KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-33


“Benar, Suci (Kakak Seperguruan). Sudah kutanya-tanyakan, dia berada di dalam kuil tua ini,” terdengar jawaban seorang anak-anak.

“Heiii, jembel busuk, keluarlah engkau!” Suara anak-anak itu berteriak.

“Wah, itu adalah suara anak yang teecu gigit pergelangan tangannya, Suhu,” kata Yo Han kepada gurunya, akan tetapi dia sama sekali tidak merasa takut.

“Hemmm, mau apa dia datang? Dan dengan siapa?” Sin Hong mengangkat cawannya dan minum air teh yang masih panas. Mereka, guru dan murid itu, selalu membawa perabot masak dalam buntalan pakaian mereka, juga mangkok, cawan dan sumpit.

“Entahlah, Suhu. Mungkin dia minta digigit sebelah lengannya yang lain!” kata Yo Han gemas. Gurunya mengerutkan alisnya, dan Yo Han lalu bangkit berdiri. “Suhu, biarlah teecu menghadapi mereka.”

“Tunggu, Yo Han. Jangan engkau membuat urusan menjadi semakin parah. Mari kita keluar bersama, kita lihat apa yang mereka kehendaki.”

Sin Hong bangkit dan bersama muridnya dia keluar dari ruangan samping itu, menuju ke depan di mana dia melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga belas tahun bersama seorang gadis yang bertubuh ramping padat.

Gadis itu berusia kurang lebih sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas seperti pakaian seorang ahli silat. Rambutnya yang hitam digelung ke atas dan dihias oleh bunga emas. Pakaian berwarna hijau muda yang berpotongan ringkas itu membuat tubuhnya nampak menggairahkan. Akan tetapi melihat sepintas saja mudah diduga bahwa dia seorang gadis yang gagah. Wajahnya manis dengan dagu runcing, mulut kecil dan sepasang mata yang jeli dan tajam. Seorang gadis yang gagah dan cantik.

Dengan hati yang merasa agak tidak enak karena dia harus menghadapi seorang gadis cantik yang agaknya sedang marah, Sin Hong menghampiri mereka.

Begitu melihat Yo Han, anak itu yang kini lengannya dibalut, berseru, “Itulah dia, Suci! Itulah jembel busuk itu!”

Gadis itu hanya sebentar saja memandang kepada Yo Han. Diam-diam ia mendongkol sekali mengingat betapa tiga orang murid Ngo-heng Bu-koan dikalahkan oleh seorang anak laki-laki yang pakaiannya tambal-tambalan dan compang-camping, yang usianya dua tiga tahun lebih muda dari sute-nya ini! Memalukan sekali, pikirnya.

Dia lalu memandang kepada Sin Hong, memperhatikan pemuda itu. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh empat tahun, berpakaian serba putih, bersih, tapi juga ada tambalannya. Wajah pemuda itu biasa saja, tidak terlalu menarik, juga tidak buruk, namun sinar matanya lembut dan mulutnya tersenyum ramah membayangkan kehalusan watak.

Sin Hong mendahului gadis itu, mengangkat dua tangan ke depan dada untuk memberi hormat. Perbuatannya ini diturut oleh muridnya sehingga gadis itu kembali terheran melihat betapa kedua orang jembel itu bersikap demikian sopan.

“Maafkan kami, Nona. Apakah Ji-wi (Kalian berdua) datang untuk mencari kami?” Sin Hong bertanya dengan sikap yang halus dan sopan.

Gadis itu memandang bingung. Kalau yang menggigit dan menjambak para murid kecil perguruan ayahnya hanya seorang bocah berusia kurang lebih sembilan tahun, tentu saja ia tidak bisa turun tangan menghajarnya! Bagaimana mungkin ia harus menyerang seorang bocah?

Dia adalah Bhe Siang Cun, puteri dari ketua atau kauwsu (guru silat) perguruan silat Ngo-heng Bu-koan! Bahkan kini dialah yang setiap hari membimbing dan mengajar para murid perguruan silat itu mewakili ayahnya. Memalukan sekali kalau ia harus berkelahi melawan seorang anak kecil berusia sembilan tahun!

Dia lalu mengalihkan pandang matanya dan memperhatikan Sin Hong tanpa membalas penghormatan pemuda itu. “Aku mencari bocah bengal ini. Apamukah dia?”

Ia melirik kepada Yo Han yang menahan dirinya untuk diam saja sebab ia takut kepada gurunya. Akan tetapi ia membalas pandang mata gadis itu dengan berani dan sikapnya tenang sekali. Ia merasa tidak bersalah, maka sedikit pun tidak merasa takut.

“Dia ini adalah muridku, Nona. Kalau dia melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan hatimu, harap Nona suka memaafkan anak yang masih kecil ini.”

Mendengar bahwa pemuda itu adalah guru dari anak nakal itu, legalah rasa hati Siang Cun. Setidaknya ia akan dapat berurusan dengan gurunya, bukan dengan bocah itu.

“Bagus!” katanya. “Engkau adalah gurunya maka harus engkau pula yang bertanggung jawab atas kejahatannya! Biar pun dia masih kecil, akan tetapi dia jahat sekali. Lihat apa yang telah dilakukannya terhadap sute-ku ini. Dia ini sute-ku, akan tetapi akulah yang membimbing mereka, maka aku dapat juga disebut guru mereka. Ketiga orang sute-ku ini telah luka-luka karena perbuatan muridmu yang jahat ini. Lihat pergelangan tangan sute-ku yang ini digigit sampai terluka parah dan banyak darah terbuang.”

Sin Hong menahan senyumnya. Gadis itu lincah dan galak, menunjukkan sikap yang mengandung kegagahan biar pun ada keangkuhan membayanginya. “Sekali lagi maaf. Muridku telah bercerita kepadaku tentang perkelahian antara dia dan tiga orang anak-anak yang usianya lebih tua darinya. Menurut dia, dia telah dihina dan dikeroyok oleh tiga orang anak itu, maka dia membela diri...”

“Dia telah menendang anjing peliharaan dan kesayangan kami!” Gadis itu memotong. “Sudah sepatutnya jika dia dihajar atas perbuatannya itu! Dan kalau ia melawan secara gagah dan benar, kami pun tidak akan ribut lagi. Kalau ketiga orang sute-ku kalah oleh ilmu silatnya, aku hanya akan menegur murid-murid ini. Akan tetapi muridmu ini jahat, menggunakan kecurangan, menggigit dan mencakar!”

Sin Hong kini tersenyum. “Muridku ini sudah mengakui kesalahannya menendang anak anjing itu karena kaget ketika diserbu oleh anjing itu, akan tetapi ketiga orang anak itu mengeroyoknya. Muridku ini tidak pandai silat, mana mungkin menggunakan ilmu silat untuk membela diri? Ia hanya bisa menggigit, mencakar, hanya untuk membela dirinya yang dipukuli tiga orang anak. Harap Nona suka memaafkan kami dan menyudahi saja urusan antara anak-anak kecil ini. Lihat, muridku juga sudah babak belur. Tentu dia lebih banyak menerima pukulan dari pada para sute-mu, dan dia lebih banyak menderita kesakitan.”

Diam-diam Sin Hong merasa bangga melihat kenyataan betapa muridnya itu, biar pun lebih banyak menerima hantaman, tapi tetap tenang dan tabah, tidak seperti anak yang lengannya dibalut itu, kelihatan cengeng.

“Tidak bisa!” Siang Cun membantah. “Jika tidak ada gurunya, aku hanya akan menegur bocah bengal ini. Namun setelah ada gurunya yang bertanggung jawab, maka engkau sebagai gurunya harus berani menghadapi akibat perbuatan muridmu dan bertanggung jawab sepenuhnya!”

Sin Hong mengerutkan alisnya. Gadis ini terlalu mendesak dan mau menang sendiri saja, pikirnya. Akan tetapi dia masih tersenyum.

“Lalu apa yang harus kulakukan untuk mempertanggung jawabkan perbuatan muridku, Nona? Tentu saja aku suka bertanggung jawab.”

“Para sute-ku atau juga murid-muridku berkelahi dengan muridmu yang menggunakan kecurangan. Kini, kita sama-sama guru atau pelatih masing-masing harus menentukan siapa di antara kita yang lebih unggul! Aku tantang kamu untuk mengadu ilmu silat secara adil dan jujur, tidak menggunakan kecurangan.” Setelah berkata demikian, Siang Cun sudah mengambil sikap, memasang kuda-kuda ilmu silat perguruan ayahnya.

Ayahnya adalah seorang ahli ilmu silat Ngo-heng-kun, dan ilmu silat tangan kosong ini memiliki banyak sekali perkembangan sehingga dapat dipergunakan untuk memainkan senjata apa pun juga. Sesuai namanya, Ngo-heng-kun (Silat Lima Unsur) memiliki lima macam sifat yang paling berlawanan dan juga saling membantu.

Ayah Siang Cun yang bernama Bhe Gun Ek adalah seorang pendekar yang menguasai ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai. Penggabungan kedua aliran inilah yang menciptakan Ngo-heng-kun seperti yang dimilikinya sekarang, yang berbeda dengan Ngo-heng-kun dari Siauw-lim-pai mau pun Bu-tong-pai, akan tetapi yang mengandung bagian-bagian terindah dan terlihai dari keduanya.

Ketika memasang kuda-kuda ilmu silat Ngo-heng-kun, Siang Cun berdiri dengan kedua kaki terpentang, yang kiri di depan, yang kanan di belakang, ditekuk agak menyerong. Tubuhnya tegak, kedua lengannya melingkar di depan dada, membentuk tanda Im-yang karena Im-yang merupakan inti dari Ngo-heng. Sikapnya gagah dan kuda-kuda itu amat indah, membuat Sin Hong kagum dan tertarik.

Tentu saja sama sekali dia tidak berniat untuk berkelahi apa lagi bermusuhan dengan gadis itu atau siapa saja hanya karena perkelahian anak-anak maka dia pun tidak mau melayani gadis itu.

“Nona, maafkanlah kami. Aku tidak ingin berkelahi dan biarlah sebelum berkelahi aku mengaku kalah padamu!”

Mendengar ini, diam-diam Yo Han merasa penasaran sekali. Dia menganggap gurunya orang yang amat gagah perkasa, sakti dan tak mengenal takut. Akan tetapi mengapa gurunya menerima saja sikap gadis ini yang demikian angkuh dan memandang rendah? Dia tidak berani menegur gurunya, akan tetapi anak yang banyak akalnya ini mengambil keputusan untuk menambah minyak pada api yang membakar dada gadis itu agar gadis itu benar-benar dapat bertanding melawan gurunya!

“Bibi yang baik...“ Dia berkata sambil melangkah maju mendekati Siang Cun.

“Aku bukan bibimu!” bentak gadis itu, semakin marah karena ia merasa tidak pantas seorang anak berusia sembilan atau sepuluh tahun menyebut ia bibi, padahal ia baru berusia sembilan belas tahun.

Yo Han yang memang sengaja, segera melanjutkan. “Ah, Enci yang baik, harap jangan melanjutkan sikap Enci menantang Suhu-ku. Tidak tahukah Enci bahwa Suhu bersikap mengalah kepadamu? Kalau Suhu menanggapi dan menyambut tantanganmu, dalam beberapa jurus saja Enci tentu akan kalah...“

“Yo Han...!” Sin Hong berseru, alisnya berkerut. Ia terkejut mendengar ucapan muridnya itu yang demikian menyombongkan diri.

Yo Han membungkam dan melangkah mundur, tetapi sudah cukup baginya. Akalnya itu berhasil, karena wajah Siang Cun menjadi merah padam dan gadis itu sudah menjadi marah sekali.

“Bagus, kalian adalah orang-orang sombong! Nah, sambutlah seranganku, hendak aku lihat apakah benar dalam beberapa jurus engkau mampu mengalahkan aku!” Berkata demikian, tanpa memberi kesempatan kepada Sin Hong untuk membantah lagi, Siang Cun sudah menyerang dengan cepatnya. Serangannya itu cepat bertubi-tubi datangnya, dan setiap tamparan, tonjokan atau tendangan mendatangkan angin yang kuat, tanda bahwa gadis ini memiliki kekuatan sinkang yang sudah lumayan hebatnya.

“Plak-plak! Wuuuuuttt...! Plak-wuuut-wuuuttt!”

Lima kali berturut-turut Siang Cun mengirim serangan yang cukup dahsyat. Sin Hong yang didesak itu hanya main mundur, menangkis atau mengelak. Ketika menangkis, dia menyimpan tenaganya karena tidak ingin mencelakai gadis itu.

Akan tetapi dia kagum ketika mendapat kenyataan bahwa kekhawatirannya itu tidak beralasan karena gadis itu ternyata memiliki sinkang yang kuat! Dan setiap serangan yang dilakukan gadis itu pun dahsyat, cepat dan amat kuat sehingga dalam gebrakan pertama saja tahulah Sin Hong bahwa gadis ini bukan seorang ahli silat sembarangan saja, melainkan seorang yang telah mewarisi ilmu silat tingkat tinggi.

Di lain pihak, Siang Cun juga terkejut bukan main. Tadinya dia memandang rendah pemuda berpakaian putih itu. Muridnya hanya pandai mencakar dan menggigit, tentu gurunya juga hanya mempunyai ilmu silat pasaran saja. Tetapi, sungguh mengherankan sekali betapa serangkaian serangannya yang termasuk jurus-jurus cukup ampuh dapat dihindarkan pemuda itu dengan tangkisan dan elakan yang cukup lincah! Dan biar pun ia tidak merasakan adanya tenaga yang kuat ketika pemuda itu menangkis, namun pemuda itu pun tidak nampak terhuyung atau terdorong mundur.

Ia menjadi amat penasaran. Sekarang Bhe Siang Cun mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan serangkaian jurus-jurus simpanan dari Ngo-heng-kun untuk merobohkan atau mengalahkan lawannya!

Sin Hong semakin kagum. Kiranya gadis ini memang lihai sekali. Ilmu silatnya itu hebat, selain cepat dan kuat, juga memiliki gaya yang indah dan daya serang yang berbahaya. Terpaksa dia mulai menggunakan sinkang-nya jika dia tidak ingin celaka atau benar-benar roboh di tangan gadis ini!

Kini Sin Hong mulai memainkan ilmu silat gabungan antara Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) yang dipelajarinya dari seorang di antara tiga orang gurunya di Istana Gurun Pasir, yaitu Tiong Khi Hwesio. Dia tidak memainkan Pek-ho Sin-kun, karena ilmu ini terlalu hebat untuk dipakai main-main, dan hanya dia pergunakan kalau terpaksa sekali menghadapi lawan yang amat tangguh.

Begitu dia mainkan gabungan kedua ilmu silat sakti ini dan mengerahkan sinkang-nya, beberapa kali Siang Cun mengeluarkan seruan kaget. Barulah ia tahu bahwa pemuda berpakaian putih ini benar-benar lihai sekali dan ia pun kini merasa betapa pemuda itu sejak tadi banyak mengalah dan jarang membalas serangannya, bahkan main mundur saja. Padahal, setiap kali beradu lengan, ia merasa lengannya kesemutan dan seperti hampir lumpuh disebabkan getaran hebat yang terkandung dalam lengan pemuda itu. Mulailah ia merasa kagum, heran dan menduga-duga siapa adanya pemuda yang amat lihai ini.

Sementara itu, melihat betapa gurunya selalu menangkis, mengelak, dan selalu main mundur, diam-diam Yo Han merasa khawatir juga. Dia percaya penuh kepada suhu-nya, yakin akan kelihaian suhu-nya. Akan tetapi agaknya suhu-nya tidak mau bersungguh-sungguh melawan gadis ini dan hal inilah yang membuatnya khawatir.

Ada pun anak laki-laki yang dibalut lengannya, yang tadi digigitnya, kelihatan gembira sekali. Anak itu lalu mendekati Yo Han dan berkata dengan nada suara sombong.

“Gurumu itu sebentar lagi tentu akan dipukul roboh oleh Suci!”

Yo Han mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada bekas lawan itu. “Belum tentu! Suhu-ku bukan orang yang mudah dikalahkan!”

“Hemmm, kita lihat saja! Suci-ku adalah puteri dari suhu, ketua dari Ngo-heng Bu-koan yang telah terkenal di seluruh dunia. Suci-ku gagah perkasa dan tak pernah terkalahkan seperti seekor Naga Betina!”

Diam-diam Yo Han mendongkol. Mana ada manusia dibandingkan naga? Bohong dan membual saja, akan tetapi karena marah dia pun tidak mau kalah. “Apa anehnya Naga Betina? Suhu-ku sama dengan Naga Emas!”

Mendengar Yo Han menyebut Kim-liong (Naga Emas), tiba-tiba anak itu terbelalak dan wajahnya berubah kaget dan agak pucat. “Dia... dia... dari Kim-liong?”

Tentu saja Yo Han tidak mengerti apa yang dimaksudkan anak itu, akan tetapi karena sudah terlanjur membual, dia pun mengangguk. “Tentu saja dia adalah Kim-liong. Kau kira siapa?”

Sungguh mengherankan sekali. Mendengar ini, anak itu lalu lari menghampiri suci-nya yang sedang bertanding dan dia pun berteriak, “Suci, awas! Dia itu dari Kim-liong-pang!”

Mendengar ini, Siang Cun juga nampak terkejut dan ia pun cepat mencabut sepasang pedang yang semenjak tadi tergantung di punggungnya. Dara ini memang tadi ingin mengadu ilmu dengan Sin Hong, akan tetapi hal itu terdorong oleh rasa penasaran saja. Ia tidak ingin bermusuhan pula, maka tidak pernah menggunakan senjata.

Akan tetapi kini, begitu mendengar disebutnya Kim-liong-pang, ia menjadi marah dan kaget, lalu seketika mencabut sepasang pedangnya dan membentak. “Keparat, kiranya engkau jahanam dari Kim-liong-pang!”

Dan tanpa memberi kesempatan kepada Sin Hong untuk membantah, Siang Cun kini sudah memutar sepasang pedangnya dan menyerang dengan hebat! Gadis ini memang mempunyai keahlian memainkan sepasang pedang. Ilmu pedangnya masih merupakan perkembangan dari Ngo-heng-kun. Dengan bantuan ayahnya yang ahli, gadis ini telah berhasil menciptakan ilmu pedangnya sendiri yang diberi nama Ngo-heng-kiam-hoat (Ilmu Pedang Lima Unsur) yang hebat.

Sin Hong terkejut sekali. Dia hendak menyangkal bahwa dia dari Kim-liong-pang, karena memang ia sama sekali tidak tahu menahu tentang Kim-liong-pang. Akan tetapi melihat permainan sepasang pedang yang indah dan ampuh itu, dia pun tertarik.

Seperti para pendekar pada umumnya, ilmu silat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Sin Hong. Ilmu silat merupakan kesukaannya, olah raganya, keseniannya, bahkan pelindung dirinya. Maka, tiap kali mendapat kesempatan bertemu tanding, hal ini merupakan suatu kegembiraan tersendiri. Apa lagi kalau melihat ilmu silat lawan yang indah dan ampuh, tentu timbul keinginan hatinya untuk menguji ilmu itu, atau juga untuk menguji kepandaian sendiri, apakah akan mampu melawan orang yang memiliki ilmu yang indah dan ampuh itu.

Karena itu, begitu melihat gadis itu memainkan sepasang pedangnya, timbul keinginan hati Sin Hong untuk menguji ilmu itu dan dia pun segera memainkan Pek-ho Sin-kun!

Terjadilah perkelahian yang amat indah ditonton, akan tetapi juga menegangkan karena nampaknya amat berbahaya bagi Sin Hong. Dua gulungan sinar pedang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, dibarengi suara berdesing.

Tubuh Sin Hong lenyap, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua gulungan sinar pedang. Sin Hong memainkan Pek-ho Sin-kun dengan cekatan sekali. Kedua lengan ditelusuri tenaga sinkang yang amat hebat, yaitu sinkang gabungan yang diterimanya dari ketiga orang gurunya, manusia-manusia sakti di Istana Gurun Pasir.

Dengan tangan dan lengan telanjang, pemuda ini sekarang berani menangkis pedang atau senjata apa pun tanpa takut kalau kulit lengannya lecet! Kedua tangan itu kadang-kadang membentuk moncong atau paruh burung bangau putih, lengan menjadi leher yang panjang dan paruh itu dapat mematuk-matuk berupa totokan-totokan pada jalan darah di tubuh lawan, bahkan lengan yang menjadi leher itu juga dapat menangkis dan membelit senjata, mencoba merampasnya.

Kadang-kadang kedua lengan itu menjadi seperti sepasang sayap burung dan gerakan tubuh pemuda itu indah bukan main. Kadang-kadang, kedua kakinya membuat langkah yang lebar, kadang-kadang pula geseran kakinya halus dan pendek-pendek, dan ada kalanya tubuhnya itu meloncat tinggi seperti bangau terbang, dan dalam keadaan tubuh melayang ini keempat buah kaki dan tangannya dapat melakukan serangan yang amat dahsyat dari atas!

Akan tetapi, seperti juga tadi, Sin Hong yang hanya ingin menguji ilmu pedang gadis itu tidak bertindak sungguh-sungguh dalam serangannya, lebih banyak membela diri saja. Jika dia menghendaki, mengingat bahwa tingkat ilmu kepandaiannya masih jauh di atas Siang Cun, tentu dalam waktu yang tidak terlalu lama dia akan dapat merobohkan gadis itu, atau setidaknya merampas sepasang pedangnya.

Namun, dia tidak mau melakukan hal itu, karena kalau dia berbuat demikian, tentu akan semakin besar kemarahan dan dendam gadis itu kepadanya dan permusuhan antara mereka tentu akan menjadi-jadi. Dia kini dapat menduga bahwa selain marah karena para sute-nya tadi dijambak dan digigit Yo Han, juga dalam urusan antara dia dan gadis ini timbul suatu kesalah pahaman mengenai Kim-liong-pang yang belum dikenalnya.

Sementara itu, Bhe Siang Cun kini benar-benar terkejut. Bukan hanya karena seruan sute-nya yang mengatakan bahwa pemuda berpakaian putih ini dari Kim-liong-pang, akan tetapi kenyataan bahwa betapa dengan kedua tangan kosong, pemuda itu mampu menghindarkan semua serangannya! Dan hebatnya, pemuda itu berani menangkis dua pedangnya dengan tangan dan lengan begitu saja tanpa terluka atau lecet sedikit pun!

Tak disangkanya bahwa lawan ini demikian lihainya dan ia pun mulai merasa khawatir. Jika lawannya ini dari Kim-liong-pang, maka ia tak mungkin bisa keluar dari perkelahian itu dalam keadaan hidup! Tinggal dua pilihan, yaitu membunuh atau terbunuh! Maka ia pun semakin nekat memutar pedangnya dengan cepat dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh.

Melihat kenekatan gadis itu, Sin Hong merasa semakin khawatir. Perkelahian ini harus dihentikan secepatnya, pikirnya. Maka, ketika pedang kanan dari gadis itu menyambar dari atas ke bawah, dia menggeser kaki mundur dan ketika pedang itu lewat, tangan kanannya menyambar bagaikan paruh bangau putih, dan tahu-tahu dua jari tangannya ditekuk, yaitu telunjuk dan jari tengah, dan dua jari itu telah menjepit pedang itu!

Bhe Siang Cun sekuat tenaga menarik pedangnya, namun sia-sia. Pedang itu seperti terjepit catut baja yang amat kuat!

“Sudahlah, Nona. Hentikan pertandingan ini dan mari kita bicara!”

“Tutup mulutmu! Aku tidak takut mati dan aku tidak sudi berunding dengan orang-orang Kim-liong-pang!” Gadis itu menarik-narik lagi tanpa hasil.

“Nona, aku bukan orang Kim-liong-pang!”

“Tak perlu berbohong!”

Siang Cun merasa gemas sekali karena pedangnya dijepit dua jari dan ia tidak mampu menarik kembali, merasa terhina dan dipermainkan. Hampir tidak masuk di akal kalau pedangnya dapat dijepit dua buah jari lawan tanpa ia mampu melepaskannya kembali! Ia dianggap anak kecil yang tidak berdaya saja! Sambil membentak, kini pedang di tangan kirinya membuat gerakan memutar dan membacok ke arah kepala Sin Hong.

“Tranggg...!”

Gadis itu terkejut karena pedang kirinya tertangkis oleh pedang kanannya sendiri, yang terbawa oleh dua buah jari tangan yang membetotnya! Beberapa kali pedang kirinya coba membacok, selalu ditangkis oleh pedangnya sendiri. Ia demikian jengkel dan malu sehingga mukanya merah dan matanya panas. Hampir ia menangis!

Tiba-tiba terdengar lagi suara anak yang dibalut lengannya itu berseru, “Suhu, dia orang Kim-liong-pang!”

Dan pria yang baru datang itu, yang bukan lain adalah Bhe Gun Ek, melihat betapa puterinya dipermainkan oleh seorang pemuda yang amat lihai. Melihat betapa dengan sepasang pedang di tangan Siang Cun masih dapat dipermainkan, tahulah dia bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi.

“Orang Kim-liong-pang banyak lagak!” serunya dan dia pun meloncat ke dekat dua orang yang sedang tarik menarik pedang itu, dan dengan kedua tangan didorongkan, Bhe-kauwsu (guru silat Bhe) menyerang Sin Hong.

Sin Hong mendengar suara angin pukulan itu dan terkejut sekali. Itulah pukulan yang mengandung tenaga sakti amat kuat dan amat berbahaya. Terpaksa dia lalu mendorong sehingga tubuh Siang Cun terhuyung ke belakang, dan dia pun cepat-cepat menyambut dorongan kedua tangan lawan baru itu dengan kedua tangannya sendiri. Namun karena dia tidak bermaksud untuk mencari musuh, maka dia tidak mau menyambut dengan perlawanan keras, melainkan menyambut dan mengatur tenaganya untuk menyedot dan melumpuhkan tenaga dorongan lawan.

“Wuuuuuttt...! Plak! Ahhh...!”

Bhe Gun Ek terkejut bukan main sehingga mengeluarkan seruan sambil melompat jauh ke samping ketika dia merasa betapa kedua telapak tangannya bertemu dengan dua telapak tangan lawan yang lembut, dan merasa betapa tenaga sinkang-nya bagaikan amblas masuk atau bertemu dengan benda yang lembut. Dia merasa khawatir kalau sekali pukul dia mencelakai lawan yang belum dikenalnya siapa, walau pun tadi anak itu mengatakan dia dari Kim-liong-pang, dan untuk menarik kembali pukulannya sudah tak mungkin, maka jalan satu-satunya adalah melompat jauh ke samping sehingga hal ini akan mengurangi daya pukulannya.

Namun, alangkah terkejut dan herannya ketika dia melihat pemuda itu tidak apa-apa, bergeming sedikit pun tidak, masih berdiri tegak bahkan tersenyum kepadanya. Dia pun tahu bahwa pemuda itu memang lihai, maka dia lalu menghampiri.

“Orang muda dari Kim-liong-pang, katakan dulu siapa namamu sebelum kita bertanding mati-matian di tempat ini!” tantangnya.

Sin Hong memandang penuh perhatian. Seorang laki-laki yang gagah, berusia sekitar empat puluh lima tahun. Tubuhnya sedang namun kokoh kuat membayangkan adanya tenaga besar. Pakaiannya sederhana saja, seperti umumnya pakaian seorang guru silat yang ringkas. Di pinggangnya nampak sebuah sabuk rantai dari baja sehingga Sin Hong dapat menduga bahwa tentu orang ini ahli pula memainkan rantai baja yang dipakai sebagai sabuk itu sebagai sebuah senjata yang ampuh. Ia lalu menjura dengan hormat.

“Harap Paman suka memaafkan saya. Sesungguhnya, saya sama sekali bukan orang Kim-liong-pang, bahkan nama perkumpulan itu pun baru sekali ini saya dengar. Saya adalah seorang perantau yang kebetulan saja hari ini tiba di sini dan memilih kuil tua ini sebagai tempat tinggal sementara.”

Melihat sikap sopan pemuda itu dan mendengar kata-katanya, Bhe Gun Ek menjadi heran. Dia pun menoleh kepada puterinya. “Benarkah dia seorang dari Kim-liong-pang?” tanyanya.

“Ayah, aku pun hanya mendengar dari Ceng Ki!” jawab gadis itu sambil menoleh kepada sute-nya yang lengannya dibalut. Kini Bhe Gun Ek memandang muridnya itu dengan sikap kereng.

“Ceng Ki, bagaimana engkau berani mengatakan bahwa dia ini orang Kim-liong-pang?”

Anak itu nampak ketakutan berhadapan dengan Bhe Kauwsu yang memang terkenal galak terhadap para muridnya dan mengharuskan para muridnya memegang peraturan dan tidak melanggar. Dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut dan menjawab pertanyaan gurunya.

“Teecu... teecu hanya mendengar keterangan muridnya itu...“

Sekarang Sin Hong yang menjadi terkejut. “Yo Han, keterangan apakah yang telah kau berikan?” tanyanya kereng.

“Teecu tidak memberi keterangan bahwa Suhu adalah orang Kim-liong-pang,” Yo Han membantah sambil memandang kepada Ceng Ki dengan mata melotot marah, “tadi dia mengatakan bahwa suci-nya adalah Naga Betina, dan karena tak mau kalah teecu lalu mengatakan bahwa Suhu tak akan kalah karena Suhu adalah Kim Liong (Naga Emas). Teecu tidak tahu mengapa mereka lalu menganggap Suhu orang dari Kim-liong-pang!”

Mendengar ini, Sin Hong dan Bhe Gun Ek saling pandang. Guru silat itu mengangguk-angguk, menarik napas panjang dan bertanya kepada puterinya. “Nah, engkau sudah mendengar sendiri, semua ini hanya kesalah pahaman saja karena mulut anak-anak. Lalu kenapa engkau menyerangnya mati-matian?”

“Begini, Ayah. Mula-mula, aku melihat Ceng Ki dan dua orang sute-nya pulang dalam keadaan luka-luka. Ada yang kepalanya benjol-benjol karena dibentur-benturkan tanah, dan Ceng Ki sendiri pergelangan tangannya luka karena digigit sehingga harus diobati dan dibalut untuk menghentikan darah yang banyak keluar. Dan menurut cerita mereka, mereka baru berkelahi dengan seorang anak jahat yang menjambak dan menggigit. Aku segera bersama Ceng Ki mencari anak itu dan ternyata dia berada di sini dan anak itu adalah murid orang ini. Kami berdebat, berselisih dan berkelahi.”

Bhe Gun Ek mengerutkan alisnya. “Hemmm, hanya karena perkelahian anak-anak lalu engkau membela sampai berkelahi dengan orang? Siang Cun, bukanlah itu keterlaluan namanya?”

“Aku menjadi marah melihat para sute itu, apa lagi Ceng Ki yang luka tergigit. Kalau mereka berkelahi biasa saja dan kalah pandai, aku pun tidak ambil peduli. Akan tetapi digigit!”

Sin Hong melangkah maju dan memberi hormat. “Maaf, Paman, sesungguhnya urusan ini kecil saja dan harap dihabiskan saja. Murid saya ini sudah minta maaf dan menyadari kesalahannya, juga saya minta maaf untuk dia. Kami hanya dua orang perantau yang tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun, karena itu, sekali lagi, harap urusan kecil ini dihabiskan sampai di sini.”

Bhe Gun Ek tadi sudah melihat betapa pemuda berpakaian putih ini mempunyai ilmu kepandaian yang amat hebat. Dengan tangan kosong ia mampu menghadapi sepasang pedang puterinya, bahkan dia juga melihat betapa kedua pedang itu tidak berdaya sama sekali, yang sebatang dijepit dua buah jari dan dipakai menangkisi pedang yang lain!

Bukan itu saja. Dia sendiri tadi menyerang dengan pukulan tenaga sakti, tetapi secara aneh dan mengejutkan dapat disambut oleh pemuda itu sebab tenaga pukulannya bagai mengenai benda lunak yang membuat pukulan itu kehilangan kekuatannya.

Mendengar semua keterangan itu, dia pun cepat membalas penghormatan Sin Hong.

“Orang muda yang gagah, harap jangan terlalu merendahkan diri. Sepatutnya, kami dari Ngo-heng Bu-koan yang harus meminta maaf. Sikap murid-murid kecil kami, juga puteri kami tadi terhadap engkau dan muridmu sungguh tidak patut. Maafkanlah, orang muda, dan tentu saja dengan senang hati kami menghabiskan urusan kecil itu sampai di sini saja. Bahkan, perkenankan kami mengundang Ji-wi untuk berkunjung ke rumah kami agar perkenalan ini dapat dipererat. Saya Bhe Gun Ek, juga puteri kami ini, Bhe Siang Cun, dan semua murid Ngo-heng Bu-koan mengundang Ji-wi untuk makan bersama di tempat kami.”

Sin Hong merasa rikuh sekali. Dia memang menghargai sikap guru silat itu, akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk hadir sebagai tamu, untuk dijamu makan, mengingat bahwa dia dan muridnya tidak mempunyai pakaian yang pantas untuk bertamu.

Akan tetapi sebelum dia menolak dengan halus, tiba-tiba Yo Han berkata, “Wah, Suhu. Bhe-kauwsu yang terhormat ini sungguh gagah perkasa dan baik hati sekali, cocok seperti yang Suhu nasehatkan kepada teecu bahwa seorang gagah lebih dahulu akan mencari kesalahan diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain! Dan bersikap ramah terhadap siapa pun juga tanpa memandang kedudukan atau harta benda. Suhu, teecu senang sekali berkenalan dengan orang-orang gagah dari Ngo-heng Bu-koan!”

Mendengar ucapan yang lantang dan keluar dari mulut seorang bocah berusia sembilan tahun, Bhe Gun Ek memandang kagum dan tahulah dia mengapa bocah yang kabarnya tadi hanya mampu menampar dan menggigit, bisa menjadi murid seorang pemuda yang berilmu setinggi ini. Kiranya bocah ini baru menerima gemblengan batin yang lebih dulu ditanamkan oleh gurunya sehingga sekecil itu sudah mempunyai jiwa yang amat gagah perkasa!

Sedangkan Sin Hong diam-diam mendongkol, tetapi juga hatinya merasa geli terhadap muridnya. Dia tahu bahwa Yo Han kegirangan diundang makan, karena anak itu masih menyesal sesudah menghilangkan uang dari gurunya tadi, dan kini gurunya diundang makan, maka dia pun girang sekali. Gurunya sejak kemarin belum makan dan dia pun demikian pula, dan perutnya sudah lapar sekali!

Bhe Gun Ek tersenyum girang. “Wah, sungguh kami merasa berbahagia sekali, ternyata Ji-wi guru dan murid merupakan orang-orang gagah yang mengagumkan.” Lalu kepada puterinya dan Ceng Ki ia berkata, “Hayo Siang Cun, engkau minta maaf kepada Taihiap (Pendekar Besar) ini, dan kau Ceng Ki, minta maaf kepada saudara kecil yang gagah ini!”

Siang Cun memang sudah tidak marah lagi setelah mendengar bahwa lawannya itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Kim-liong-pang, bahkan ia merasa kagum bukan main. Selama hidupnya, baru sekali ini ia bertemu tanding seorang pemuda yang selihai ini. Maka, mendengar ucapan ayahnya, ia pun cepat memberi hormat kepada Sin Hong.

“Saudara yang gagah, harap maafkan kesalahanku tadi karena kurang pengertian.”

Sin Hong cepat membalas penghormatan itu.

“Akan tetapi, engkau sudah mengenal nama kami semua sedangkan kami sama sekali belum mengenal namamu dan muridmu,” kata Siang Cun.

Sin Hong tersenyum. “Nona, aku dan muridku hanyalah orang-orang pengembara yang tidak tentu tempat tinggalnya, nama kami pun sama sekali tidak terkenal.”

“Enci yang gagah, jangan percaya kata-kata Suhu. Dia dijuluki orang Pek-ho Enghiong (Pendekar Bangau Putih)...“

“Yo Han! Berapa kali kularang engkau menyombongkan diri?” Sin Hong membentak dengan muka merah.

Muridnya itu memang kadang-kadang nakal sekali, dan dia cepat menjura kepada Bhe Gun Ek dan Bhe Siang Cun, berkata dengan sikap merendah. “Namaku Tan Sin Hong, dan muridku yang bodoh dan bandel ini bernama Yo Han.”

Sementara itu, ketika Ceng Ki memberi hormat dan minta maaf kepadanya, Yo Han cepat berkata, “Sudahlah, jangan meminta maaf kepadaku, akan tetapi mintalah maaf kepada suhu-mu karena engkau telah melanggar ajarannya yang baik.”

Kemudian, kontan Yo Han berlutut di depan suhu-nya sendiri dan berkata, “Harap Suhu sudi memaafkan kenakalan dan kebandelan teecu.”

Yo Han memang cerdik sekali. Dia maklum bahwa dia telah membuat gurunya rikuh, maka kini setelah memberi nasehat kepada Ceng Ki, dia pun cepat mendahului minta maaf kepada gurunya sendiri.

Mendengar ucapan Yo Han tadi, dan melihat anak itu minta maaf kepada gurunya, tentu saja Ceng Ki merasa malu dan cepat-cepat dia pun menjatuhkan dirinya di depan kaki gurunya dan mohon maaf atas kesalahannya. “Harap Suhu sudi memaafkan teecu yang telah membuat keributan.”

Melihat ini, Bhe Gun Ek tertawa bergelak dengan girang sekali. “Ha-ha-ha-ha! Memang banyak untungnya bergaul dengan orang-orang bijaksana. Tan Taihiap, kami merasa amat gembira dan beruntung sekali dapat bertemu dan berkenalan dengan engkau dan muridmu. Yo Han, terima kasih atas pelajaran yang telah kau berikan kepada Ceng Ki! Marilah, Tan Taihiap, mari kita bercakap-cakap di rumah kami agar lebih leluasa!”

Sin Hong tidak dapat menolak lagi dan dia berjalan seiring dengan Bhe Gun Ek dan puterinya. Yo Han mengiringkan di belakangnya, bersama Ceng Ki yang kini bersikap manis kepadanya.

Sin Hong dan muridnya disambut sebagai seorang tamu kehormatan. Pihak tuan rumah, dari Bhe Kauwsu, puterinya sampai para murid utama yang ikut menyambut, bersikap hormat kepada Sin Hong dan muridnya walau pun pakaian guru dan murid ini dihias tambalan. Hal ini membuat Sin Hong amat tertarik dan juga kagum. Tahulah dia bahwa dia berada di antara orang gagah sehingga hatinya merasa senang.

Dalam perjamuan yang meriah, ketika mereka makan minum bersama di sebuah meja besar yang terbuat dari meja disambung-sambung, yang duduk mengelilingi meja itu ada belasan orang banyaknya termasuk murid-murid kepala, Sin Hong bertanya kepada tuan rumah tentang Kim-liong-pang.

“Bhe Kauwsu, aku masih merasa heran sekali ketika disangka aku adalah orang dari Kim-liong-pang. Aku menduga agaknya ada permusuhan antara Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang itu. Perkumpulan apakah Kim-liong-pang itu dan jika boleh aku bertanya, mengapa terjadi permusuhan?”

Ditanya demikian, wajah tuan rumah dan para muridnya mendadak menjadi muram. Setelah beberapa kali menarik napas panjang, Bhe Gun Ek lalu berkata, “Kalau dipikir memang membuat orang menjadi penasaran dan sakit hati, Tan Taihiap. Bayangkan saja, Kim-liong-pang yang sarangnya berada di puncak bukit Kim-liong-san di luar kota Lu-jiang ini, di pimpin oleh seorang sahabat baik, bahkan puteranya menjadi tunangan puteriku Siang Cun ini. Akan tetapi, kini kami kedua pihak telah menjadi musuh besar dan terjadi perkelahian yang mengorbankan banyak murid-murid kami dan para anggota Kim-liong-pang sendiri.”

Tiba-tiba seorang di antara para murid kepala bangkit berdiri dan sambil mengepal tinju dia berkata, “Suhu, maafkan teecu! Membicarakan Kim-liong-pang telah membuat teecu kehilangan nafsu makan dan sebaiknya kalau teecu tidak ikut mendengarkan. Maka dari itu, perkenankan teecu mengundurkan diri, Suhu!”

Bhe Kauwsu memandang kepada murid itu dan menarik napas panjang. “Aku dapat mengerti perasaanmu, Hok Ci. Kuperkenankan engkau mengundurkan diri.”

Murid Ngo-heng Bu-koan itu kemudian menjura ke arah Sin Hong. “Tan Taihiap, harap maafkan saya.” Dan dia lalu meninggalkan ruangan itu dengan langkah lebar.

Sin Hong memperhatikan murid itu. Seorang pemuda berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Tubuhnya sedang saja namun nampak kuat dan gesit. Wajahnya tampan namun ia melihat keganasan membayang pada pandang matanya, sedangkan mulutnya selalu tersenyum agak sinis.

“Kasihan dia...!” kata Bhe Kauwsu. “Harap maafkan dia, Tan Taihiap. Di antara kami, mungkin dia yang paling menderita akibat permusuhan dengan Kim-liong-pang. Bahkan dialah yang mula-mula kehilangan seorang tunangannya yang mati terbunuh oleh pihak Kim-liong-pang.”

Sin Hong memandang tajam penuh selidik. “Apakah Kim-liong-pang perkumpulan orang jahat?”

“Sama sekali tidak. Bahkan ketuanya, Ciok Kam Heng adalah bekas sahabat baikku, seorang gagah yang selalu menjunjung tinggi kebenaran. Puteranya, Ciok Lim, tadinya bahkan bertunangan dengan puteri kami Siang Cun. Sekarang tentu saja pertunangan itu putus dan mereka menjadi musuh besar kami.”

“Tapi... mengapa begitu?” Sin Hong penasaran.

“Engkau sudah kami anggap sebagai seorang sahabat baik, Tan Taihiap, maka kami takkan menyimpan rahasia. Baiklah, kami akan bercerita mengenai permusuhan itu.”

Bhe Gun Ek lalu bercerita dengan singkat namun jelas. Dia adalah seorang ahli silat yang banyak mempelajari ilmu silat dari Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai, bahkan berhasil menggabungkan ilmu kedua partai persilatan itu dan menciptakan beberapa macam ilmu silat sendiri, di antaranya yang paling hebat adalah Ngo-heng-kun.

Pada saat dia membuka rumah perguruan silat, dia memakai nama Ngo-heng Bu-koan karena memang inti pelajaran yang dia berikan adalah Ngo-heng-kun. Bhe Gun Ek dan isterinya hanya memiliki seorang anak, yaitu Bhe Siang Cun yang sudah mewarisi ilmu ilmunya, bahkan gadis ini sudah membantu para suheng-nya, yaitu murid-murid tertua dan utama dari ayahnya, untuk membimbing kepada para murid muda.

Pada waktu Siang Cun berusia delapan belas tahun, setahun yang lalu, Bhe Gun Ek menerima pinangan seorang sahabatnya, yaitu Ciok Kam Heng, ketua Kim-liong-pang di puncak bukit Kim-liong-san yang nampak dari kota Lu-jiang. Sudah lama dia bersahabat dengan Ciok Kam Heng sehingga pinangan itu lalu diterima dengan senang hati. Juga Siang Cu tidak membantah.

Putera tunggal ketua Kim-liong-pang itu bernama Ciok Lim, kini berusia dua puluh lima tahun. Dia seorang pemuda yang cukup ganteng dan memiliki ilmu silat yang tinggi pula, bahkan dalam suatu pesta tahun baru, iseng-iseng kedua orang tua mereka menguji ilmu kepandaian pemuda dan gadis ini.

Mereka yang sudah ditunangkan itu mengadu ilmu, dan harus diakui oleh Siang Cun bahwa tingkat kepandaian tunangannya itu sedikit lebih tinggi darinya. Hal ini membuat hatinya senang, apa lagi dalam adu ilmu itu, Ciok Lim selalu mengalah sehingga tidak membikin malu padanya.

Akan tetapi, pada suatu malam, ketika Ciok Lim yang dijamu oleh Bhe-kauwsu pulang dalam keadaan setengah mabuk, terjadilah hal yang amat mengerikan. Seorang murid perempuan dari Ngo-heng Bu-koan yang bernama Bong Siok Cin, seorang gadis manis berusia tujuh belas tahun, kedapatan tewas dalam keadaan telanjang bulat di dalam hutan kecil di kaki bukit Kim-liong-san! Jelas bahwa gadis itu telah diperkosa orang lalu dibunuh! Dan di antara pakaiannya yang berserakan akibat direnggut dengan paksa dan robek-robek, para murid Ngo-heng Bu-koan menemukan sebuah topi merah. Topi yang biasa dipakai oleh Ciok Lim!

Tentu saja terjadi geger di kalangan murid Ngo-heng Bu-koan! Yang paling berduka dan marah adalah Phoa Hok Ci, sebab Bong Siok Cin yang terbunuh dalam keadaan terhina dan menyedihkan itu bukan lain adalah tunangannya! Meski Bhe Kauwsu membujuknya supaya bersabar dan kematian murid itu perlu diselidiki dengan seksama, namun Phoa Hok Ci tidak dapat menahan dendam sakit hatinya. Bersama tiga orang sute yang ikut berbela sungkawa dan bersetia kawan ia kemudian pergi ke Kim-liong-san, mendatangi perkumpulan Kim-liong-pang dan lantas menantang Ciok Lim yang dituduhnya sebagai pemerkosa dan pembunuh!

Ciok Lim yang keluar menemui empat orang murid Ngo-heng Bu-koan itu terkejut bukan main dan tentu saja dia menyangkal keras.

Akan tetapi, dengan sikap menantang dan dengan senyumnya yang sinis, Phoa Hok Ci yang menaruh dendam hebat atas kematian tunangannya itu, segera bertanya. “Ciok Lim, kami tidak menuduh membuta-tuli! Coba katakan, ke mana semalam engkau pergi sampai larut malam?”

Ciok Lim mengerutkan alisnya. Tentu saja dia mengenal Phoa Hok Ci, sebagai suheng dari tunangannya, yaitu puteri Bhe Kauwsu. “Kukira semua murid Ngo-heng Bu-koan tadi malam juga melihatku. Aku mendapat kehormatan dijamu minum arak oleh calon ayah mertuaku, yaitu guru kalian. Menjelang tengah malam, aku pulang.”

“Dalam keadaan mabuk, bukan?” Phoa Hok Ci mendesak.

“Aku tidak pernah mabuk, dalam arti kata sampai tidak sadar. Memang aku telah minum banyak, akan tetapi aku masih sadar dan dapat pulang, setibanya di rumah langsung tidur.”

“Hemmm, bagus sekali cerita karanganmu itu! Engkau dalam keadaan setengah mabuk, bertemu dengan sumoi Bong Siok Cin di jalan. Engkau menggodanya dan tentu saja ia bukan lawanmu. Engkau lalu menangkapnya dan membawanya sampai ke hutan di kaki bukit Kim-liong-san, kemudian engkau memperkosanya! Dan oleh karena takut gadis itu membuka rahasia kejahatanmu, engkau lalu membunuhnya!”

“Tidak benar! Itu fitnah belaka!” bantah Ciok Lim dan ketika itu sudah banyak anggota Kim-liong-pang yang keluar menyaksikan percekcokan itu. “Aku tidak bertemu siapa pun dan dan tidak melakukan perbuatan terkutuk seperti yang kau tuduhkan.”

“Ciok Lim, tidak perlu engkau menyangkal lagi. Semua bukti-bukti telah lengkap, maka aku nasehatkan engkau supaya menyerah saja untuk kami tangkap dan kami bawa menghadap suhu kami!” kata pula Phoa Hok Ci dengan muka merah dan mencorong marah.

“Tidak! Apa buktinya bahwa aku melakukan perbuatan jahat itu?” tantang Ciok Lim.

“Hemmm, engkau masih hendak menyangkal dan mau melihat buktinya?” Phoa Hok Ci mengeluarkan sebuah topi merah yang sejak tadi disimpannya di dalam saku bajunya. Itulah topi yang ditemukan di antara pakaian Bong Siok Cin yang berserakan. “Nah, lihat, topi siapakah ini?”

Sepasang mata Ciok Lim terbelalak memandang kepada topi di tangan murid Ngo-heng Bu-koan itu, dan wajahnya berubah. “Itu... itu memang topiku... semalam aku kehilangan topiku itu! Ah, aku berada dalam keadaan setengah mabuk akibat terlalu banyak minum sehingga aku lupa lagi di mana kutaruh topiku. Akan tetapi... bagaimana topiku itu dapat berada di tanganmu?”

Mulut Phoa Hok Ci semakin sinis menyeringai. “Hemmm, pandai berpura-pura pula! Ciok Lim, tidak perlu engkau menyangkal lagi. Topi ini kami temukan di dekat mayat sumoi Bong Siok Cin!”

“Suheng, tangkap saja dia. Untuk apa banyak cakap lagi terhadap seorang pemerkosa dan pembunuh yang amat keji?” teriak seorang murid Ngo-heng Bu-koan.

Phoa Hok Ci lalu maju menyerang dengan pedangnya. Ciok Lim terpaksa membela diri dan mencabut pedang pula. Ketika tiga orang murid Ngo-heng Bu-koan maju, mereka disambut oleh banyak murid atau anggota Kim-liong-pang.

Terjadilah perkelahian dengan kekalahan di pihak empat orang murid-murid Ngo-heng Bu-koan! Mereka terpaksa melarikan diri dalam keadaan luka-luka dan sambil mengeluh mereka mengadu kepada guru mereka.

Bhe Kauwsu menjadi bingung. Memang murid perempuan dari perguruannya diperkosa dan dibunuh orang, akan tetapi dia masih meragukan apakah benar calon menantunya yang melakukan perbuatan keji itu. Bagaimana pun juga, topi merah itu ditemukan di antara pakaian mendiang Siok Cin yang berserakan, dan semalam, ketika dia menjamu minum arak kepada calon mantunya ltu, memang Ciok Lim memakai topi merah itu.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah si Bangau Putih

KISAH SI BANGAU PUTIH (BAGIAN KE-13 SERIAL BU KEK SIANSU)