar dan muka hitam bagai tokoh Thio Hwi dalam dongeng Sam Kok. Keistimewaannya adalah menggunakan senjata golok besarnya. Dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki yang kini sudah berusia dua puluh lima tahun, bernama Ciok Heng.

Pemuda ini memiliki tubuh tinggi besar seperti ayahnya. Wajahnya tidak berkulit hitam, bahkan tampan gagah dengan sepasang mata lebar yang penuh dengan kejujuran dan keterbukaan. Sejak kecil dia digembleng ayahnya dan setelah berusia dua puluh lima tahun, dia sudah mewarisi semua ilmu ayahnya dan menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa.

Ketika Ciok Kim Bouw pulang dalam keadaan marah dan kecewa, puteranya segera dapat menduga bahwa tentu pertemuan itu tidak menyenangkan hati ayahnya, maka dia pun langsung bertanya. Ciok Kim Bouw menceritakan sejujurnya apa yang telah terjadi di sana.

“Tiat-liong-pang kini telah dibawa menyeleweng oleh Siangkoan Lohan!” katanya sambil menggebrak meja. “Dia mengajak sekongkol datuk-datuk sesat. Bayangkan saja, iblis iblis semacam Sin-kiam Mo-li, para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-wa-kauw, kini menjadi sekutunya!”

“Ahhh...!” Ciok Heng terkejut bukan main mendengar ini.

“Bukan mereka saja,” sambung ayahnya. “Masih banyak lagi orang-orang dari golongan hitam menjadi sekutunya, dan para tamu yang tidak setuju akan persekutuan itu pasti dimusuhi. Aku terang-terangan menyatakan tidak setuju dan aku dihina di depan umum oleh putera Siangkoan Lohan yang amat lihai. Bahkan ketika aku pulang, aku dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Nyaris saja aku tewas. Kalau tidak muncul seorang pemuda sakti yang tidak mau mengaku namanya, tentu aku tidak dapat pulang dan sudah mati konyol di sana.” Selanjutnya dia menceritakan apa yang telah terjadi kepada puteranya, juga kepada para pembantunya yang setia.

“Brakkk!” Ciok Heng menggebrak meja dan mukanya menjadi marah sekali.

“Tiat-liong-pang menyeleweng, kita tidak boleh mendiamkannya saja. Ayah, biarkan aku menggerakkan teman-teman untuk menyerbu dan menghancurkan Tiat-liong-pang!”

Ayahnya mengangkat tangan ke atas. “Ciok Heng, jangan bersikap bodoh seperti anak kecil yang hanya menurutkan dorongan hati yang marah. Tiat-liong-pang itu kuat sekali, Siangkoan Lohan amat sakti, puteranya agaknya tidak kalah hebatnya oleh ayahnya dan di sana berkumpul datuk-datuk sesat yang berilmu tinggi. Belum lagi diingat betapa para anak buah mereka mungkin lebih banyak dari pada jumlah teman-teman kita. Jika engkau dan teman-teman menyerbu ke sana, akan sama artinya dengan segerombolan nyamuk menyerbu api. Memang kita harus menentangnya, namun dengan cara halus, bukan menggunakan kekerasan dan untuk itu kita harus berunding dan mengadakan kontak dengan para pendekar.”

Ciok Heng mengangguk-angguk membenarkan ayahnya. “Kalau begitu, aku dan kawan kawan akan menyebarkan berita itu pada para pendekar, Ayah, dan mengajak mereka untuk turun tangan karena persekutuan itu akan berbahaya sekali jika didiamkan saja.”

Ciok Kim Bouw menyetujui. “Baiklah, kalau mungkin, undang para orang gagah untuk mengadakan perundingan di sini.”

Ciok Heng segera menyiapkan teman-temannya. Mereka pun lalu menyebar, memberi tahukan kepada para pendekar yang mereka anggap patut mengetahui perubahan di dunia kaum sesat yang kini sedang mengadakan persekutuan dengan para pimpinan Tiat-liong-pang yang agaknya kini hendak melakukan penyelewengan itu.

Memang tidak ada perjanjian dan ketentuan harinya untuk mengadakan perundingan. Namun, di antara para pendekar yang menaruh perhatian akan berita ini, berjanji akan berkunjung untuk bercakap-cakap bahkan ada pula yang mengatakan hendak langsung pergi menyelidiki urusan itu di Tiat-liong-pang.

Sementara itu, dengan penuh semangat Ciok Kim Bouw dan puteranya mulai melatih anak buah mereka dengan tekun agar supaya mereka memperoleh kemajuan sehingga sewaktu-waktu tenaga mereka dibutuhkan untuk menghadapi musuh, mereka sudah berada dalam keadaan yang kuat. Barisan golok segera dibentuk dan tiap hari mereka berlatih, juga golok mereka semua selalu tajam terasah.

Dua bulan sudah lewat dengan cepatnya. Sementara itu berita mengenai persekutuan Tiat-liong-pang yang disebarkan oleh orang-orang Cin-sa-pang itu sudah terdengar pula sampai ke beberapa propinsi. Berita itu disambut dengan sikap yang bermacam-macam oleh para orang gagah di dunia persilatan.

Ada pula yang menanggapinya dengan senang karena bukankah sudah sepatutnya jika orang gagah mengumpulkan kekuatan untuk menentang pemerintah penjajah Mancu? Ada pula yang merasa tidak senang karena mereka mendengar betapa persekutuan Tiat-liong-pang itu merangkul tokoh-tokoh sesat, apa lagi Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai disebut dalam persekutuan itu. Biar niatnya baik, yaitu menentang penjajah, akan tetapi jika harus bekerja sama dengan golongan hitam, banyak di antara para pendekar yang tidak mau.

Pendeknya, berita yang disebar luaskan oleh Cin-sa-pang di dunia persilatan akhirnya menimbulkan kegemparan. Banyak di antara para pendekar meragukan kepatriotannya, apa lagi kalau mereka mendengar dan mengingat bahwa Tiat-liong-pang tadinya adalah kaki tangan pemerintah penjajah! Betapa pun juga, peristiwa ini lalu menarik perhatian banyak kaum pendekar untuk meninggalkan tempat mereka dan berangkat menuju ke selatan untuk melakukan penyelidikan sendiri.

Pada suatu pagi yang amat cerah, nampak seorang pemuda memasuki perkampungan perkumpulan Cin-sa-pang di lembah Sungai Cin-sa. Semua orang yang bersua di jalan dengan pemuda ini pasti menengok dan merasa kagum. Pemuda itu usianya sekitar dua puluh tujuh tahun, tubuhnya tinggi besar dan nampak kokoh kuat, mukanya agak hitam akan tetapi bentuk muka itu gagah, dengan hidung mancung, mata tajam dan mulut membayangkan kekerasan hati dan keberanian.

Sikapnya pendiam. Dia tidak pernah menengok ke kanan kiri, hanya lurus memandang ke depan sambil melangkahkan kedua kakinya dengan mantap. Pada saat melangkah, tubuhnya bergerak seperti seekor harimau berjalan. Pakaiannya sederhana, terbuat dari kain yang tebal, dan di balik jubahnya terdapat sebatang pedang yang tergantung di pinggang, tersembunyi namun ujung gagang pedang masih nampak tersembul di bawah jubah.

Tanpa melihat pedangnya pun, baru melihat perawakannya, mudah diduga bahwa dia tentu seorang pemuda gemblengan, seorang jago silat yang tangguh. Dugaan ini tepat karena dia adalah Cu Kun Tek, jago silat muda dari Lembah Naga Siluman yang terletak di Pegunungan Himalaya.

Orang tua pemuda itu juga merupakan pendekar-pendekar yang sangat lihai. Ayahnya bernama Cu Kang Bu, pewaris Lembah Naga Siluman dengan ilmu silat keluarga Cu yang amat tinggi, yaitu Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Cu Kang Bu ini terkenal pula dengan julukan Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati). Ada pun ibunya juga seorang pendekar wanita yang lihai dengan ilmu-ilmu pukulan Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) dan Pat-liong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin)! Tentu saja Cu Kun Tek mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya.

Cu Kun Tek meninggalkan tempat tinggal keluarga ayahnya ketika dia mendengar berita yang disebar oleh Cin-sa-pang itu. Sebagai seorang pendekar, hatinya tergerak dan dia tidak akan tinggal diam begitu saja. Maka dia pun pergi dan berkunjung ke tempat perkampungan Cin-sa-pang untuk mendengar sendiri kebenaran berita itu. Dia pernah berjumpa dengan Ciok Kim Bouw, ketua Cin-sa-pang yang dianggapnya seorang yang cukup gagah. Perkumpulannya juga merupakan perkumpulan orang-orang gagah.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah si Bangau Putih

KISAH SI BANGAU PUTIH (BAGIAN KE-13 SERIAL BU KEK SIANSU)