KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-23


Bi-kwi belum dipercaya untuk bertugas keluar. Ia ditugaskan untuk ikut melatih pasukan-pasukan kecil yang terdiri dari anak buah Tiat-liong-pang yang sekarang sudah menjadi semacam benteng. Tentu saja Bi-kwi tak berdaya selama suaminya masih berada di situ dan selalu diawasi. Dia masih dapat mencoba untuk membebaskan diri, mengandalkan kepandaiannya meski di situ masih terdapat banyak orang pandai, tetapi sukar baginya untuk menjamin keselamatan suaminya. Masih baik bahwa mereka berdua mendapat sebuah kamar yang cukup luas, walau pun setiap malam kamar itu tidak pernah sunyi dari penjaga yang mengepungnya.

Ketika Bi-kwi pada suatu malam hari memberi tahukan kepada suaminya, Yo Jin, akan peristiwa kematian Pouw Ciang Hin, kakak Pouw Li Sian, mengemukakan dugaannya bahwa kakak gadis itu tewas secara aneh dan kemungkinan besar sudah dibunuh oleh Siangkoan Liong dan kaki tangannya, Yo Jin yang berwatak gagah dan jujur itu menjadi marah.

“Huh, orang-orang macam apa yang kau bantu ini? Kita tidak boleh tinggal diam saja! Engkau harus memberi tahukan hal itu kepada nona Pouw Li Sian. Kalau hal itu tidak kau lakukan, sama saja halnya dengan membantu mereka melakukan pembunuhan keji terhadap kakak gadis itu!”

Bi-kwi dapat menyetujui keinginan suaminya itu. Ia pun merasa muak melihat sepak terjang Siangkoan Liong dan ia yang bermata tajam dan berpengalaman luas itu segera dapat melihat apa yang sama sekali tidak dapat diduga oleh Pouw Li Sian, yaitu bahwa dalam peristiwa kematian kakak gadis itu, terdapat hal-hal yang tidak wajar. Maka ketika mendapat kesempatan bertemu berdua saja dengan Li Sian, Bi-kwi lalu berbisik, “Nona Pouw, mari ke sini, aku ingin membicarakan sesuatu yang penting mengenai kematian kakakmu.”

Li Sian baru mengenal Bi-kwi dari cerita Siangkoan Liong. Pemuda itu memberi tahu kepadanya bahwa Bi-kwi adalah seorang tokoh sesat yang amat jahat dan licik, maka ia harus berhati-hati terhadap wanita cantik itu. Akan tetapi, saat Bi-kwi menyebut tentang kematian kakaknya, dia pun segera mengangguk dan mengikuti wanita itu ke sebuah sudut bangunan di mana mereka tersembunyi dan mudah melihat kalau ada orang lain datang menghampiri tempat itu.

“Apakah yang hendak kau bicarakan dengan aku, Enci?” tanya Li Sian.

Setelah kini mereka berdiri berhadapan dekat dan ia memperhatikan wajah wanita itu, ia bisa melihat betapa wajah yang cantik itu membayangkan kekhawatiran dan juga sinar matanya nampak lembut, bukan seperti mata seorang yang berwatak jahat.

“Nona Pouw, aku merasa kasihan sekali kepadamu dan tidak ingin melihat engkau akan tertipu semakin jauh. Ketika kita semua menyaksikan kematian kakakmu, perwira Pouw Ciang Hin, di dalam hutan itu, aku pun ikut menyaksikan dan aku melihat suatu hal yang amat penting dan menunjukkan dengan jelas kepadaku bahwa kakakmu itu sama sekali tidak tewas karena berkelahi melawan perwira kerajaan.”

Pouw Li Sian mengerutkan alisnya dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik ke arah wajah wanita cantik itu. Ia teringat akan pesan Siangkoan Liong bahwa ia harus berhati-hati terhadap wanita yang amat jahat dan licik. Siapa tahu, wanita ini hendak mempergunakan suatu tipu muslihat yang licik terhadap dirinya.

“Apa maksudmu yang sebenarnya, Enci? Sudah jelas bahwa mendiang kakakku itu tewas dalam perkelahian dan lawannya juga tewas. Apa buktinya dugaanmu itu bahwa dia tidak tewas dalam perkelahian melawan perwira kerajaan itu?”

“Memang tadinya aku pun percaya akan keterangan mereka bahwa kakakmu itu mati bersama lawannya berkelahi. Akan tetapi ketika aku memperhatikan lukanya, dan juga melihat betapa perwira kerajaan yang menjadi lawannya itu binasa sambil memegang senjatanya, yaitu sebatang golok, aku pun menjadi curiga. Aku mendekat dan melihat keadaan luka pada kakakmu yang membawa kematian itu dan aku pun yakin setelah melihat dari depan dan belakang, bahwa kakakmu itu tewas bukan oleh perwira yang menjadi lawannya itu.”

“Apa buktinya? Coba terangkan yang jelas,” kata Li Sian, jantungnya berdebar tegang walau pun ia belum percaya benar dan masih mencurigai wanita ini.

“Pada jenazah kakakmu itu terdapat beberapa luka sabetan golok, pada paha, pangkal lengan kiri, dan pundak kanan. Akan tetapi tiga buah luka yang jelas disebabkan oleh bacokan golok itu bukan luka yang mematikan. Luka yang telah menyebabkan kematian kakakmu adalah luka tusukan pada dada yang menembus ke punggung, dan hal ini kulihat benar dari arah depan dan belakang. Jadi, kakakmu bukan tewas oleh golok di tangan perwira itu, melainkan oleh tusukan pedang dari depan, yang dilakukan dengan kuat sekali. Luka itu kecil dan hanya dapat diakibatkan tusukan pedang, bukan bacokan atau tusukan golok.”

Sepasang mata Li Sian terbelalak, kecurigaannya lenyap dan dia nampak ragu-ragu, mulai percaya karena dia pun teringat akan luka-luka di tubuh kakaknya, akan tetapi sebelum ini ia tidak memikirkan sejauh itu.

“Lalu... kalau menurut pendapatmu… bagaimana, Enci?” tanyanya, suaranya gemetar karena ia mendapat perasaan yang amat tidak enak.

“Aku pernah melihat perwira yang menjadi lawan kakakmu itu, nona Pouw. Kalau tidak keliru, dia seorang kepercayaan Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan perbatasan yang agaknya telah bersekutu dengan Tiat-liong-pang. Dan melihat tanda pangkat yang dipakainyanya, dia memiliki pangkat yang lebih tinggi dari kakakmu. Dan itu dapat dibuktikan dengan adanya tiga luka bacokan golok pada tubuh kakakmu, sedangkan pada tubuh perwira itu, hanya ada satu luka tusukan pedang, dari punggung yang menembus ke dada. Jadi menurut perhitunganku, kakakmu memang berkelahi melawan perwira itu, akan tetapi kakakmu kemudian terdesak dan menderita tiga luka itu. Lalu, kalau tidak keliru dugaanku, muncul seorang lain yang membunuh perwira itu dari belakang dengan tusukan pedang. Orang itu tentu lihai sekali sehingga sekali tusuk dia mampu langsung merobohkan perwira itu. Kemudian, dengan mudah dia membunuh pula kakakmu yang sudah luka-luka itu dengan tusukan pedang dari depan.“

“Akan tetapi, pedang kakakku yang berada di situ juga berlumuran darah!”

Bi-kwi tersenyum. “Apa sukarnya mengenai itu, pembunuh itu dapat saja mengambil pedang kakakmu dan melumurinya dengan darah perwira itu yang masih bercucuran.”

“Akan tetapi... siapakah orang yang sekeji itu membunuh kakakku, dan mengapa pula dia mengatur muslihat supaya kelihatannya kakakku tewas dalam perkelahian melawan perwira itu? Apa alasannya?” Li Sian bertanya, penasaran walau pun ia melihat bahwa pendapat wanita ini memang sangat mungkin terjadi.

“Sukar untuk menduga siapa pelaku pembunuhan itu. Akan tetapi, aku merasa yakin bahwa dia tentulah seorang pembantu Siangkoan Lohan, di antara tokoh-tokoh yang lihai itu. Dan siasat itu sengaja dilakukan orang untuk mengelabuimu, nona Pouw.”

“Apa? Untuk mengelabui aku? Mengapa?”

“Ini hanya dugaanku belaka. Engkau seorang gadis muda yang menurut pendengaranku memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, bahkan ilmu-ilmu dari Pulau Es pun kau kuasai, tentu Siangkoan Lohan ingin mengikatmu. Dan agaknya, kakakmu itu adalah seorang perwira yang setia kepada kerajaan sehingga dia mungkin saja akan membuka rahasia pemberontakan Tiat-liong-pang ini kepadamu. Nah, karena itulah, mereka harus membunuh kakakmu dan yang menerima tugas adalah rekannya yang lebih lihai, yaitu perwira yang tewas pula itu. Dan agaknya perwira itu memang dikorbankan, dibunuh agar nampaknya kakakmu tewas dalam perkelahian melawan rekannya sendiri. Tentu hal ini selain untuk mengelabuimu agar supaya engkau tak menyangka buruk terhadap Tiat-liong-pang, juga untuk menanamkan kebencian di dalam hatimu terhadap pasukan kerajaan.”

“Ahhh...!”

Sepasang mata Li Sian terbelalak, karena ia teringat akan sikap dan kata-kata kakak kandungnya sebelum mereka dipisahkan oleh kemunculan Siangkoan Liong. Kakaknya sempat berjanji akan mengunjunginya dan bicara panjang lebar seminggu kemudian, akan tetapi tahu-tahu dia tewas. “Memang kakakku pernah memperingatkan aku dalam pertemuan pertama itu, memperingatkan aku tentang Tiat-llong-pang...”

“Ah, kalau begitu sudah pasti tepat dugaanku tadi, Nona. Kakakmu itu telah mengetahui akan rahasia busuk dari Tiat-liong-pang dan hendak memperingatkanmu, maka mereka telah mendahuluinya, membunuhnya dengan siasat agar engkau tidak menduga buruk terhadap mereka.”

“Akan tetapi Tiat-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah! Sejak aku kecil dahulu, mendiang ayahku telah bersahabat erat dengan Siangkoan Lohan, dan kalau sekarang mereka hendak melakukan pemberontakan, hal itu adalah wajar, bukan? Setiap orang gagah tentu tidak rela melihat tanah airnya dijajah oleh bangsa Mancu, dan sedapat mungkin hendak membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan ini!” Li Sian membela. “Menurut, perkiraanku, kakakku itu mulai menyadari akan kebaikan gerakan perjuangan Tiat-liong-pang, maka dia hendak membalik dan hendak membantu Tiat-liong-pang. Hal ini agaknya diketahui oleh pihak tentara kerajaan, maka kakakku dibunuh.”

“Itulah cerita yang sengaja mereka buat untuk mengelabuimu, nona Pouw. Akan tetapi kalau benar demikian halnya, lalu dari mana pula datangnya luka tusukan pedang yang menewaskan kakakmu? Harap jangan lengah dan bodoh, nona Pouw, dan waspadalah terhadap bujuk rayu Siangkoan Liong itu. Dia seorang pemuda yang bukan hanya lihai sekali ilmu silatnya, akan tetapi juga amat cerdik dan pandai membawa diri, sehingga gadis-gadis yang berhati polos dan jujur sepertimu ini akan mudah sekali terjatuh dan...”

“Diam! Itu bukan urusanmu!” Li Sian membentak dengan muka berubah merah, lalu ia pergi meninggalkan Bi-kwi.

Wanita ini hanya menghela napas panjang, dan ia mengambil keputusan bahwa kalau tidak dapat menggandeng Li Sian sebagai kawan untuk menentang persekutuan itu, ia akan maju sendiri. Bagaimana pun juga, dia sudah bersumpah di dalam hatinya untuk meninggalkan jalan kejahatan, bahkan akan menentang kejahatan.

Pemberontakan yang akan dilakukan Tiat-liong-pang ini sama sekali bukan menentang penjajah, melainkan pemberontakan yang jahat, persekutuan dengan para kaum sesat. Dan ia pun sudah mendengar betapa Siangkoan Liong dicalonkan menjadi kaisar kalau pemberontakan itu berhasil! Ia pun cepat-cepat menuju ke kamarnya untuk menemui suaminya dan membicarakan urusan itu.

Sementara itu, dengan muka masih merah dan jantungnya berdebar, serta dada terasa panas, Li Sian lari meninggalkan Bi-kwi dan segera pergi mencari Siangkoan Liong.

Ketika itu, Siangkoan Liong sedang bercakap-cakap dengan ayahnya, yaitu Siangkoan Lohan, di ruangan sebelah dalam. Karena hatinya terguncang dan dia menjadi sangat penasaran dan tidak sabaran Li Sian tidak peduli dan langsung saja memasuki rumah induk untuk mencari Siangkoan Liong.

Hatinya bagaikan ditusuk-tusuk. Kalau benar semua dugaan Bi-kwi itu, lalu bagaimana? Bagaimana kalu memang benar Siangkoan Liong sedang menjalankan siasat busuk itu dan bahkan pemuda itu telah berhasil membujuk rayu sehingga ia terjatuh! Seperti yang dikhawatirkan Bi-kwi tadi, ia telah jatuh! Ia telah menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada Siangkoan Liong, karena memang ia tertarik dan katakanlah tergila-gila kepada pemuda itu, merasa bahwa ia memang mencinta pemuda itu!

Bagaimana jika benar Siangkoan Liong membunuh atau menyuruh bunuh kakaknya dan menguasai tubuhnya hanya sebagai siasat busuk belaka untuk menguasainya, bukan karena cinta kasih? Hampir Li Sian menjerit membayangkan semua kemungkinan itu! Ia akan dapat menjadi gila kalau semua itu ternyata benar demikian!

Pada saat dengan tergesa-gesa ia memasuki rumah induk yang luas itu, ia mendengar suara Siangkoan Liong di sebuah ruangan samping yang daun pintunya tertutup. Cepat dia mengerahkan tenaganya agar tidak sampai ada suara pada langkah kakinya dan ia pun mendekati daun pintu itu. Dengan cukup jelas ia mendengar percakapan antara Siangkoan Liong dan suara wanita yang dikenalnya adalah suara Sin-kiam Mo-li!

"Sudahlah, Mo-li. Jangan kau ganggu aku sekarang ini! Aku sedang sibuk dan aku tidak ada nafsu untuk..." suara Siangkoan Liong ini seperti orang yang jengkel dan terganggu.

"Kongcu, engkau sungguh tidak adil!" Terdengar suara Sin-kiam Mo-li memotong, suara yang direndahkan supaya lirih sehingga terdengar mendesis. "Engkau tahu betapa aku mengagumimu, tergila-gila kepadamu dan mendambakan kasih sayangmu. Aku sudah pantas menerima kasih sayangmu sebagai balas jasa atas semua bantuanku, bukan? Tidak setiap hari, hanya kadang-kadang kalau aku sudah amat rindu, Kongcu. Marilah, engkau kasihanilah aku, karena aku seperti seorang yang kehausan membutuhkan air cintamu..."

"Mo-li, jangan ganggu aku. Nanti saja, besok atau pun lusa kalau aku sudah tidak sibuk lagi..."

"Sibuk apa lagi? Bukankah sudah banyak pembantu yang melatih pasukan? Ingatlah, bukankah aku pula yang sudah membantu sehingga gadis mulus itu terjatuh ke dalam pelukanmu? Betapa dengan susah payah aku menggunakan akal membiarkan ia minum anggur rahasiaku yang mengandung rangsangan-rangsangan kuat, dan ditambah pula dengan kekuatan sihirku pada malam itu, bahkan dibantu pula oleh Thian Kek Sengjin yang dapat kubujuk. Dan engkau sudah melupakan semua jasaku itu?"

"Ssttt... jangan lancang mulut, Mo-li. Dinding pun mungkin mempunyai telinga. Sudahlah biar aku berjanji, malam nanti aku akan menantimu dalam kamarku!"

"Hi-hi-hik-hik, begitu barulah pujaanku yang tampan dan gagah! Sampai malam nanti, Kongcu," kata wanita itu dan Sin-kiam Mo-li keluar ruangan itu, diikuti oleh Siangkoan Liong.

Melihat mereka Li Sian tidak mampu menahan kemarahan dan rasa penasaran di dalam hatinya lagi. Jelaslah bahwa di antara Siangkoan Liong dan Sin-kiam Mo-li, nenek yang masih cantik jelita itu, terdapat hubungan gelap! Maka ia pun segera meloncat keluar dari balik pilar itu, mengejutkan mereka berdua. Tanpa mempedulikan Sin-kiam Mo-li, Li Sian lalu menghampiri Siangkoan Liong yang juga memandang dengan mata terbelalak dan hati tak enak melihat betapa wajah gadis itu nampak marah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi!

“Sian-moi, kau...“ Dia maju sambil mengembangkan kedua lengan seolah-olah hendak memeluk Li Sian. Akan tetapi gadis itu menahan langkahnya, berhenti kurang lebih dua meter dari pemuda itu, matanya memandang tajam penuh selidik.

“Siangkoan Liong!” bentak gadis itu, dan sebutan ini saja sudah amat mengejutkan hati pemuda itu. “Aku menuntut penjelasan darimu!”

“Sian-moi ada apakah? Apakah yang telah terjadi dan penjelasan apa pula yang kau inginkan?” Siangkoan Liong yang memang merupakan seorang pemuda luar biasa itu sudah dapat menguasai dirinya dan bersikap tenang.

Sementara itu Sin-kiam Mo-li memandang gadis itu dengan bibirnya tersenyum penuh kemenangan. Bagaimana pun juga, gadis itu sudah ternoda, dan berarti sudah mampu ditundukkan. Dia tidak percaya bahwa gadis yang sudah terjatuh ke dalam pelukan Siangkoan Liong itu akan berani atau masih ingin memberontak.

“Mo-li, sebaiknya engkau keluar dahulu dan biarkan aku berbicara empat mata dengan Sian-moi.”

“Tidak perlu! Boleh saja ia ikut menghadiri karena ia pun agaknya merupakan anggota komplotanmu yang jahat!” kata pula Li Sian dan kedua orang itu saling pandang, jelas nampak ada kekagetan dalam pandang mata mereka.

“Sian-moi, aku tidak mengerti...“

“Katakanlah terus terang, siapakah yang sudah membunuh kakakku Pouw Ciang Hin?!” bentak Li Sian sambil menatap tajam.

Siangkoan Liong yang sudah menduga buruk, telah siap siaga. Wajahnya tidak berubah mendengar pertanyaan ini dan dia bahkan bersikap seperti orang terheran-heran, lalu tersenyum. “Ah, Sian-moi, apakah engkau sudah lupa? Ataukah kedukaanmu membuat engkau menjadi bingung? Sudah jelas kau lihat sendiri betapa kakakmu itu tewas dalam perkelahian melawan perwira kerajaan, mati sampyuh (keduanya tewas)...“

“Bohong! Kakakku mati oleh tusukan pedang sedangkan lawannya itu bersenjatakan golok! Hayo katakan saja, siapa yang membunuh kakakku, dan mengapa kalian semua melakukan tipu muslihat itu untuk mengelabui aku mengenai kematian kakakku? Hayo jawab sejujurnya!”

Tentu saja, betapa kuat pun batinnya, Siangkoan Liong terkejut bukan main mendengar pengungkapan rahasia itu dari mulut Li Sian. “Ahh, itu fitnah belaka! Dari siapa engkau mendengar fitnah itu, Sian-moi?”

“Tidak peduli dari siapa! Pokoknya katakanlah siapa pembunuh kakakku dan mengapa ada siasat buruk itu untuk mengelabui aku?”

Mendadak muncul Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek dan dia segera berkata dengan suara lantang, “Siangkoan-kongcu, tadi aku melihat ia bicara bisik-bisik dengan Bi-kwi!”

“Ah, kalau begitu siluman betina itu yang telah menyebar fitnah jahat!” Siangkoan Liong berseru marah. “Aku harus menegur wanita itu!”

Dia pun segera meloncat pergi untuk mencari Bi-kwi di kamarnya, diikuti oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Melihat ini, Li Sian juga cepat mengikuti karena ia ingin kepastian, siapa yang benar antara mereka.

Sementara itu, Bi-kwi telah berada di dalam kamarnya, “Telah kuceritakan kepada Pouw Li Sian itu tentang pembunuhan atas diri kakaknya, dan kurasa tidak lama lagi badai akan segera datang menyerang.”

“Hemmm, biarkan saja, aku tidak takut,” kata Yo Jin dengan gagah. “Bagaimana pun juga, anak kita telah selamat, dan kita tidak boleh membantu perbuatan jahat.”

Bi-kwi merasa amat terharu melihat kegagahan suaminya. Ia kemudian maju merangkul suaminya, merasa bahwa kali ini mereka terancam bahaya maut yang amat berbahaya dan ia tidak berdaya menyelamatkan suaminya.

“Engkau memang benar, dan aku merasa amat berbahagia berada di sampingmu sebab sikapmu yang gagah membangkitkan semangatku. Memang kita sudah tertipu. Mereka sama sekali bukan perkumpulan orang-orang gagah yang hendak menentang penjajah dan membebaskan nusa bangsa dari penjajahan, tetapi sekelompok orang-orang jahat yang sedang bersekutu untuk memberontak, demi diri mereka sendiri. Siangkoan Lohan telah mengumpulkan tokoh-tokoh dunia hitam di sini, dan aku mendengar bahwa usaha pemberontakan ini hanyalah untuk cita-cita agar supaya kelak puteranya dapat diangkat menjadi kaisar kalau pemberontakan itu berhasil. Ibu Siangkoan Liong adalah seorang puteri istana, karena itu Siangkoan Lohan merasa bahwa puteranya itu adalah seorang pangeran dan karenanya patut untuk menjadi kaisar. Itulah yang mendorong adanya pemberontakan mereka, bukan karena kesadaran politik untuk membebaskan nusa dan bangsa dari belenggu penjajahan.”

Yo Jin bangkit berdiri dan mengepal tinju. “Dan engkau hendak mereka paksa menjadi kaki tangan mereka, membantu usaha mereka yang jahat itu? Tidak, isteriku, tak boleh sama sekali!”

“Jangan khawatir suamiku, jangan khawatir. Aku pun setuju denganmu, aku tidak sudi membantu mereka. Akan tetapi, hal ini akan mengakibatkan bahaya besar mengancam keselamatan kita.”

“Tidak mengapa! Aku tidak takut. Mati hidup berada di tangan Tuhan dan jauh lebh baik mati sebagai seorang terhormat dan bersih dari pada hidup sebagai kaki tangan orang-orang jahat!”

Bi-kwi semakin kagum dan terharu. Ia merangkul dan mencium suaminya dengan kedua mata basah air mata. Dalam keadaan berangkulan itulah pintu depan jebol ditendang orang dan muncullah Siangkoan Liong, Sin-kiam Mo-li, dan Toat-beng Kiam-ong dengan sikap garang sekali! Dan di belakang mereka, muncul pula Pouw Li Sian yang mukanya nampak pucat!

Bi-kwi cepat menyembunyikan suaminya di belakang tubuhnya, menghadapi mereka dengan sikap tenang namun waspada, maklum bahwa badai yang sudah disangkanya akan muncul itu kini telah tiba.

“Bi-kwi, engkau berani menyebar fitnah, meracuni hati Sian-moi dengan berita bohong!” bentak Siangkoan Liong dengan sikap, marah biar pun suaranya masih terdengar halus seperti biasa. “Hayo cepat engkau tarik kembali fitnah itu dan mengaku salah agar aku masih dapat mempertimbangkan apakah engkau dapat dimaafkan atau tidak.”

Bi-kwi masih tetap tenang dan ia malah tersenyum manis. “Kenapa aku harus menarik kembali tuduhan yang memang berdasar? Aku tahu bahwa kakak dari nona Pouw itu terbunuh oleh kaki tangan kalian sendiri, karena dia tidak mau turut bersekutu dengan rencana pemberontakan kalian. Aku tahu bahwa pemberontakan ini sama sekali bukan perjuangan membebaskan nusa bangsa dari belenggu penjajahan, melainkan hanyalah untuk merebut pemerintahan agar Siangkoan Liong kelak menjadi kaisarnya!”

“Ihhh...!” Li Sian mengeluarkan teriakan marah.

Akan tetapi Siangkoan Liong kini tertawa. “Heh-heh-heh, engkau sudah tahu itu? Bagus sekali! Nah, apa salahnya dengan itu? Aku adalah seorang pangeran, di dalam darahku mengalir darah keluarga istana. Ibuku seorang puteri, maka sudah sepantasnya kalau kelak aku menjadi kaisar! Dan siapa yang menjadi penghalang, akan mati di tanganku. Bi-kwi, sekali lagi, cepatlah berlutut mengaku salah, dan nyawamu juga nyawa suamimu mungkin takkan kucabut.”

“Keparat kau!” Tiba-tiba Yo Jin melompat keluar dari belakang punggung isterinya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Siangkoan Liong. “Siapa takut mati? Nyawaku berada di tangan Tuhan, bukan di tangan seorang manusia rendah semacam engkau!”

Siangkoan Liong marah sekali, tiba-tiba saja tangannya menghantam ke arah kepala Yo Jin.

“Wuuuttttt... klukkk!”

Hantaman itu ditangkis oleh Bi-kwi, dan akibatnya tubuh Bi-kwi terhuyung, akan tetapi suaminya selamat dari hantaman itu. Pada saat itu pula Toat-beng Kiam-ong telah maju menyerang Bi-kwi dengan sebatang pedangnya sehingga wanita ini terpaksa mengelak cepat ke kiri sambil membalas dengan tendangan kakinya yang dapat dielakkan pula oleh lawan.

Si Raja Pedang yang jahat ini memutar pedang dan terus mendesak Bi-kwi. Wanita ini memperlihatkan kegesitannya, mengelak ke sana-sini. Ia dapat menghindarkan diri, tapi ia merasa prihatin sekali karena suaminya tidak ada lagi yang melindunginya.

Siangkoan Liong yang masih marah, sekarang menerjang ke depan, tangannya kembali menampar. Hanya nalurinya saja yang membuat Yo Jin mengangkat tangan menangkis.

“Desss...!”

Tangan itu terpental dan juga kepalanya kena ditampar tangan Siangkoan Liong. Yo Jin terjungkal dan tewas seketika oleh karena kepalanya retak terkena hantaman tangan pemuda yang bukan main lihai itu.

Bi-kwi menjerit nyaring dan bagaikan seekor singa betina melihat anaknya diganggu, ia mengamuk. Sebuah tendangannya nyaris saja membuat pedang di tangan Toat-beng Kiam-ong terlepas. Walau pun Si Raja Pedang ini masih sempat melompat ke belakang menyelamatkan pedangnya, namun tetap saja pahanya terserempet sepatu kaki Bi-kwi sehingga dia mengeluh dan hampir roboh karena paha itu terasa nyeri sekali. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li sudah meloncat ke depan dan menyerang Bi-kwi dengan sepasang senjatanya yang ampuh, yaitu pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri.

“Kau... kau... keparat jahanam!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Pouw Li Sian telah meloncat ke depan dan menyerang Siangkoan Liong dengan pedangnya. Pemuda ini sudah mencabut pedangnya pula dan menangkis.

“Sian-moi, tenanglah, sabarlah...”

“Manusia iblis...!” Li Sian menyerang terus, dan kembali Siangkoan Liong menangkis sehingga terdengar suara nyaring dan nampak api berpijar dari kedua pedang itu.

“Sian-moi, ingatlah, engkau adalah kekasihku, engkau tunanganku... bahkan engkau... sudah menjadi isteriku...” Siangkoan Liong mencoba untuk memperingatkan gadis itu agar mereda kemarahannya.

Akan tetapi sebaliknya dari pada reda, kemarahan gadis itu makin berkobar, seolah-olah ucapan dari pemuda itu makin merupakan minyak yang disiramkan kepada api yang bernyala. Ucapan itu mengingatkan Li Sian betapa dirinya telah menjadi korban siasat licik, betapa ia telah menyerahkan kehormatannya begitu saja karena telah terjatuh oleh rayuan pemuda itu, yang dibantu pula oleh arak perangsang dari Sin-kiam Mo-li dan juga kekuatan sihir yang membuat ia malam itu menjadi jinak!

“Kalian... kalian... iblis-iblis busuk...!” Li Sian menjerit dan pedangnya langsung diputar garang sekali ketika ia kembali menyerang kepada pemuda itu.

Melihat hal ini, Siangkoan Liong tidak berani main-main lagi. Dia tahu betapa lihai dan berbahayanya Li Sian yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, dan mempunyai kekuatan sakti yang menggiriskan. Apa lagi kini gadis ini agaknya demikian marah dan nekat, maka akan berbahaya sekali kalau dia mengalah.

Maka, Siangkoan Liong segera memutar pula pedangnya, mengimbangi kecepatan dan kekuatan gadis itu hingga mereka berdua lenyap ditelan gulungan sinar pedang mereka dalam suatu perkelahian yang mati-matian dan seru sekali. Karena memang tingkat kepandaian Siangkoan Liong menjadi tinggi dan hebat setelah dia digembleng oleh gurunya yang bernama Ouwyang Sianseng atau Nam San Sianjin, dan tingkatnya lebih tinggi dibandingkan Pouw Li Sian, maka begitu dia membalas dan mengerahkan tenaga, mengeluarkan kepandaiannya, perlahan-lahan Li Sian mulai terdesak.

Namun gadis yang merasa sakit hati ini tidak menjadi jeri dan melawan terus dengan nekat. Ia tidak takut mati dan beberapa kali hendak mengadu nyawa sehingga hal ini membuat Siangkoan Liong terpaksa harus berlaku hati-hati sekali. Beberapa kali, ketika pedangnya menyambar ke arah Li Sian, gadis itu tidak menangkis atau pun mengelak, tetapi mencurahkan segala daya serangnya untuk membarengi menyerangnya sehingga kalau dia melanjutkan serangan itu, tentu dirinya sendiri akan menjadi korban pedang gadis itu! Tentu saja Siangkoan Liong tidak mau mati sampyuh sehingga dia terpaksa menarik kembali serangannya untuk menyelamatkan diri pula.

Bi-kwi sendiri dikeroyok dua orang lawan yang sangat tangguh. Menghadapi Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek seorang saja, kepandaiannya sudah setingkat, dan ia bahkan sedang terdesak hebat karena ia tidak bersenjata, sedangkan lawannya itu merupakan seorang ahli pedang yang lihai. Apa lagi kini Sin-kiam Mo-li juga maju mengeroyoknya.

Tingkat kepandaian Sin-kiam Mo-li lebih tinggi tingkatnya dan wanita iblis itu memegang sepasang senjata yang sangat berbahaya. Namun Bi-kwi juga sudah nekat. Ia melihat suaminya tewas di depan matanya. Suaminya yang tercinta, satu-satunya manusia di bumi ini, selain puteranya, yang dicintanya dan melihat suaminya mati, ia pun tidak ingin hidup lebih lama lagi! Ia merasa jeri menghadapi kehidupan yang serba kejam ini tanpa bimbingan suaminya yang selalu demikian tenang dan gagah perkasa!

Maka, kedukaan karena kematian suaminya membuat Bi-kwi menjadi nekat dan dia lalu mengamuk seperti seekor naga betina. Walau pun dia tidak bersenjata lagi, akan tetapi serangan-serangannya cukup berbahaya sehingga untuk beberapa lamanya dua orang lawannya yang lebih kuat karena memegang senjata itu sama sekali belum juga mampu menundukkannya.

Sin-kiam Mo-li maklum bahwa Bi-kwi tak mungkin bisa dibujuk untuk membantu mereka lagi setelah sekarang suaminya tewas di tangan Siangkoan Liong. Maka ia pun berseru kepada Toat-beng Kiam-ong. “Kiam-ong, kita bunuh saja perempuan ini supaya kelak di kemudian hari tidak membikin repot!”

Siangkoan Liong mendengar ucapan ini dan meski pun dia sedang sibuk menghadapi pengamukan Li Sian, dia segera berseru, “Benar! Bunuh perempuan itu!”

Setelah mendapat perintah ini, Toat-beng Kiam-ong dan Sin-kiam Mo-li tidak ragu-ragu lagi. Mereka mendesak dan menekan Bi-kwi. Akan tetapi, wanita ini memang hebat. Ia adalah bekas tokoh sesat yang amat lihai, yang dijuluki Setan Cantik, bukan saja karena sepak terjangnya yang menggiriskan, akan tetapi juga karena kelihaiannya. Ia adalah murid pertama dari Sam Kwi (Tiga Setan) yang mencintanya dan mereka bertiga telah menurunkan ilmu-ilmu mereka kepada murid tercinta ini.

Walau pun kedua tangan Bi-kwi tidak memegang senjata, akan tetapi kedua tangan itu menggunakan ilmu yang disebut Kiam-ciang (Tangan Pedang) sehingga kedua tangan itu kalau membacok, atau menusuk, tajam dan runcingnya seperti pedang saja. Juga kedua lengan wanita ini dapat mulur sampai hampir dua meter kalau ia mempergunakan Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Lutung Hitam).

Selain tendangan-tendangan bertubi Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin), ia memiliki kekebalan Kulit Baja. Dan masih menguasai banyak macam ilmu silat tinggi yang aneh-aneh. Maka, kedua orang lawannya yang memiliki tingkat lebih tinggi itu pun tidak mudah mengalahkannya dan hanya dapat mendesak terus. Baru sesudah lewat hampir seratus jurus, mulailah Bi-kwi yang kelelahan karena selama bertahun-tahun ini ia tidak pernah berlatih silat, menerima beberapa tusukan serta lecutan cambuk yang mengakibatkan bajunya robek-robek dan kulitnya terluka.

“Siangkoan Liong manusia busuk!” Tiba-tiba terdengar makian suara seorang wanita dan muncullah Kwee Ci Hwa yang ditemani oleh Gu Hong Beng.

Seperti telah kita ketahui, sesudah mengalami penghinaan dan penderitaan, diperkosa oleh Siangkoan Liong setelah Ci Hwa berhasil dijatuhkan dengan rayuan, maka Ci Hwa merasa sakit hati dan putus harapan. Ia maklum bahwa dengan kepandaiannya yang tidak berapa tinggi, mustahil baginya untuk membalas dendam kepada Siangkoan Liong atas semua penghinaan yang dideritanya.

Akan tetapi, ketika ia mencoba membunuh diri dengan menggantung di dalam hutan, ia sudah diselamatkan oleh pendekar Gu Hong Beng yang dapat menyadarkannya dengan nasehat-nasehat. Keduanya kemudian bersahabat dan bersama-sama pergi melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang, karena Hong Beng juga mendengar berita akan gerakan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-liong-pang. Dan akhirnya, pada sore hari itu setelah cuaca mulai gelap, dan atas petunjuk Ci Hwa yang sudah mengenal lapangan, keduanya pun berhasil menyelundup masuk sampai ke dalam perkampungan Tiat-liong-pang dan masuk ke dalam rumah induk yang besar.

Sebetulnya, Hong Beng hendak bersikap hati-hati. Namun, Ci Hwa yang merasa sakit hati, ingin sekali menemukan Siangkoan Liong dan hendak membalas dendam kepada pemuda itu. Kini ada Hong Beng di sampingnya, maka ia tidak takut dan mengharapkan akan dapat membunuh musuh itu dengan bantuan Hong Beng.

Ketika mereka berdua melihat perkelahian di ruangan tengah, dan ketika Ci Hwa melihat Siangkoan Liong sedang berkelahi melawan seorang gadis yang amat lihai pula, ia lalu berteriak dan segera menerjang ke depan, membantu Li Sian mengeroyok Siangkoan Liong. Gadis ini menggunakan senjata sebatang sabuk rantai yang memang sejak kecil, senjata inilah yang merupakan senjata andalan keluarganya. Dengan sabuk rantai baja ini, ia menerjang maju menyerang Siangkoan Liong dengan penuh kebencian. Karena sakit hati, maka meski pun tingkat kepandaian Ci Hwa jauh di bawah tingkat lawannya, namun seperti juga Li Sian, gadis ini siap mengadu nyawa serta melakukan serangan secara nekat sekali!

Sementara itu, Hong Beng segera mengenal Bi-kwi yang dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong. Juga Bi-kwi bisa mengenal Hong Beng, maka hatinya menjadi agak besar karena ia boleh mengharapkan bantuan pendekar itu. Hong Beng melihat betapa gadis yang dibantu Ci Hwa memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka dia pun tanpa ragu lagi cepat mencabut sepasang pedang yang tergantung di punggungnya.

Dalam usahanya melakukan penyelidikan itu, ia telah menyiapkan diri dengan sepasang pedang, yang merupakan senjata yang dikuasainya karena dia memiliki Ilmu Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), apa lagi setelah mendengar dari Ci Hwa betapa di perkampungan Tiat-liong-pang terdapat banyak tokoh pandai. Kini, dengan sepasang pedang di tangan dia pun menyerbu dan membantu Bi-kwi yang sudah mulai payah dan terdesak hebat.

Gu Hong Beng adalah murid Suma Ciang Bun. Ilmu kepandaiannya murni dengan ilmu-ilmu silat keluarga Pulau Es. Akan tetapi harus diakui bahwa gurunya, Suma Ciang Bun, bukan merupakan keturunan keluarga Pulau Es yang terlalu kuat, yang bakatnya tidak terlalu menonjol. Oleh karena itu, biar pun Hong Beng menerima gemblengan seorang pendekar dari keluarga Pulau Es, tingkat kepandaiannya tidak menonjol sekali dan jika dibandingkan dengan tingkat Bi-kwi, hanya seimbang saja.

Namun, masuknya Hong Beng yang membantu Bi-kwi, membuat Bi-kwi seperti tumbuh sayap atau tambah semangat. Hong Beng yang juga mengenal siapa adanya Sin-kiam Mo-li yang lihai segera mengerahkan tenaga. Dia lantas memutar sepasang pedangnya dengan ganas.

Sin-kiam Mo-li terkejut melihat munculnya Hong Beng yang dahulu pernah membuat ia tergila-gila. Pernah pula ia dan beberapa orang sekutunya mengeroyok Hong Beng dan Bi-Kwi yang bekerja sama ketika dua orang ini berusaha untuk merampas kembali Kao Hong Li yang diculiknya.

Maka, marahlah Sin-kiam Mo-li dan dia pun berteriak, “Bagus! Kiranya engkau kembali datang mencampuri urusan kami. Sekali ini aku tidak akan mengampunimu, Gu Hong Beng!”

Dan wanita ini kemudian menyambut Hong Beng dengan serangan dahsyat. Terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang musuh lama ini. Kini pertempuran terjadi lebih seru lagi. Bi-kwi yang sudah luka-luka itu kini dengan mati-matian melawan Toat-beng Kiam-ong yang semakin ganas memainkan pedangnya. Gu Hong Beng maju bertanding melawan Sin-kiam Mo-li dan Siangkoan Liong dikeroyok oleh Li Sian dan Ci Hwa.

Diam-diam Siangkoan Liong merasa khawatir melihat sepak terjang dua orang gadis itu. Walau pun kedua orang gadis itu tidak tahu bahwa keduanya mempunyai sebab yang sama yang membuat mereka mati-matian hendak mengadu nyawa dengan Siangkoan Liong, namun pemuda ini tentu saja tahu dan inilah yang membuat dia merasa tidak enak.

Tingkat kepandaiannya lebih tinggi dan biar pun kini Ci Hwa mengeroyoknya dia sama sekali tidak merasa takut karena dia tahu bahwa kepandaian gadis ini masih jauh untuk dapat menandinginya. Akan tetapi, kenekatan dua orang gadis yang hendak mengadu nyawa itulah yang membuat dia khawatir. Kalau dia mau, kiranya tidak sukar baginya untuk membunuh mereka. Akan tetapi, diam-diam pemuda ini masih merasa sayang sekali membunuh mereka. Apa lagi Li Sian. Dia ingin menangkap mereka hidup-hidup, kalau tidak mau diajak bersekutu juga mereka masih berguna untuk dijadikan hiburan hatinya, walau pun dengan paksaan!

Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring. “Gu Hong Beng, jangan takut aku datang membantumu membasmi gerombolan jahat ini!”

Dan muncullah seorang laki-laki yang gagah perkasa. Usianya kurang lebih dua puluh tujuh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka kehitaman, gagah perkasa bagai tokoh Thio Hwi dalam cerita Sam Kok. Begitu pemuda ini meloncat ke depan dan mencabut sebatang pedang, terdengar suara mengaung yang menyeramkan seolah-olah pedang itu dapat menggereng dan nampak sinar berkilauan menyilaukan mata.

“Kakak Cu Kun Tek...!” Hong Beng berseru gembira setelah mengenal orang itu. “Bagus sekali engkau datang! Mari kita basmi iblis-iblis ini!”

Akan tetapi sebelum Cu Kun Tek sempat membantu Hong Beng, tiba-tiba dari dalam muncul dua orang kakek yang bukan lain adalah Siangkoan Lohan dan seorang kakek tinggi kurus berpakaian siucai yang sikapnya halus dan memegang sebatang kipas yang dikebut-kebutkan tubuhnya. Dia bukan lain adalah Ouwyang Sianseng, guru Siangkoan Liong!

Tentu saja kemunculan Cu Kun Tek di tempat itu bukan merupakan suatu kebetulan. Seperti telah kita ketahui, Kun Tek bersahabat dengan Ciok Kim Bouw, ketua dari partai Cin-sa-pang. Ketika dia singgah di tempat kediaman Cin-sa-pangcu ini, dia mendengar akan usaha pemberontakan yang dilakukan oleh Tiat-liong-pang yang sudah bergabung dengan tokoh-tokoh sesat.

Andai pemberontakan itu murni, melawan pemerintah penjajah, tentu ketua Cin-sa-pang itu akan membantu dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, melihat betapa Tiat-liong-pang bersekutu dengan pemberontak-pemberontak kotor semacam Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan orang-orang seperti Sin-kiam Mo-li, tentu saja dia tidak sudi bekerja sama. Hampir saja ketua ini tewas di tangan Sin-kiam Mo-li kalau tidak tertolong oleh Sin Hong.

Dalam percakapan itulah Kun Tek mendengar akan gerakan ini dan tentu saja hatinya tergerak untuk menentang. Maka, dia pun segera berangkat ke utara untuk melakukan penyelidikan dan pada sore hari itu dia keluar menyelundup masuk ke perkampungan Tiat-liong-pang dan melihat perkelahian itu.

Ketika itu, Siangkoan Lohan sedang bercakap-cakap dengan tamunya, yaitu Ouwyang Sianseng, melanjutkan percakapan mereka bertiga tadi dengan Siangkoan Liong. Dua orang tua itu masih bercakap-cakap setelah pemuda itu meninggalkan ruangan dalam, terus mengatur siasat yang mulai digambarkan oleh Ouwyang Sianseng sebagai dalang pemberontakan. Saat bercakap-cakap itulah mereka mendengar keributan dan akhirnya mereka pun keluar, tepat pada saat Kun Tek muncul dan mencabut pedangnya.

Melihat pedang itu, Siangkoan Lohan terkejut sekali. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang ternama dan sudah banyak pengalaman, dia tentu saja pernah mendengar akan pedang pusaka di tangan pemuda itu.

“Ahhh, bukankah itu Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman)?” tanyanya sambil menggerakkan kedua kakinya.

Tubuhnya melayang ke depan Cu Kun Tek dan tangannya mendadak menyambar untuk merampas gagang pedang. Caranya merampas ini hebat sekali. Tangan kiri, dengan jari telunjuk dan jari tengah, meluncur menusuk ke arah kedua mata pemuda itu, sedangkan tangan kanannya cepat berusaha merampas pedang ini!

Cu Kun Tek ialah seorang pemuda gagah perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari ayah dan ibunya. Ayahnya, Cu Kang Bu, berjulukan Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati), seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) yang kuat seperti gajah, sedangkan ibunya adalah Yu Hwi, seorang pendekar wanita yang juga amat lihai. Maka, Cu Kun Tek yang telah mewarisi ilmu-ilmu mereka, tentu saja lihai sekali, apa lagi karena di tangannya terdapat Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka keluarganya yang amat ampuh.

Akan tetapi kini dia berhadapan dengan Siangkoan Lohan, ketua Tiat-liong-pang yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi darinya. Dari cara kakek itu menyerangnya, Kun Tek mengenal orang pandai, maka dia pun tidak berani memandang ringan.

“Hyaaaaattt...!”

Ia mengeluarkan seruan sambil meloncat ke belakang dan memutar pedangnya sebagai perisai. Menghadapi gulungan sinar pedang yang menyeramkan serta mengeluarkan suara mengaung bagaikan binatang buas itu, Siangkoan Lohan tentu saja tidak berani melanjutkan serangan kedua tangannya.

Ia menarik kembali dua lengannya dan ketika tangan kirinya bergerak ke arah pinggang, nampak sinar emas berkelebat dan tahu-tahu ketua Tiat-liong-pang itu telah mencabut sebatang hun-cwe (pipa tembakau) emas yang panjangnya sekitar tiga kaki! Emas itu hanya menghias di luarnya saja, dan di sebelah dalam, hun-cwe itu terbuat dari baja pilihan. Benda ini biasanya dia pakai untuk menghisap tembakau yang dibakar di ujung hun-cwe, akan tetapi juga merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya dari ketua Tiat-liong-pang itu.

Dengan sikap tenang Siangkoan Lohan lalu menudingkan hun-cwenya kepada Kun Tek. “Orang muda, apa hubunganmu dengan keluarga Cu yang tinggal di Lembah Gunung Naga Siluman?!” bentaknya.

Kun Tek maklum bahwa ia berhadapan dengan orang pandai, akan tetapi ia tidak tahu bahwa kakek ini adalah ketua Tiat-liong-pang yang diselidikinya. Akan tetapi, melihat bahwa kakek itu berada di situ, maka tentu saja dia menganggapnya sebagai musuh.

“Namaku Cu Kun Tek, keturunan langsung dari Lembah Naga Siluman...”

“Bagus!” Siangkoan Lohan memotong. “Benar dugaanku, pedang itu tentulah Koai-liong Po-kiam. Orang muda, serahkan pedang itu kepadaku, maka engkau akan kami terima sebagai seorang sahabat baik!”

“Simpan saja bujukanmu!” bentak Kun Tek. “Dan hentikan penyerangan terhadap kawan baikku Gu Hong Beng dan para wanita ini!”

“Bocah sombong, engkau memilih mampus agaknya!”

Siangkoan Lohan telah menyerang dengan hun-cwenya. Nampak sinar emas berkelebat di depan mata Kun Tek yang segera memutar pedangnya untuk melindungi dirinya. Mereka sudah saling serang dan dalam belasan jurus saja tahulah Kun Tek bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan tangguh.

Terutama sekali tendangan-tendangan yang dilakukan dua kaki kakek itu sungguh amat berbahaya karena tendangan itu selain kuat, juga cepat dan tidak terduga datangnya. Agaknya kakek ini adalah seorang ahli tendangan yang hebat. Juga tangan kiri kakek itu membuat gerakan cengkeraman dan tangkapan yang cukup berbahaya.

Untung bagi Kun Tek bahwa ia dilindungi oleh Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka yang agaknya membuat kakek itu agak jeri, bahkan tak pernah berani mengadu hun-cwenya dengan pedang. Tentu kakek itu sudah tahu akan keampuhan Koai-liong Po-kiam dan takut kalau hun-cwenya, akan patah sehingga dia akan terancam bahaya.

Sementara itu, para anak buah Tiat-liong-pang, dipimpin oleh Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dari Siangkoan Lohan, telah mengurung tempat itu dengan ketat. Melihat ini, diam-diam Kun Tek dan Hong Beng merasa khawatir. Tak mereka sangka bahwa pihak lawan mempunyai demikian banyak orang pandai, dan tempat itu telah dikepung ketat. Agaknya sukar bagi mereka untuk dapat meloloskan diri.

Mereka tidak tahu bahwa kekuatan yang dihimpun oleh Tiat-liong-pang memang besar dan sangat kuat. Kalau saja sebagian besar pembantu Siangkoan Lohan tidak sedang pergi melaksanakan tugas membujuk para tokoh kang-ouw membantu gerakan mereka, di sana berkumpul lebih banyak lagi orang pandai seperti para tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw.

Agaknya Ouwyang Sianseng yang menjadi tamu kehormatan merasa tak sabar melihat betapa pihak tuan rumah masih belum mampu menundukkan dua orang pemuda dan tiga orang wanita muda itu. Hal ini mengecewakan hatinya. Baru ada lima orang muda saja yang datang mengacau, agaknya sulit untuk menundukkan mereka, apa lagi kalau musuh-musuh yang lebih berat.

Dia pun melihat keraguan pada diri muridnya, yang agaknya tidak ingin membunuh atau melukai dua orang gadis cantik yang mengeroyoknya. Siangkoan Lohan sendiri terlihat jeri menghadapi pedang Koai-liong Po-kiam yang memang hebat bukan main itu. Dan tingkat kepandaian Toat-beng Kiam-ong hanya mampu membuat dia mendesak Bi-kwi, tanpa dapat merobohkan wanita yang sudah luka-luka itu.

“Hemmm, sungguh membosankan, biar kuselesaikan keributan ini...!” katanya, seperti kepada diri sendiri.

Dia mengembangkan kipasnya, kemudian dengan langkah lebar dia memasuki medan pertempuran. Gerakannya gesit dan ringan sekali. Mula-mula dia menghampiri muridnya yang dikeroyok oleh dua orang gadis karena perkelahian ini yang terdekat dengannya. Dua kali tangan yang memegang kipas itu mengebut.

Li Sian dan Ci Hwa yang sedang sibuk mengeroyok Siangkoan Liong dengan penuh dendam kebencian itu, gelagapan ketika ada serangkum angin menyambar ke muka mereka. Tiba-tiba saja kipas itu menutup dan dua kali digerakkan menotok tengkuk dua orang gadis itu. Mereka hanya mengeluarkan suara rintihan lirih dan tubuh mereka pun sudah terkulai dan roboh dengan lemas!

Dengan langkah-langkah aneh dan ringan sekali, kini Ouwyang Sianseng menghampiri Sin-kiam Mo-li yang masih berkelahi dengan amat sengitnya melawan Gu Hong Beng. Kini kipas itu ditutup dan serangkaian totokan menyerang ke arah sembilan jalan darah terpenting di tubuh Hong Beng.

Pemuda perkasa ini terkejut sekali. Menghadapi Sin-kiam Mo-li saja sudah merupakan lawan yang berat baginya, dan kini, muncul kakek yang luar biasa lihainya. Serangkaian serangan itu demikian cepatnya, tanpa mengeluarkan bunyi dan tahu-tahu dirinya telah diancam totokan-totokan aneh. Dia berusaha mengelak dan menangkis dengan sebelah pedangnya, sedangkan yang sebelah lagi masih dia pergunakan untuk menghadapi dua senjata Sin-kiam Mo-li.

Karena sebagian perhatiannya harus dikerahkan untuk menghadapi serangan Sin-kiam Mo-li, maka akhirnya dia tak mampu menghindarkan diri dari totokan gagang kipas yang mengenai pundaknya. Dia mengeluh dan terhuyung, kemudian sebuah totokan susulan membuat dia roboh terkulai, lemas tak berdaya sehingga kedua pedangnya pun terlepas dari tangan, jatuh berkerontangan di atas lantai.

“Biar kurampaskan pedangnya untukmu, Lohan,” kata Ouwyang Sianseng yang kini sudah meluncur ke arah perkelahian antara ketua Tiat-liong-pang yang masih dilawan dengan gigihnya oleh Cu Kun Tek.

Melihat berkelebatnya bayangan kakek yang memegang kipas itu di samping kirinya, Kun Tek yang sudah repot menghadapi desakan hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan, cepat mengelebatkan pedangnya ke kanan. Tapi Ouwyang Sianseng bukan mengelak, bahkan menyambut serangan pedang itu dengan totokan gagang kipasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan kanan yang memegang pedang.

Dalam sedetik saja pedang itu telah berpindah ke tangan Ouwyang Sianseng dan kini hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan menyambar dan menotok jalan darah di kedua pundak Kun Tek. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh pemuda yang tinggi besar dan kokoh kuat itu terkulai dan roboh.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah si Bangau Putih

KISAH SI BANGAU PUTIH (BAGIAN KE-13 SERIAL BU KEK SIANSU)