KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-15


“Aihh, kiranya Cu-enghiong yang datang!” katanya sambil dia membalas penghormatan pemuda itu.

“Bagaimana kabarnya, Ciok Pangcu? Mudah-mudahan baik-baik saja.”

“Terima kasih, Cu-eng-hiong. Mari silakan duduk di dalam!” Mereka masuk ke ruangan dalam dan bercakap-cakap.

Dalam kesempatan ini Cu Kun Tek bertanya mengenai berita yang dia dengar tentang Tiat-liong-pang. Ketua Cin-sa-pang itu segera menceritakan semua pengalaman dirinya ketika dia menghadiri undangan Tiat-liong-pang, yaitu pada pesta ulang tahun ke enam puluh tahun dari Siangkoan Lohan.

“Bayangkan saja, hati siapa tidak menjadi geram melihat betapa di antara para tamu kehormatan itu terdapat orang-orang Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, bahkan di sana aku melihat pula iblis betina Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Jelaslah bahwa Tiat-liong-pang hendak merencanakan sesuatu pemberontakan!”

Cu Kun Tek mendengarkan penuh perhatian, alisnya berkerut dan dia pun lalu berkata, “Akan tetapi, bukankah sudah menjadi idaman semua orang gagah untuk membantu usaha mengusir pemerintah penjajah dari tanah air, Pangcu?”

Ciok Kim Bouw menghela napas panjang. “Kalau ada gerakan seperti itu, gerakan para patriot sejati dengan tujuan membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu, percayalah, kami seluruh anggota Cin-sa-pang akan berdiri di belakangnya. Kami akan bergabung dan siap mempertaruhkan nyawa untuk membantu gerakan itu! Akan tetapi, bagaimana mungkin orang-orang Tiat-liong-pang dapat merupakan patriot-patriot sejati? Mereka bahkan berjasa terhadap penjajah Mancu, bahkan Siangkoan Lohan dihadiahi banyak harta dan seorang puteri dari istana kaisar! Kini, dia mengadakan persekutuan dengan para pemberontak, tetapi pemberontak semacam Pek-lian-kauw, dan bersekutu pula dengan orang-orang dari kaum sesat! Bagaimana mungkin gerakan seperti itu bisa mengandung niat bersih dan gagah untuk membebaskan rakyat jelata?”

Dia lalu menceritakan apa yang telah terjadi di dalam pesta itu, tentang kecabulan dan lain-lain, kemudian menceritakan betapa dia secara terang-terangan mengatakan tidak senangnya dengan kehadiran tokoh-tokoh sesat sehingga dia dianggap menghina dan dikalahkan oleh Siangkoan Liong, putera Siangkoan Lohan.

“Ketika aku pergi meninggalkan pesta, masih banyak di antara teman-teman sepaham yang juga meninggalkan tempat itu, sebagai protes dan pernyataan tidak suka karena Tiat-liong-pang bersekutu dengan orang-orang golongan sesat. Dan tahukah engkau apa yang terjadi setelah aku pergi meninggalkan tempat itu? Di tengah perjalanan, aku dihadang oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong dan mereka itu sengaja hendak membunuhku!”

Lalu diceritakan betapa dia nyaris tewas kalau tidak muncul seorang pemuda lihai yang berhasil mengusir kedua orang itu, bahkan menyelamatkan nyawanya dari ancaman racun di lengannya akibat serangan Siangkoan Liong.

“Nah, melihat perkembangan itu, kami merasa amat khawatir, Cu-enghiong. Puteraku, Ciok Heng, tadinya berkeras ingin memimpin anak buah menyerbu ke Tiat-liong-pang, akan tetapi kularang dia karena hal itu sama dengan membunuh diri. Di sana berkumpul banyak orang pandai dan agaknya Tiat-liong-pang sudah menyusun kekuatan. Maka, kami lalu menyebarkan berita itu supaya terdengar oleh para pendekar dan orang gagah sehingga gerakan yang berbahaya dari Tiat-liong-pang dapat dicegah.”

Cu Kun Tek diam-diam merasa heran juga mendengar semua cerita itu. Dia pun sudah mendengar perkumpulan macam apa adanya Tiat-liong-pang, yaitu suatu perkumpulan yang pernah membuat jasa terhadap serbuan orang Mancu sehingga perkumpulan itu dianggap pro pemerintah Mancu. Akan tetapi kenapa kini mendadak saja perkumpulan itu hendak memberontak, bahkan bersekutu dengan orang-orang golongan hitam? Hal ini perlu diselidiki secara teliti sebelum dia mempercayai begitu saja keterangan Ciok Pangcu.

Hanya satu hari Cu Kun Tek berdiam di Cin-sa-pang sebagai tamu, bercakap-cakap dengan ketua Cin-sa-pang dan puteranya, Ciok Heng yang gagah perkasa. Kemudian dia minta diri karena dia hendak melanjutkan perjalanannya ke utara, untuk melakukan penyelidikan pada perkumpulan yang katanya bersekutu dengan para golongan sesat dan hendak memberontak itu.

Di dalam perjalanan ini, Kun Tek mengenangkan masa lampaunya, tujuh delapan tahun lalu ketika dia baru berusia sembilan belas tahun, ketika dia bersama para pendekar lain seperti Gu Hong Beng, Can Bi Lan, Sim Houw dan yang lain-lain menghadapi musuh musuh yang amat kuat seperti Kim Hwa Nionio, Sai-cu Lama, dan Sam Kwi yang amat lihai itu. Mereka menjadi kaki tangan Thaikam Hou Seng yang menjadi kekasih Kaisar dan yang hendak merajalela dengan kekuasaannya. Dengan demikian, para datuk sesat itu seolah-olah bekerja sama dengan pemerintah dan membantu pemerintah, sehingga kadang-kadang para pendekar berhadapan dengan pasukan pemerintah.

Tapi kini keadaan berbalik. Tiat-liong-pang yang tadinya menjadi perkumpulan yang pro pemerintah penjajah, kini kabarnya tiba-tiba membalik dan hendak memberontak. Akan tetapi, melihat betapa perkumpulan itu bersekongkol dengan datuk kaum sesat, Kun Tek meragukan kebersihan usaha pemberontakan mereka itu. Tentu mereka tak bermaksud berjuang untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman kaum penjajah, namun hendak memberontak dan merebut kekuasaan, untuk mengangkat diri sendiri menjadi golongan pimpinan baru!

Kalau benar demikian, maka gerakan itu harus ditentangnya! Dia hanya akan membantu perjuangan yang benar-benar ditujukan untuk membebaskan rakyat dari tindasan kaum penjajah. Bagaimana pun juga, harus diakuinya bahwa Kaisar Kian Long yang sekarang ini masih jauh lebih baik dan bijaksana dari pada kaisar-kaisar Mancu yang lalu, dan dia tak dapat membayangkan bagaimana akan jadinya kalau sampai kendali pemerintahan terjatuh ke dalam tangan para datuk sesat yang jahat dan kejam melebihi iblis itu.

Teringat akan masa lalunya, dada yang bidang itu menghembuskan napas panjang. Dia pernah jatuh cinta pada Can Bi Lan, cinta sepihak, karena akhirnya wanita itu menikah dengan Sim Houw, yang masih keponakannya sendiri biar pun usia Sim Houw lebih tua empat belas tahun darinya. Sejak itu dia kembali ke Lembah Naga Siluman dan tidak pernah memasuki dunia ramai.

Dia tidak merasa patah hati, bahkan sudah melupakan peristiwa itu. Namun, kegagalan cintanya itu membuat dia malas dan segan untuk mencari jodoh seperti yang selalu dianjurkan kedua orang tuanya.

Sekarang, setelah kembali dia melakukan perjalanan seorang diri, baru dia dapat membayangkan betapa selama ini ia telah mengecewakan hati ayah bundanya, bahwa membuat mereka berduka dan kecewa merupakan suatu perbuatan yang tidak berbakti. Pula, kenapa dia seolah-olah menjadi putus asa dan tidak pernah mempunyai keinginan untuk berumah tangga?

Ah, siapa tahu, sekali ini Thian akan menunjukkan jalan baginya, akan mempertemukan dia dengan jodohnya. Atau mungkin juga dia akan gugur dalam menunaikan tugasnya sebagai seorang pendekar ketika menyelidiki Tiat-liong-pang. Bagaimana nanti sajalah! Keberuntungan atau kegagalan di masa depan, aku siap menghadapimu, demikian dia menyongsong masa depannya dengan hati lapang dan gagah.

Kun Tek memang keturunan keluarga Cu yang sudah ratusan tahun tinggal di Lembah Naga Siluman sebagai keluarga sakti yang mengasingkan diri. Keluarga Cu ini memiliki ilmu silat keluarga yang sukar dicari bandingannya di dunia persilatan, dan nama besar keluarga Cu telah dikenal oleh hampir semua tokoh dunia persilatan, baik dari golongan putih mau pun golongan hitam.

Dan sekarang, Cu Kun Tek, keturunan terakhir mereka, mengubah kebiasaan nenek moyangnya, dia keluar dari lembah untuk mencampuri urusan dunia ramai. Tentu saja sebagai seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan, siap untuk melindungi yang lemah dan tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang, kalau perlu dengan taruhan nyawa!

Juga diam-diam dia mengharapkan mudah-mudahan kali ini dia akan bertemu dengan jodohnya karena bagaimana pun juga ia merasa kasihan kepada ayah dan ibunya yang sudah ingin sekali mempunyai seorang mantu dan terutama sekali menimang cucu.....

********************

Semenjak Siangkoan Liong membunuh dua orang anggota Tiat-liong-pang yang hendak memperkosa Kwee Ci Hwa, para anggota Tiat-liong-pang kini tidak berani lagi berbuat jahat dan sembarangan saja. Mereka semua maklum betapa kejam dan tanpa ampun adanya putera ketua mereka itu dan mereka kini patuh akan semua perintah atasan. Siangkoan Lohan juga sudah mendengar akan peristiwa itu dan dia sempat menegur puteranya mengapa membunuh dua orang anak buah sendiri.

“Ayah, apa yang akan dapat diharapkan dari anak buah yang suka berbuat sewenang-wenang tanpa menurut peraturan? Akhirnya mereka tak akan dapat dikendalikan dan kalau sudah begitu, mungkin kelak mereka akan berani membalik dan melawan kita. Mengendalikan orang-orang itu harus dengan tangan besi. Mereka harus tunduk dan takut, taat sepenuhnya kepada kita, barulah kita dapat mempergunakan mereka dengan baik. Apa lagi, bukankah kita mempunyai tujuan yang tinggi dan membutuhkan disiplin yang kuat? Kalau mereka tidak berdisiplin, tidak sangat taat seperti sepasukan tentara yang terkendali baik, bagaimana mungkin usaha kita akan berhasil?”

Siangkoan Liong yang biasanya pendiam itu kini bicara penuh semangat dan Siangkoan Lohan menjadi girang sekali.

Benar kata-kata Ouwyang Sianseng, pikirnya. Puteranya ini memang ada bakat untuk menjadi kaisar! Sikapnya saja sudah nampak jelas. Maka, mulai hari itu, Siangkoan Lohan lalu mengadakan peraturan-peraturan yang membuat para anak buahnya tidak lagi berani berbuat sewenang-wenang tanpa perintah atasan.

Setiap hari mereka dilatih oleh Siangkoan Lohan sendiri, kadang-kadang dibantu oleh para sekutunya, yaitu Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Siangkoan Lohan bahkan kadang-kadang turun tangan sendiri dan memberi gemblengan sehingga pasukan Tiat-liong-pang yang kini ditambah jumlahnya itu terbentuk sebagai pasukan yang cukup kuat, dengan jumlah hampir tiga ratus orang!

Pada suatu hari, pasukan itu dilatih perang-perangan, dipimpin oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Pasukan dibagi dua, dengan pakaian seragam yang berbeda pula, yang setengah dipimpin Sin-kiam Mo-li dan yang sebagian lagi dipimpin oleh Toat-beng Kiam-ong. Pasukan yang dipimpin oleh Toat-beng Kiam-ong bertugas untuk menyerbu Tiat-liong-pang, sedangkan yang dipimpin Sin-kiam Mo-li bertugas mempertahankan benteng perkumpulan itu.

Penjagaan dilakukan dengan amat ketat, bahkan sebelum tiba saatnya pasukan ‘musuh’ datang menyerbu. Benteng Tiat-liong-pang itu dianggap sebagai benteng kota raja yang harus diserbu dan diduduki. Tentu saja ada pula disebar mata-mata dari pihak penyerbu untuk menyelidiki pertahanan benteng, juga dari pihak yang diserbu untuk mengetahui gerak-gerik musuh. Sampai malam pun masih dilakukan penjagaan ketat, dan pasukan penyerbu yang dipimpin Toat-beng Kiam-ong belum juga melakukan penyerbuan.

Latihan itu memang dilakukan secara besar-besaran. Diam-diam Siangkoan Lohan telah memerintahkan kepada Toat-beng Kiam-ong sebagai penyerbu untuk bisa berhubungan dengan Cia Tai-ciangkun, komandan pasukan pemerintah di perbatasan utara yang juga sudah bersekutu dengan mereka, demikian pula menghubungi Agakai sehingga dari dua orang sekutu itu, diterima bantuan pasukan yang akan menyergap Tiat-liong-pang dari berbagai jurusan!

Siangkoan Lohan dan puteranya, Siangkoan Liong, sendiri merencanakan bagaimana sebaiknya kelak kalau mereka sudah menyerbu kota raja, untuk bisa menyusupkan dan menyelundupkan kawan-kawannya yang berkepandaian tinggi, dari golongan hitam, dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ke dalam benteng kota raja sehingga dapat melakukan pengacauan dan bantuan dari dalam.

Pagi hari itu nampak sunyi saja di sekitar bukit di luar kota San-cia-kou yang menjadi benteng Tiat-liong-pang itu. Seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Padahal, semua mata-mata dari kedua pihak sudah berkeliaran, bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak belukar.

Tiba-tiba muncullah seorang gadis dari kaki bukit. Pada waktu gadis itu tadi melewati San-cia-kou dan bertanya tentang letak Tiat-liong-pang, jejaknya sudah selalu diikuti orang dari jauh. Namun gadis itu acuh saja walau pun ia tahu bahwa ada beberapa orang selalu mengamati dan membayanginya.

Ketika dahulu ia berkunjung ke Tiat-liong-pang bersama ayahnya, mereka naik kereta dan tentu saja ia sudah lupa akan jalannya, apa lagi hal itu sudah terjadi sangat lama, di waktu ia masih kecil. Dengan langkah santai ia mendaki bukit. Seorang gadis yang amat menarik perhatian orang, apa lagi melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi itu.

Ketika ia sudah tiba di lereng, tentu saja kehadirannya segera menimbulkan kecurigaan para mata-mata yang bertugas mempertahankan benteng Tiat-liong-pang. Ada seorang gadis cantik dan sikapnya halus, gerak-geriknya pun halus, naik seorang diri ke bukit ini! Tentu mata-mata musuh! Akan tetapi kalau mata-mata musuh, mengapa naik ke bukit secara terang-terangan begitu saja, mudah dilihat dari mana pun juga?

Tiba-tiba muncullah lima orang anggota pasukan Tiat-liong-pang yang bertugas jaga di lereng itu. Jika pasukan penyerbu mengenakan seragam warna kuning, pasukan yang bertahan ini mengenakan seragam warna biru, hampir sama dengan seragam pasukan pemerintah karena memang Tiat-liong-pang pada waktu itu dianggap sebagai benteng kota raja yang hendak diserbu. Lima orang pasukan itu muncul dan mengepung gadis itu sambil menodongkan tombak mereka, sikap mereka galak.

“Berhenti!” bentak kepala pasukan yang berkumis jarang itu, “Siapakah engkau dan menyerahlah, engkau tentu mata-mata musuh!”

Gadis itu bukan lain adalah Pouw Li Sian. Seperti telah kita ketahui, gadis ini baru saja datang dari kota raja di mana ia menyelidiki keadaan keluarganya. Dengan hati berduka dia memperoleh berita bahwa selain ayah ibunya, juga semua keluarganya, kakak-kakaknya telah ditawan dan tewas, kecuali seorang kakaknya yang sulung, bernama Pouw Ciang Hin, yang kabarnya diampuni, bahkan kini menjadi seorang perwira yang bertugas di perbatasan utara. Karena Pouw Ciang Hin kini merupakan satu-satunya anggota keluarganya, maka dengan nekat ia pun menyusul ke utara.

Ia teringat akan Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan, ketua dari Tiat-liong-pang yang pernah menjadi sahabat baik ayahnya. Ayahnya dahulu seorang Menteri Pendapatan, sedangkan Siangkoan Lohan sangat berjasa terhadap pemerintah sehingga mendapat kekuasaan dan dikenal semua pembesar tinggi. Pernah ia diajak ayahnya berkunjung ke Tiat-liong-pang dan karena ia tahu betapa sulitnya mencari seorang perwira di antara pasukan yang berjaga di tapal batas utara, maka dia pun ingin meminta bantuan ketua Tiat-liong-pang agar dapat diselidiki, di mana kakaknya itu ditugaskan.

Kini, tiba-tiba saja ia ditodong tombak, oleh lima orang prajurit! Ia tidak merasa gentar, bahkan dengan wajahnya yang manis itu berseri gembira, ia balas bertanya, “Apakah kalian ini prajurit kerajaan yang berjaga di tapal batas utara?”

Lima orang prajurit itu saling pandang. Mereka jelas anak buah Tiat-liong-pang, akan tetapi pada saat itu mereka bertugas sebagai pasukan yang harus mempertahankan benteng ‘kota raja’. Oleh karena itu, ketika ditanya apakah mereka prajurit kerajaan, mereka menjadi bingung.

“Kalau benar kami prajurit kerajaan, lalu engkau mau apa, Nona?” Lima orang prajurit itu memandang kagum.

Mereka adalah orang-orang kasar yang biasa bersikap kasar dan kurang ajar terhadap wanita, apa lagi secantik ini. akan tetapi sejak ada dua orang kawan mereka dibunuh oleh Siangkoan Kongcu karena mengganggu wanita, mereka kini harus menahan diri dan tidak berani mengulangi perbuatan itu.

Dengan wajah tetap gembira penuh harap, Pouw Li Sian berkata, “Aku bernama Pouw Li Sian dan datang ke sini untuk mencari kakak sulungku yang bernama Pouw Ciang Hin. Dia menjadi seorang perwira kerajaan yang bertugas di tapal batas utara...“

Mendengar bahwa gadis ini adik seorang perwira kerajaan, berarti musuh, tentu saja berubah sikap lima orang itu. Tombak-tombak itu dipegang semakin erat dan pemimpin mereka membentak, “Kalau begitu, menyerahlah engkau, karena engkau harus menjadi tawanan kami dan akan kami hadapkan kepada pimpinan kami!”

Li Sian adalah seorang gadis yang berwatak halus. Walau pun ia telah menjadi murid seorang sakti seperti Bu Beng Lokai dan kini telah mempunyai ilmu kepandaian tinggi, namun ia tetap berwatak halus, bahkan belum pernah ia berkelahi mempergunakan ilmu kepandaiannya. Sikapnya jauh berbeda dengan Suma Lian yang menjadi suci-nya.

Suma Lian galak, keras dan pemberani di samping lincah jenaka. Akan tetapi Li Sian pendiam dan penyabar. Ia tahu bahwa berurusan dengan lima orang prajurit biasa ini tidak ada gunanya, bahkan hanya akan menimbulkan keributan saja, maka dia pun mengangguk dan senyumnya masih melekat di bibir.

“Baiklah, aku tidak akan melawan, dan bawalah aku kepada pemimpin kalian agar aku dapat bicara dengan dia.”

Lima orang itu dengan masih menodongkan tombak mereka, memberi isyarat agar Li Sian berjalan memasuki hutan. Hemmm, pikir mereka. Kalau saja mereka tidak takut kepada Siangkoan Lohan apa lagi Siangkoan Kongcu, tentu gadis yang cantik ini sudah menjadi korban mereka. Takkan ada orang yang tahu!

Tidak lama kemudian, di dalam hutan yang kini menjadi markas besar sementara dari Sin-kiam Mo-li yang bertugas sebagai komandan yang harus mempertahankan benteng, Li Sian digiring masuk ke dalam sebuah pondok besar di mana duduk Sin-kiam Mo-li dan beberapa orang pembantunya yang menjadi perwira-perwira di dalam pasukan itu. Jumlah perwira itu ada lima orang dan mereka tengah merundingkan siasat pertahanan menggunakan sebuah peta yang mereka bentangkan di atas meja. Melihat masuknya lima orang prajurit sambil menggiring seorang gadis cantik, Sin-kiam Mo-li mengangkat muka dan mengerutkan alisnya.

Kelima orang prajurit itu memberi hormat, dan pimpinan mereka lalu melapor kepada Sin-kiam Mo-li dengan sikap seperti seorang prajurit yang melapor kepada atasannya. “Li-ciangkun (Panglima Wanita), kami berlima telah menangkap seorang wanita yang kami curigai sebagai mata-mata, dan menurut pengakuannya ia bernama Pouw Li Sian yang hendak mencari kakaknya yang katanya menjadi seorang perwira kerajaan yang bertugas di perbatasan.”

Kerut di antara alis mata Sin-kiam Mo-li semakin dalam. Sinar matanya membayangkan kemarahan.

Hemmm, tentu ini seorang mata-mata yang dilepas oleh Toat-beng Kiam-ong, pikirnya. Laki-laki semacam Toat-beng Kiam-ong mana mau melepaskan seorang gadis secantik ini? Tentu gadis ini seorang di antara kekasihnya, pikirnya dengan hati penuh cemburu.

Memang, sejak dia berkasih-kasihan dengan Toat-beng Kiam-ong, di antara keduanya terdapat rasa cemburu besar karena keduanya saling menemukan pasangan yang amat cocok. Tentu saja Toat-beng Kiam-ong juga membatasi rasa cemburunya sehingga biar pun dia tahu bahwa Sin-kiam Mo-li juga bermain cinta dengan Siangkoan Liong, dia tidak berani mencampuri.

“Tinggalkan ia di sini dan kalian boleh ke luar lagi, berjaga yang hati-hati dan jangan ijinkan siapa pun juga masuk!” perintah Sin-kiam Mo-li kepada lima orang itu yang cepat memberi hormat dan keluar lagi.

Kini Pouw Li Sian yang masih tegak itu beradu pandang dengan Sin-kiam Mo-li. Ia tidak memperhatikan lima orang laki-laki berpakaian perwira yang memandangnya dan juga duduk di situ, karena ia tahu bahwa agaknya pimpinan di sini adalah wanita cantik itu. Diam-diam Li Sian merasa heran dan juga kagum melihat Sin-kiam Mo-li, wanita yang sudah setengah tua akan tetapi nampak cantik lemah lembut akan tetapi juga gagah perkasa dan memiliki wibawa besar itu.

Teringat dia akan cerita gurunya, mendiang Bu Beng Lokai, yang pernah menceritakan tentang isteri gurunya itu. Isteri gurunya juga seorang panglima wanita yang terkenal sekali, bernama Panglima Milana, yang kabarnya dahulu memimpin laksaan pasukan menundukkan pemberontakan di mana-mana.

Juga ibu dari isteri gurunya itu bernama Puteri Nirahai, isteri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, pernah menjadi seorang panglima wanita yang gagah perkasa. Seperti inikah mereka itu? Karena membayangkan isteri dan ibu mertua gurunya itu, Li Sian cepat melangkah maju dan memberi hormat kepada Sin-kiam Mo-li.

“Harap Li-ciangkun suka memaafkan kalau kedatangan saya ini merupakan gangguan. Sesungguhnya, seperti yang dilaporkan oleh para prajurit tadi, saya datang ke sini untuk mencari kakak kandung saya, kakak sulung saya yang bernama Pouw Ciang Hin yang kabarnya kini menjadi seorang perwira pasukan kerajaan yang bertugas di perbatasan utara. Semenjak berusia dua belas tahun saya berpisah darinya, dan sekarang saya mencarinya.”

Sin-kiam Mo-li masih memandang dengan sikap tidak senang karena dia masih curiga. “Kalau kau mencari kakakmu, kenapa di sini? Apakah di sini tempat pasukan kerajaan bertugas? Tahukah engkau tempat ini, bukit ini?” tanya Sinkiam Mo-li.

Walau pun pertanyaan itu diajukan dengan kaku, namun Li Sian tidak menjadi marah. Dianggapnya bahwa sikap seorang panglima perang memang harus tegas seperti itu!

“Maaf, Li-ciangkun. Saya sudah tahu bahwa bukit ini adalah tempat pusat perkumpulan Tiat-liong-pang. Saya memang hendak mencari ketua Tiat-liong-pang untuk bertanya, barang kali dia dapat membantu saya memberi tahu di mana adanya kakak saya itu.”

Sin-kiam Mo-li menjadi makin curiga. Tak salah, lagi, tentulah seorang mata-mata yang dikirim oleh Toat-beng Kiam-ong, dan wanita secantik ini siapa lagi kalau bukan seorang di antara kekasih laki-laki mata keranjang itu?

“Jangan berbohong!” bentaknya. “Engkau tentu mata-mata yang dikirim oleh Toat-beng Kiam-ong! Mengakulah saja!”

Li Sian terkejut, dan cepat dia menggeleng kepala. “Saya bukan mata-mata dan tidak mengenal siapa itu Toat-beng Kiam-ong. Saya datang untuk mencari kakak saya dan bertanya kepada ketua Tiat-liong-pang!”

Sin-kiam Mo-li tersenyum. “Mana ada mata-mata mau mengaku? Kalau mengaku bukan mata-mata yang baik dan melihat engkau berani memasuki wilayah ini seorang diri, tentu engkau memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Nah, engkau menyerahlah, kami tangkap untuk menjadi tawanan perang!”

Tentu saja Li Sian menjadi semakin kaget. Mulailah ia merasa curiga dan penasaran. Jangan-jangan ia masih dianggap musuh oleh pasukan pemerintah, sebagai keturunan keluarga Pouw! Akan tetapi, mengapa kakaknya sudah diampuni dan bahkan dijadikan perwira?

“Ciangkun, kalau tadi saya ikut lima orang prajurit itu menghadap ke sini adalah karena saya yakin akan dapat bicara lebih baik dengan pimpinan pasukan. Akan tetapi saya datang bukan untuk menyerahkan diri ditangkap begitu saja tanpa bersalah!”

Sin-kiam Mo-li bangkit dan matanya memancarkan sinar mencorong. “Apa? Engkau seorang mata-mata biasa berani membantah? Kalau begitu tentu engkau mata-mata istimewa dari Toat-beng Kiam-ong maka berani menentang aku. A Sam, tangkap wanita ini!” perintahnya kepada seorang di antara lima perwira yang duduk di situ.

Yang dipanggil A Sam ini seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang tubuhnya gendut seperti babi dikebiri. Perutnya besar dan kepalanya kecil, akan tetapi ketika dia meloncat dari tempat duduknya, dia memiliki kegesitan sehingga mudah diduga bahwa tubuh yang gembrot ini memiliki ketangkasan seorang ahli silat. Dia tersenyum senang, membayangkan bahwa setidaknya dia akan dapat merangkul dan mendekap tubuh gadis cantik manis di depannya itu!

“Baik, Li-ciangkun!” katanya.

Dia pun menubruk ke depan. Agaknya dengan dua lengannya yang panjang dan besar itu dia hendak sekali tubruk sudah bisa menempelkan mukanya pada muka yang cantik itu!

“Hemmm...!” Li Sian berseru lirih dengan hati penuh penasaran.

Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa ia akan mendapatkan sambutan seperti itu! Tentu saja baginya gerakan A Sam itu terlalu lambat. Dengan teramat mudahnya, sekali menggeser kaki, tubrukan A Sam itu mengenai angin kosong saja dan begitu Li Sian menggerakkan kaki menotok pinggiran lutut, tanpa dapat dicegah lagi, tubuh yang perutnya membengkak itu terjerumus ke depan.

“Ngekkk!” ketika terbanting ke atas lantai, perutnya yang lebih dulu menghantam lantai mengeluarkan bunyi. Orang itu pun terengah-engah sehingga sukar bernapas!

Melihat ini, Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya, tak senang hatinya dan diam-diam ia memaki pembantu yang tidak becus itu. Juga dia tahu bahwa gadis ini mempunyai kepandaian yang lebih tinggi dari pada yang diduganya. Akan tetapi tentu saja ia masih memandang rendah. Sepintar-pintarnya seorang mata-mata dari Toat-beng Kiam-ong, tentu masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkatnya. Pikiran ini membuat Sin-kiam Mo-li merasa malu kalau harus turun tangan sendiri menandingi seorang mata-mata!

Memang dalam latihan perang-perangan ini, tentu saja tak boleh saling membunuh atau melukai dengan berat karena mereka semua adalah satu golongan. Bahkan juga sudah direncanakan bahwa kalau sampai terjadi pertempuran, semua senjata harus dibuang dan hanya boleh menggunakan kaki tangan saja. Ini pun dengan larangan keras saling membunuh atau melukai dengan parah.

Melihat betapa gadis itu tadi hanya menotok tepi lutut A Sam dengan ujung sepatunya, yang hanya mengakibatkan A Sam jatuh telungkup, ia lebih yakin bahwa tentu gadis ini mata-mata yang sudah tahu pula akan peraturan itu sehingga tidak sampai melukai A Sam.

“Tangkap gadis ini!” bentaknya kepada empat orang perwira yang lain.

Empat orang itu pun penasaran melihat betapa kawan mereka, dalam segebrakan saja sudah roboh oleh gadis cantik itu. Mendengar perintah ini, mereka berempat lalu bangkit dan mengurung Li Sian dari empat penjuru. Pondok itu cukup besar dan karena kosong dan hanya ada meja kursi yang mereka duduki tadi, tempat itu cukup luas untuk suatu perkelahian walau dikeroyok empat sekali pun.

Li Sian tidak merasa gentar. Dia hanya menyayangkan bahwa penyelidikannya harus bertumbuk pada halangan perkelahian seperti ini.

“Ciangkun, aku datang bukan untuk berkelahi!” katanya, kini suaranya agak marah, “Aku datang mencari kakakku. Kalau kalian tahu, beri tahulah, kalau tidak, tidak mengapa, aku akan pergi lagi dari sini!”

“Engkau harus menyerah, Nona. Itu peraturannya. Menyerah atau kalau engkau dapat mengalahkan kami dan dapat meloloskan diri, cobalah!” kata empat orang perwira itu yang sudah mengurungnya.

Sekarang mereka berempat sudah menerjang maju sambil mengulurkan tangan hendak menangkap gadis yang cantik manis itu. Ada yang coba untuk menangkap lengannya, pundaknya, pinggangnya, bahkan ada yang langsung merangkulnya. Karena gerakan mereka itu datang dari empat penjuru, agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi Li Sian, demikian pendapat empat orang perwira atau sebenarnya merupakan murid-murid atau anggota Tiat-liong-pang yang tingkatnya sudah agak tinggi itu.

Akan tetapi, betapa heran dan kaget hati mereka ketika tiba-tiba saja gadis itu lenyap berkelebat ke atas dan mereka hanya dapat saling menangkap lengan masing-masing! Mereka kebingungan, akan tetapi Sin-kiam Mo-li dapat melihat dengan jelas betapa gadis cantik itu tadi ketika ditubruk dari empat penjuru, telah meloncat dengan gerakan seperti seekor burung walet cepatnya, sehingga luput dari tubrukan itu dan tubuhnya sudah melayang keluar dari pintu pondok. Ia terkejut dan sekali melompat ia pun sudah meluncur keluar pondok dan menghadang di depan gadis itu.

“Berhenti!” bentaknya.

Lima orang perwira itu kini berlarian keluar dan mereka memandang kepada Li Sian penuh kagum. Baru kini mereka mengerti bahwa Li Sian bukanlah seorang gadis biasa, melainkan seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!

Sin-kiam Mo-li kini berhadapan dengan Li Sian. Gadis ini mengerutkan alisnya, merasa makin tidak senang. Kenapa ia dianggap musuh dan hendak ditangkap, pikirnya penuh dengan perasaan yang penasaran.

“Hemmm, Li-ciangkun, apa kesalahanku maka engkau agaknya hendak memaksa dan menangkap aku?” tanyanya, sekarang sepasang matanya yang biasanya bersinar halus penuh kesabaran itu mencorong.

Melihat sinar mata ini, Sin-kiam Mo-li juga terkejut dan tahulah ia bahwa gadis ini benar-benar hebat, seorang yang berilmu tinggi, hal yang sama sekali tidak pernah diduganya. Apakah kekasih Toat-beng Kiam-ong? Agaknya bukan, pikirnya dan biar pun ia tidak merasa cemburu lagi, namun ia merasa penasaran.

Alangkah akan malunya kalau tersiar kemudian bahwa ia, sebagai komandan pasukan yang mempertahankan benteng, tidak mampu menahan seorang wanita asing yang kesalahan masuk ke tempat itu!

Kemudian ia teringat akan sesuatu! Ketika dirayakan ulang tahun Siangkoan Lohan, terjadi keributan di tempat ini dan belasan orang tamu, yaitu para pendekar yang tidak sudi menggabungkan diri, telah dibunuh. Jangan-jangan gadis ini mempunyai seorang kakak yang ikut pula terbunuh pada waktu itu dan kini dia datang untuk mencari dan menyelidiki!

“Bocah yang tak tahu diri!” bentak Sin-kiam Mo-li sambil menuding dengan telunjuknya ke arah wajah Li Sian. “Engkau seorang asing berani datang ke wilayah kami tanpa ijin, dan kami masih menerimamu dengan baik-baik dan hanya akan menahanmu menanti sampai para pimpinan berkumpul untuk menentukan keputusan atas dirimu, dan engkau berani memamerkan kepandaian di depanku?”

Wajah Li Sian berubah merah. Baru kini ia melihat bahwa wanita cantik ini sama sekali tidak mengagumkan sikapnya, walau pun dia menjadi seorang panglima wanita. Isteri gurunya tentu tidak seperti ini sikapnya, tinggi hati dan memandang rendah orang lain.

“Ciangkun, aku datang bukan untuk berkelahi, aku datang dengan baik-baik akan tetapi disambut dengan kekerasan. Sudah menjadi hak setiap orang untuk membela diri. Aku sudah banyak mengalah dan hendak pergi saja, kenapa engkau masih juga berkeras hendak menghalangi aku?”

Sin-kiam Mo-li tersenyum mengejek. Memang cantik sekali kalau ia tersenyum, akan tetapi kecantikan yang membayangkan kekejaman.

“Engkau masih muda sudah lihai mulutmu dan ilmumu. Coba aku ingin melihat apakah engkau akan mampu melawan aku.” Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Li Sian, Sin-kiam Mo-li sudah menyerang gadis itu dengan cepat dan ganas sekali.

Sin-kiam Mo-li adalah seorang datuk sesat yang sudah tinggi ilmu silatnya, amat lihai. Banyak ilmu silat kaum sesat ia kuasai. Akan tetapi selain kebutan gagang emas dan pedang yang keduanya beracun, ia pun memiliki ilmu silat tangan kosong yang ampuh.

Karena itu kedua tangannya berubah kehitaman dan terutama sekali ujung kuku jari-jari tangannya berubah hitam sekali dan mengandung racun jahat. Sekali tergores kuku itu saja sudah cukup membuat kulit yang terluka menjadi bengkak, apa lagi kalau sampai terkena tamparan tangan yang penuh mengandung hawa beracun itu. Ilmunya ini diberi nama Hek-tok-ciang. Kini, begitu maju menyerang, ia telah mengerahkan Hek-tok-ciang!

Li Sian memang belum berpengalaman dalam hal perkelahian. Namun, gadis ini sejak berusia dua belas tahun telah digembleng dengan hebat dan tekun oleh seorang sakti dan mewarisi ilmu-ilmu silat yang hebat-hebat selain juga telah berhasil menghimpun tenaga sinkang yang tinggi seperti Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang dari keluarga Pulau Es, juga tenaga Inti Bumi yang luar biasa kuatnya.

Pula, ia sudah banyak mendengar nasehat kakek Gak Bun Beng tentang jahatnya ilmu ilmu yang dikuasai para datuk sesat. Maka kini melihat betapa kedua tangan wanita itu berubah kehitaman, ia pun dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan lawan dari golongan hitam yang memiliki ilmu pukulan sesat dan curang. Ia pun berlaku hati-hati dan cepat menggeser kakinya untuk mengelak, tidak berani sembarangan menangkis.

Sin-kiam Mo-li merasa amat penasaran saat serangannya yang dilakukan dengan cepat dan kuat itu dengan amat mudahnya dielakkan oleh gadis muda itu. Ia mengeluarkan suara melengking dan kini tubuhnya bergerak cepat sekali, menghujankan serangan secara bertubi-tubi dan setiap serangan, mengarah bagian yang berbahaya dari tubuh lawan.

Diam-diam Li Sian menjadi marah sekali. Tidak disangkanya bahwa wanita cantik ini, yang semula disangkanya gagah perkasa seperti mendiang isteri gurunya, ternyata hanya seorang wanita yang berhati kejam dan serangannya itu ganas sekali, juga jelas menunjukkan gejala bahwa wanita ini adalah dari golongan sesat! Maka, ia pun cepat memainkan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun yang sudah dilatihnya dengan baik.

Ilmu Silat Lothian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit) adalah ilmu silat yang memiliki kecepatan, juga didukung tenaga Inti Bumi, maka kini ia berani untuk menangkal dan balas menyerang. Pada waktu sebuah cengkeraman kuku dan tangan menghitam itu menyambar ke arah dadanya, Li Sian menangkisnya dengan memutar lengannya dari samping.

“Dukkk!” Keduanya tergetar dan melangkah mundur.

Sin-kiam Mo-li terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa gadis itu sedemikian lihai dan kuatnya sehingga mampu menangkis serangan pukulan Hek-tok-ciang, bahkan juga membuat lengannya tergetar hebat! Ia menyerang lagi, sekali ini dengan serangan yang lebih dahsyat.

Namun sekarang Li Sian bukan hanya menjaga diri, melainkan juga membalas dengan tamparan dan totokan dari ilmu silat Lo-thian Sin-kun, karena dia pun maklum akan kelihaian lawan sehingga kalau saja ia hanya membiarkan diri diserang terus dan hanya bertahan, besar kemungkinan ia akan celaka dan terkena tangan hitam yang jahat itu.

Serang-menyerang terjadi dengan hebatnya sampai dua puluh jurus lebih, dan hal ini dianggap keterlaluan oleh Sin-kiam Mo-li. Menghadapi seorang gadis muda, sampai dua puluh jurus Hek-tok-ciang kedua tangannya tidak mampu merobohkannya. Jangankan merobohkan, baru mendesak pun tak mampu. Padahal di situ telah berkumpul belasan orang perwira atau anggota Tiat-liong-pang yang sudah tinggi tingkatnya menjadi saksi.

Sin-kiam Mo-li yang selalu membanggakan kepandaiannya itu merasa malu sekali dan kemarahannya pun berkobar. Kalau tadi dia hanya menggertak dan hendak membuat gadis itu menyerahkan diri, maka kini timbul niatnya untuk merobohkan, dan jika perlu membunuh gadis muda yang dianggapnya telah membuatnya malu ini.

“Keparat, engkau tidak boleh dikasih hati!” bentaknya.

Tiba-tiba saja kedua tangannya telah mengeluarkan sepasang senjatanya yang ampuh. Tangan kirinya sudah memegang sebuah kebutan berbulu merah bergagang emas, dan tangan kanannya memegang sebatang pedang. Inilah sepasang senjatanya yang amat ampuh. Selain ia ahli bersilat pedang sehingga mendapat julukan Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti), juga kebutannya itu tidak kalah berbahaya dari pada pedangnya karena bulu-bulu kebutan berwarna merah itu mengandung racun yang jahat.

Setelah membentak demikian, Sin-kiam Mo-li sudah menggerakkan kedua senjatanya, menyerang dengan dahsyatnya tanpa malu-malu lagi meski melihat bahwa gadis muda yang diserangnya itu bertangan kosong.

Melihat ini, Li Sian terkejut. Namun, gadis ini memang memiliki ketenangan luar biasa dan ia pun tahu apa yang harus dilakukannya. Cepat-cepat ia memainkan Ilmu San-po Cin-keng, yaitu ilmu langkah ajaib dan bersilat dengan Kong-jiu Jip-tin (Dengan Tangan Kosong Memasuki Barisan).

Langkah-langkah atau geseran-geseran kedua kakinya dengan indahnya dan lembutnya membuat tubuhnya berkelebatan seperti bayangan yang sukar diserang! Meski pedang dan kebutan itu mengepung dan menyambarnya dari semua jurusan, namun Li Sian tetap saja dapat menghindarkan diri dengan langkah ajaibnya!

Namun, melihat kehebatan lawan, kalau hanya terus mengelak pun ia masih terancam bahaya, maka kedua tangannya tidak tinggal diam. Kadang-kadang ia pun melayangkan tamparan yang mengandung Hui-yang Sinkang di tangan kanan dan Swat-im Sinkang di tangan kiri.

Kembali Sin-kiam Mo-li kaget bukan main. Sambaran tangan kanan yang mengandung hawa panas dan tangan kiri mengandung hawa dingin itu amat mengejutkannya.

“Bocah setan! Apakah engkau seorang murid Pulau Es?” bentaknya tanpa mengurangi serangannya. Kebutannya membabat ke arah muka, sedangkan pedangnya menusuk dada.

Li Sian menggeser kaki memutar tubuh sehingga kedua serangan itu luput dan ia pun mendorong dengan tangan kanannya sambil mengerahkan Hui-yang Sinkang. Hawa amat panas menyambar ke arah dada Sin-kiam Mo-li yang terpaksa harus meloncat ke samping untuk menghindarkan diri dari serangan yang cukup berbahaya itu.

“Tidak ada hubungannya denganmu!” jawab Li Sian.

Gadis ini melihat sebatang ranting tidak jauh dari situ, maka cepat kakinya membuat langkah-langkah aneh dan dia sudah berhasil menyambar ranting itu. Sebatang ranting kayu sebesar ibu jari kaki yang panjangnya kurang lebih empat kaki, tepat sekali untuk dipakai sebagai pengganti pedang. Kini dia pun memutar ranting itu sambil memainkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut menghadapi sepasang senjata lawan!

Kini lebih mudah bagi Li Sian untuk melindungi dirinya. Akan tetapi karena maklum akan kelihaian sepasang senjata lawan, tetap saja dia mengandalkan langkah-langkah ajaib San-po Cin-keng untuk mengelak dan lantas membalas dengan tusukan ranting yang dia mainkan sebagai pedang!

Terjadilah perkelahian yang amat seru. Gerakan mereka itu cepat dan aneh sehingga para murid Tiat-liong-pang yang menjadi penonton memandang dengan mata kabur dan kepala pening. Mereka tidak berani turun tangan membantu tanpa diperintah karena hal ini tentu akan membuat Sin-kiam Mo-li marah.

Tiba-tiba terdengar suara orang melerai. “Tahan senjata!”

Mendengar suara Siangkoan Lohan ini, terpaksa Sin-kiam Mo-li menahan serangannya, Li Sian juga cepat melompat mundur dan mengangkat muka memandang. Dia melihat munculnya seorang lelaki yang usianya sekitar enam puluh tahun, tinggi kurus dengan muka merah dan jenggot panjang sampai ke dada. Yang seorang lagi adalah seorang pemuda tampan yang berpakaian indah seperti seorang pelajar kaya raya atau seorang pemuda bangsawan.

Melihat kakek itu, hatinya berdebar girang karena ia masih mengenal bahwa kakek ini adalah Siangkoan Lohan yang pernah dilihatnya belasan tahun yang lalu.

“Apakah yang telah terjadi di sini?” tanya Siangkoan Lohan, diam-diam kagum sekali melihat betapa seorang gadis muda, dengan hanya sebatang ranting di tangan, mampu menandingi Sin-kiam Mo-li yang mempergunakan sepasang senjatanya.

“Ia datang secara mencurigakan sekali, tentu ia seorang mata-mata pihak musuh!” kata Sin-kiam Mo-li kepada Siangkoan Lohan, agak malu karena tuan rumah dan puteranya itu sempat melihat betapa ia tadi belum mampu merobohkan seorang gadis yang hanya bersenjata ranting.

Kini Siangkoan Lohan menghadapi gadis itu, memandang penuh perhatian, kemudian ia bertanya, “Nona, siapakah engkau dan apa maksudmu datang ke wilayah kami?”

Li Sian melangkah maju menghampiri kakek itu. Ia memberi hormat setelah melepaskan ranting dari tangannya, kemudian berkata, “Bukankah saya berhadapan dengan paman Siangkoan Tek, pangcu dari Tiat-liong-pang?”

Siangkoan Lohan memandang semakin tajam, akan tetapi betapa pun dia mengingat-ingat, dia tidak dapat mengingat siapa adanya gadis yang cantik manis dengan tahi lalat di dagunya ini.

“Maaf, Nona, mungkin penglihatanku sudah tidak terang lagi. Memang benar aku adalah Siangkoan Tek, akan tetapi siapakah engkau?”

“Paman Siangkoan, sudah lupakah engkau kepada saya? Saya bernama Pouw Li Sian. Pernah belasan tahun yang lalu saya bersama ayah datang berkunjung ke sini!”

“Pouw...?” Siangkoan Lohan mengulang nama keturunan itu dengan heran.

“Benar, Paman. Mendiang ayahku adalah Pouw Tong Ki.”

“Ahhhhh...! Ayahmu dahulu Menteri Pendapatan, seorang sahabatku itu? Dan engkau puterinya? Bukankah seluruh keluarga Pouw sudah...“

“Tidak semua binasa, Paman. Ketika rumah kami diserbu, saya sempat melarikan diri. Sekarang, setelah saya menjadi dewasa, saya ke kota raja dan menyelidiki keadaan keluarga saya. Empat orang kakak saya ditahan, tiga orang tewas dan saya mendapat kabar bahwa kakak sulung saya, Pouw Ciang Hin, diampuni bahkan sekarang menjadi seorang perwira yang bertugas di tapal batas utara. Oleh karena itulah, saya menyusul ke utara, dan teringat kepada Paman, saya berkunjung ke sini untuk minta bantuan Paman. Siapa tahu Paman dapat memberi tahu di mana adanya kakak sulung saya itu. Akan tetapi, ketika tiba di sini, saya ditahan dan hendak ditangkap, maka terpaksa saya melawan dan maafkan saya Paman.”

Siangkoan Lohan memandang penuh kagum. “Ahh, sekarang aku ingat. Engkau adalah nona kecil yang pernah ikut dengan Pouw Taijin dahulu itu. Aihh, sungguh penasaran sekali. Ayahmu adalah seorang pejabat yang baik dan setia, akan tetapi, keluarganya kena fitnah karena dia berani menentang pembesar laknat Hou Seng. Kerajaan Mancu memang tidak mengenal budi!”

Siangkoan Lohan mengepal tinju, lalu berkata kepada Sin-kiam Mo-li, “Mo-li, Nona ini adalah orang sendiri, keluarganya terbasmi oleh kerajaan penjajah! Dan nona Pouw, ini adalah Sin-kiam Mo-li, seorang di antara kawan-kawan kita yang siap untuk menentang pemerintah penjajah!”

Walau pun di dalam hatinya merasa penasaran karena tadi belum dapat mengalahkan gadis ini, terpaksa Sin-kiam Mo-li tersenyum, menyimpan sepasang senjatanya dan ia mengangguk-angguk.

“Engkau masih begini muda akan tetapi sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, nona Pouw. Engkau tadi mempergunakan sinkang panas dan dingin, mengingatkan aku akan ilmu dari Pulau Es. Apakah engkau murid dari keluarga Pulau Es?”

“Mendiang guruku adalah mantu dari sucouw Pendekar Super Sakti Pulau Es,” jawab Li Sian sejujurnya.

Mendengar ini terkejutlah semua orang, termasuk Siangkoan Lohan. Pantas gadis ini demikian lihainya. Akan tetapi diam-diam dia pun girang sekali. Bagaimana pun juga, gadis ini telah disudutkan oleh kerajaan, menjadi musuh kerajaan karena keluarganya dibasmi oleh kerajaan sehingga dapat diharapkan gadis ini akan suka membantunya.

“Mari kita bicara di dalam, nona Pouw. Ahh, ya, apakah engkau lupa kepada anakku ini? Bukankah pada saat engkau bersama ayahmu dahulu berkunjung ke sini, kalian sudah saling berkenalan? Ini adalah Siangkoan Liong. Anakku, apakah engkau sudah lupa kepada nona Pouw?”

Mereka saling pandang dan Li Sian merasa kagum. Pemuda ini tampan dan halus, nampak ramah sekali dan juga sopan ketika menjura dengan hormat kepadanya. “Tentu saja aku tidak lupa kepada nona Pouw Li Sian, biar pun dahulu hanya menjadi tamu beberapa hari saja di sini,” katanya.

Li Sian juga teringat, walau pun hanya samar-samar bahwa Siangkoan Lohan dahulu memang mempunyai seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya. Ia pun cepat balas menjura.

“Aku pun masih ingat kepadamu, saudara Siangkoan Liong.”

Mereka lalu masuk ke dalam rumah. Sin-kiam Mo-li tidak ikut masuk, namun diam-diam ia merasa tidak enak. Gadis itu lihai, dan agaknya pihak tuan rumah menghormatinya. Kenyataan bahwa gadis itu masih keturunan murid keluarga Pulau Es, membuat hatinya merasa tidak enak.

Gadis itu berbahaya, pikirnya, kecuali kalau sinar matanya mencorong gembira. Benar! Itulah satu-satunya jalan. Gadis itu harus dapat ditaklukkan oleh Siangkoan Liong, menjadi kekasihnya atau isterinya, barulah diharapkan gadis itu akan benar-benar setia membantu gerakan persekutuan mereka!

Dia akan membicarakan hal ini dengan Siangkoan Liong. Dengan bantuannya, mustahil gadis itu tidak akan dapat ditundukkan oleh Siangkoan Liong.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah si Bangau Putih

KISAH SI BANGAU PUTIH (BAGIAN KE-13 SERIAL BU KEK SIANSU)