KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-32


Tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk menjawab, dia sudah menyerang lagi dengan hebatnya. Sin-kiam Mo-li terpaksa memutar Cui-beng-kiam untuk melindungi tubuhnya.

Melihat betapa Sin Hong seolah-olah tidak merasakan lukanya, hati Hong Li merasa tenang kembali walau pun dia masih amat khawatir. Tentu saja dia tidak tahu bahwa satu-satunya obat penawar racun Ban-tok-kiam memang hanya tanah itulah! Tentu saja hal ini tadinya menjadi rahasia penghuni Istana Gurun Pasir dan hanya diberi tahukan kepada Sin Hong sebagai murid terakhir mereka. Bahkan Kao Cin Liong sendiri tidak tahu akan hal ini!

Sementara itu, melihat betapa ayah mertuanya sudah menghadapi Ouwyang Sianseng dan Sin Hong sudah pula menyerang Sin-kiam Mo-li, Suma Ceng Liong lalu melompat ke depan menghadapi Siangkoan Liong. Dia tahu bahwa pemuda ini sangat lihai pula, dan kini memegang pedang Koai-liong-kiam, maka dari pada membiarkan seorang di antara para pendekar terancam bahaya kalau menghadapinya, ia pun sudah lebih dulu maju menantangnya.

“Siangkoan Liong, majulah dan mari kita tentukan siapa yang lebih unggul antara kita, dari pada engkau nanti bertindak curang seperti Ouwyang Sianseng yang melakukan pengeroyokan dan serangan gelap! Atau, jika engkau takut menghadapi aku, berlututlah agar kami menangkapmu sebagai pimpinan pemberontak dan menyerahkanmu kepada pemerintah!”

Tentu saja Siangkoan Liong yang berhati angkuh itu tidak sudi untuk menyerah. Tanpa banyak cakap lagi dia pun telah menerjang maju, menyerang Suma Ceng Liong dengan sengitnya. Pedang Koai-liong-kiam di tangannya diputar dengan cepat dan terdengarlah suara mengaung yang mengerikan, seolah-olah dari pedang itu keluar auman binatang buas dan pedang itu mengeluarkan sinar berkilauan.

Cu Kun Tek yang juga ikut nonton di situ merasa tidak enak sekali. Pedang yang berada di tangan pemuda itu adalah pedang pusaka keluarganya. Sepatutnya dia yang harus maju melawan Siangkoan Liong untuk merampas pedangnya kembali. Akan tetapi dia pun maklum betapa lihainya Siangkoan Liong dan bahwa kalau dia yang maju, kecil sekali harapannya pedang pusaka Koai-liong-kiam itu akan dapat dirampasnya kembali, bahkan bukan tidak mungkin dia sendiri akan roboh menjadi korban pedang pusaka milik keluarganya itu! Maka, melihat Suma Ceng Liong yang maju, dia pun diam saja, karena dia sudah tahu siapa adanya pendekar itu, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es!

Seperti juga Sin Hong yang menghadapi Sin-kiam Mo-li dengan tangan kosong, Suma Ceng Liong juga menghadapi Siangkoan Liong dengan tangan kosong pula!

Kini terjadilah pertempuran yang amat seru. Ouwyang Sianseng, seperti juga dua orang anak buahnya itu, maklum bahwa dia sudah terkurung dan terhimpit, maka satu-satunya jalan hanyalah melawan dengan nekat, kalau perlu mengadu nyawa dengan lawannya. Apa lagi yang dilawannya adalah Pendekar Suling Emas yang dia tahu amat tinggi ilmu kepandaiannya.

Sekali ini dia sama sekali tidak dapat mengandalkan ilmu silatnya, karena dia seolah-olah bertemu dengan gurunya! Dia kalah dalam segala hal, baik keaslian ilmu silat, kecepatan gerak mau pun kekuatan tenaga sakti. Satu-satunya yang diandalkan hanya kenekatannya. Maka dari itu dia pun menyerang dengan membabi buta, mengandalkan kenekatan dan kehebatan pedang Ban-tok-kiam.

Kakek Kam Hong maklum pula akan kelihaian lawan. Diam-diam dia merasa menyesal dan sayang sekali mengapa seorang laki-laki yang demikian pandai seperti Ouwyang Sianseng sampai terperosok ke dalam kehidupan sesat. Orang she Ouwyang ini selain tinggi ilmu silatnya, juga ahli pedang dan ahli dalam kesusastraan, memiliki kecerdikan pula.

Akan tetapi ternyata nafsu dan ambisinya jauh lebih besar dari semua hal itu sehingga menyeretnya untuk melakukan perbuatan sesat demi tercapainya keinginan hati untuk mengejar kesenangan. Dan dia tahu bahwa orang seperti ini memang berbahaya sekali jika dibiarkan berkeliaran. Tentu dia akan berusaha kembali untuk melakukan kegiatan pemberontakan pula, atau akan menghimpun orang-orang sesat lagi untuk mencapai ambisinya, yaitu kekuasaan dan kesenangan.

Biar pun sudah puluhan tahun lamanya pendekar sakti ini lebih banyak mengasingkan diri dan hidup tenteram, tidak pernah lagi membunuh orang, namun sekali ini terpaksa dia mengambil keputusan untuk menyingkirkan Ouwyang Sianseng, demi keamanan kehidupan banyak manusia yang tidak berdosa. Kalau orang she Ouwyang ini dapat bebas dan membuat keonaran, yang banyak menjadi korban adalah rakyat jelata yang tidak berdosa sama sekali. Berpikir demikian Kam Hong lalu mempercepat gerakannya dan mengerahkan sebagian besar tenaganya untuk mendesak lawan.

Ouwyang Sianseng yang semenjak tadi memang sudah mengeluarkan semua ilmunya namun selalu tak mampu mengimbangi permainan lawan, begitu didesak menjadi repot sekali. Sinar emas yang bergulung-gulung, yang diikuti suara melengking tinggi rendah seperti suling ditiup itu, amat mengacaukan pikirannya. Suara itu mengandung tenaga mukjijat yang membuat permainan pedangnya kacau dan suatu saat, kipasnya bertemu dengan kipas lawan.

“Desss...! Prakkk...!”

Kipas di tangan kiri Ouwyang Sianseng hancur berkeping-keping. Dia marah sekali dan pedang Ban-tok-kiam di tangannya segera berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mendirikan bulu roma karena mengandung hawa yang kuat, dingin dan menyeramkan.

Namun kakek Kam Hong yang sudah melindungi diri lahir batin dengan sinkang, tidak terpengaruh. Dia bahkan menggerakkan suling emasnya lebih cepat lagi. Kini gulungan sinar kuning emas itu berpusing sedemikian cepatnya, juga sinarnya panjang dan lebar.

Perlahan-lahan sinar kuning emas itu mulai menggulung dan melibat sinar hitam hingga pedang di tangan Ouwyang Sianseng itu kini hanya mampu bergerak dalam lingkungan gulungan sinar kuning emas! Ruang gerak pedang Ban-tok-kiam semakin lama semakin sempit, dan selagi Ouwyang Sianseng kerepotan setengah mati, gagang kipas di tangan kakek Kam Hong meluncur dan menotok pangkal tengkuknya.

“Tukkk...!”

Tubuh Ouwyang Sianseng terhuyung, lantas dia terpelanting jatuh. Separuh badannya yang sebelah kiri lumpuh tanpa mampu digerakkan. Sesudah melihat keadaan dirinya, pedang Ban-tok-kiam di tangan kanannya bergerak ke arah leher sendiri dan sebelum dapat dicegah, pedang itu telah membacok batang lehernya!

Anehnya, biar pun leher itu hampir setengahnya terbacok, hanya sedikit darah mengalir dan seketika, wajah mayat Ouwyang Sianseng menjadi menghitam dan perlahan-lahan warna hitam itu menjalar di seluruh tubuhnya. Itulah kehebatan racun Ban-tok-kiam!

Kakek Kam Hong mengambil pedang yang terlepas dari tangan Ouwyang Sianseng itu, mengamati pedang itu dan menggeleng-geleng kepala penuh kagum dan ngeri melihat kehebatan Ban-tok-kiam yang menjadi pusaka dari Istana Gurun Pasir itu.

Setelah melihat Ouwyang Sianseng roboh dan tewas, Sin-kiam Mo-li serta Siangkoan Liong merasa terkejut bukan main. Wajah mereka berubah pucat dan tentu saja nyali mereka menjadi kecil, semangat mereka terbang sebagian sehingga permainan pedang mereka menjadi kacau!

Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Hong untuk mendesak lawannya dan akhirnya dia berhasil ‘mematuk’ pergelangan tangan kanan Sin-kiam Mo-li dengan tangan kirinya yang membentuk moncong atau patuk burung bangau. Terkena patukan ini, seketika tangan kanan itu lumpuh dan di lain detik, Cui-beng-kiam sudah berpindah ke tangan kanan Sin Hong!

Nenek itu sungguh tidak tahu diri atau memang sudah mata gelap dan nekat. Biar pun kini dia bertangan kosong, dia masih nekat menubruk maju untuk menyerang Sin Hong dengan Hek-tok-ciang, yaitu pukulan yang lebih mirip cengkeraman dan mengandalkan kuku-kuku jari tangan yang mengandung racun!

“Cappp!”

Sin Hong menyambut dengan tusukan Cui-beng-kiam. Pedang itu hanya kurang lebih satu dim saja memasuki dada Sin-kiam Mo-li lalu dicabutnya, namun cukup membuat nenek itu terjengkang dan tewas seketika karena keampuhan pedang Cui-beng-kiam! Ia tewas tanpa sempat mengeluh lagi dan setelah tewas, wajahnya nampak jauh lebih tua dari pada ketika masih hidup. Hal ini adalah karena kecantikannya ketika masih hidup tidak wajar, mengandalkan polesan bedak dan gincu.

Siangkoan Liong semakin panik melihat robohnya Sin-kiam Mo-li. Agaknya dalam hati Suma Ceng Liong timbul perasaan ragu untuk merobohkan pemuda itu. Ia merasa tak pantas baginya yang tingkat, kedudukan mau pun usianya lebih tinggi dari pada lawan untuk menekan dan merobohkan lawannya. Bagaimana pun juga, dia menyayangkan kemudaan dan ketampanan Siangkoan Liong yang telah mempunyai kepandaian cukup tinggi itu.

Melihat sikap ini, Sin Hong dapat menyelami isi hati Suma Ceng Liong, maka dengan Cui-beng-kiam di tangan, dia melompat maju dan berkata dengan nyaring, “Locianpwe Suma Ceng Liong, harap suka memberikan Siangkoan Liong ini kepada saya!”

Lega hati Suma Ceng Liong melihat ada orang yang menggantikannya, apa lagi orang itu adalah Sin Hong yang dia ketahui kelihaiannya dan masih sama mudanya dengan Siangkoan Liong pula. Ia pun cepat meloncat ke belakang, membiarkan Sin Hong yang menghadapi Siangkoan Liong.

Kedua orang muda itu berdiri tegak, berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata tajam.

“Siangkoan Liong, selagi masih sempat kenanglah semua perbuatanmu yang penuh dosa!” kata Sin Hong dan dia membayangkan wajah Kwee Ci Hwa.

Siangkoan Liong tersenyum mengejek, “Tak ada perbuatanku yang pantas kusesalkan, Tan Sin Hong. Selama ini aku sudah berjuang untuk membebaskan negara dan bangsa dari cengkeraman penjajah, sebaliknya engkau menjadi anjing penjajah Mancu!”

Sin Hong memandang dengan mata mencorong. “Masih ingatkah apa yang telah kau lakukan terhadap mendiang Kwee Ci Hwa dan para wanita lain yang menjadi korban kebuasanmu?”

Ditegur seperti itu, wajah Siangkoan Liong berubah pucat, lalu menjadi merah sekali, merah karena malu dan marah. Ia melirik ke arah Li Sian yang memandang kepadanya dengan mata mencorong dan kedua tangan terkepal, dan tahulah dia bahwa tidak ada jalan keluar baginya.

“Sin Hong, tutup mulutmu dan mari kita bertanding seperti laki-laki sejati!”

“Hemmm, orang macam engkau masih hendak bicara tentang laki-laki sejati?”

Sin Hong terpaksa menghentikan kata-katanya karena nampak sinar pedang berkilauan meluncur dibarengi suara mengaum. Itulah Koai-liong Po-kiam yang sudah digerakkan oleh Siangkoan Liong untuk menyerangnya. Namun dengan tenang saja Sin Hong juga menggerakkan Cui-beng-kiam untuk menangkis dan dia pun membalas serangan lawan dengan tidak kalah dahsyatnya.

Terjadilah perkelahian tunggal yang seru dan mati-matian serta disaksikan oleh semua orang yang hadir di situ. Menghadapi Sin Hong, Siangkoan Liong juga tidak berdaya, karena seperti ketika menghadapi Suma Ceng Liong tadi, dia kalah segala-galanya.

Kalau tadi Suma Ceng Liong seperti mempermainkannya saja, dengan tangan kosong melawan dia yang bersenjata pedang pusaka, sekarang Sin Hong sama sekali tidak main-main, tidak mengalah, bahkan di tangan Sin Hong terdapat pedang yang tidak kalah ampuhnya dibandingkan Koai-liong-kiam! Maka, setelah lewat dua puluh jurus saja, Siangkoan Liong mulai terdesak hebat dan dia selalu main mundur, hanya mampu mengelak atau menangkis saja tanpa sempat membalas serangan sama sekali.

Sin Hong mendesak terus dan menggunakan Cui-beng-kiam untuk memainkan ilmu pedang Ban-tok-kiam-sut. Meski pun ilmu pedang ini biasa dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam, tapi dengan Cui-beng-kiam sekali pun Sin Hong dapat memainkan ilmu pedang itu dengan baik.

Siangkoan Liong berusaha untuk membela diri sebaik mungkin, namun di dalam suatu perkelahian, tidak mungkin orang hanya selalu menangkis dan mengelak terus tanpa mampu membalas serangan. Dan akhirnya, tanpa dapat dihindarkan lagi, ujung pedang Cui-beng-kiam melukai paha kanannya.

Seketika kaki kanan itu menjadi lumpuh dan seluruh tubuh terasa dingin sekali. Kaki itu pun membengkak dan Siangkoan Liong yang langsung melompat ke belakang melihat bahwa keadaan dirinya takkan mampu tertolong lagi. Dia pun menggerakkan Koai-long Po-kiam dan di lain saat, lehernya telah terbabat putus oleh pedang Koai-liong Po-kiam!

Kun Tek cepat menyambar pedang Koai-liong-kiam dari tangan Siangkoan Liong serta membawanya menjauh, sedangkan Sin Hong menarik napas panjang, lalu mengambil sarung pedang Cui-beng-kiam yang masih terselip di pinggang Sin-kiam Mo-li. Ketika Kam Hong menyerahkan Ban-tok-kiam kepadanya, Sin Hong lalu mengambil sarung pedang di punggung mayat Ouwyang Sianseng.

Setelah tiga orang tokoh pimpinan pemberontak ini tewas, selesai sudah pertempuran itu. Para pendekar tidak kembali ke sarang Tiat-liong-pang, di mana masih berlangsung pertempuran berat sebelah antara sisa pasukan kaum pemberontak melawan pasukan pemerintah.

Sebenarnya tiada seorang pun di antara para pendekar yang ingin membantu pasukan pemerintah. Jika tadi mereka menentang pemberontakan Tiat-liong-pang adalah karena Tiat-liong-pang bukan memberontak demi kepentingan bangsa, namun dengan pamrih untuk berkuasa. Dan selain itu, Tiat-liong-pang juga tidak segan-segan untuk bersekutu dengan para tokoh sesat.

Setelah kemenangan itu, para pendekar lalu berkumpul dan saling memperkenalkan diri, kemudian mereka saling berpisah untuk kembali ke tempat asal masing-masing.

Cu Kun Tek dapat membujuk Pouw Li Sian untuk ikut bersama dia pulang ke Lembah Naga Siluman di barat, di mana dia akan memperkenalkan Pouw Li Sian sebagai calon isterinya kepada orang tuanya. Pouw Li Sian yang sudah membalas cinta kasih yang tulus dari Kun Tek, yang tetap mencintanya walau pun ia sudah berterus terang bahwa dirinya sudah ternoda oleh Siangkoan Liong, kini menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pemuda yang tinggi besar dan gagah perkasa itu. Setelah kakak kandungnya yang merupakan sisa keluarganya terakhir tewas, gadis ini tidak mempunyai seorang pun anggota keluarga, hidup sebatang kara di dunia ini.

Suma Lian, Gu Hong Beng, Sin Hong dan Kao Hong Li melakukan perjalanan bersama ke Tapa-san untuk pergi ke tempat pertapaan Suma Ciang Bun, di mana Sin Hong menitipkan Yo Han.

Gu Hong Beng dan Suma Lian menghadap pendekar itu untuk melaporkan semua hasil pembasmian gerombolan sesat itu dan juga Hong Beng hendak minta dukungan gurunya untuk membicarakan urusan perjodohannya dengan Suma Lian, karena gadis itu kini agaknya tidak akan keberatan lagi terhadap ikatan perjodohan yang dahulu telah dipesankan mendiang nenek Teng Siang In.

Suma Ciang Bun gembira bukan main menyambut empat orang muda itu, mendengar akan hasil yang baik dari usaha para pendekar menumpas gerombolan pemberontak, terutama sekali mendengar permintaan Hong Beng agar dia suka membicarakan urusan perjodohan antara Hong Beng dan Suma Lian dengan orang tua gadis itu. Pada hari itu juga, Suma Ciang Bun pergi mengunjungi rumah adik sepupunya, yaitu Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an.

Yo Han yang kini dijemput oleh Sin Hong, juga merasa gembira walau pun dia juga menyesal harus berpisah dari Suma Ciang Bun yang bersikap amat baik kepadanya, bahkan telah mengajarkan dasar-dasar teori persilatan tinggi kepadanya. Sin Hong lalu mengajak Yo Han bersama dengan Kao Hong Li pergi berkunjung ke rumah gadis itu, yaitu rumah Kao Cin Liong ayah gadis itu di Pao-teng di sebelah selatan kota raja.....

********************

Kao Cin Liong dan isterinya juga menyambut pulangnya puteri mereka dengan gembira, apa lagi mendengar betapa para pendekar telah berhasil menumpas para tokoh sesat yang bersekutu dengan gerombolan pemberontak. Kao Cin Liong berterima kasih sekali kepada Sin Hong yang telah berhasil mendapatkan kembali kedua buah senjata pusaka itu, terutama Ban-tok-kiam yang memang menjadi pusaka ibunya. Pada saat Sin Hong menyerahkan kedua buah pedang pusaka itu, Kao Cin Liong hanya menerima pedang Ban-tok-kiam saja.

“Biarlah kami menyimpan Ban-tok-kiam sebagai peninggalan ibuku,” katanya kepada Sin Hong, “Engkau boleh menyimpan Cui-beng-kiam itu, Sute, karena pusaka itu adalah milik mendiang locianpwe Tiong Khi Hwesio yang menjadi suhu-mu pula.”

Sin Hong menghaturkan rasa terima kasihnya kepada Kao Cin Liong, kemudian dia pun berpamit dari keluarga itu. Walau pun sudah berusaha, Kao Cin Liong dan Suma Hui, isterinya, tidak berhasil menahannya.

Sin Hong menggandeng tangan Yo Han, mengajaknya keluar dari rumah pendekar Kao Cin Liong yang masih terhitung suheng-nya itu. Ketika tiba di luar, di pekarangan rumah itu, dia mendengar langkah kaki ringan dan dia menoleh.

Kao Hong Li berdiri di depannya dan dia melihat betapa kedua mata gadis itu basah oleh air mata dan agak kemerahan, tanda bahwa gadis itu menahan-nahan tangisnya. Dia pun menatap tajam, diam-diam dia menyelidiki isi hati gadis itu dan Sin Hong dapat merasakan getaran yang sama mendebarkan jantungnya ketika pandang mata mereka saling bertemu dan bertaut.

“Kau... kau… hendak pergi… Su... siok?” Suara Hong Li lirih dan gemetar.

Sin Hong menarik napas panjang untuk menenteramkan hatinya yang terguncang, lalu dia mengangguk. “Benar, Hong Li. Aku harus pergi bersama Yo Han karena akulah yang bertanggung jawab atas anak ini dan harus mendidiknya.”

“Tapi... engkau akan pergi ke manakah?” Gadis ini tahu benar bahwa keadaan Sin Hong tiada bedanya dengan Yo Han, yaitu sebatang kara, tiada seorang pun keluarga, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap!

Ditanya demikian, Sin Hong tersenyum, senyum bebas, seperti bebasnya hatinya sebab dia sama sekali tidak memikirkan hal itu, sama sekali tidak merasa khawatir.

“Ke mana sajalah, Hong Li. Bukankah dunia ini cukup luas dan amat indahnya? Kami berdua akan menyongsong matahari pagi yang muncul dari timur, kemudian mengikuti tenggelamnya matahari senja di barat, atau menempuh semilirnya angin dari utara atau selatan.”

“Tapi... tapi engkau tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Bagaimana jika engkau... dan Yo Han tinggal saja di sini? Akan kuminta kepada ayah dan ibuku untuk dapat menerima kalian...”

Diam-diam Sin Hong merasa terharu. Dia pun merasa betapa sangat menggirangkan hatinya dan betapa ingin dia menyambut penawaran itu dengan baik, betapa ingin dia dapat tinggal terus berdekatan dengan gadis yang gagah perkasa ini. Akan tetapi tidak mungkin! Betapa dia akan merasa rendah diri! Menumpang tinggal di situ, makan dan segala keperluannya bersandar pada keluarga Kao. Dan dia masih membawa seorang murid lagi!

“Terima kasih, Hong Li. Engkau... sungguh baik sekali. Percayalah, aku akan merasa berbahagia sekali kalau tinggal di sini. Akan tetapi, bagaimana mungkin? Aku seorang laki-laki, dan aku bahkan memiliki seorang murid, aku tentu akan merasa rendah diri. Biarlah aku merantau dulu, mencari pengalaman hidup, mencari kedudukan yang cukup pantas agar aku dapat mempunyai tempat tinggal yang tetap...“

“Tapi... tapi... kapankah kita dapat saling bertemu kembali, Susiok? Dan ke mana aku harus mencarimu kalau... kalau aku ingin mengunjungimu?” Dalam suara ini terkandung tangis yang ditahan-tahan sehingga Yo Han sendiri yang baru berusia tujuh tahun itu sudah dapat merasakannya.

Jika Yo Han yang sekecil itu sudah dapat mengerti akan perasaan Hong Li, tentu saja Sin Hong pun bisa merasakan isi hati gadis itu melalui getaran-getaran yang terkandung di balik ucapan dan isak tangis yang tertahan itu. Namun pemuda ini segera sadar dan ingat akan keadaan dirinya, karena itu dia hanya menjawab sesuai keadaannya itu pula.

“Terus terang saja, sampai saat ini aku belum tahu ke mana aku akan pergi bersama Yo Han. Akan tetapi, di bumi yang begitu lebar ini, aku tidak percaya kalau kami sampai tak kebagian tempat untuk dapat sekedar berpijak dan berteduh. Kami akan pergi ke mana pun kaki ini ingin melangkah, Hong Li…”

“Ahh, Susiok…, lalu kapan… kapan kita akan bertemu lagi?” Hong Li bertanya di tengah air matanya yang kini mulai dibiarkannya turun.

Gadis ini sudah tahu bahwa saat perpisahan telah diambang waktu. Karena itu tanpa malu-malu lagi dia melepaskan tangisnya di depan Sin Hong, sebab dia memang tidak akan mampu lagi menahan air mata itu lebih lama.

“Entahlah, Hong Li… entahlah…”

Itulah kata-kata terakhir yang terdengar oleh Hong Li, kata-kata yang keluar dari bibir Sin Hong dengan lirih sekali, sebab setelah itu Sin Hong menggandeng tangan Yo Han dan berlalu dengan langkah gontai, tanpa tahu tujuan perginya.....

********************

Sambil tetap menggandeng tangan Yo Han, Sin Hong terus melangkah tanpa menoleh sampai mereka keluar dari Pao-teng. Pemuda ini tidak ingin melihat cucuran air mata di pipi murid keponakannya yang nampak penuh duka. Tanpa perlu sepatah kata pun, dia sudah mengerti isi hati puteri suheng-nya itu.

“Ahh, langkah kita berbeda dan jalan kita pun tak sama…, tidak mungkin kita bisa sama-sama melangkah beriringan….,” bisik hatinya.

Sin Hong benar-benar berjalan tanpa tujuan dan hanya menurutkan kemauan kakinya melangkah saja, yang penting baginya adalah meninggalkan Pao-teng secepatnya. Yo Han berjalan mengikuti suhu-nya, mengiringi sedikit di belakangnya sebab begitu keluar dari batas dusun Pao-teng tangannya sudah dilepaskan oleh Sin Hong. Karena itulah, dan disebabkan pula pemuda ini sudah terbiasa berkelana seorang diri, maka Sin Hong tidak menyadari lagi akan keberadaan Yo Han. Pikirannya mengembara mengenangkan dua wajah yang sama cantik jelita.

Pertama terbayang di benaknya wajah Suma Lian, puteri dari Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng. Selama hidupnya dapat dikatakan bahwa dara lincah jenaka ini merupakan gadis pertama yang dekat dengannya. Sekian lama mereka melakukan perjalanan bersama, bercakap-cakap dan saling bersenda gurau, sehingga hubungan keduanya sudah bagaikan sahabat lama.

Lalu muncul wajah gadis yang kedua, wajah Kao Hong Li yang cantik manis dan gagah perkasa, puteri dari Kao Cin Liong dengan Suma Hui. Walau pun dia mengenal gadis itu belum sedekat seperti dengan Suma Lian, namun secara hubungan justru Hong Li lebih dekat dengannya. Dara ini adalah puteri suheng-nya, cucu dari dua di antara tiga orang gurunya, atau dengan kata lain murid keponakannya sendiri.

Alangkah mudah bagi dirinya untuk jatuh cinta kepada salah satu di antara dua gadis itu. Keduanya sama cantik jelita dan berwatak gagah, sama memperlakukannya dengan sangat baik dan manis budi, juga sama-sama keturunan pendekar sakti paling terkenal pada jamannya, yang satu keturunan Pulau Es, yang satunya lagi bahkan keturunan Istana Gurun Pasir, tempat di mana dia mempelajari semua kepandaiannya.

Lalu dia membandingkan dengan dirinya sendiri yang hanya seorang pemuda yatim piatu, bahkan sebatang kara sama sekali, tanpa sanak tiada saudara, hanya putera dari seorang piauwsu yang tak terkenal, dan sekarang hidup berkelana tanpa memiliki apa pun. Ahhh…

Apa lagi sudah jelas bahwa sejak kecil Suma Lian sudah ditunangkan, telah dijodohkan oleh neneknya dengan Gu Hong Beng, suheng-nya sendiri, seorang pendekar tampan yang gagah perkasa. Keadaan Hong Li bahkan lebih parah lagi. Dara ini adalah puteri dari suheng-nya, cucu dari dua di antara guru-gurunya di Istana Gurun Pasir, yang berarti masih terhitung sebagai murid keponakannya sendiri!

“Suhu, kita hendak ke mana?” Yo Han yang berjalan di belakangnya, tiba-tiba bertanya.

Suara anak itu menyeret Sin Hong kembali ke alam nyata.

“Ehhh… ohhh… ke… luar kota!” katanya agak gagap karena pertanyaan itu demikian tiba-tiba. “Kita merantau kemana pun kaki kita membawa kita, Yo Han. Aku tak memiliki tempat tinggal tetap, aku miskin tiada rumah tiada harta, tidak ada pekerjaan. Apakah engkau berani ikut dengan aku dalam keadaan tidak punya apa-apa begini, menempuh kehidupan yang melarat dan sukar?”

“Mengapa tidak berani, Suhu? Kalau Suhu berani, aku pun berani!” jawabnya dengan gagah dan Sin Hong tersenyum. Mereka melanjutkan perjalanan, kini keluar dari dusun itu menuju ke selatan, sampai lama tidak berkata-kata.

“Suhu, kenapa Suhu menolak ajakan enci Hong Li tadi? Ia baik sekali dan ia pun amat sayang kepada Suhu.”

Sin Hong terkejut dan menghentikan langkahnya, menunduk dan menatap wajah anak itu. Wajah yang tampan dan sinar mata itu demikian gagah, juga terbuka.

“Yo Han, bagaimana engkau tahu bahwa ia sayang kepadaku?”

“Jelas sekali, Suhu. Ia menangis ketika berpisah, itu tandanya cinta, tandanya berat untuk berpisah. Kenapa Suhu tidak mau menerima ajakannya dan tinggal saja di sana sehingga Suhu selalu dapat dekat dengan enci Hong Li?”

Sin Hong mengerutkan alisnya. “Hemm, apakah engkau ingin tinggal di sana?”

Yo Han menggeleng kepala. “Aku bicara untuk Suhu. Aku sendiri, aku akan tinggal di mana pun menurut perintah Suhu, dan sebaiknya kalau aku tinggal bersama Suhu.”

“Tidur di dalam hutan? Di bawah pohon? Di alam terbuka?”

“Biar di bawah jembatan pun aku suka, asal bersama Suhu.”

Sin Hong tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, anak baik. Kalau begitu mari kita songsong hidup baru! Tinggalkan semua kehidupan lama, lupakan semua masa lalu! Hatiku menjadi semakin besar dan tabah karena ada engkau di sampingku! Hayo kita hadapi segala tantangan dan rintangan dalam hidup ini, muridku!”

“Baik, Suhu, teecu (murid) siap!” berkata Yo Han dan keduanya melanjutkan perjalanan, melangkah dengan tegap dan dengan wajah cerah memandang jauh ke depan!

Setelah tiba di tempat sunyi, Sin Hong menyuruh muridnya berhenti. “Kita berhenti sebentar di sini. Duduklah, Yo Han, ada sesuatu yang akan kukatakan kepadamu.”

Melihat sikap suhu-nya yang serius, Yo Han lalu duduk di atas rumput di bawah pohon, sedangkan Sin Hong ikut duduk di atas akar pohon itu. Sejenak dia memandang wajah muridnya, hatinya penuh rasa iba. Dia telah mengambil keputusan untuk menceritakan semuanya kepada anak ini supaya dia tidak perlu menyimpan rahasia lagi. Dia percaya seorang anak seperti Yo Han akan mampu menerima keadaan yang bagaimana pahit pun.

“Yo Han, engkau tahu, untuk apakah engkau menjadi muridku dan hendak mempelajari ilmu silat?”

“Untuk menjadi seorang yang gagah, seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, Suhu.”

“Hemm, tahukah engkau bahwa seorang gagah pertama-tama harus bisa mengalahkan kelemahan hati sendiri? Bahwa seorang gagah berani menghadapi segala hal sulit, dan tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam duka dan putus asa?”

Anak itu mengangguk, matanya yang jeli dan tajam memandang wajah gurunya penuh selidik. “Aku tahu, Suhu. Agaknya Suhu akan bicara mengenai ayah dan ibuku! Apakah mereka telah tewas?”

Bukan main anak ini, pikir Sin Hong. Cerdik bukan main! Dia pun mengangguk. “Mereka tewas sebagai pendekar-pendekar perkasa, muridku!”

Dengan singkat dia menceritakan betapa ayah dan ibu anak itu tewas di tangan para pimpinan pemberontak dan betapa para pembunuh itu pun kini telah terbasmi habis. Setelah dia selesai bercerita, dia melihat betapa wajah anak itu merah sekali dan kedua matanya mencorong.

“Muridku, seorang pendekar memang tidak seharusnya hanyut dalam kedukaan, akan tetapi melepaskan perasaan duka melalui tangis tidak dilarang!”

Baru saja Sin Hong berkata demikian, Yo Han menubruk kaki gurunya dan menangis tersedu-sedu. Sin Hong membiarkannya saja, hanya mengelus kepala muridnya sambil tersenyum. Tidak lama kemudian, dia sudah membimbing tangan muridnya dan mereka melanjutkan perjalanan tanpa berkata-kata.

Pada suatu hari, Sin Hong dan Yo Han memasuki sebuah kota di Propinsi An-hui. Kota ini adalah kota Lu-jiang. Sebuah telaga kecil berada di dekat kota ini, dan sebuah sungai mengalir menuju ke selatan di mana sungai itu akan menumpahkan airnya ke dalam Sungai Yang-ce yang besar.

Sin Hong tertarik melihat keindahan pemandangan di luar kota ini, di daerah perbukitan yang merupakan bagian terbelakang dari perbukitan lembah Sungai Yang-ce. Apa lagi ketika melihat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi, sebuah kuil yang berdiri di atas bukit kecil di luar kota Lujiang, dengan sebuah menara kecil tinggi. Dia merasa tertarik dan mengambil keputusan untuk berhenti di tempat itu untuk beberapa lamanya. Kadang-kadang ia membutuhkan tempat yang baik untuk memberi pendidikan dan pelajaran ilmu silat kepada muridnya.

Selama perantauannya bersama Yo Han, hari, pekan dan bulan lewat dengan cepat sekali dan tahu-tahu kini Yo Han sudah berumur kurang lebih sembilan tahun. Sudah hampir dua tahun mereka merantau dan belum juga dia memperoleh sebuah tempat yang dianggap cukup menyenangkan untuk dijadikan tempat tinggal dan belum juga dia dapat memutuskan pekerjaan apakah yang akan dilakukan.

Karena dia bukanlah orang yang memiliki banyak uang, maka mereka harus berhemat. Ada kalanya mereka bekerja membantu di kuil-kuil hanya sekedar mendapatkan makan, dan bahkan pakaian mereka pun sudah mulai ditambal-tambal!

Sin Hong membiarkan keadaan mereka seperti itu sebab hal ini merupakan gemblengan batin bagi muridnya, dan ternyata Yo Han sama sekali tidak pernah mengeluh, biar pun pakaiannya sudah bertambal-tambal dan kadang-kadang Sin Hong sengaja mengajak muridnya itu makan sehari sekali saja, bahkan pernah mereka berpuasa sampai dua hari dua malam! Melihat sikap Yo Han yang tabah, tak pernah mengeluh, hati Sin Hong merasa semakin suka kepada anak itu.

Mereka memasuki kuil tua dan memilih tempat yang tidak bocor dan tidak begitu kotor, di ruangan samping kiri. Tanpa diperintah Yo Han kemudian membersihkan tempat itu, menyapu dengan daun-daun kering dan mengumpulkan jerami untuk menjadi tilam agar lantai itu tidak terlalu lembab untuk diduduki atau pun ditiduri.

Sin Hong mengeluarkan beberapa potong uang kecil dan menyerahkan uang itu kepada muridnya. “Yo Han, pergilah ke kota dan beli makanan serta sedikit arak.”

“Baik, Suhu, akan tetapi teecu (murid) hendak membuat api unggun dan memasak air lebih dulu untuk dibuat air teh. Bukankah Suhu sudah merasa haus?”

Sin Hong tersenyum. Sama sekali tidak rugi mempunyai seorang murid seperti Yo Han. Anak itu selalu memperhatikan keperluannya dan amat berbakti kepadanya. Tak pernah sedikit pun dia merasa bahwa kehadiran Yo Han dalam kehidupannya menjadi beban. Bahkan sebaliknya, dalam diri anak itu dia menemukan seorang murid, seorang kawan, seorang pembantu, bahkan seorang penghibur sebab anak itu amat pandai memancing kegembiraannya.

Yo Han lincah dan kadang-kadang jenaka dan nakal, akan tetapi tak pernah membikin marah dan selalu siap melayani gurunya.

“Biarlah aku sendiri yang akan membuat air teh, Yo Han. Sejak kemarin engkau belum makan, tentu sudah lapar. Belilah roti kering dan dendeng, seguci kecil arak dan kalau engkau ingin membeli buah-buahan segar untukmu, belilah. Boleh kau habiskan uang itu membeli makanan.”

Yo Han mengangguk dan mengantungi beberapa keping uang itu, lalu berpamit dan pergilah dia dengan cepat, setengah berlari, menuju ke kota yang temboknya sudah nampak dari sana. Kuil itu berada di atas bukit kecil dan dari sana dapat nampak kota Lu-jiang. Sin Hong mengikuti muridnya dengan pandang matanya sambil tersenyum.

Yo Han tentu saja merasa lapar. Sejak kemarin siang dia belum makan, hanya minum air sumber saja karena suhu-nya mengajak dia berjalan terus. Dia bukan anak bodoh. Dia tahu bahwa suhu-nya amat sayang padanya dan bahwa suhu-nya adalah seorang pendekar yang budiman. Jika suhu-nya membiarkan dia kurang makan, bahkan kadang-kadang berpuasa, hal itu bukan karena gurunya itu hendak menganiayanya.

Suhu-nya sendiri pun sama-sama tidak makan, dan dia tahu bahwa suhu-nya menahan lapar hanya untuk kepentingannya! Untuk menggemblengnya! Maka dia merasa makin berterima kasih kepada gurunya itu, satu-satunya orang di dunia ini yang baik padanya, pengganti ayah ibunya, pengganti keluarganya!

Mengingat kebaikan gurunya ini, hatinya menjadi gembira dan dia berloncatan menuju ke kota, membayangkan apa yang akan dibelinya. Dia sama sekali tidak mengingat akan kesukaan dirinya sendiri. Tidak! Dia akan membeli roti kering dan dendeng serta arak, kemudian sisa uang itu akan dibelikan buah jeruk yang manis, kesukaan gurunya!

Ketika berloncatan dan berlarian, dia melihat tiga orang anak yang usianya sebaya atau hanya lebih tua dua tiga tahun darinya sedang bermain-main di tepi jalan. Dia tidak memperhatikan karena dia sedang melamun tentang apa yang akan dibelinya untuk menyenangkan hati gurunya dan baru dia terkejut bukan main ketika terdengar suara anjing menyalak dan seekor anjing berbulu putih telah menggigit kakinya!

Yo Han sudah mulai dilatih oleh gurunya, berlatih kuda-kuda, pengerahan tenaga, dan langkah-langkah kaki yang menjadi dasar ilmu silat. Sekarang ketika dia merasa betapa kakinya menjadi sasaran moncong anjing yang terbuka, dia cepat menarik kaki kiri yang hendak digigit, lalu kaki kanannya menendang ke arah perut anjing yang tidak berapa besar itu.

“Hukkk! Kaing... kaing...!”

Anjing itu terlempar bergulingan dan menguik-nguik kesakitan. Saat itu barulah Yo Han tahu bahwa yang ditendangnya itu hanyalah seekor anak anjing yang bulunya putih dan bagus sekali!

“Keparat kejam! Kau kurang ajar sekali, berani menendang anjing kesayangan kami yang tidak bersalah!”

Yo Han menengok dan ternyata tiga orang anak laki-laki yang tadi bermain-main di tepi jalan, kini sudah berdiri menghadapinya dengan sikap marah sekali. Kiranya anjing itu milik mereka, pikirnya dengan hati menyesal.

“Tapi... tapi... ia tadi akan menggigit kakiku...,“ dia membela diri.

“Menggigit? Huh, anak anjing kecil itu hanya mengajakmu bermain-main. Ia tak pernah menggigit, kalau menggigit pun hanya main-main, tidak sakit. Akan tetapi dengan kejam engkau telah menendangnya!” kata seorang di antara mereka yang terkecil, yang kini telah memondong anjing yang kelihatan ketakutan itu sambil mengelus-elus kepalanya dengan penuh kasih sayang. Yo Han merasa semakin menyesal.

“Maaf... aku... aku tadi terkejut sekali, melihat ada anjing hendak menggigit kakiku sambil menyalak, aku tidak melihat bahwa anjing itu hanya anak anjing. Karena kaget aku lalu menendangnya. Maafkanlah aku.”

Dia teringat akan nasehat gurunya bahwa kalau dia melakukan suatu kesalahan, biar terhadap seorang anak kecil sekali pun, dia harus berani menyatakan penyesalannya dan minta maaf.

“Enak saja minta maaf! Apakah kalau sudah minta maaf, anjing kami itu lalu sudah tidak merasa nyeri lagi oleh tendanganmu tadi? Huh, engkau tentu anak jembel yang datang dari luar kota maka tidak mengenal kami dan berani berbuat kurang ajar!” seorang di antara mereka yang paling besar membentak sambil bertolak pinggang, usianya kurang lebih dua belas tahun.

Kini, Yo Han melihat bahwa tiga orang anak itu bersikap gagah dan pakaian mereka ringkas seperti pakaian yang biasa dipergunakan untuk berlatih silat. Kembali Yo Han meminta maaf, sekali ini dia merangkap kedua tangan di depan dada untuk memberi hormat.

“Saya merasa bersalah dan saya menyesal sekali sudah lengah dan terburu nafsu, menendang anjing kecil yang tidak bersalah itu. Harap kalian suka memaafkan saya.” Dia mengatur kata-katanya dengan sopan dan merendahkan diri.

“Orang yang melakukan kesalahan harus dihukum!” bentak orang ke dua yang usianya sebaya dengan Yo Han. “Kau layak dipukul!”

Yo Han menarik napas panjang. Nasib, pikirnya. Akan tetapi, semua nasehat gurunya masih bergema di telinganya, maka dia pun mengangguk dan pasrah.

“Kalau kalian masih merasa penasaran dan sakit hati, nah, tamparlah mukaku sebagai hukuman atas kesalahanku menendang anjing kalian tadi. Silakan!” Dia memanjangkan leher, memberikan mukanya untuk ditampar.

“Bagus kalau kau tahu diri! Memang kami ingin memukulmu!” kata anak terbesar. “Mari, Sute, kita hajar anak jembel ini sampai dia bertobat!”

Yo Han yang sudah mengambil keputusan untuk menyerahkan mukanya untuk ditampar sebagai penebus kesalahannya, memejamkan kedua matanya dan bersiap menerima tamparan yang bagaimana keras pun pada mukanya.

“Plakkk! Dukkk! Desss...!”

Tubuh Yo Han terpelanting ke atas tanah dan dia membuka mata, menggoyang-goyang kepalanya yang terasa pening, mengelus dada dan perut. Dia tidak hanya mendapatkan satu kali tamparan, akan tetapi juga dadanya dipukul dan perutnya ditendang!

Yo Han merasa penasaran sekali. Mereka itu sangat keterlaluan, pikirnya. Sekali maju tiga orang menyerangnya dan memukul dengan keras, sungguh tidak sepadan dengan kesalahannya tadi. Akan tetapi karena teringat akan kesalahannya, dia pun menahan kemarahannya dan mengusap bibirnya yang berdarah karena ujung bibir itu pecah terkena tamparan yang amat keras, lalu dia bangkit berdiri.

“Aku sudah menerima hukuman. Kesalahanku sudah terbayar lunas sekarang,” katanya.

Dia hendak melanjutkan perjalanannya ke kota untuk membeli makanan dan minuman seperti yang dipesan gurunya. Akan tetapi tiba-tiba anak terbesar menarik bajunya, di sentakkan ke belakang sehingga Yo Han hampir jatuh.

“Hemmm, kau hendak lari ke mana? Tak boleh pergi sebelum kami selesai denganmu!”

Sepasang alis Yo Han yang hitam dan tebal itu berkerut, sepasang mata itu mencorong penuh selidik ketika Yo Han menatap wajah anak laki-laki yang tubuhnya gempal itu. “Bukankah kalian sudah memukul aku sebagai hukuman atas kesalahanku? Kalian mau apa lagi dan mengapa menahan aku?”

“Kesalahanmu ada dua macam. Pertama, engkau menendang anjing kami dan untuk itu memang kami tadi sudah menghukum kamu dengan pukulan. Akan tetapi kesalahan kedua belum lunas, dan harus dibayar sekarang.”

“Kesalahan yang mana lagi?” Yo Han bertanya penasaran.

“Engkau tak menghargai kami, tidak menghormati kami. Ketahuilah bahwa kami adalah murid-murid Ngo-heng Bu-koan, dan kau sudah bersikap kurang ajar kepada kami. Inilah kesalahanmu ke dua dan untuk ini, engkau harus berlutut dan menyebut kami tuan-tuan muda dan minta maaf atas sikapmu yang kurang ajar itu.”

Wajah Yo Han berubah merah. Suhu-nya selalu menekankan bahwa dia harus rendah hati dan mengalah, akan tetapi tidak boleh rendah diri dan pengecut. Tiga orang anak ini jelas hendak menghinanya dan kalau dia mentaati perintah mereka, berlutut minta maaf, berarti dia rendah diri dan penakut. Mereka itu sewenang-wenang dan sombong, maka tidak perlu dihormati, bahkan layak kalau ditentang.

“Aku tidak mengenal siapa kalian, dan andai kata sudah mengenal sekali pun, aku tak biasa menjilat orang yang kedudukannya lebih tinggi. Aku tak merasa bersalah dengan sikapku, maka sudahlah, aku masih banyak urusan dan harus pergi sehingga tak dapat melayani kalian lebih lama lagi!” Berkata demikian Yo Han lalu membalikkan tubuh dan hendak pergi.

“Jembel sombong! Engkau memang harus dipukul sampai setengah mati baru tahu rasa!” bentak anak terbesar.

Yo Han maklum bahwa dirinya diserang. Dia membalik dan mencoba untuk mengelak, akan tetapi pukulan anak itu cepat dan tepat. Elakannya kurang cepat dan pundaknya kena tonjokan yang membuat tubuhnya terjengkang! Akan tetapi kali ini Yo Han sudah marah sekali. Dia cepat meloncat bangun dan melihat seorang di antara mereka sudah menerjangnya lagi, dia pun menyambut dengan tendangan.

“Uukkk!”

Anak itu kena ditendang pahanya dan terpelanting. Dua orang kawannya segera maju mengeroyok dan anak yang tertendang itu pun sudah bangkit lagi dan ikut mengeroyok.

Yo Han dikeroyok tiga! Kasihan anak ini. Tiga orang lawannya sudah pandai bermain silat, sedangkan dia baru mempelajari langkah-langkah dasar saja. Melawan mereka satu lawan satu saja belum tentu dia bisa menang, apa lagi dikeroyok tiga. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangan mereka.

Akan tetapi Yo Han memiliki keberanian luar biasa dan tahan uji benar-benar. Biar pun sudah puluhan kali dia jatuh bangun, tubuhnya memar dan babak belur, pakaiannya robek-robek, dia tidak pernah mengeluarkan keluhan dan setiap kali jatuh, dia bangun kembali, meloncat dan melawan lagi mati-matian!

Hal ini membuat ketiga orang lawannya menjadi bingung dan sedikit gentar. Mereka mengira bahwa dengan beberapa kali dirobohkan saja, anak jembel itu akan berlutut minta ampun. Akan tetapi siapa kira, sudah puluhan kali jatuh, anak itu tetap melawan. Apa lagi minta ampun, mengeluh pun tidak pernah!

Karena gentar, mereka agak lengah dan begitu Yo Han berhasil mencengkeram dan menjambak rambut seorang di antara mereka, dia membanting anak itu, menggumulnya dengan kedua tangan menjambak rambut dan dia membentur-benturkan kepala anak itu di atas tanah! Dia tidak peduli akan pukulan bertubi-tubi yang dilakukan dua orang anak lain pada tubuhnya. Ia tetap menunggangi anak yang dijambaknya, dan kepalanya terus dibentur-benturkannya di atas tanah.

Tiba-tiba anak terbesar menolong sute-nya dengan merangkul leher Yo Han dengan lengannya dan menjepitnya. Karena lehernya terjepit dan dia tidak dapat bernapas, Yo Han gelagapan dan terpaksa melepaskan anak yang dijambaknya tadi. Anak itu sudah mulai menangis dan daun telinganya robek dan berdarah.

Yo Han meronta-ronta, lalu berhasil membalikkan kepalanya, lalu dia membuka mulut dan menggigit pergelangan tangan anak yang memitingnya! Digigitnya sekuat tenaga. Mulutnya merasakan darah yang asin, gigitannya semakin kuat dan anak terbesar itu berteriak-teriak, mengaduh kesakitan. Gigitan Yo Han baru terlepas sesudah anak yang ketiga menghantam pelipisnya sehingga membuatnya pening.

Anak yang digigit pergelangan tangannya tadi meloncat bangun dan menangis sambil memegang lengan yang tadi digigit. Tangisnya bukan hanya karena rasa nyeri, tetapi karena khawatir melihat betapa dari pergelangan tangan yang tergigit itu bercucuran darah yang banyak sekali! Dua orang sute-nya juga bingung dan takut, lalu mereka bertiga melarikan diri ke kota, diikuti anjing bulu putih.

Yo Han berusaha membereskan pakaiannya, akan tetapi tidak dapat dibereskan lagi karena pakaian yang tua itu memang sudah compang-camping, maka akhirnya dia hanya mengebut-ngebutkan bagian yang kotor oleh tanah dan debu saja.

Akan tetapi, tiba-tiba wajahnya berubah agak khawatir ketika tangannya merogoh saku baju dan tidak menemukan beberapa keping uang kecil pemberian gurunya! Kantung itu telah robek dan uangnya entah jatuh ke mana. Dia mulai mencari-cari di sekitar tempat itu, namun sia-sia. Karena tidak berhasil menemukan uang itu, akhirnya terpaksa dia kembali ke bukit di mana suhu-nya menanti di kuil tua.

Sin Hong sedang membuat minuman teh ketika melihat munculnya Yo Han. Dia merasa heran karena alangkah cepatnya anak itu kembali. Akan tetapi keheranannya berubah menjadi kekagetan melihat anak itu tidak membawa apa-apa, pakaiannya robek-robek dan mukanya penuh benjolan biru, tubuhnya babak-belur.

Akan tetapi, Sin Hong tetap bersikap tenang-tenang saja ketika dia bertanya, “Yo Han, apakah yang telah terjadi denganmu?”

Yo Han duduk di atas lantai, tepat di hadapan gurunya. “Maaf, Suhu, uang pemberian Suhu hilang sehingga teecu tidak dapat membeli apa-apa.”

“Hemmm, dan pakaianmu robek-robek, tubuhmu babak-belur...“

“Teecu... telah berkelahi, Suhu.”

Sin Hong memandang muridnya dengan alis berkerut. Dia merasa yakin bahwa kalau sampai muridnya itu terpaksa berkelahi, sudah pasti muridnya itu tidak berada di pihak yang salah. Akan tetapi, dia telah berulang kali memberi nasehat supaya muridnya itu menjauhkan diri dari perkelahian dan permusuhan, maka kini dia bersikap kereng.

“Ceritakan semua!”

“Sebelum tiba di pintu gerbang kota, teecu melihat ada tiga orang anak sebaya teecu bermain-main di tepi jalan. Mendadak ada anjing menyalak dan akan menggigit kaki teecu. Karena terkejut dan takut digigit, teecu menendang perut anjing itu. Baru ternyata kemudian bahwa anjing itu hanyalah seekor anak anjing dan tiga orang anak itu adalah pemiliknya. Mereka adalah murid-murid Ngo-heng Bu-koan. Mereka lalu marah. Teecu sudah minta maaf dan teecu mempersilakan mereka menghukum teecu. Mereka bertiga memukul teecu satu kali sampai teecu roboh. Teecu sudah menerima hukuman yang keterlaluan itu dan hendak pergi, akan tetapi mereka melarang. Mereka mengatakan bahwa teecu mempunyai satu kesalahan lagi, yaitu tidak menghormati mereka sebagai murid-murid Ngo-heng Bu-koan. Mereka mengharuskan teecu berlutut minta ampun. Teecu tidak sudi dan hendak pergi, kemudian mereka menyerang dan memukuli teecu. Terpaksa teecu melawan.”

“Dan kau kalah?”

“Mereka bertiga itu pandai silat, Suhu, sedangkan teecu belum bisa. Teecu dihujani pukulan dan tendangan, sampai roboh puluhan kali, akan tetapi karena teecu tidak merasa bersalah, teecu melawan terus. Akhirnya teecu dapat menghajar mereka, dan mereka melarikan diri sambil menangis.”

Sin Hong terbelalak, memandang tidak percaya. “Mereka lari sambil menangis? Bagai mana engkau menghajar mereka?”

“Teecu dapat menjambak rambut seorang di antara mereka dan membentur-benturkan di atas tanah. Ketika datang seorang lagi memiting leher teecu, teecu dapat menggigit pergelangan tangannya. Darahnya keluar banyak sekali dan mereka lalu melarikan diri, yang dua orang itu menangis. Akan tetapi, uang itu hilang dan harap Suhu maafkan teecu.”

Sin Hong menahan ketawanya. Dia teringat akan sikap mendiang ayah Yo Han. Ayah Yo Han yang bernama Yo Jin itu sungguh-sungguh merupakan seorang pria yang amat mengagumkan. Seorang petani dusun sederhana, sedikit pun tidak pandai ilmu silat, akan tetapi memiliki ketabahan melebihi seorang pendekar yang pandai silat! Kalau membela kebenaran, Yo Jin ini tidak berkedip sedikit pun juga biar pun diancam maut! Dan agaknya kenekatan dan ketabahan itu kini menurun kepada Yo Han.

“Anak bodoh! Sudah berapa kali kukatakan bahwa engkau tidak boleh berkelahi?”

Dibentak demikian, Yo Han cepat menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya. “Harap Suhu maafkan teecu. Teecu bersalah dan bersedia menerima hukuman!”

Sin Hong tersenyum dalam hatinya. Anak ini memang hebat, pikirnya.

“Sudahlah, Yo Han. Engkau memang hanya membela diri, akan tetapi bela diri seperti itu adalah konyol. Untung engkau tidak dipukuli sampai mati. Jika tadi engkau melarikan diri kembali ke sini, aku tidak akan menganggap engkau penakut. Orang berani harus memakai perhitungan, kalau hanya berani dan nekat tanpa perhitungan, orang itu akan mati konyol. Kalau orang melarikan diri dari bahaya yang tidak dapat ditentang dengan kepandaiannya, bukan berarti dia pengecut, namun dia menggunakan kecerdikannya. Berani membuta bukanlah gagah namanya, melainkan bodoh dan konyol.”

“Maaf, Suhu. Teecu memang bersalah dan teecu tadi pun bingung dan ragu karena teecu tidak pernah melupakan nasehat Suhu. Akan tetapi, bayangkan saja Suhu, andai kata teecu tidak melawan dan melarikan diri, bukankah teecu akan dianggap takut? Padahal, teecu adalah murid Suhu yang memiliki kesaktian, bukankah kalau teecu lari, berarti teecu membikin malu kepada Suhu?”

Sin Hong tersenyum. “Membanggakan kepandaian guru atau kepandaian sendiri hanya merupakan kesombongan, Yo Han. Sudahlah, jangan kau kira aku pelit dan tidak suka mengajarkan silat kepadamu. Selama ini, aku menggembleng tubuhmu agar memiliki kekuatan. Kalau engkau tidak memiliki kekuatan, bagaimana mungkin engkau dapat bertahan dipukuli oleh tiga orang yang lebih pandai darimu, sampai puluhan kali jatuh bangun akan tetapi tetap dapat melawan? Apa artinya memiliki kepandaian silat tinggi jika tubuhnya lemah? Nah, sekarang engkau mengerti mengapa sampai kini aku belum mengajarkan ilmu silat, hanya penggemblengan kekuatan tubuh dan daya tahan, juga dasar langkah-langkah ilmu silat. Mulai hari ini, aku akan mengajarkan ilmu pukulan dan tendangan.”

Bukan main girang hati Yo Han. Dia cepat memberi hormat sampai delapan kali untuk menyatakan terima kasihnya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah si Bangau Putih

KISAH SI BANGAU PUTIH (BAGIAN KE-13 SERIAL BU KEK SIANSU)