KISAH SI BANGAU PUTIH : JILID-36
Dia cepat mengelak sambil membuang diri ke samping untuk menghindarkan mukanya dari cengkeraman itu! Akan tetapi, tetap saja lengannya yang hendak menangkis kena dicengkeram. Siang Cun mengeluarkan seruan kaget dan kesakitan ketika dia merasa betapa lengannya seperti dicengkeram benda tajam dan pada saat itu, pundaknya sudah ditotok oleh Hok Ci dan seketika ia menjadi lemas! Sambil tertawa, Hok Ci lalu memanggul tubuh gadis itu.
Pada saat itu, belasan orang murid Ngo-heng Bu-koan menyerbu masuk dan mereka terkejut sekali melihat betapa puteri guru mereka dirobohkan Hok Ci dan kini ditotok dan dipanggul. Mereka tadi menyerbu masuk mendengar suara ribut-ribut dan kini mereka mengepung Hok Ci.
“Suheng, apa yang kau lakukan ini? Lepaskan Nona Bhe!” bentak beberapa orang di antara mereka sambil mengepung dan siap untuk mengeroyoknya.
Sepasang mata itu dengan ganas menyapu mereka. “Kalian mundurlah, atau terpaksa aku akan membunuh kalian!” Berkata demikian, Hok Ci lalu mencabut pedang dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memanggul tubuh Siang Cun yang tak mampu bergerak itu.
Akan tetapi, para murid Ngo-heng Bu-koan tetap tidak mau pergi dan ingin membela puteri guru mereka. Hok Ci mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau dan dia pun mengamuk. Pedangnya berkelebatan dan para murid itu cepat melawan dengan menyambar senjata yang ada.
Akan tetapi mereka hanya murid-murid tingkat dua, sebentar saja dua orang di antara mereka telah roboh mandi darah dan tewas oleh sambaran pedang Hok Ci. Lalu dengan kecepatan gerakannya, Hok Ci meloncat dan melarikan diri sambil memondong tubuh Siang Cun!
Hok Ci yang mengenal baik kota Lu-jiang, mengambil jalan yang sunyi untuk melarikan diri, bahkan berloncatan ke atas genteng-genteng rumah orang. Dia berhasil membawa tubuh gadis yang membuatnya tergila-gila itu keluar dari kota Lu-jiang, terus menuju ke kuil tua yang menjadi tempat tinggal Hoan Saikong.
Satu-satunya lawan yang ditakutinya hanyalah Tan Sin Hong, akan tetapi pemuda yang berpakaian putih itu telah terjerumus ke dalam lubang jebakan di ruangan belakang dan tentu sudah mampus. Orang-orang lainnya, baik dari Ngo-heng Bu-koan mau pun dari Kim-liong-pang, dipandang rendah olehnya.
Kini gurunya, Hoan Saikong, sudah mati pula bersama Sin Hong di dalam sumur lubang jebakan. Dia memang tak ingin merampas Kim-liong-pang mau pun Ngo-heng Bu-koan. Yang penting baginya hanyalah mendapatkan diri Bhe Siang Cwi yang membuatnya tergila-gila dan kini gadis itu telah berada di dalam pondongannya! Tiada seorang pun yang akan dapat mencegahnya memaksa gadis itu menjadi isterinya. Pula, selain Tan Sin Hong, tidak ada seorang pun dari kedua perkumpulan itu yang tahu akan tempat persembunyiannya dalam kuil tua di hutan ini.
“Lepaskan aku...! Ahhh, lepaskan aku...!” Siang Cun berseru dengan mata terbelalak penuh kengerian, namun ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya yang masih lumpuh tertotok.
Pria yang biasanya dikenalnya sebagai seorang suheng yang pendiam dan bersikap baik itu kini tersenyum sinis, lalu membawa masuk gadis itu ke dalam kuil. Di dalam kuil tua itu terdapat dua buah kamar yang bersih dan terawat karena itu merupakan kamar mendiang Hoan Saikong dan kamarnya sendiri, yang dipergunakan di waktu dia berada di situ.
Dia memasuki kamarnya sendiri, sebuah kamar yang hanya terisi sebuah pembaringan kayu dan sebuah meja serta dua buah kursi kayu yang sederhana. Dengan sikap lembut dia merebahkan tubuh sumoi-nya di atas pembaringan.
“Lepaskan aku Phoa-suheng, lepaskan aku! Aku adalah sumoi-mu, ingatkah? Jangan kau ganggu aku dan lepaskan aku, Suheng.“ Siang Cun kembali berseru dengan suara membujuk dan mata yang terbelalak penuh kengerian. Ia masih saja menyangka bahwa suheng-nya ini mendadak menjadi gila dan tidak sadar apa yang dilakukannya.
Hok Ci duduk di tepi pembaringan, senyumnya menyeringai menakutkan hati gadis itu, apa lagi ketika dia menunduk dan mencium pipi dan bibir Siang Cun yang sama sekali tak dapat mengelak. Gadis itu hanya memejamkan mata dan bergidik ngeri dicium oleh orang yang disangkanya gila.
“Bhe Siang Cun, aku akan melepaskanmu jika engkau menyatakan bahwa engkau cinta padaku dan bersedia menjadi isteriku.”
Mata yang ketakutan itu semakin terbelalak dan muka yang manis itu berubah merah. “Suheng, kau... kau telah gila...”
Hok Ci membelai dagu gadis itu, lalu membelai lehernya sehingga gadis itu merasa betapa bulu tengkuknya meremang.
“Siang Cun, kekasihku, memang aku telah gila, tergila-gila kepadamu. Apakah kau pura-pura tidak tahu betapa sejak dulu aku mencintamu? Ah, apa saja akan kulakukan untuk mendapatkan dirimu, Cun-moi. Selama ini... ahh, betapa segala jerih payah kulakukan, membunuhi mereka semua, seorang demi seorang, supaya antara kedua pihak terjadi permusuhan dan ikatan perjodohanmu dengan Ciok Lim terputus. Sengaja kutanamkan bibit permusuhan sampai mendalam, kulakukan semua itu demi mendapatkan dirimu, kekasihku. Dan sekarang, engkau telah berada di tanganku, engkau menjadi isteriku. Ya, kita hari ini akan menjadi pengantin, kita bersenang-senang di sini, sebagai suami isteri, Siang Cun.”
Wajah gadis itu tiba-tiba menjadi pucat. Dengan mata terbelalak tanpa berkedip sejak tadi ia memandang wajah suheng-nya itu, mendengarkan semua ucapannya.
“Kau... kau yang melakukan semua pembunuhan itu? Jadi engkaulah yang mengatur semua itu, membunuh dan melempar fitnah, sengaja hendak mengadu domba?”
Kini Hok Ci tertawa geli. “Benar, Cun-moi, benar. Semua itu akulah yang mengatur dan melakukannya. Cerdik sekali, bukan? Mereka saling serang, saling bunuh, dan bahkan sekarang di antara kedua ketua itu sudah saling serang, ha-ha-ha, semua itu karena kecerdikanku. Dan engkau akan menjadi isteriku sekarang...!”
Kedua tangan Hok Ci mulai menggerayangi tubuh Siang Cun yang menjadi semakin ketakutan. Karena belum dapat menggerakkan tubuh untuk mengelak atau melawan, ia hanya mengeluarkan kata-kata untuk mengalihkan perhatian orang itu.
“Suheng, jadi engkau yang melakukan semua pembunuhan di kedua pihak itu? Dan bagaimana dengan sumoi Bong Siok Cin yang diperkosa itu? Ia diperkosa dan dibunuh oleh Ciok Lim, bukan?”
“Ha-ha-ha, semua orang tolol itu memang mengira demikian. Akulah yang mengaturnya sehingga Ciok Lim yang disangka, agar permusuhan itu mulai berkobar.”
“Ahhh, jadi engkau pula yang memperkosa Siok Cin lalu membunuhnya, menjatuhkan fitnah atas diri Ciok Lim?”
“Ha-ha-ha, benar sekali, manisku. Cerdik sekali, bukan?”
Sekarang tahulah Siang Cun bahwa suheng-nya ini tidak gila. Sama sekali tidak gila, melainkan jahat dan keji bukan main! Dan ia kini telah terjatuh ke dalam tangan manusia iblis ini!
“Siang Cun, sekarang kita menjadi pengantin, engkau menjadi isteriku...“ Tangan pria itu mulai merenggut ke arah pakaian Siang Cun.
Bukan main takutnya hati Siang Cun. Ia hendak meronta, hendak melawan, namun ia belum mampu menggerakkan kaki tangannya.
“Jangan... ahh, jangan... lebih baik kau bunuh saja aku...“
“Membunuh engkau? Ha-ha-ha, kau kira aku sudah gila? Bertahun-tahun lamanya aku merindukannya, mencintamu, dan kini engkau menjadi milikku. Ah, kau kekasihku... aku cinta padamu...“
Seperti orang gila atau seperti seekor harimau kelaparan melihat seekor domba muda yang lunak dagingnya, Hok Ci menubruk dan menciumi muka gadis itu, menggigiti bibir dan leher itu seperti orang gila.
Siang Cun memejamkan mata. Ia hampir pingsan saking takut, ngeri dan jijiknya. Apa lagi ketika tangan Hok Ci merenggut lepas pakaiannya satu demi satu. Ia hanya dapat merintih dan mengeluh minta dibunuh saja.
Dalam keadaan yang amat berbahaya itu, saat kehormatan Siang Cun sudah terancam noda yang akan menghancurkan hidupnya, nyaris seperti sepotong daging yang sudah berada di depan mulut seekor serigala buas yang siap mengunyah dan menelannya, dan Siang Cun sudah memejamkan mata dengan hati hancur, tiba-tiba pintu kamar itu tertendang roboh dari luar!
“Brakkkkk!” Daun pintu roboh dan muncullah Sin Hong!
“Phoa Hok Ci, manusia iblis jahat!” bentak Sin Hong dengan marah sekali saat melihat keadaan di dalam kamar itu.
Siang Cun rebah terlentang di atas pembaringan dengan pakaian sudah lepas semua dari tubuhnya, dan Hok Ci merangkul dan menciuminya, siap untuk memperkosa gadis itu yang nampak tak berdaya, tidak mampu bergerak karena tertotok jalan darahnya.
Hok Ci terkejut dan marah bukan main. Dia tadi baru saja membuka bajunya, mulai satu demi satu melepaskan kancing bajunya yang kini telah menjadi setengah terbuka ketika terjadi gangguan itu. Ketika dia meloncat bangkit berdiri sambil membalikkan tubuh dan mengenal Sin Hong, matanya terbelalak. Dia merasa heran dan terkejut bukan main.
Bukankah Si Bangau Putih ini sudah mampus di dasar lubang sumur jebakan? Bagai mana tiba-tiba dapat muncul di sini, pikirnya. Dia cerdik dan maklum akan bahaya yang mengancam dirinya.
Dia sudah mengenal baik betapa lihainya Pendekar Bangau Putih ini, bahkan gurunya sendiri, Hoan Saikong dan dia pernah mengeroyoknya, akan tetapi mereka berdua pun terdesak hebat. Apa lagi kini ia harus menghadapinya seorang diri saja. Tetapi ia tidak melihat jalan lain kecuali melawan. Tanpa membuang waktu lagi, dia pun menyambar pedangnya dan menerjangnya dengan serangan ganas dan dahsyat.
Namun, Sin Hong sudah bersiap siaga dan dengan mudah saja dia mengelak dengan loncatan ke kiri dan dari sudut samping dia menotok ke arah pundak lawan. Totokan itu cepat sekali datangnya. dan nyaris pundak Hok Ci terkena totokan.
Akan tetapi Hok Ci dengan cepat memutar tubuh dan pedangnya ikut pula berputar lalu membuat lingkaran dan menyerang pula ke arah leher Sin Hong! Gerakan ini cepat, namun sesungguhnya, Hok Ci terkejut dan jeri karena sekali gebrakan saja pundaknya hampir tertotok yang kalau tadi mengenai sasaran tentu akan membuat dia roboh tak berdaya!
Menghadapi sambaran pedang ke lehernya, Sin Hong merendahkan tubuhnya dan tiba-tiba kakinya mencuat dengan ujung sepatunya menendang ke arah lutut Hok Ci! Ini pun merupakan serangan yang sangat berbahaya karena sedikit saja sambungan lututnya tersentuh ujung sepatu, cukup untuk membuat Hok Ci terguling.
Namun Hok Ci menarik kakinya dan bukan lutut yang tertendang, melainkan pahanya yang tercium ujung sepatu. Ia tidak roboh, akan tetapi tetap saja terhuyung dan cepat ia memutar pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar yang melindunginya. Akan tetapi, tendangan yang mengenai tepi pahanya tadi sudah cukup membuat Hok Ci jeri.
Sambil memutar pedangnya, tiba-tiba saja tangan kirinya bergerak dan sinar hitam kecil menyambar, bukan ke arah Sin Hong melainkan ke arah tubuh gadis yang kini rebah telanjang di atas pembaringan! Otak Hok Ci yang cerdik dan licik sudah menemukan akal bagaimana dia akan dapat melepaskan diri dari tangan Sin Hong yang terlalu lihai baginya itu. Dia menyerang Siang Cun dengan jarum hitam, jarum yang mengandung racun! Dan mudah saja dia mengenai sasaran yang tidak mampu bergerak itu.
Terdengar Siang Cun mengeluarkan rintihan ketika pahanya terkena jarum hitam yang menyambar cepat tanpa ia mampu mengelak. Sin Hong terkejut sekali dan terpaksa dia tidak mengejar ketika Hok Ci melompat keluar dari kamar itu untuk melarikan diri. Sin Hong tahu bahwa jarum yang melukai Siang Cun adalah jarum beracun dan kalau tidak ditolong gadis itu dapat terancam maut. Tentu saja jauh lebih penting menolong Siang Cun dari pada mengejar Hok Ci, apa lagi karena Siang Cun terancam bahaya maut.
Memang di sini membuktikan kelicikan dan kecerdikan Hok Ci yang dapat melepaskan diri dari tangan Sin Hong yang dia tahu bukan lawannya karena pendekar baju putih itu memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari kepandaiannya.
Sin Hong melompat ke dekat pembaringan. Siang Cun yang membuka mata melihat betapa Sin Hong mendekatinya, dan teringat akan keadaannya yang telanjang bulat itu. Segala bagian tubuhnya nampak jelas oleh pemuda itu dan hal ini membuatnya malu bukan main. Mula-mula wajahnya berubah merah sekali, lalu pucat dan merah kembali dan perlahan-lahan kedua matanya menjadi basah air mata.
Akan tetapi Sin Hong tak peduli akan keadaan gadis itu, tidak melihat ketelanjangannya karena seluruh perhatiannya sedang tertarik pada bintik hitam di paha kiri gadis itu. Dia memeriksa dengan teliti sekali, tanpa banyak cakap dia meraba paha itu dan memijat bagian yang ada bintik hitamnya.
“Aduhhhhh...!” Siang Cun menjerit karena bagian yang dipijat itulah yang terasa nyeri terkena jarum tadi.
Yakinlah Sin Hong bahwa bintik hitam itulah akibat luka oleh jarum. Apa lagi dia melihat betapa di sekeliling bintik itu sudah ada tanda merah kebiruan tanda bahwa racun jarum itu mulai berjalan.
Oleh karena maklum akan bahaya yang mengancam diri Siang Cun, Sin Hong lupa akan sopan santun lagi. Yang penting baginya adalah menyelamatkan nyawa gadis itu. Maka, tanpa membuang waktu dia lalu menunduk, menempelkan mulutnya pada bintik hitam di paha, dan mengerahkan tenaga lalu menyedot!
Dua kali dia menyedot barulah jarum itu keluar, digigitnya lalu dicabutnya dari daging paha, dibuangnya ke sudut kamar, lalu dia menempelkan lagi bibirnya pada luka kecil itu dan menghisap sampai ada darah hitam yang keluar. Diulanginya lagi sampai akhirnya darah merah yang keluar dan paha itu bebas dari racun jarum.
Legalah hatinya dan baru Sin Hong sadar akan keadaan pada gadis itu yang telanjang bulat, maka tiba-tiba saja mukanya berubah merah dan dia mundur beberapa langkah sambil menyentuh pundak gadis itu untuk membebaskan totokannya, kemudian cepat ia membalikkan tubuhnya sambil berkata, “Harap maafkan aku, Nona.”
Begitu totokannya bebas, Siang Cun cepat-cepat menyambar pakaiannya, mengenakan semua pakaiannya sambil tak dapat lagi menahan air matanya yang turun bercucuran. Ia menangis tersedu-sedu, karena bermacam perasaan mengaduk hatinya.
Rasa haru dan terima kasih bahwa dia yang sudah berada di ambang pintu kehancuran dan kehinaan itu terbebas dari bahaya itu. Rasa malu setengah mati karena Sin Hong telah melihatnya dalam keadaan telanjang bulat dengan tubuh telentang, dan lebih malu lagi ketika ia mengingat kembali betapa Sin Hong telah mengecup dan menyedot luka di pahanya, paha kiri bagian atas dekat perut! Malu yang amat hebat, malu dan hina walau pun ia tahu bahwa Sin Hong melakukan hal itu untuk menyelamatkan nyawanya!
Rasa terima kasih, malu, dan penasaran mengaduk hatinya. Rasanya ia tidak ada muka lagi untuk melihat wajah Sin Hong, untuk bertemu dengan manusia lain! Bagaimana jika mereka itu tahu akan keadaannya tadi?
“Phoa Hok Ci... jahanam keparat busuk... kubunuh engkau... manusia iblis...“ Mulutnya mendesiskan ancaman ini ketika ia mengenakan pakaiannya.
Mendengar disebutnya nama Phoa Hok Ci, baru Sin Hong teringat kembali akan orang itu. Tadinya dia masih merasa ‘nanar’ karena teringat akan ketelanjangan Siang Cun, teringat betapa dia tadi sudah mengecup paha itu. Betapa janggalnya keadaan itu tadi sehingga dia lupa keadaan yang lain. Kini, teringat kepada Hok Ci yang melarikan diri, dia cepat meloncat keluar.
“Akan kutangkap dia!” katanya dan beberapa kali loncatan saja dia sudah lenyap dari kuil.
Siang Cun membereskan pakaiannya dan rambutnya, kemudian dengan hati tak karuan rasanya ia pun lari keluar untuk mencari musuh besarnya itu.
Sementara itu, sambil berlari cepat meninggalkan kuil, Hok Ci tersenyum lega. Untung dia memiliki akal yang amat cerdik, melukai Siang Cun dengan jarum beracun sehingga Sin Hong tidak sempat mengejar dan menangkapnya. Dia harus berlari cepat, harus meninggalkan daerah itu jauh-jauh kalau dia ingin selamat.
Dia akan meninggalkan kehidupannya sebagai murid Ngo-heng Bu-koan, sebagai murid Hoan Saikong yang sudah mati, dan dia akan memulai hidup baru, di tempat baru dan melupakan Siang Cun yang terpaksa harus dia tinggalkan. Masih menyesal sekali kalau dia membayangkan betapa daging lunak yang sudah berada di ujung lidah itu terlepas pada saat terakhir! Dalam hati ia memaki-maki Si Bangau Putih yang menggagalkan ia memiliki gadis yang sudah lama membuat dia tergila-gila itu.
Mendadak terdengar bentakan-bentakan nyaring, dan ketika dia memandang, wajahnya seketika menjadi pucat! Dirinya sudah dikepung oleh puluhan orang anggota Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang yang dipimpin sendiri oleh Bhe Kauwsu dan Ciok Pangcu!
Dia sama sekali tidak takut menghadapi dua orang ketua itu. Akan tetapi kalau harus melawan puluhan orang, tentu saja dia merasa gentar sekali! Belum lagi kalau dihitung datangnya bahaya pengejaran dari Si Bangau Putih!
“Phoa Hok Ci, murid murtad, jahanam keparat! Di mana anakku Siang Cun?” bentak Bhe Kauwsu yang marah bukan main dan juga khawatir karena ia tak melihat puterinya bersama penjahat itu.
Dalam keadaan panik terkepung itu, Hok Ci masih hendak menggunakan akal liciknya. “Ia... ia di kuil tua, diperkosa oleh Si Bangau Putih...! Cepat Suhu ke sana, kalau tidak, akan terlambat...”
Mendengar ucapan ini, Bhe Gun Ek, guru silat Ngo-heng Bu-koan itu tertegun. Tapi Yo Han segera berteriak lantang. “Harap Bhe Kauwsu jangan percaya omongan manusia iblis ini! Suhu tidak mungkin melakukan hal yang terkutuk itu! Sebaiknya manusia iblis ini segera ditangkap dulu, baru nanti dicari di mana adanya enci Siang Cun!”
Mendengar kata-kata Yo Han ini, sadarlah Bhe Kauwsu. Tanpa dikomando lagi, semua orang yang mengepung pemuda itu, termasuk Ciok Pangcu, menggerakkan senjata dan berloncatan turun dari atas kuda mengeroyok Phoa Hok Ci! Puluhan orang mengepung dan mengeroyoknya, dan Phoa Hok Ci mencoba untuk memutar pedangnya membela diri.
“Jangan bunuh dia! Tangkap hidup-hidup!” Berkali-kali Bhe Gun Ek dan Ciok Pangcu berteriak karena kedua orang pemimpin perkumpulan ini ingin mendengar pengakuan Hok Ci tentang semua perbuatannya yang amat keji, membunuh banyak orang di kedua pihak untuk mengadu domba antara Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang.
Betapa pun lihainya Hok Ci, tapi menghadapi pengeroyokan puluhan orang yang semua menaruh dendam padanya, akhirnya ia roboh dengan luka-luka di tubuhnya. Pedangnya dirampas dan dengan kedua lengan lumpuh karena patah tulangnya, dia diringkus dan dibelenggu kaki tangannya.
Ciok Kam Heng yang merasa amat sakit hati karena kehilangan puteranya itu, segera menjambak rambutnya sambil membentak, “Manusia iblis! Sekarang ceritakan apa yang telah kau lakukan selama ini untuk menjatuhkan fitnah kepada Kim-liong-pang!”
Hok Ci maklum bahwa tiada harapan lagi baginya untuk hidup. Rasa takut, penasaran dan sesal membuatnya kehilangan keseimbangan batinnya dan mendadak dia tertawa bergelak. Suara ketawanya membuat semua orang bergidik ngeri karena itu jelas bukan suara ketawa orang yang waras otaknya!
Segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan orang adalah suatu tanda bahwa pada saat dia melakukannya, keadaan batinnya memang tidak sehat, tidak waras! Batin yang dikuasai oleh nafsu apa pun, batin yang diperhamba nafsu, merupakan batin yang tidak sehat, yang sudah gelap seperti buta sehingga segala yang dilakukan oleh jasmaninya hanya untuk menuruti dorongan nafsu itu semata.
Belajar untuk menjadi ‘orang baik’ tidak ada gunanya selama batin masih lemah, masih mudah dicengkeram oleh nafsu, mudah diperhamba nafsu. Yang penting bukan ingin menjadi orang baik, melainkan membuka mata batin, menyadarkan batin supaya tidak sesat, tidak lemah, waspada selalu akan keadaan diri sendiri, selalu dalam keadaan waspada sehingga tidak lengah dan tidak mudah dinina-bobokkan oleh nafsu
.“Ha-ha-ha-he-he-heh! Kalian manusia-manusia tolol! Memang aku yang melakukan itu semua, aku yang memperkosa dan membunuh Bong Siok Cin, membunuhi para murid Ngo-heng Bu-koan dan Kim-liong-pang. Aku yang mengadu domba antara kalian! Untuk apa? Agar ikatan perjodohan antara Bhe Siang Cun dan Ciok Lim terputus karena Siang Cun harus menjadi isteriku! Ha-ha-ha-ha, hanya akulah yang pantas memiliki diri Siang Cun yang molek, ha-ha-ha-ha!”
“Keparat! Di mana anakku Siang Cun sekarang?” bentak Bhe Kauwsu dengan marah. Tangannya sudah gemetar sebab menurutkan kemarahannya ingin ia membunuh murid murtad itu.
“Siang Cun? Ha-ha-ha, di kuil tua, diperkosa oleh Si Bangau Putih, mungkin sekarang sudah mampus pula, heh-heh!”
“Bohong! Jahanam itulah yang hendak memperkosanya, akan tetapi untung aku segera datang mencegahnya... Dia melukainya dengan jarum beracun, akan tetapi sekarang telah selamat!” Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah Sin Hong.
Mendengar ini, lega rasa hati Bhe Kauwsu dan kini tidak dapat dicegah lagi, pedangnya digerakkan menusuk dada Phoa Hok Ci! Pada saat yang sama pedang di tangan Ciok Pangcu juga bergerak membabat ke arah leher orang jahat itu.
Tubuh itu terkulai dengan dada berlubang dan leher putus! Para murid Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan juga menggerakkan senjata mereka. Dalam sekejap saja tubuh Phoa Hok Ci lantas menjadi korban puluhan senjata, menjadi hancur tidak karuan lagi bentuknya!
“Sudah cukup!” Tiba-tiba Sin Hong membentak, suaranya amat nyaring sehingga semua orang terkejut dan melangkah mundur. “Kalian semua adalah orang-orang yang gagah, mengapa sekarang dikuasai nafsu amarah dan dendam kebencian, kemudian berubah menjadi orang-orang yang demikian kejam?”
Semua orang, termasuk Ciok Kam Heng dan Bhe Gun Ek, tiada yang menjawab, hanya menundukkan muka dengan rikuh dan malu karena baru sekarang mereka bisa melihat kenyataan itu, alangkah sadis dan kejamnya mereka tadi karena dibakar oleh dendam kebencian.
“Ayahhh...!” Tiba-tiba terdengar jeritan dan Siang Cun datang berlari-lari, disambut oleh ayahnya. Gadis itu menubruk dan merangkul ayahnya sambil menangis terisak-isak.
Bhe Gun Ek mengelus-elus rambut kepala puterinya dan menepuk-nepuk pundaknya. “Sudahlah, Siang Cun, tenanglah. Jahanam keparat itu sudah kami bunuh.”
Siang Cun menghentikan tangisnya, memandang ke kanan kiri dan seperti orang dalam mimpi ia bertanya, “Mana dia? Mana manusia iblis itu? Akan kubunuh dia...!”
“Dia sudah mati di tangan kami, Siang Cun. Nah, itu dia!” Ayahnya menunjuk ke bawah.
Siang Cun memandang dan seperti terpukau melihat tumpukan daging dan tulang yang sudah menjadi onggokan tak berbentuk itu. Mendadak ia merampas pedang di tangan ayahnya, kemudian meloncat ke depan dan hendak membacokkan pedangnya ke arah onggokan daging dan tulang itu, tapi tiba-tiba lengannya ditangkap orang dari belakang.
“Nona sadarlah. Yang sesat biarlah sesat seperti Phoa Hok Ci itu. Akan tetapi tidak perlu Nona menjadi sedemikian kejam karena dendam kebencian. Dia sudah mati dan jasmaninya tidak berdosa.”
Siang Cun menoleh dan ketika ia melihat bahwa yang menahannya adalah Sin Hong, ia lalu melepaskan pedangnya dan berlari kepada ayahnya, kembali merangkul ayahnya sambil menangis keras.....
********************
“Tidak, aku tidak ingin hidup lagi, Ayah. Biar pun jahanam itu belum
sampai menodaiku, akan tetapi... ahh, bagaimana aku dapat melupakan aib
dan malu itu? Dia... Tan Sin Hong itu, dia... telah melihat aku
bertelanjang bulat, bahkan dia... dia telah...“
Bhe Kauwsu memeluk puterinya. Tadi baru saja dia menyelamatkan puterinya
dari maut ketika Siang Cun menggantung diri di dalam kamarnya!
“Anakku, janganlah mengambil jalan pendek. Bunuh diri merupakan suatu dosa besar, Siang Cun. Apa yang sudah dilakukan oleh Tan Taihiap padamu? Apa yang sudah dia perbuat?”
Siang Cun bercerita dengan suara terputus-putus tentang pengobatan yang dilakukan oleh Sin Hong kepadanya. Betapa pemuda itu bukan hanya melihat ia bertelanjang bulat dan terlentang di atas pembaringan, bahkan pemuda itu sudah mengobatinya dengan menyedot darah dan jarum dari paha kirinya, ketika ia dalam keadaan telanjang!
“Bagaimana mungkin aku dapat melupakan aib dan malu itu, Ayah? Dia bukan apa-apa, bukan saudara bukan keluarga, bahkan saudara seperguruan pun bukan! Aib ini hanya dapat dihapus dengan kematianku, Ayah...“ Gadis itu menangis lagi.
Bhe Kauwsu menarik napas panjang. Dia mengerti akan penderitaan batin puterinya. Kemudian dia berkata, “Tenanglah, anakku. Ada suatu jalan yang lebih baik dari pada membunuh diri, dan biarlah aku yang membicarakan urusan ini dengan Tan Taihiap. Mudah-mudahan saja dia tidak keberatan dan mau menolong kita.”
“Apakah maksudmu, Ayah?”
“Menjodohkan engkau dengan Tan Taihiap, anakku.”
Wajah yang manis itu seketika menjadi merah dan ia menundukkan mukanya. “Memang hanya itulah jalan satu-satunya untuk menghapus aib dari diriku, Ayah. Jika ia menolak, lebih baik aku mati saja!” Setelah berkata demikian, Siang Cun menutupi mukanya dan menangis lagi.
Bhe Kauwsu segera menemui Sin Hong yang sedang berkemas di dalam kamarnya bersama Yo Han. Mereka sudah terlalu lama tinggal di tempat itu dan biar pun mereka diperlakukan sebagai tamu kehormatan dan merasa senang, namun tidak enak juga jika terus menerus menerima kebaikan orang dan mondok di tempat itu.
Bhe Kauwsu minta bicara empat mata dengan pendekar itu dan Sin Hong pun segera menyuruh muridnya keluar dari dalam kamar.
Yo Han pergi ke belakang rumah. Di tempat itu dia sudah bergaul dengan leluasa sekali, menjadi sahabat dari para murid Ngo-heng Bu-koan dan dia seorang anak yang amat disuka oleh para murid.
Setelah duduk berhadapan berdua, Bhe Kauwsu lalu menyampaikan maksud hatinya untuk menjodohkan puterinya dengan Tan Sin Hong. Dia berterus terang akan keadaan Siang Cun.
“Biar pun kami sekeluarga akan merasa terhormat dan berbahagia sekali kalau Taihiap sudi menjadi suami Siang Cun, akan tetapi sesungguhnya sampai bagaimana pun aku tidak akan berani mengemukakan hasrat hati keluarga kami kepadamu, Taihiap. Akan tetapi, anakku Siang Cun berkeras akan membunuh diri untuk mencuci aib dan hanya mau melanjutkan hidup kalau dapat menjadi isterimu. Oleh karena itu, Taihiap, kami sekeluarga yang sudah putus harapan hanya memandang kepadamu sebagai bintang penolong keluarga kami.”
Tentu saja Sin Hong terkejut bukan main mendengar permintaan itu! Ia menjadi bingung karena sama sekali tidak menyangka bahwa secara tiba-tiba dia diminta untuk menjadi suami Siang Cun!
“Tetapi... tetapi... maafkan, Paman. Hal ini... harus kupikirkan dulu karena menyangkut kehidupanku di masa depan. Aku... minta waktu untuk memikirkannya...,“ katanya agak gagap.
Bhe Kauwsu tersenyum. “Tentu saja, Taihiap. Karena seperti Taihiap pernah bicarakan dengan kami bahwa Taihiap adalah seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara, maka segala keputusan harus dipikirkan dulu. Biarlah kami menanti sampai besok agar Taihiap mempunyai waktu sehari semalam ini untuk memikirkannya.” Bhe Kauwsu lalu mengundurkan diri, meninggalkan Sin Hong yang masih bengong dan bingung.
Menjadi suami Siang Cun? Pertanyaan ini berdengung terus di dalam kepalanya. Tanpa disengaja, dia pun mengenang gadis itu. Seorang gadis yang cantik manis, juga gagah perkasa dan terbayanglah tubuh gadis itu yang pernah dilihatnya dalam keadaan bugil dan polos! Tubuh yang mulus, wajah yang cantik, watak yang gagah dan kedudukan terhormat. Cukup baik, bahkan terlalu baik untuknya. Dan juga amat baik bagi Yo Han.
Muridnya itu masih muda sekali, membutuhkan lingkungan dan pergaulan yang baik. Dan Ngo-heng Bu-koan merupakan tempat yang amat baik bagi seorang anak, dapat bergaul dengan murid-murid Ngo-heng Bu-koan yang gagah dan berjiwa pendekar.
Tiba-tiba terbayang wajah Kao Hong Li! Hatinya berdebar-debar penuh keharuan. Dia mencinta Hong Li! Sejak pertemuan pertama, dia sudah tertarik dan jatuh cinta kepada puteri suheng-nya itu. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia dapat menjadi suami Kao Hong Li?
Hong Li adalah puteri Kao Cin Liong, seorang pendekar besar bekas panglima kerajaan, putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir! Kedudukan keluarga itu amat terhormat, baik di dalam dunia kang-ouw, dunia persilatan, di masyarakat, bahkan di antara kalangan para pembesar kerajaan.
Sebaliknya dia? Seorang yatim piatu, sebatang kara, miskin dan tidak memiliki apa-apa! Dibandingkan dengan Hong Li, dia bagaikan seekor burung gagak di samping seekor burung Hong! Belum lagi diingat bahwa dia adalah susiok (paman guru) Hong Li, walau pun usia mereka sebaya. Tidak, tidak mungkin dia dapat menjadi suami Hong Li, betapa pun dia mencintanya, bahkan andai kata Hong Li juga mencintanya, perjodohan antara mereka adalah tidak mungkin.
Kembali dia membayangkan Siang Cun. Seorang gadis yang sangat baik, dinilai dari keadaan wajah, bentuk tubuhnya, atau pun wataknya. Dan dia pun akan hidup tenang, bisa membantu ayah mertuanya untuk memajukan Ngo-heng Bu-koan, memimpin para murid Bu-koan (Perguruan Silat) dengan ilmu silat.
Hanya itulah satu-satunya keahliannya. Ilmu silat! Dan dia dapat mempergunakannya di sini. Pekerjaan lain apakah yang dapat dia lakukan kecuali mengajarkan ilmu silat? Dan Siang Cun seorang calon isteri yang manis dan molek. Dan Yo Han, muridnya yang dia sayang, akan memperoleh tempat yang baik pula di Ngo-heng Bu-koan. Dan ayah mertuanya seorang tua yang gagah dan bijaksana. Mau apa lagi?
“Suhu, kenapa Suhu melamun setelah Bhe Kauwsu pergi?” tiba-tiba Yo Han memasuki kamar. Anak ini baru berani memasuki kamar setelah melihat Bhe Kauwsu tidak lagi berada di kamar gurunya.
Sin Hong keluar dari dunia lamunan, menoleh pada muridnya. Melihat wajah muridnya membayangkan kekhawatiran, dia lalu merangkul pundak Yo Han. Muridnya ini selalu memperhatikan dirinya. Seorang murid yang bukan hanya berbakti, akan tetapi juga mencintanya seperti seorang adik kepada kakaknya.
“Yo Han, aku sedang bingung. Bhe Kauwsu mengusulkan perjodohan antara aku dan puterinya.”
Meski Yo Han baru berusia kurang lebih delapan tahun, namun dia tidak menganggap muridnya itu anak kecil. Sikap dan jalan pikiran Yo Han seperti seorang dewasa saja. Oleh karena itu, tanpa ragu lagi dia menceritakan persoalan yang dihadapinya.
Yo Han mengerutkan alisnya, “Enci Siang Cun seorang wanita yang gagah perkasa dan cantik, dan Ngo-heng Bu-koan tempat orang-orang gagah, Suhu. Akan tetapi apakah Suhu mencintanya?”
Mendengar kata cinta keluar dari mulut anak itu, mau tidak mau Sin Hong tersenyum geli. “Aih Yo Han, tahu apa engkau tentang cinta? Dan kenapa kau bertanya demikian?”
“Suhu, menjadi suami isteri berarti hidup berdampingan selama hidup! Kalau Suhu dan enci Siang Cun saling mencinta, tidak ada masalah apa pun bagi Suhu untuk berjodoh dengannya.”
Sin Hong menggeleng kepalanya. “Aku kagum dan suka kepadanya, akan tetapi tentang cinta... aku masih belum tahu, Yo Han. Akan tetapi, kalau aku menolak, berarti ia akan mati membunuh diri. Aku akan merasa berdosa, seolah-olah aku yang membunuhnya.” Kemudian Sin Hong menceritakan mengenai Siang Cun seperti yang didengarnya dari Bhe Kauwsu tadi.
Yo Han membelalakkan matanya. “Wah, sungguh aneh-aneh pikiran seorang dewasa! Kelihatan telanjang bulat saja sudah mau bunuh diri jika tidak dikawin! Jadi kalau Suhu mengawininya, berarti Suhu menyelamatkan nyawanya?”
“Begitulah!”
“Tapi... tapi, Suhu. Bagaimana, dengan enci Hong Li?”
Terkejut rasa nati Sin Hong mendengar ini. Jantungnya berdebar.
“Apa maksudmu? Ada apa dengan Hong Li?”
“Suhu cinta padanya, dan enci Hong Li mencinta Suhu. Kalau Suhu menikah dengan gadis lain...“
“Ah, Yo Han, jangan sebut-sebut lagi namanya. Engkau tidak tahu bahwa tidak mungkin bagiku untuk bisa bersanding dengan Hong Li. Pertama, dia adalah murid keponakanku sendiri, dan kedua, kedudukan kami sungguh berbeda bagai bumi dan langit. Agaknya... agaknya, tidak ada lain jalan bagiku kecuali menerima uluran tangan Bhe Kauwsu...“
“Wah, kionghi (selamat), Suhu!” Yo Han lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada dan memberi selamat kepada gurunya.
Dengan muka berubah agak kemerahan Sin Hong merangkul muridnya sambil tertawa. Setelah berpikir keras semalam suntuk, akhirnya Sin Hong mengambil keputusan untuk menerima uluran tangan Bhe Kauwsu.
Ada beberapa hal yang mendorong dirinya menerima uluran tangan itu. Terutama sekali untuk mencegah Siang Cun membunuh diri, mencuci perasaan terhina dan malu. Dan masih banyak segi yang ada kebaikannya. Dia dapat menyumbangkan kepandaiannya untuk memajukan Ngo-heng Bu-koan dan dapat hidup berkeluarga yang layak. Selain itu, juga dia dapat menempatkan Yo Han dalam lingkungan yang baik.
Sebaliknya, kalau dia menolak, besar sekali kemungkinan Siang Cun akan membunuh diri, dan dia bersama Yo Han akan hidup berkeliaran tanpa tempat tinggal yang tetap, dan terutama sekali, dia akan selalu merasa berdosa.
Dia tidak dapat terlalu menyalahkan sikap Siang Cun yang berkeras hendak membunuh diri jika tidak menjadi isterinya. Bagi seorang gadis yang keras hati dan menjaga benar nama dan kehormatannya, maka peristiwa yang dialaminya itu, ketika ia dalam keadaan telanjang bulat dilihat oleh Sin Hong, bahkan diobati oleh pemuda itu dengan cara yang melanggar batas kesusilaan, sungguh merupakan suatu hal yang mendatangkan malu dan aib yang akan ditanggung selama hidupnya.
Kalau Sin Hong menjadi suaminya, maka peristiwa itu dengan sendirinya tidak akan meninggalkan rasa malu, bahkan mungkin akan menjadi kenangan indah dan mesra bagi keduanya. Dan biar pun Sin Hong belum dapat memastikan apakah ada perasaan cinta dalam hatinya terhadap Siang Cun, namun dia harus mengakui bahwa dia kagum dan suka kepada gadis itu, dan harus diakuinya pula secara jujur bahwa dia tertarik melihat kecantikan wajah dan keindahan tubuh gadis itu!
Pernikahan segera dilangsungkan dengan meriah. Pihak Kim-liong-pang yang kini telah menjadi sahabat baik lagi dari Ngo-heng Bu-koan, juga datang, bahkan atas usul Ciok Kam Heng atau Ciok Pangcu, ketua Kim-liong-pang, dia dengan suka rela menjadi wali atas diri Sin Hong yang sudah yatim piatu dan tidak mempunyai wali itu. Ciok Pangcu merasa berterima kasih kepada pendekar muda ini karena ia telah berjasa memecahkan rahasia yang mengadu domba antara Kim-liong-pang dan Ngo-heng Bu-koan.
Biar pun Sin Hong tidak berani mengirim undangan kepada suheng-nya, yaitu Kao Cin Liong, karena sesungguhnya dia tak merasa mengadakan pesta dan bukan pihak tuan rumah, namun dia mengirim surat kepada suheng-nya, memberi tahu bahwa dia telah melangsungkan pernikahan dengan puteri ketua Ngo-heng Bu-koan di kota Lu-jiang.
Setelah menikah, meski pun dia dan isterinya saling memperlihatkan sikap mesra dan mencinta, akan tetapi diam-diam Sin Hong sering kali melamun. Terasa benar olehnya betapa dalam hubungan mereka sebagai suami isteri, terdapat suatu kehambaran atau kehampaan akibat tiadanya pertalian batin atau cinta kasih antara mereka sebelumnya.
Mereka itu seolah-olah dua orang asing yang baru bertemu dan belum akrab. Hubungan antara mereka seperti dipaksakan, dan meski pun di luarnya nampak mesra, namun di dalam sudut batinnya, Sin Hong merasakan suatu kehambaran. Dia pun dapat menduga bahwa perasaan yang sama terdapat dalam batin isterinya!
Memang harus diakuinya bahwa sikap Siang Cun baik sekali kepadanya dan nampak betapa wanita itu berusaha keras untuk menjadi seorang isteri yang baik, mencinta, setia dan patuh. Namun tetap saja terasa olehnya bahwa hubungan di antara mereka bagai dipaksakan, tidak wajar karena tidak adanya ikatan batin yang berupa cinta kasih.
Segala macam hubungan antara manusia, baik hubungan suami isteri, antara sahabat, orang tua dan anak, dan sebagainya, pasti akan selalu mendatangkan konflik selama di dalamnya tidak ada dasar cinta kasih. Cinta kasih ini berarti tidak adanya pementingan diri sendiri. Selama ada pementingan diri sendiri, cinta kasih tidak akan hadir. Yang ada hanyalah cinta nafsu, dan cinta nafsu ini tidak akan dapat bertahan lama karena selalu timbul pertentangan antara dua kepentingan yang kadang-kadang saling berlawanan. Kepentingan si aku bertumbuk dengan kepentingan si kamu dan si dia.
Cinta kasih meniadakan atau setidaknya mengaburkan dan menipiskan kepentingan si aku. Jika sudah begitu, maka apa pun yang kita lakukan dengan dasar cinta kasih, akan selalu benar dan mendatangkan kebahagiaan
.Sin Hong mempertahankan keadaan ini dan menutupinya dengan bijaksana, sehingga dia hidup dalam suasana yang palsu. Pada lahirnya, dia dan isterinya hidup rukun, akan tetapi di dalam hati, keduanya merasakan suatu kekecewaan, kehilangan sesuatu yang sepatutnya ada dalam kehidupan suami isteri. Tak seorang pun di luar mereka berdua maklum akan hal ini, kecuali Yo Han!
Anak ini pun tidak tahu dengan jelas, namun dia mengerti dan merasakan dengan jelas, namun dia mengerti dan merasakan betapa suhu-nya kini sering kali duduk melamun, sering kali duduk sambil memandang jauh, dengan pikiran melayang-layang dan diam-diam dia merasa kasihan kepada gurunya. Anak yang berperasaan halus dan berotak cerdas ini dapat menduga bahwa gurunya tidak berbahagia!
Perubahan itu baginya nampak sekali. Ketika gurunya masih hidup menyendiri, hidup berdua dengan dia dan dalam keadaan serba kekurangan, merantau dengan bebas, gurunya nampak selalu riang. Akan tetapi setelah menikah, gurunya sering kali duduk melamun.
Dia melihat gurunya seolah-olah seekor burung yang tadinya melayang-layang dengan bebasnya di udara, kini terkurung di dalam sangkar. Biar pun sangkar itu terbuat dari pada emas, diukir indah dan di dalam sangkar selalu tersedia makanan dan minuman, namun burung itu tetap saja sering kali mengeluh duka karena kehilangan kebebasan!
Namun dia tidak dapat berbuat apa pun. Bagi Yo Han, kehidupan di Ngo-heng Bu-koan cukup menyenangkan. Di sini banyak kawan yang baik, dan dia pun tekun berlatih silat di bawah pimpinan langsung dari Sin Hong.
Tentu saja Sin Hong membedakan latihan bagi muridnya dengan latihan yang diberikan olehnya kepada para murid Ngo-heng Bu-koan sebagai usahanya membantu kemajuan perguruan silat mertuanya. Dan waktu pun meluncur terus, melewati segala suka duka yang menjadi permainan pikiran dan batin manusia.....
********************
Komentar
Posting Komentar